Di sebuah rumah sakit.
Hujan deras dan petir sejak tadi tiada henti beriringan dan saling bersahut-sahutan. Tak jua reda sudah cukup lama. Seolah memberi tanda pada seorang gadis sedang menunggui lelaki yang berbaring koma sudah sebulan lamanya berada dalam duka.
Gadis itu memandang ke arah luar jendela. Khansa namanya, calon istri lelaki yang mengalami kecelakaan mobil kala ia akan menggelar pernikahan dengannya. Gadis itu pun setia menemani hari-hari calon suaminya. Meski tak pernah menyentuh, tapi ia berharap dengan kehadirannya calon suaminya itu bisa merasakan dan bersemangat untuk bangun.
Gadis itu sedih bukan karena pernikahannya saja yang tertunda atau bahkan terancam gagal akibat kecelakaan itu, tapi juga harapannya tipis. Setipis harapan hidup Syabil Ezra El Haq, begitu nama lengkap calon suaminya yang sering disapa Ezra atau Ustad Ezra. Membuat keluarga Kyai Hasal El Haq memintanya mencari lelaki lain. Karena menurut tim medis, hanya keajaiban Tuhan yang bisa membuat Ezra terbangun.
Keluarga Khansa pun sudah setuju tapi gadis itu kukuh menolak. Ia akan terus menunggu karena hatinya sudah terpaut cukup dalam pada lelaki yang masih setia terbaring tersebut. Ia sudah jatuh cinta dan terpendam bertahun-tahun lamanya, tak mungkin saat cintanya tersambut mudah baginya melepaskan begitu saja. Ia masih memiliki harapan, walaupun harus menunggu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan olehnya.
Pasien koma bisa cepat atau sebaliknya. Bahkan ada kisah Pangeran Al Waled asal Arab Saudi, salah satu pasien koma terbaring selama tujuh belas tahun. Khansa masih berharap pada keajaiban karena Allah selalu memberi kejutan. Tiba-tiba suara brangkar bergetar membuat perhatian Khansa teralihkan. Ia berbalik dan alangkah terkejutnya melihat apa yang terjadi pada tubuh Ezra.
Tak mampu berkata-kata, Khansa langsung berlari ke luar ruangan memanggil keluarga Ezra yang sedang menemui dokter untuk mengetahui perkembangan putra mereka.
"Abi, Umi."
Khansa memanggil dengan wajah cemas, suaranya pun bergetar. Jari telunjuknya mengarah ke ruangan Ezra berulang-ulang. Orang tua Ezra yang baru saja kembali dari ruangan dokter segera mendekat.
"Ada apa, Nak?"
Umi Salimah memegang ke dua pundak calon menantunya itu.
"I-tu, itu Ustad Ezra." Suara Khansa seakan tercekat, Abi El Haq pun segera memasuki ruangan.
"Astagfirullah."
Ia lantas segera memencet tombol darurat di sisi pembaringan Ezra. Ke dua tangannya memegang tubuh Ezra yang masih bergetar hebat di pembaringan. Umi Salimah pun masuk melihat keadaan di dalam, seketika ia menjerit.
"Ya Allah Nak, apa yang terjadi?"
Buliran bening lolos begitu saja mengalir di pipinya. Khansa pun tubuhnya melemas sama khawatirnya dengan orang tua calon suaminya. Ia duduk bersimpuh di lantai, kakinya tak sanggup untuk diajak berdiri. Bayangan tubuh Ezra yang bergetar di atas pembaringan membuatnya takut. Takut kehilangan lelaki yang dicintainya itu. Tidak lama dokter pun datang berserta dengan dua perawatnya.
"Bantu pegang tubuh pasien," perintahnya segera setelah melihat keadaan pasiennya.
Dua perawat itu bergerak. Satu memegang ke dua kaki dan menekannya cukup kuat agar tidak bergerak lagi, sedang satu lagi di bagian bahu Ezra. Abi El Haq juga turut dengan tetap memegang bagian perut sambil tak henti-hentinya dzikir ia ucapkan. Dokter pun memeriksa, dahinya mengeryit tak mengerti situasi apa yang sedang dialami pasiennya ini.
Tubuh Ezra bergetar seperti terkena goncangan hebat. Kuatnya getaran yang ditimbulkan hingga dua perawat, dokter serta Abi El cukup kewalahan memegang tubuh Ezra agar tidak terpental dari pembaringan.
Getaran hebat itu akhirnya berhenti tepat setelah sepuluh menit kemudian. Ezra pun kembali tenang di pembaringan. Seiring suara petir dan hujan juga mereda. Namun, alat-alat medis yang menjadi penyangga terlepas membuat perawat panik saat menyadarinya.
"Dokter, alat medis pasien terlepas." Perawat yang sadar itu lekas memberitahu. Semua pun tersadar saat melihat keadaan sekitar.
"Cepat bantu pasang,” perintah Dokter Jibril.
Dokter Jibril pun segera memasang alat medis seperti alat bantu pernafasan dan lainnya. Dengan nafas yang masih memburu, dua perawat dan satu dokter itu segera memasang kembali peralatan medis ke tubuh pasien. Sedangkan Abi El Haq mundur karena dia tak ingin menghambat pekerjaan petugas medis.
"Alhamdulillah Ya Allah," ucap Abi El penuh syukur.
Mengelap keringat yang mengalir di dahinya yang sempat mengucur. Tenaga tuanya cukup terkuras.
"Sudah semua terpasang?" tanya Dokter Jibril pada dua perawat.
"Sudah Dok. Detak jantung pasien pun kini normal kembali," jawab salah satu perawat.
Dokter Jibril memeriksa kembali, tak ingin ada kesalahan yang membuatnya menyesal di kemudian hari karena tidak maksimal dalam menjalankan tugasnya. Setelah dirasa semua terpasang dengan benar barulah ia memeriksa pasiennya kembali untuk memastikan apa yang terjadi di tubuh Ezra hingga terguncang dan gemetar seperti itu.
"Bagaimana kondisi putra kami, Dok?" Abi El menatap Dokter Jibril setelah selesai memeriksa Ezra.
Dokter Jibril terrdiam sejenak, lalu menghempuskan nafasnya agar kembali normal. Setelahnya barulah ia melihat pada Abi El.
"Ini keajaiban dan kekuatan doa Kyai. Kemampuan organ vital Ustad Ezra meningkat tidak seperti sebelumnya. Tetapi saya belum bisa memastikan penyebab tubuh pasien bergetar dan bergoncang seperti tadi."
"Apa itu artinya anak kami semakin baik dan bisa segera sadar dari komanya, Dokter?"
Kini Umi Salimah yang bertanya. Air matanya sudah ia hapus walau masih mengalir begitu penasaran sama seperti suaminya.
"Saya tidak bisa memastikan kapan pasien bisa sadar, tapi jika dilihat dari membaiknya organ-organ vital maka bisa dibilang masa kritis pasien sudah lewat."
"Alhamdulillah."
Serempak pasangan suami istri itu mengucap pujian dan bersujud di lantai. Sebagai tanda syukur dan ucapan terima kasih karena Allah menjawab do'a-do'a mereka.
"Terima kasih Dokter, terima kasih."
Abi El menyalami dokter dan dua perawat yang memang lelaki semua. Bahkan tak segan Kyai pondok pesantren modern itu memeluk ketiganya sebagai ungkapan bahagia. Sedangkan Umi Salimah tersenyum haru, setidaknya harapannya kini lebih besar dari sebelumnya. Mimpi putranya kembali bangun dari koma dan memeluknya itu membuat perasaan senangnya membuncah.
"Baiklah kalau begitu kami permisi dulu."
Abi El dan istrinya mengiyakan tak lupa ucapan terima kasih yang terus saja mereka sampaikan pada paramedis. Ikut mengiringi kepergian dua perawat dan dokter hingga sampai di depan pintu ruangan. Lalu ia melirik calon menantunya itu yang masih terduduk di lantai. Ia pun mendekat.
"Nak bangunlah, Ezra sudah membaik."
Khansa pun mendongak menatap wajah calon mertuanya. Lelaki itu mengangguk seolah menyakinkan kembali ucapannya.
"Benarkah Abi? Ustad Ezra akan bangun," tanya Khansa.
Ia masih tak percaya baginya kabar itu hanya mimpi.
"Benar Nak, semoga Allah segerakan kembalinya kesadaran calon suamimu itu. Sehingga ia bisa menikahimu secepatnya."
Perkataan Abi El membuat hati Khansa terenyuh haru. Ia tersenyum disela tangisnya dan entah kekuatan dari mana ia yang tadinya lemas seolah memiliki tenaga berlebih. Khansa lantas bangun lalu tanpa kata masuk ke ruangan Ezra diikuti Abi El di belakangnya. Umi Salimah tersenyum lalu bangkit dari tempat duduknya. Menyambut Khansa dengan pelukan bahagia.
"Dia membaik sayang, Insya Allah Ezra akan segera sadar," ucap Umi Salimah sambil menghapus air mata Khansa.
"Benarkah Umi?"
"Benar sayang."
Kedua calon menantu dan mertua itu kembali hanyut dalam tangis haru. Abi El pun tersenyum tanpa terasa air matanya pun menetes meski sudah ia tahan sejak tadi. Malu saja rasanya dilihat oleh calon menantu makanya ia segera menghapusnya sebelum dua wanita di hadapannya itu mengetahui.
"Boleh Khansa bicara dengan Ustad Ezra, Umi," pinta Khansa setelah keduanya sudah melepas pelukan.
"Boleh sayang, ayo Umi temani."
Khansa pun mengangguk, lantas keduanya duduk dipinggir brangkar dengan posisi bersebelahan. Khansa melihat raut wajah Ezra yang mulai cerah tak lagi sepucat sebelumnya.
"Ustad, ana Khansa calon istrimu. Bangunlah ya akhi, ana masih menunggu. Menunggu akhi untuk mengucapkan ijab qabul yang tertunda sehingga kita menjadi pasangan halal."
Khansa menarik nafasnya panjang, memberi jeda sebelum melanjutkan ucapannya.
"Tolong jangan membuat ana khawatir lagi, sungguh rasanya sakit di sini." Khansa menunjuk dadanya.
"Bangunlah dan tunaikan janjimu Akhi. Sungguh demi Allah ana sangat mencintaimu."
Abi El dan Umi Salimah saling lirik, haru akan kesetiaan Khansa. Walau sudah didesak kedua keluarga tapi gadis itu tetap kukuh menunggu Ezra, putra mereka.
"Semoga kesungguhanmu tidak sia-sia Nak, calon suamimu akan bangun dan menghalalkanmu," ucap Umi Salimah.
"Amiin," ucap Abi El dan Khansa lirih tapi masih terdengar.
Umi Salimah mengusap-usap punggung Khansa. Ia menyadari gadis ini ingin sekali menyentuh putranya. Tetapi pemahaman akan agamanya membuat dia menahan diri. Hanya menatap penuh harap dan menautkan jari-jemarinya sendiri.
"Sudah waktunya pulang Nak, nanti orang tuamu mencari dan menanyakan pada Abi."
Ingin sekali Khansa menolak perintah Abi El tapi ia tak berani. Walau hati dan raganya ingin di sana, di samping calon suaminya. Tetapi ucapan Abi El benar hari sudah senja ia harus kembali ke rumah karena sudah seharian ini ia berada di ruangan tersebut.
"Insyaa Allah akan Umi kabari jika Ezra sudah ada perkembangan lagi."
Wanita berusia lima puluhan tahun itu kembali mengelus punggung Khansa, menyalurkan ketenangan di hati calon menantunya.
"Benar Umi?"
Umi Salimah mengangguk dan tersenyum membawa tubuh Khansa kembali dalam pelukannya.
"Tenangkan pikiran dan banyak-banyaklah berdoa. Makanlah Nak, lihat tubuhmu semakin kurus. Ezra pasti akan sedih bila melihatmu seperti ini," ucap Umi berbisik.
"Iya Umi, terima kasih."
Khansa melerai pelukan, gadis itu lantas berpamitan untuk meninggalkan ruangan. Sesaat ia berhenti dan menoleh kembali ke belakang kala kakinya sudah sampai di pintu.
"Kau harus sembuh Mas, jika tidak sungguh aku marah padamu," ucap Khansa dalam hati.
Umi dan Abi sedih melihat pemandangan itu, keduanya pun melepaskan kepergian Khansa sampai di pintu. Hingga tubuh Khansa tak terlihat lagi, barulah keduanya masuk dan menutup pintu kembali.
"Dalamnya dia mencintai putra kita Abi, tak terbayangkan jika harapannya tak terwujud."
"Huss, istiqfar Umi. Anak kita Insyaa Allah sembuh. Jangan menyalahkan takdir, sebagai hambaNya kita hanya wajib ikhlas dan bertawaqal akan segala ketentuannya."
Keduanya kini pun lantas diam, duduk berdampingan di sebelah brangkar pembaringan Ezra. Menatap wajah tampan lelaki yang kini masih lemah tak berdaya. Pilu sekali rasanya hati ke dua pasangan itu, melihat putra satu-satunya saat ini. Tetapi keduanya berusaha berbesar hati karena bagi mereka tidak ada satupun yang bisa melawan takdir.
Larutnya mereka dalam memandang wajah sang putra, hingga tak menyadari jemari tangan kanan Ezra mulai bergerak. Apakah itu berarti tanda hidup Ezra segera kembali dari komanya?
"Tangannya bergerak, Bi." Umi Salimah yang begitu gembira melihat pergerakan jari jemari tangan Ezra. Abi El Haq pun memperhatikan ke dua tangan putranya, secara perlahan gerakan jari-jemari tangan itu kembali bergerak. "Alhamdulillah ya Allah," seru keduanya begitu senang. Hari yang dinanti-nantikan akan segera tiba, dimana Ezra akan kembali pulih dan bangun dari komanya begitu pikir mereka. "Panggil Dokter lagi Bi." Umi Salimah berseru pada suaminya agar perkembangan Ezra bisa dilihat segera oleh dokter dan mereka mendapat kabar baik selanjutnya. Abi El Haq pun bergegas memencet tombol di samping kanan brangkar. Lalu kembali mendekati istrinya yang memanggil-manggil nama putra mereka. "Nak bangun sayang, ini Umi dan Abi," ucap Umi Salimah. Ia meraih tangan Ezra yang masih bergerak lemah, mencium punggung, telapak tangannya berulang-ulang secara bergantian hingga air matanya juga ikut membasahi tangan Ezra. "Ezra, ini Abi Nak. Kamu mendengar Abi?" Kini giliran Abi El yang me
Ezra menatap wajah dokter yang lagi-lagi menanyakan namanya. Apakah dia benar-benar dianggap amnesia sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya begitu menunggu jawaban dari bibirnya.Haruskah aku memberitahukan namaku saat ini? Sebentar. Ezra kembali mengingat-ingat nama panggilan dan kata-kata asing yang ia dengar. Sejurus kemudian ekor matanya menoleh pada dua orang pasangan paruh baya itu. Wajahnya senang tapi ada gurat cemas terpancar begitu jelas. "Siapa mereka?" tunjuknya pada Abi El dan Umi Salimah.Alih-alih menjawab pertanyaan dokter tentang namanya. Ia ingin tau siapa orang yang sejak tadi menangisi dirinya, bahkan Ezra yakin dua orang itulah yang telah membisikkan kata-kata-kata asing di telinganya. saat ia berusaha membuka kedua matanya."Anda tidak ingat mereka?"Lagi Dokter Jibril yang bertanya, Ezra menggeleng. Bagaimana dia ingat pernah bertemu saja tidak, bukankah ini pertemuan pertamanya dengan orang-orang yang berada di ruangan ini, gerutunya tentu dalam hati."
Beberapa saat sebelumnya. "Abiii." Khansa yang baru saja naik ke kamarnya lantas turun kembali. Tanpa sadar sudah memanggil Abinya dengan berteriak karena terkejut akan kabar yang baru saja ia terima. Ia berlari-lari menuruni anak tangga mencari orang tuanya. "Astaqfirullahaladzhim itu kenapa putri kita teriak manggil-manggil Bi." Umi Hanan segera menggunakan jilbab yang baru saja dilepas, keduanya baru saja hendak tidur setelah berbicara panjang lebar dengan Khansa sepulangnya dari rumah sakit. Abi Hanan pun lekas bangkit dari pembaringan, keduanya lalu keluar kamar. Mereka terkejut saat melihat Khansa berlari langsung menubruk tubuh Abinya. "Abi, Mas Ezra Bi." Khansa menangis sesegukan, Abi Hanan melirik pada istrinya seolah bertanya tapi istrinya mengangkat kedua bahu tanda tak mengetahui apa-apa. Abi Hanan pun membelai rambut Khansa dengan lembut. "Ada kabar apa dengan Nak Ezra sampai-sampai putri Abi teriak-teriak begini," tanya Abi Hanan lembut, "Mas Ezra, Mas Ezra sa
Suara-suara asing terus saja terdengar, membuat tidur nyenyak Clay terganggu. Padahal ia masih sangat mengantuk. Belum lagi tubuhnya yang belum bisa digerakkan membuatnya banyak mengeluarkan kata makian sejak kemarin. Dirinya marah atas ketidakberdayaan dan keterasingan saat ini. Ia berjanji jika sembuh akan membalas perbuatan Mafia Nostra. Juga kelompok mafia lainnya yang bisa menjadi musuh dirinya di masa depan. "Shut up!" teriaknya. Membuat dua orang yang sedang membaca alqur'an itu terjengkit dengan serempak mengucapkan kalimat istiqfar. "Astaqfirullah, astaqfirullah, astaqfirulla, astaqfirullah," dengan tangan yang mengurut dada. Kompak keduanya melihat kearah Clay. Abi El bangun, Umi Salimah menahan tangan suaminya. Feelingnya kuat jika suaminya akan dimarahi kembali. Ia hanya ingin mencengah dan meminta suaminya membiarkan saja. Namun, Abi El menolak lewat sorot matanya seolah mengatakan dia anak kita. Membuat Umi Salimah melepaskan genggamannya. Abi El lantas berjalan mend
"Tembak." Suara seruan disusul tembakan beruntun dari jenis senjata AK-12 sontak membuat lelaki yang berpakaian serba hitam berusaha berlari. Ia dikejar oleh puluhan orang musuh-musuhnya bersenjata lengkap sedangkan dirinya hanya sendirian. Mencoba lari menghindar karena tidak memungkinkan baginya melawan. Dikarenakan tubuhnya belum pulih benar akibat tembakan dari aksi balas dendam dengan anggota Mafia Zetas sebelumnya yang dikalahkan oleh kelompok mafia pimpinan dirinya. Niat hati ingin menyendiri di sebuah villa pinggir kota untuk pemulihan kaki tidak menyangka Mafia Nostra menemukan dan menyerangnya. Satu bulan sebelumnya pagi hari dalam perjalanan pulang. Clay mengemudikan mobil dengan santai, semalam ia bersama anak buahnya berpesta. Setelah berhasil menaklukkan Mafia Zetas dan menguasai bisnis haramnya. Walau sang ketua berhasil kabur dan sekarang masih diburu olehnya, tetap saja ia merasa bahagia atas pencapaiannya sebagai mafia. Bisnis senjata dan kasino kini dikuasai s
Suara-suara asing terus saja terdengar, membuat tidur nyenyak Clay terganggu. Padahal ia masih sangat mengantuk. Belum lagi tubuhnya yang belum bisa digerakkan membuatnya banyak mengeluarkan kata makian sejak kemarin. Dirinya marah atas ketidakberdayaan dan keterasingan saat ini. Ia berjanji jika sembuh akan membalas perbuatan Mafia Nostra. Juga kelompok mafia lainnya yang bisa menjadi musuh dirinya di masa depan. "Shut up!" teriaknya. Membuat dua orang yang sedang membaca alqur'an itu terjengkit dengan serempak mengucapkan kalimat istiqfar. "Astaqfirullah, astaqfirullah, astaqfirulla, astaqfirullah," dengan tangan yang mengurut dada. Kompak keduanya melihat kearah Clay. Abi El bangun, Umi Salimah menahan tangan suaminya. Feelingnya kuat jika suaminya akan dimarahi kembali. Ia hanya ingin mencengah dan meminta suaminya membiarkan saja. Namun, Abi El menolak lewat sorot matanya seolah mengatakan dia anak kita. Membuat Umi Salimah melepaskan genggamannya. Abi El lantas berjalan mend
Beberapa saat sebelumnya. "Abiii." Khansa yang baru saja naik ke kamarnya lantas turun kembali. Tanpa sadar sudah memanggil Abinya dengan berteriak karena terkejut akan kabar yang baru saja ia terima. Ia berlari-lari menuruni anak tangga mencari orang tuanya. "Astaqfirullahaladzhim itu kenapa putri kita teriak manggil-manggil Bi." Umi Hanan segera menggunakan jilbab yang baru saja dilepas, keduanya baru saja hendak tidur setelah berbicara panjang lebar dengan Khansa sepulangnya dari rumah sakit. Abi Hanan pun lekas bangkit dari pembaringan, keduanya lalu keluar kamar. Mereka terkejut saat melihat Khansa berlari langsung menubruk tubuh Abinya. "Abi, Mas Ezra Bi." Khansa menangis sesegukan, Abi Hanan melirik pada istrinya seolah bertanya tapi istrinya mengangkat kedua bahu tanda tak mengetahui apa-apa. Abi Hanan pun membelai rambut Khansa dengan lembut. "Ada kabar apa dengan Nak Ezra sampai-sampai putri Abi teriak-teriak begini," tanya Abi Hanan lembut, "Mas Ezra, Mas Ezra sa
Ezra menatap wajah dokter yang lagi-lagi menanyakan namanya. Apakah dia benar-benar dianggap amnesia sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya begitu menunggu jawaban dari bibirnya.Haruskah aku memberitahukan namaku saat ini? Sebentar. Ezra kembali mengingat-ingat nama panggilan dan kata-kata asing yang ia dengar. Sejurus kemudian ekor matanya menoleh pada dua orang pasangan paruh baya itu. Wajahnya senang tapi ada gurat cemas terpancar begitu jelas. "Siapa mereka?" tunjuknya pada Abi El dan Umi Salimah.Alih-alih menjawab pertanyaan dokter tentang namanya. Ia ingin tau siapa orang yang sejak tadi menangisi dirinya, bahkan Ezra yakin dua orang itulah yang telah membisikkan kata-kata-kata asing di telinganya. saat ia berusaha membuka kedua matanya."Anda tidak ingat mereka?"Lagi Dokter Jibril yang bertanya, Ezra menggeleng. Bagaimana dia ingat pernah bertemu saja tidak, bukankah ini pertemuan pertamanya dengan orang-orang yang berada di ruangan ini, gerutunya tentu dalam hati."
"Tangannya bergerak, Bi." Umi Salimah yang begitu gembira melihat pergerakan jari jemari tangan Ezra. Abi El Haq pun memperhatikan ke dua tangan putranya, secara perlahan gerakan jari-jemari tangan itu kembali bergerak. "Alhamdulillah ya Allah," seru keduanya begitu senang. Hari yang dinanti-nantikan akan segera tiba, dimana Ezra akan kembali pulih dan bangun dari komanya begitu pikir mereka. "Panggil Dokter lagi Bi." Umi Salimah berseru pada suaminya agar perkembangan Ezra bisa dilihat segera oleh dokter dan mereka mendapat kabar baik selanjutnya. Abi El Haq pun bergegas memencet tombol di samping kanan brangkar. Lalu kembali mendekati istrinya yang memanggil-manggil nama putra mereka. "Nak bangun sayang, ini Umi dan Abi," ucap Umi Salimah. Ia meraih tangan Ezra yang masih bergerak lemah, mencium punggung, telapak tangannya berulang-ulang secara bergantian hingga air matanya juga ikut membasahi tangan Ezra. "Ezra, ini Abi Nak. Kamu mendengar Abi?" Kini giliran Abi El yang me
Di sebuah rumah sakit. Hujan deras dan petir sejak tadi tiada henti beriringan dan saling bersahut-sahutan. Tak jua reda sudah cukup lama. Seolah memberi tanda pada seorang gadis sedang menunggui lelaki yang berbaring koma sudah sebulan lamanya berada dalam duka. Gadis itu memandang ke arah luar jendela. Khansa namanya, calon istri lelaki yang mengalami kecelakaan mobil kala ia akan menggelar pernikahan dengannya. Gadis itu pun setia menemani hari-hari calon suaminya. Meski tak pernah menyentuh, tapi ia berharap dengan kehadirannya calon suaminya itu bisa merasakan dan bersemangat untuk bangun. Gadis itu sedih bukan karena pernikahannya saja yang tertunda atau bahkan terancam gagal akibat kecelakaan itu, tapi juga harapannya tipis. Setipis harapan hidup Syabil Ezra El Haq, begitu nama lengkap calon suaminya yang sering disapa Ezra atau Ustad Ezra. Membuat keluarga Kyai Hasal El Haq memintanya mencari lelaki lain. Karena menurut tim medis, hanya keajaiban Tuhan yang bisa membuat Ezr
"Tembak." Suara seruan disusul tembakan beruntun dari jenis senjata AK-12 sontak membuat lelaki yang berpakaian serba hitam berusaha berlari. Ia dikejar oleh puluhan orang musuh-musuhnya bersenjata lengkap sedangkan dirinya hanya sendirian. Mencoba lari menghindar karena tidak memungkinkan baginya melawan. Dikarenakan tubuhnya belum pulih benar akibat tembakan dari aksi balas dendam dengan anggota Mafia Zetas sebelumnya yang dikalahkan oleh kelompok mafia pimpinan dirinya. Niat hati ingin menyendiri di sebuah villa pinggir kota untuk pemulihan kaki tidak menyangka Mafia Nostra menemukan dan menyerangnya. Satu bulan sebelumnya pagi hari dalam perjalanan pulang. Clay mengemudikan mobil dengan santai, semalam ia bersama anak buahnya berpesta. Setelah berhasil menaklukkan Mafia Zetas dan menguasai bisnis haramnya. Walau sang ketua berhasil kabur dan sekarang masih diburu olehnya, tetap saja ia merasa bahagia atas pencapaiannya sebagai mafia. Bisnis senjata dan kasino kini dikuasai s