"Tangannya bergerak, Bi."
Umi Salimah yang begitu gembira melihat pergerakan jari jemari tangan Ezra. Abi El Haq pun memperhatikan ke dua tangan putranya, secara perlahan gerakan jari-jemari tangan itu kembali bergerak.
"Alhamdulillah ya Allah," seru keduanya begitu senang.
Hari yang dinanti-nantikan akan segera tiba, dimana Ezra akan kembali pulih dan bangun dari komanya begitu pikir mereka.
"Panggil Dokter lagi Bi."
Umi Salimah berseru pada suaminya agar perkembangan Ezra bisa dilihat segera oleh dokter dan mereka mendapat kabar baik selanjutnya. Abi El Haq pun bergegas memencet tombol di samping kanan brangkar. Lalu kembali mendekati istrinya yang memanggil-manggil nama putra mereka.
"Nak bangun sayang, ini Umi dan Abi," ucap Umi Salimah.
Ia meraih tangan Ezra yang masih bergerak lemah, mencium punggung, telapak tangannya berulang-ulang secara bergantian hingga air matanya juga ikut membasahi tangan Ezra.
"Ezra, ini Abi Nak. Kamu mendengar Abi?"
Kini giliran Abi El yang memanggil dengan lembut di samping telinga Ezra. Ia juga mengusap pelan rambut putranya itu.
"Bangunlah jika memang kamu sudah siap bangun sayang, sungguh kami sangat menantikan matamu untuk terbuka kembali."
Masih Abi El yang berbicara, tak henti-hentinya juga ia mengucap kalimat dzikir tahmid alhamdulilah ia ucapkan disela-sela bisikannya. Kadang berganti dengan kalimat tauhid laa ilaha illallah berulangkali. Membuat mata Ezra mengerjap-ngerjap. Berusaha untuk membuka mata karena mendengar suara-suara dan kalimat asing yang terdengar di telinganya.
"Lihat dia mau membuka mata, Bi."
Umi Salimah begitu gembira menunjuk pada mata sang putra yang bergerak perlahan. Seruan syukur terus diucapkan oleh pasangan paruh baya itu. Sambil terus memperhatikan perkembangan pergerakan di tubuh Ezra.
"Ayo Nak, buka mata. Lihat Abi dan Umi ada di sini."
Umi Salimah memberi semangat dengan menggenggam erat tangan putranya. Sesekali ia ciumi punggung dan telapak tangan yang pucat itu. Sedangkan Abi El terus membisikkan kalimat tauhid dan hauqalah secara bergantian. Sedang tangannya tak henti-henti mengusap puncak kepala Ezra.
"Lā haula wa lā quwwata illā billāh, laa ilaha illallah."
Sedangkan lelaki yang dipanggil itu perlahan tapi pasti berusaha untuk membuka mata. Awal
pandangannya terasa buram pekat, hanya nampak seperti bayangan yang bergerak-gerak. Disaat bersamaan dokter membuka pintu ruangan, membuat Abi dan Umi menjeda sejenak kegiatan mereka."Jemari tangan dan kelopak matanya bergerak Dokter, anak saya sadar," lapor Umi. Sembari menegakkan tubuhnya untuk mempersilakan dokter memeriksa keadaan Ezra.
Abi El merangkul pundak istrinya, membawanya mundur beberapa langkah menjauh dari brangkar dan dengan gerakan tangannya mempersilahkan dokter melakukan tugasnya.
"Apakah pasien sudah lama bergerak seperti ini, Kyai?" tanya Dokter Jibril sesaat setelah melihat pergerakan jemari tangan Ezra.
"Belum Dokter, sekitar lima menitan kurang lebih."
Dokter Jibril pun mengangguk lalu ia mulai memeriksa pasien komanya itu. Sedangkan Ezra berhasil membuka mata dengan sempurna. Lamat-lamat pandangan kabur itu berganti dengan lebih jelas. Melihat ke atas, depan, samping kanan dan kiri seolah sedang memindai tempat saat ini. Dokter Jibril seolah mengerti akan respon pasiennya.
"Anda berada di rumah sakit, Ustad."
Ezra masih diam, dahinya mengeryit melihat wajah-wajah yang nampak asing. Terutama pasangan paruh baya yang berada berdiri di sisi kirinya.
"Ustad Ezra, apa anda bisa mendengar suara saya?"
Ezra hanya mengangguk sebagai jawaban. Masih enggan membuka suara. Abi El dan Umi terlihat tersenyum walau kecemasan masih melanda keduanya.
"Ustad, apakah anda bisa melihat saya dengan jelas?" Lagi Ezra hanya mengangguk.
"Bisa anda bersuara?" Dokter Jibril terus bertanya untuk memastikan keadaan pasiennya.
"Ya," jawab Ezra singkat ditambah gumaman alhamdulillah dari orang-orang sekitar.
"Bisakah Ustad memberi tahu kami apa yang dirasakan oleh Ustad saat ini?"
Ezra nampak bingung, bukan karena pertanyaan dari dokter melainkan panggilan ustad sangat asing terdengar di telinganya. Tetapi mengapa berulang kali dokter memanggilnya dengan sebutan itu?
"Ustad Ezra," panggil dokter lagi.
"Ezra? Siapa itu?" tanyanya pada dokter.
Tentu jawaban Ezra membuat Abi El dan Umi Salimah terkejut. Keduanya memandang pada dokter dengan sejuta pertanyaan dalam benaknya. Namun, Dokter Jibril tersenyum dan tenang dalam menghadapi pasien yang baru bangun dari koma tersebut.
"Siapa nama Ustad?"
Sejenak Ezra terdiam mendengar pertanyaan dari dokter tersebut. Merasa aneh akan pertanyaan sang dokter. Bukankah setiap pasien yang datang di rumah sakit pasti akan tertulis data dengan lengkap beserta riwayat penyakitnya. Oh apakah mereka menyangka dia amnesia. Bahkan dia ingat dengan jelas kenapa sampai terbaring di rumah sakit saat ini, pikir Ezra dalam hati.
"Berapa lama saya terbaring?" tanyanya. Tanpa menjawab pertanyaan dokter sebelumnya.
"Satu bulan."
"Tidak mungkin,” sangkalnya cepat.
Ezra menyangkalnya karena merasa baru kemarin ia dilemparkan dari teping dan tubuhnya terbawa arus sungai. Masa ia sudah satu bulan saja, lalu dimana anggotanya, mengapa tidak ada satupun yang nampak. Apakah mereka langsung diserang oleh Nostra dan habis tanpa sisa? Banyak pertanyaan yang muncul dibenaknya. Ingin sekali bertanya tapi dia asing dengan orang-orang yang kini berada di sekitarnya.
"Apanya yang tidak mungkin, Ustad?" tanya Dokter lagi.
"Anda tidak berbohong, Dokter? Yakin saya sudah satu bulan terbaring di sini?"
Dokter mengangguk, Ezra melihat orang-orang di sekelilingnya meminta jawaban. Seolah mereka mengerti dan mengiyakan jawaban dokter. Membuatnya semakin bingung.
"Bisakah anda memberi tahu sekarang tanggal dan bulan berapa?" Ezra tak menyerah ia ingin memastikan sesuatu agar tidak salah.
Dokter pun membuka kalender di ponselnya dan memperlihatkan pada lelaki itu. Ia juga menjelaskan kapan ia datang ke rumah sakit. Ezra yang melihat itu menggelengkan kepala tak percaya. Lagi-lagi ia melihat sekelilingnya, seolah tak puas akan jawaban dari dokter.
Kenapa bisa begini? Bukankah tanggal segitu aku masih menyerang Zetas. Aku masih ingat dengan jelas tapi mengapa mereka memanggilku dengan nama berbeda. Apakah orang-orangku sengaja menyembunyikan identitasku agar tidak diburu musuh? Ezra bertanya-tanya dalam hatinya. Dokter Jibril untuk sementara diam menunggu Ezra berbicara. Siapa tau ia masih ingin bertanya karena terlihat jelas raut kebingungan di wajah pasiennya. Ia juga sedang menganalisa keadaan Ezra.
"Kaki saya terluka parah akibat peluru. Apa kaki saya diamputasi?"
Pertanyaan yang jauh dari dugaan semua orang. Membuat semuanya jelas terkejut bahkan isak tangis mulai terdengar dari Umi Salimah.
"Anak kita, Bi," adunya pada sang suami. Abi El hanya bisa merengkuh erat wanitanya. Belum bisa berkata apa-apa terkait apa yang sedang dialami oleh Ezra.
"Ustad yakin jika kakinya terkena tembakan peluru bukan karena yang lain?" Masih Dokter Jibril yang bertanya, semua yang di sana pun fokus ingin mendengar jawaban Ezra.
"Ya, bahkan mereka menembak saya di sini, di sini dan di sini."
Ezra menunjuk bagian-bagian tubuhnya yang terkena peluru, "saya tidak menyangka jika masih hidup setelah banyaknya peluru yang bersarang di tubuh dan dilemparkan dari atas tebing tinggi saat itulah kesadaran saya mulai menghilang."
Dokter terdiam sejenak mencoba menerka-nerka gejala penyakit apa yang sedang dialami pasiennya. Apakah pasiennya sedang mengalami gejala halusinasi akibat kecelakaan yang menimpanya?
"Siapa yang menyerang anda?"
'Aku tidak mungkin memberitahukan siapa yang menyerangku bukan. Jika aku beritahukan pada dokter dan orang-orang di sini bisa jadi mereka melaporkan pada musuh yang memburuku. Aku takkan mudah terperangkap untuk kedua kalinya,' gumam Ezra berkata dalam hati.
"Apakah anda tidak ingin mengatakannya pada kami?"
Ezra diam saja bahkan kini ia memalingkan wajahnya dari dokter yang sejak tadi terus bertanya padanya. Melihat itu Dokter Jibril menghela nafas. Ia lalu menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuh Ezra.
"Coba lihatlah kaki anda, keduanya masih utuh walau untuk berjalan anda perlu terapi. Sebulan penuh anda tidak bergerak menyebabkan otot-otot di tubuh menjadi kaku."
Ezra pun tertarik, ia mencoba untuk duduk tapi tubuhnya begitu kaku walau berusaha keras tapi tetap saja ia tak mampu.
"Jangan dipaksakan terlebih dulu, Ustad." Lalu dokter kembali mengambil ponsel dan memfoto ke dua kaki Ezra.
"Coba anda lihat," ujarnya memperlihatkan foto itu pada Ezra. Ezra pun melihat dengan seksama. Ekor matanya memicing melihat kedua kakinya.
"Tidak ada bekas tembakan," ucap dokter menarik ponselnya.
"Kaki anda mulus dan bagus, hanya ada memar di beberapa bagian tapi itupun sudah hilang."
"Tidak ada bekas peluru?" Ezra masih tak percaya jika kakinya tak terluka sama sekali.
"Tidak," jawab dokter sambil tersenyum.
"Sekarang bisakah saya bertanya pada anda Ustad?"
"Bukankah sejak tadi anda sudah banyak bertanya, Dokter?" jawab Ezra dengan ketus dan memperlihatkan tatapan tak suka. Tetapi lagi-lagi hanya dibalas senyuman dari dokter paruh baya itu.
"Siapa nama anda?" tanya Dokter Jibril.
Ezra menatap wajah dokter yang lagi-lagi menanyakan namanya. Apakah dia benar-benar dianggap amnesia sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya begitu menunggu jawaban dari bibirnya.Haruskah aku memberitahukan namaku saat ini? Sebentar. Ezra kembali mengingat-ingat nama panggilan dan kata-kata asing yang ia dengar. Sejurus kemudian ekor matanya menoleh pada dua orang pasangan paruh baya itu. Wajahnya senang tapi ada gurat cemas terpancar begitu jelas. "Siapa mereka?" tunjuknya pada Abi El dan Umi Salimah.Alih-alih menjawab pertanyaan dokter tentang namanya. Ia ingin tau siapa orang yang sejak tadi menangisi dirinya, bahkan Ezra yakin dua orang itulah yang telah membisikkan kata-kata-kata asing di telinganya. saat ia berusaha membuka kedua matanya."Anda tidak ingat mereka?"Lagi Dokter Jibril yang bertanya, Ezra menggeleng. Bagaimana dia ingat pernah bertemu saja tidak, bukankah ini pertemuan pertamanya dengan orang-orang yang berada di ruangan ini, gerutunya tentu dalam hati."
Beberapa saat sebelumnya. "Abiii." Khansa yang baru saja naik ke kamarnya lantas turun kembali. Tanpa sadar sudah memanggil Abinya dengan berteriak karena terkejut akan kabar yang baru saja ia terima. Ia berlari-lari menuruni anak tangga mencari orang tuanya. "Astaqfirullahaladzhim itu kenapa putri kita teriak manggil-manggil Bi." Umi Hanan segera menggunakan jilbab yang baru saja dilepas, keduanya baru saja hendak tidur setelah berbicara panjang lebar dengan Khansa sepulangnya dari rumah sakit. Abi Hanan pun lekas bangkit dari pembaringan, keduanya lalu keluar kamar. Mereka terkejut saat melihat Khansa berlari langsung menubruk tubuh Abinya. "Abi, Mas Ezra Bi." Khansa menangis sesegukan, Abi Hanan melirik pada istrinya seolah bertanya tapi istrinya mengangkat kedua bahu tanda tak mengetahui apa-apa. Abi Hanan pun membelai rambut Khansa dengan lembut. "Ada kabar apa dengan Nak Ezra sampai-sampai putri Abi teriak-teriak begini," tanya Abi Hanan lembut, "Mas Ezra, Mas Ezra sa
Suara-suara asing terus saja terdengar, membuat tidur nyenyak Clay terganggu. Padahal ia masih sangat mengantuk. Belum lagi tubuhnya yang belum bisa digerakkan membuatnya banyak mengeluarkan kata makian sejak kemarin. Dirinya marah atas ketidakberdayaan dan keterasingan saat ini. Ia berjanji jika sembuh akan membalas perbuatan Mafia Nostra. Juga kelompok mafia lainnya yang bisa menjadi musuh dirinya di masa depan. "Shut up!" teriaknya. Membuat dua orang yang sedang membaca alqur'an itu terjengkit dengan serempak mengucapkan kalimat istiqfar. "Astaqfirullah, astaqfirullah, astaqfirulla, astaqfirullah," dengan tangan yang mengurut dada. Kompak keduanya melihat kearah Clay. Abi El bangun, Umi Salimah menahan tangan suaminya. Feelingnya kuat jika suaminya akan dimarahi kembali. Ia hanya ingin mencengah dan meminta suaminya membiarkan saja. Namun, Abi El menolak lewat sorot matanya seolah mengatakan dia anak kita. Membuat Umi Salimah melepaskan genggamannya. Abi El lantas berjalan mend
"Tembak." Suara seruan disusul tembakan beruntun dari jenis senjata AK-12 sontak membuat lelaki yang berpakaian serba hitam berusaha berlari. Ia dikejar oleh puluhan orang musuh-musuhnya bersenjata lengkap sedangkan dirinya hanya sendirian. Mencoba lari menghindar karena tidak memungkinkan baginya melawan. Dikarenakan tubuhnya belum pulih benar akibat tembakan dari aksi balas dendam dengan anggota Mafia Zetas sebelumnya yang dikalahkan oleh kelompok mafia pimpinan dirinya. Niat hati ingin menyendiri di sebuah villa pinggir kota untuk pemulihan kaki tidak menyangka Mafia Nostra menemukan dan menyerangnya. Satu bulan sebelumnya pagi hari dalam perjalanan pulang. Clay mengemudikan mobil dengan santai, semalam ia bersama anak buahnya berpesta. Setelah berhasil menaklukkan Mafia Zetas dan menguasai bisnis haramnya. Walau sang ketua berhasil kabur dan sekarang masih diburu olehnya, tetap saja ia merasa bahagia atas pencapaiannya sebagai mafia. Bisnis senjata dan kasino kini dikuasai s
Di sebuah rumah sakit. Hujan deras dan petir sejak tadi tiada henti beriringan dan saling bersahut-sahutan. Tak jua reda sudah cukup lama. Seolah memberi tanda pada seorang gadis sedang menunggui lelaki yang berbaring koma sudah sebulan lamanya berada dalam duka. Gadis itu memandang ke arah luar jendela. Khansa namanya, calon istri lelaki yang mengalami kecelakaan mobil kala ia akan menggelar pernikahan dengannya. Gadis itu pun setia menemani hari-hari calon suaminya. Meski tak pernah menyentuh, tapi ia berharap dengan kehadirannya calon suaminya itu bisa merasakan dan bersemangat untuk bangun. Gadis itu sedih bukan karena pernikahannya saja yang tertunda atau bahkan terancam gagal akibat kecelakaan itu, tapi juga harapannya tipis. Setipis harapan hidup Syabil Ezra El Haq, begitu nama lengkap calon suaminya yang sering disapa Ezra atau Ustad Ezra. Membuat keluarga Kyai Hasal El Haq memintanya mencari lelaki lain. Karena menurut tim medis, hanya keajaiban Tuhan yang bisa membuat Ezr
Suara-suara asing terus saja terdengar, membuat tidur nyenyak Clay terganggu. Padahal ia masih sangat mengantuk. Belum lagi tubuhnya yang belum bisa digerakkan membuatnya banyak mengeluarkan kata makian sejak kemarin. Dirinya marah atas ketidakberdayaan dan keterasingan saat ini. Ia berjanji jika sembuh akan membalas perbuatan Mafia Nostra. Juga kelompok mafia lainnya yang bisa menjadi musuh dirinya di masa depan. "Shut up!" teriaknya. Membuat dua orang yang sedang membaca alqur'an itu terjengkit dengan serempak mengucapkan kalimat istiqfar. "Astaqfirullah, astaqfirullah, astaqfirulla, astaqfirullah," dengan tangan yang mengurut dada. Kompak keduanya melihat kearah Clay. Abi El bangun, Umi Salimah menahan tangan suaminya. Feelingnya kuat jika suaminya akan dimarahi kembali. Ia hanya ingin mencengah dan meminta suaminya membiarkan saja. Namun, Abi El menolak lewat sorot matanya seolah mengatakan dia anak kita. Membuat Umi Salimah melepaskan genggamannya. Abi El lantas berjalan mend
Beberapa saat sebelumnya. "Abiii." Khansa yang baru saja naik ke kamarnya lantas turun kembali. Tanpa sadar sudah memanggil Abinya dengan berteriak karena terkejut akan kabar yang baru saja ia terima. Ia berlari-lari menuruni anak tangga mencari orang tuanya. "Astaqfirullahaladzhim itu kenapa putri kita teriak manggil-manggil Bi." Umi Hanan segera menggunakan jilbab yang baru saja dilepas, keduanya baru saja hendak tidur setelah berbicara panjang lebar dengan Khansa sepulangnya dari rumah sakit. Abi Hanan pun lekas bangkit dari pembaringan, keduanya lalu keluar kamar. Mereka terkejut saat melihat Khansa berlari langsung menubruk tubuh Abinya. "Abi, Mas Ezra Bi." Khansa menangis sesegukan, Abi Hanan melirik pada istrinya seolah bertanya tapi istrinya mengangkat kedua bahu tanda tak mengetahui apa-apa. Abi Hanan pun membelai rambut Khansa dengan lembut. "Ada kabar apa dengan Nak Ezra sampai-sampai putri Abi teriak-teriak begini," tanya Abi Hanan lembut, "Mas Ezra, Mas Ezra sa
Ezra menatap wajah dokter yang lagi-lagi menanyakan namanya. Apakah dia benar-benar dianggap amnesia sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya begitu menunggu jawaban dari bibirnya.Haruskah aku memberitahukan namaku saat ini? Sebentar. Ezra kembali mengingat-ingat nama panggilan dan kata-kata asing yang ia dengar. Sejurus kemudian ekor matanya menoleh pada dua orang pasangan paruh baya itu. Wajahnya senang tapi ada gurat cemas terpancar begitu jelas. "Siapa mereka?" tunjuknya pada Abi El dan Umi Salimah.Alih-alih menjawab pertanyaan dokter tentang namanya. Ia ingin tau siapa orang yang sejak tadi menangisi dirinya, bahkan Ezra yakin dua orang itulah yang telah membisikkan kata-kata-kata asing di telinganya. saat ia berusaha membuka kedua matanya."Anda tidak ingat mereka?"Lagi Dokter Jibril yang bertanya, Ezra menggeleng. Bagaimana dia ingat pernah bertemu saja tidak, bukankah ini pertemuan pertamanya dengan orang-orang yang berada di ruangan ini, gerutunya tentu dalam hati."
"Tangannya bergerak, Bi." Umi Salimah yang begitu gembira melihat pergerakan jari jemari tangan Ezra. Abi El Haq pun memperhatikan ke dua tangan putranya, secara perlahan gerakan jari-jemari tangan itu kembali bergerak. "Alhamdulillah ya Allah," seru keduanya begitu senang. Hari yang dinanti-nantikan akan segera tiba, dimana Ezra akan kembali pulih dan bangun dari komanya begitu pikir mereka. "Panggil Dokter lagi Bi." Umi Salimah berseru pada suaminya agar perkembangan Ezra bisa dilihat segera oleh dokter dan mereka mendapat kabar baik selanjutnya. Abi El Haq pun bergegas memencet tombol di samping kanan brangkar. Lalu kembali mendekati istrinya yang memanggil-manggil nama putra mereka. "Nak bangun sayang, ini Umi dan Abi," ucap Umi Salimah. Ia meraih tangan Ezra yang masih bergerak lemah, mencium punggung, telapak tangannya berulang-ulang secara bergantian hingga air matanya juga ikut membasahi tangan Ezra. "Ezra, ini Abi Nak. Kamu mendengar Abi?" Kini giliran Abi El yang me
Di sebuah rumah sakit. Hujan deras dan petir sejak tadi tiada henti beriringan dan saling bersahut-sahutan. Tak jua reda sudah cukup lama. Seolah memberi tanda pada seorang gadis sedang menunggui lelaki yang berbaring koma sudah sebulan lamanya berada dalam duka. Gadis itu memandang ke arah luar jendela. Khansa namanya, calon istri lelaki yang mengalami kecelakaan mobil kala ia akan menggelar pernikahan dengannya. Gadis itu pun setia menemani hari-hari calon suaminya. Meski tak pernah menyentuh, tapi ia berharap dengan kehadirannya calon suaminya itu bisa merasakan dan bersemangat untuk bangun. Gadis itu sedih bukan karena pernikahannya saja yang tertunda atau bahkan terancam gagal akibat kecelakaan itu, tapi juga harapannya tipis. Setipis harapan hidup Syabil Ezra El Haq, begitu nama lengkap calon suaminya yang sering disapa Ezra atau Ustad Ezra. Membuat keluarga Kyai Hasal El Haq memintanya mencari lelaki lain. Karena menurut tim medis, hanya keajaiban Tuhan yang bisa membuat Ezr
"Tembak." Suara seruan disusul tembakan beruntun dari jenis senjata AK-12 sontak membuat lelaki yang berpakaian serba hitam berusaha berlari. Ia dikejar oleh puluhan orang musuh-musuhnya bersenjata lengkap sedangkan dirinya hanya sendirian. Mencoba lari menghindar karena tidak memungkinkan baginya melawan. Dikarenakan tubuhnya belum pulih benar akibat tembakan dari aksi balas dendam dengan anggota Mafia Zetas sebelumnya yang dikalahkan oleh kelompok mafia pimpinan dirinya. Niat hati ingin menyendiri di sebuah villa pinggir kota untuk pemulihan kaki tidak menyangka Mafia Nostra menemukan dan menyerangnya. Satu bulan sebelumnya pagi hari dalam perjalanan pulang. Clay mengemudikan mobil dengan santai, semalam ia bersama anak buahnya berpesta. Setelah berhasil menaklukkan Mafia Zetas dan menguasai bisnis haramnya. Walau sang ketua berhasil kabur dan sekarang masih diburu olehnya, tetap saja ia merasa bahagia atas pencapaiannya sebagai mafia. Bisnis senjata dan kasino kini dikuasai s