Raika meringis kala menatap pantulan bayang dirinya di cermin. Bawah matanya terlihat agak menghitam akibat kurang tidur. Salahkan Aidan, karena lelaki itu sudah berhasil membuatnya sulit tidur.
Setiap ucapan Aidan kembali terngiang di kepalanya kala Raika akan memejamkan mata. Belum lagi obrolannya dengan Khalif dan rencana Raika untuk menjawab ajakan kencan Aidan. Berbagai rekayasa berseliweran di pikiran Raika. Ia benar-benar tidak tahu manakah keputusan yang harus ia ambil.
“Tutupin aja, deh.” Raika mengambil concelar di meja rias dan mengoleskannya sedikit di bawah mata.
Setelah selesai Raika turun untuk sarapan. Suasana di ruang makan sedikit sepi saat ini. Rama sudah pergi subuh untuk mengantarkan rumput sintetis keluar kota. Rasya masih menjalankan shift malamnya dan belum pulang. Hanya ada Raihan di sana dengan kaos hitam polos juga celana pendeknya.
“Kamu dandan, Dek?” tanya Shinta menyadari ada yang berbeda dari
Aidan terdiam mendengar ucapan Raika yang sedikit tidak masuk akal baginya. Apakah ini cara perempuan itu menolaknya secara halus, atau- “Kamu bercanda, kan?” tanya Aidan sedikit memaksakan senyumnya. Namun, raut wajah Raika tidak berubah. Perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya dua kali. Raika tahu, ucapannya barusan tidak bisa dipercaya oleh Aidan. Lelaki itu bahkan mungkin merasa takut setelah mendengar bagaimana sikap ketiga kakaknya. Tapi, Raika memang harus memberitahu lelaki ini sebelum semuanya terlanjur jauh. Apalagi ketika nanti perasaannya semakin dalam pada Aidan. Belum lagi status lelaki di depannya ini. Kepercayaan diri Raika bisa terjun jika mengingatnya. “Saya..nggak bermaksud bikin rumit. Tapi, kenyataannya emang seperti itu. Dan kalau emang Pak Aidan serius dengan ucapannya kemarin, berarti Pak Aidan harus siap menghadapi kakak-kakak saya.” Aidan masih mencerna ucapan Raika. Lelaki itu tentu serius dengan ucapanny
Raika bersenandung pelan sambil memotong sayur untuk pelengkap mie rebusnya. Suasana hati Raika sedang baik dua hari ini. Apalagi jika bukan karena hubungannya dengan Aidan yang sudah berubah. Meski belum berstatus pacaran, Raika dan Aidan berkomitmen untuk menjalankan semua ini dengan serius.“Ada yang lagi seneng, nih,” kata Shinta melihat anak bungsunya bernyanyi di dapur.“Eh, Ibu.” Raika menyeringai malu sembari memasukkan sayur ke dalam panci berisi air mendidih.“Punya pacar, ya? Mukanya beda banget,” tebak Shinta asal.“Eh, kok Ibu tahu?!” tanya Raika terkejut.“EH? Bener, Dek?” Shinta ikut terkejut.“Eh?”“Eh?”Raika melirik kesana kemari khawatir. Takut ketiga kakaknya mendengar percakapannya dengan Shinta. Saat ini ketiga kakaknya sedang berkumpul di ruang tamu. Dengan langkah tanpa suara Raika menarik sa
Aidan menatap Raika yang sedang asyik dengan makanannya. Lelaki itu tersenyum melihat pemandangan di depannya. Semakin mengenal gadis ini membuat Aidan semakin merasa jika Raika memang perempuan yang selama ini ia cari. Perempuan itu terkadang masih malu-malu menatapnya, namun dari beberapa hal Aidan sudah bisa menilai seperti apa Raika. Perempuan yang duduk di depannya ini ternyata teman yang asyik untuk diajak ngobrol. Raika memiliki wawasan yang cukup luas. Aidan seperti tidak pernah kehabisan topik pembicaraan bersama Raika. Dan siapa sangka, ternyata Raika juga pandai membuat lelucon. Dari yang tidak disangka Aidan sampai ke hal yang receh sekalipun. Karena hubungan mereka masih disembunyikan dari ketiga kakaknya, atas permintaan Raika. Keduanya tidak pernah bertemu pada akhir pekan. Hanya pada jam-jam makan siang seperti ini keduanya bisa leluasa mengobrol. “Hari ini Aa nggak dinas luar?” tanya gadis itu setelah menyelesaikan makannya. Panggilan
Inilah yang ditakutkan oleh Raika. Untuk sesaat tubuh Raika membeku, apakah ini akhir hubungannya dengan Aidan? Raika menolehkan kepalanya ke kanan, begitu pun dengan Aidan. "E..eh ibu," sahut Raika menyeringai gugup dan setengah takut. Shinta mendekati anaknya. Matanya menyipit kala mengetahui jika anaknya tidak pulang dengan motornya, melainkan dengan seorang lelaki. "Kok Adek pulangnya nggak pake motor?" tanya Shinta saat jarak mereka sudah dekat. Raika mendeham pelan sebelum menjawab pertanyaan ibunya. Jujur saja, ia gugup karena sang ibu bertemu langsung dengan Aidan. Atau haruskah ia bersyukur karena yang bertemu adalah ibunya? Dan bukan salah satu dari ketiga kakaknya? "Motor aku mogok, Bu, nggak mau nyala. Tadi dibawa ke bengkel dan jadinya aku dianter,” tutur Raika pada Shinta. "Oh, gitu. Aduhjang, jadi ngerepotinatuhanak ibunya." Shinta kini beralih pada Aidan yang tersenyum d
Motor Raika sudah selesai diperbaiki. Dan seperti ucapan Raihan kemarin, lelaki itu mengantar adiknya sekaligus membayar perbaikan motor sang adik. Padahal Raika bisa membayarnya, tetapi lelaki bertubuh kekar itu memaksa untuk membayarnya. “Udah sana, Kak Rai pulang. Aku bisa bawa motor sendiri, kok,” ujar Raika ketika Raihan ingin membawa motor adiknya ke halaman parkir PDP. “Udah dibayarin sekarang malah ngusir.” “Ih, yang maksa bayarin kan Kak Rai sendiri,” kilahnya membela diri. Raihan menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena sang adik benar. “Ya udah, Kakak pulang. Kamu pulangnya hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa kabarin,” ucap Raihan seraya menaiki motor besarnya. “Iya, Kak Rai juga hati-hati di jalan.” Gadis itu menghampiri kakak keduanya dan menyalami punggung tangan kakaknya. Raika mengusap dadanya lega ketika motor Raihan sudah pergi. Raika tidak ingin Raihan mengantar ke kantor, karena kemungkinan untuk bertemu den
“Jadi, alasan kakak-kakak kamu nggak ngizinin kamu naksir temennya itu apa?” Raika kembali menerawang mengingat ucapan Rasya yang tidak akan ia lupakan. Gadis itu menatap Aidan dan berkata, “Kata Kak Rasya itu terlalu beresiko. Katanya misal aku jadian sama salah satu temen kakak, terus aku putus atau aku sakit hati sama mereka. Otomatis kakak-kakak bakal marah atau berantem demi aku. Dan itu bisa jadi ngerusak hubungan pertemanan yang ada. Jadi, lebih baik cari yang nggak ada hubungannya dengan mereka. Karena ketika ada sesuatu terjadi sama aku, resiko bertemu lagi bakal nggak ada. Coba A, masuk di akal nggak?” Aidan hanya menganggukan kepala mencoba mencerna ucapan Raika. Sepertinya kakak-kakak Raika memang mencoba memperkecil kemungkinan adiknya patah hati. Sampai hal sekecil itu pun mereka pikirkan. Yang Aidan ingin tahu, apa yang menyebabkan ketiga kakaknya sangat protektif pada Raika? Setidaknya ada pemicu untuk hal itu, bukan? Tidak hanya sebagai tanda sayang
Tiga hari berlalu sejak Raika resmi menjadi kekasih Aidan. Sehari setelah menjadi sepasang kekasih, Aidan memberi Raika kalung berliontin permata kecil. Raika sempat menolak, karena menurut gadis itu Aidan terlalu berlebihan. Namun, bagi Aidan ini adalah bentuk rasa bahagianya. “Malah awalnya aku mau ngasih kamu cincin, Bae,” ujar lelaki itu membuat Raika membulatkan matanya. Lelaki itu terkekeh dalam hati karena berhasil menjahili pacarnya. “Tapi aku tahu itu bakal bikin kakak-kakak kamu curiga. Jadi, kalung adalah pilihan yang aman.” Raika segera bernapas lega karena Aidan tidak melakukan tindakan konyol itu. Bisa-bisa semua menjadi runyam sebelum Raika memiliki rencana pada ketiga kakaknya. Setidaknya, saat ini Raika ingin menikmati momen bahagianya bersama Aidan. “Makasih, ya A, untuk kalungnya.” Raika berucap seraya menatap kalung indah yang melingkari lehernya. Gadis itu masih tidak percaya jika Aidan meresmikan hubungan mereka. Bahkan
Terdengar tawa renyah dari seberang sana. Raika sebenarnya kesal, tapi entah kenapa tawa itu malah menular padanya."Aa, ih! Malah ketawa. Aku di sini ketar-ketir takut ketahuan," pekik Raika dengan suara pelan menahan tawa. Namun, masih bisa didengar oleh Aidan."Abisnyaaku belumngasihsalamudah disambaraja.Manaaku dipanggil Bu Dina lagi," balas Aidan disela-sela tawanya yang mereda.Raika menghirup udara dengan rakus karena gugup. Barusan itu seperti menghindar dari bom yang siap meledak. Bisa-bisanya Aidan meneleponnya di saat dirinya sedang bersama keluarganya. Ya, Aidan memang tidak tahu, tetapi jika Aidan mengirim pesan padanya kemungkinan Raika bisa menghindar. Ia yakin, saat ini ketiga kakaknya sedang curiga padanya.“Aku takut ketahuan A, apalagi Kak Rama kepo banget pengen tahu siapa yang nelepon,” tutur Raika merasakan detak jantungnya sudah normal.“