Zayden kembali menunjukkan smirknya, dia memegang dagu Naura dengan jari telunjuknya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Naura.Melihat Zayden yang terus mendekatkan wajahnya padanya, Naura langsung menutup kedua matanya. Dia tahu, apa yang akan Zayden lakukan.“Kau, bodoh!” bisik Zayden pada telinga Naura.Sontak, Naura langsung membuka kembali kedua matanya itu saat mendengar bisikan Zayden yang mengejutkannya. Dia menatap terkejut ke arah Zayden yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan dingin. Padahal, tadi dia kira Zayden akan menciumnya. Tapi, dia malah berbisik dan mengatakan dirinya bodoh.Zayden tiba-tiba berdiri, saat ini ekspresi wajahnya tampak sangat mengerikan. Itu adalah ekspresi dimana dia sedang sangat marah, dan bersiap untuk melampiaskan amarahnya pada orang yang sudah menyulut rasa kesalnya.Naura menciut, melihat Zayden yang tampak sangat mengerikan saat ini, membuat rasa takutnya muncul.“Tu-tuan, A-anda mau apa?” tanyanya dengan terbata-bata.“Memata
Waktu sudah menunjukkan pukul 01.03 dini hari. Namun, Zayden tak kunjung pulang. Entah ini suatu kebaikan atau keburukan untuk Aara, yang jelas saat ini dia tidak sedang memikirkan Zayden. Di dalam pikirannya saat ini, hanya kehidupan gelapnya yang membuatnya sampai buta dan tidak bisa lagi melihat adanya kebahagiaan. Padahal bulan bersinar dengan terangnya di atas langit, tapi kenapa bulan itu hanya menerangi gelapnya bumi tapi tidak dengan hidupnya, padahal bintang berkerlip-kerlip dengan sangat indahnya, tapi kenapa bintang-bintang itu hanya memberikan keindahan pada langit tapi tidak pada hidupnya. Kenapa semua ini terasa tidak adil, kenapa penderitaan yang tidak dia ketahui sebabnya terus menghalangi cahaya yang ingin masuk ke dalam hidupnya. Kenapa semuanya menjadi seperti ini, apakah Tuhan tidak mau lagi memberinya cahaya walaupun hanya sedikit. Sebenci itukah Tuhan padanya, memangnya apa salahnya. Aara kembali menyeka air matanya yang terus turun membasahi pipinya. Entah bera
“Heuummm.” Aara merenguh saat dirinya mulai bangun dari tidurnya dan membuka matanya dengan perlahan.Deg!Dia tersentak dan langsung terbangun saat matanya menangkap sosok Zayden yang sudah berada di depannya sembari memperhatikannya dengan intens.Glek!Kegugupan mulai menjalar ke tubuh Aara, dia berpikir apa yang akan Zayden lakukan lagi padanya.Aara terlihat sedih, kala dia mengingat lagi apa yang Zayden katakan semalam.Dia sama sekali tidak pernah menyangka, jika Zayden akan memiliki kesalahpahaman yang sebesar itu padanya.“Se-selamat pagi Tuan,” sapanya, sekaligus untuk menghilangkan rasa gugupnya.“Kuberi waktu 5 menit, bersiap-siaplah dan ikut denganku!” titah Zayden.“Hah?” Aara tersentak, saat ini kesadarannya bahkan masih belum sepenuhnya terkumpul. Tapi, apa maksud dari perintahnya itu.‘Dia mau mengajakku kemana lagi,' pikirnya. “Kemana, Tuan?” tanyanya kemudian.“4 menit 30 detik lagi. Atau kau tidak perlu bersiap-siap dulu, kalau begitu baiklah. Aku tidak
“Ikuti saja aku, dan jangan banyak bertanya!” ucap Zayden dengan suaranya yang benar-benar dingin.Dengan masih menahan nafasnya, Aara pun mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti atas apa yang Zayden tadi katakan padanya. Zayden akhirnya melepaskan Aara, dan melangkahkan kakinya memasuki rumah sakit itu.“Hufffttt.” Tampak helaan nafas terdengar dari mulut Aara, karena tadi jantungnya hampir saja terlepas dari tempatnya karena rasa gugupnya itu.“Cepat ikutilah Tuan, Nona, atau beliau akan marah lagi!” seru seseorang dari arah belakang Aara yang mengagetkannya. Dia lalu menoleh, ternyata di sana sudah ada Sam yang sedang menatapnya dengan tak kalah dingin juga.Melihat itu, Aara langsung memegang tengkuknya, karena dia merasa kengerian yang besar sedang menyelimutinya. “Situasi apa ini sebenarnya, mereka berdua kenapa menatapku dengan derajat kedinginan yang semakin minus,” gumamnya.Aara akhirnya mengikuti Zayden dari belakangnya, begitu pun dengan Sam. Dia mengikuti Zay
Zayden pun berdiri. Dia memegang pergelangan tangan Aara dan menariknya keluar dari ruangan itu. Genggaman itu begitu kuatnya, hingga membuat Aara kesakitan.Ceklek!Zayden membuka pintu ruangan itu, dan menghampiri Sam yang berdiri di sana. “Sam, tebus semua yang tertulis di sini!” serunya sembari menyerahkan kertas resep yang tadi ditulis oleh dokter Nita.“Baik Tuan.” Sam membungkuk, dan pergi ke apotek rumah sakit untuk menebus resep itu. Berbarengan dengan kepergian Sam, dari kejauhan tampak David yang sedang berjalan menuju ke arah Zayden dan Aara. Saat melewati Sam, dia juga tampak menyapanya. Namun, sepertinya Sam tidak menghiraukannya dan tetap meneruskan langkahnya.“Zay, apa pemeriksaannya sudah selesai?” tanya David, saat dia sudah berada di dekat Zayden dan Aara.“Sudah,” jawab Zayden dengan malas. “Dari mana saja kau, kenapa tidak menyambutku?!” tanyanya kemudian.“Ahh, itu tadi aku sedang memeriksa pasien,” jawab David. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada Aar
Mobil mewah berwarna hitam milik Zayden itu tampak memasuki pintu gerbang mansionnya. Mobil itu melaju di halaman mansion dengan kecepatan sedang dan berhenti tepat di depan teras mansion.“Keluar!” seru Zayden pada Aara.“Apa Anda tidak akan kelu ....” Ucapan Aara terhenti saat melihat tatapan dingin Zayden padanya. “Baik saya akan keluar,” lanjutnya kemudian. Karena hal itu lebih baik dari pada meneruskan pertanyaan yang tadi hendak dia tanyakan.Ceklek, dug!Aara membuka pintu mobilnya dan langsung menutupnya lagi dengan pelan setelah dia keluar dari sana. Dia berdiri di samping mobil Zayden, dengan wajah menunduk“Kalian sudah pulang?”Suara itu pun membuat Aara seketika menoleh, bukan hanya dia. Tapi Zayden yang berada di dalam mobil pun tampak mengarahkan pandangannya pada seseorang yang datang dari arah belakang Aara. Hingga membuatnya mengurungkan niat untuk pergi dari sana.“Mama,” gumam Aara.“Zay, kau tidak turun?” tanyanya.Zayden pun menurunkan kaca jendelanya.
Alya terlihat duduk di atas sofa sendirian, di tangannya ada sebuah pas foto keluarga kecilnya. Dimana di sana tertera dirinya, Zion dan juga Zayden ketika berusia 5 tahun. Dengan air mata yang menetes, Alya menyentuh lembut foto itu. Terutama, ketika tangannya itu menyentuh sosok Zayden kecil yang tersenyum dengan lebarnya. Keluarganya yang dulu sangat bahagia, kini sudah tidak ada lagi. Suaminya yang sangat dia cintai, dan berjanji untuk selalu bersamanya justru mengkhianatinya dan memiliki wanita lain. Sekarang, putranya. Putra yang amat disayanginya. Putra yang dulu selalu ingin dimanja olehnya juga telah berubah. Dia bahkan mengatakan dengan lantang, jika dia sudah dewasa dan tidak ingin dirinya mencampuri urusannya lagi. Alya merindukan masa itu, masa di mana dia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa semua ini akan terjadi. Tatapannya itu lalu mengarah pada potret dirinya sendiri, dia melihat ke arah perutnya. Karena ketika foto ini diambil, dia tengah mengandung anak ke
Di sebuah rumah mewah yang tak kalah besar dari mansion Zayden. Aland tampak menuangkan wine ke dalam gelas berukuran sedang sembari terus menunjukkan senyum misteriusnya.“Sejak dari pesta itu, aku terus mengawasi pergerakan Zayden dan juga ayahnya. Tidak kusamgka hal seperti ini akan terjadi, ini sangat menarik. Sekaligus mempermudahku untuk membalas dendam.” Aland semakin melebarkan senyumnya, dia lalu menggeleng karena merasa lucu dengan pikirannya saat ini.“Aku pikir dia sangat pintar, dia terkenal jenius dulu. Tidak kusamgka, ternyata dia sangat bodoh. Bagaimana dia bisa menganggap wanita itu sebagai selingkuhan ayahnya, dan menikahinya untuk balas dendam. Haha, bukankah itu sangat lucu?” lanjutnya.Aland mengambil gelas wine yang sudah terisi itu dan meminumnya seteguk. Dia lalu duduk di kursi yang mengarah kepada jendela kaca besar di rumahnya dan menyandarkan punggungnya sembari menikmati pemandangan yang terlihat dari jendela kacanya itu.“Menurutku, kau tidak cerdas Za