“Ikuti saja aku, dan jangan banyak bertanya!” ucap Zayden dengan suaranya yang benar-benar dingin.Dengan masih menahan nafasnya, Aara pun mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti atas apa yang Zayden tadi katakan padanya. Zayden akhirnya melepaskan Aara, dan melangkahkan kakinya memasuki rumah sakit itu.“Hufffttt.” Tampak helaan nafas terdengar dari mulut Aara, karena tadi jantungnya hampir saja terlepas dari tempatnya karena rasa gugupnya itu.“Cepat ikutilah Tuan, Nona, atau beliau akan marah lagi!” seru seseorang dari arah belakang Aara yang mengagetkannya. Dia lalu menoleh, ternyata di sana sudah ada Sam yang sedang menatapnya dengan tak kalah dingin juga.Melihat itu, Aara langsung memegang tengkuknya, karena dia merasa kengerian yang besar sedang menyelimutinya. “Situasi apa ini sebenarnya, mereka berdua kenapa menatapku dengan derajat kedinginan yang semakin minus,” gumamnya.Aara akhirnya mengikuti Zayden dari belakangnya, begitu pun dengan Sam. Dia mengikuti Zay
Zayden pun berdiri. Dia memegang pergelangan tangan Aara dan menariknya keluar dari ruangan itu. Genggaman itu begitu kuatnya, hingga membuat Aara kesakitan.Ceklek!Zayden membuka pintu ruangan itu, dan menghampiri Sam yang berdiri di sana. “Sam, tebus semua yang tertulis di sini!” serunya sembari menyerahkan kertas resep yang tadi ditulis oleh dokter Nita.“Baik Tuan.” Sam membungkuk, dan pergi ke apotek rumah sakit untuk menebus resep itu. Berbarengan dengan kepergian Sam, dari kejauhan tampak David yang sedang berjalan menuju ke arah Zayden dan Aara. Saat melewati Sam, dia juga tampak menyapanya. Namun, sepertinya Sam tidak menghiraukannya dan tetap meneruskan langkahnya.“Zay, apa pemeriksaannya sudah selesai?” tanya David, saat dia sudah berada di dekat Zayden dan Aara.“Sudah,” jawab Zayden dengan malas. “Dari mana saja kau, kenapa tidak menyambutku?!” tanyanya kemudian.“Ahh, itu tadi aku sedang memeriksa pasien,” jawab David. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada Aar
Mobil mewah berwarna hitam milik Zayden itu tampak memasuki pintu gerbang mansionnya. Mobil itu melaju di halaman mansion dengan kecepatan sedang dan berhenti tepat di depan teras mansion.“Keluar!” seru Zayden pada Aara.“Apa Anda tidak akan kelu ....” Ucapan Aara terhenti saat melihat tatapan dingin Zayden padanya. “Baik saya akan keluar,” lanjutnya kemudian. Karena hal itu lebih baik dari pada meneruskan pertanyaan yang tadi hendak dia tanyakan.Ceklek, dug!Aara membuka pintu mobilnya dan langsung menutupnya lagi dengan pelan setelah dia keluar dari sana. Dia berdiri di samping mobil Zayden, dengan wajah menunduk“Kalian sudah pulang?”Suara itu pun membuat Aara seketika menoleh, bukan hanya dia. Tapi Zayden yang berada di dalam mobil pun tampak mengarahkan pandangannya pada seseorang yang datang dari arah belakang Aara. Hingga membuatnya mengurungkan niat untuk pergi dari sana.“Mama,” gumam Aara.“Zay, kau tidak turun?” tanyanya.Zayden pun menurunkan kaca jendelanya.
Alya terlihat duduk di atas sofa sendirian, di tangannya ada sebuah pas foto keluarga kecilnya. Dimana di sana tertera dirinya, Zion dan juga Zayden ketika berusia 5 tahun. Dengan air mata yang menetes, Alya menyentuh lembut foto itu. Terutama, ketika tangannya itu menyentuh sosok Zayden kecil yang tersenyum dengan lebarnya. Keluarganya yang dulu sangat bahagia, kini sudah tidak ada lagi. Suaminya yang sangat dia cintai, dan berjanji untuk selalu bersamanya justru mengkhianatinya dan memiliki wanita lain. Sekarang, putranya. Putra yang amat disayanginya. Putra yang dulu selalu ingin dimanja olehnya juga telah berubah. Dia bahkan mengatakan dengan lantang, jika dia sudah dewasa dan tidak ingin dirinya mencampuri urusannya lagi. Alya merindukan masa itu, masa di mana dia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa semua ini akan terjadi. Tatapannya itu lalu mengarah pada potret dirinya sendiri, dia melihat ke arah perutnya. Karena ketika foto ini diambil, dia tengah mengandung anak ke
Di sebuah rumah mewah yang tak kalah besar dari mansion Zayden. Aland tampak menuangkan wine ke dalam gelas berukuran sedang sembari terus menunjukkan senyum misteriusnya.“Sejak dari pesta itu, aku terus mengawasi pergerakan Zayden dan juga ayahnya. Tidak kusamgka hal seperti ini akan terjadi, ini sangat menarik. Sekaligus mempermudahku untuk membalas dendam.” Aland semakin melebarkan senyumnya, dia lalu menggeleng karena merasa lucu dengan pikirannya saat ini.“Aku pikir dia sangat pintar, dia terkenal jenius dulu. Tidak kusamgka, ternyata dia sangat bodoh. Bagaimana dia bisa menganggap wanita itu sebagai selingkuhan ayahnya, dan menikahinya untuk balas dendam. Haha, bukankah itu sangat lucu?” lanjutnya.Aland mengambil gelas wine yang sudah terisi itu dan meminumnya seteguk. Dia lalu duduk di kursi yang mengarah kepada jendela kaca besar di rumahnya dan menyandarkan punggungnya sembari menikmati pemandangan yang terlihat dari jendela kacanya itu.“Menurutku, kau tidak cerdas Za
Aara kembali menatap layar ponsel itu yang saat ini sudah mati. Dia menghela nafasnya, berharap rasa takut di hatinya itu bisa menghilang.“Sedang apa kau?” tanya seseorang. Nara tersentak ketika mendengar suara dingin yang amat dikenalinya, siapa lagi jika bukan Zayden.Dengan refleks, Aara langsung berbalik menghadapnya seraya menyembunyikan ponselnya itu ke belakang tubuhnya, lalu menjatuhkannya ke lantai dan menggeserkannya dengan kakinya sampai ke bawah sofa dengan diam-diam.Zayden menyipitkan matanya, saat melihat tingkah aneh Aara. Dengan perlahan dia pun melangkahkan kakinya mendekat padanya.Glek!Aara menelan salivanya dengan gugup. Walaupun dia sudah menyembunyikan ponsel itu. Tapi, orang di hadapannya ini adalah Zayden Crisiant Tan, dia mungkin akan menyadari keanehannya dan menanyai dirinya sampai dia mengaku kepadanya.“Kau tahu, kegugupan yang terlihat jelas di wajahmu itu mengundang kecurigaanku. Jadi, aku sarankan kau untuk tidak berbohong,” ujar Zayden dingin.
Zayden melangkah mendekati Aara dan berdiri di hadapannya. “Angkat kepalamu!” serunya. “Ke-kenapa?” tanya Aara dengan gugupnya. “Karena aku ingin melihat wajahmu!” Jawab Zayden dingin. Glek! Aara menelan salivanya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia pun mengangkat wajahnya dan mendongakkannya. Zayden menatap mata Aara dengan lekatnya, seakan-akan mencari tahu isi hati Aara saat ini. 'Rileks Aara Rileks. Atau Zayden akan mengetahui bahwa kau memiliki rencana untuk menemui pria bernama Aland itu,' batinnya yang berusaha untuk bersikap biasa saja. “Kau meminum vitamin yang dokter kandungan itu berikan?” tanya Zayden. “I-iya,” jawab Aara sembari mengangguk. Zayden tampak memegang dagunya sendiri. Dia seperti memikirkan sesuatu yang serius yang terus mengganggu pikirannya. ‘Apa dokter itu salah memberikan resep? Kenapa tingkah wanita ini jadi aneh saat meminum resep dari dokter itu. Meskipun ketakutan, biasanya dia tetap menatapku saat aku sedang berbicara dengannya. Tapi, kenapa
“Silakan turun Nyonya.” Sopir yang tak lain adalah Edward itu membukakan kembali pintu mobil untuk Aara setelah mereka sampai di kediaman Aland.Lagi-lagi dengan perasaan ragu, Aara pun turun dari mobil. Terlihat Aara yang memperhatikan sekitarnya, halaman yang begitu luas dia lalu melihat bangunan besar dan mewah yang ada di depannya. Tidak kalah mewah dari mansion milik Zayden, itulah yang sekiranya dia pikirkan.“Mari ikut dengan saya Nyonya.” Edward meminta Aara untuk mengikutinya, dia akan membawa Aara menemui tuannya Aland.Mendengar itu, Aara pun mulai melangkahkan kakinya untuk mengikuti orang yang tadi mengantarkannya kemari itu. Berkali-kali Aara terus menelan salivanya, tubuhnya sebenarnya sedikit gemetar, dia takut kalau pria bernama Aland ini mau menyakitinya.Saat memasuki rumah itu, Aara tiba-tiba merinding. Perasaannya sama ketika berada di rumah Zayden. Yaitu, perasaan takut dan tertekan.Tok tok!Ceklek!Edward mengetuk sebuah pintu ruangan yang ada di ruma