Naraya sudah berada di kamar dan bersiap tidur, hingga Sofi terlihat masuk dengan sedikit kesusahan karena berjalan menggunakan tongkat. Naraya pun kembali turun dari ranjang, lantas membantu Sofi untuk bisa sampai ke ranjang.“Hati-hati,” ucap Naraya sambil membantu Sofi berjalan.Sofi tersenyum hangat, lantas duduk di kasur di bantu Naraya.“Besok jatah Ibu kontrol,” kata Naraya membantu menaikkan kedua kaki Sofi ke kasur.“Ah … Ibu sampai lupa,” balas Sofi masih terus tersenyum.Naraya menarik selimut untuk menutupi kaki Sofi, lantas dirinya juga naik ke ranjang untuk ikut tidur.“Ibu tidurlah lebih awal, agar besok bisa bangun dengan segar,” ucap Naraya. Meski Naraya selalu mendapat perlakuan buruk di rumah, tapi tak pernah sekalipun gadis itu ingin mendendam.“Oh ya, Ibu dengar kamu sudah tidak bekerja di hotel. Nayla bilang kamu bekerja dengan seorang pengusaha,” ujar Sofi menyelidik, ingin tahu sendiri dari mulut Naraya.Naraya tampak kebingungan mendengar ucapan Sofi, tapi kem
Kalandra ternyata tidak berada di perusahaan. Ia kini berada di depan rumah Naraya untuk memastikan apakah benar gadis itu pergi ke rumah sakit, serta ada hal yang ingin diselidiki.“Jadi, ini adalah rumah yang ditinggali Anira selama beberapa tahun ini,” gumam Kalandra menatap bangunan tua dan berukuran sangat kecil itu.Kalandra merasa miris melihat rumah itu, sangat jauh berbeda dari rumah orangtuanya tempat Naraya dulu tinggal. Jika dilihat, rumah Naraya sekarang tak lebih besar dari ruang tamu rumah keluarganya, membuat Kalandra bertanya-tanya bagaimana bisa Naraya tinggal di rumah itu selama ini.Saat Kalandra sedang mengamati. Pintu rumah tua itu terbuka, Nayla keluar dengan mencangklong tas punggungnya.Gadis itu terkejut melihat keberadaan Kalandra di sana, hingga menyadari jika pemuda itulah yang bersama Naraya.“Wah … dia sangat tampan jika dilihat secara langsung seperti ini,” gumam Naraya sambil tersenyum-senyum sendiri ketika melihat betapa rupawannya wajah Kalandra.Kal
Kenan termenung setelah Naraya dan Sofi pergi, bahkan saat Amanda mengajak bicara karena masih ada satu pasien, pemuda itu tak mendengar sama sekali, pikirannya masih tertuju pada Naraya yang diyakini adalah Anira. Namun, Kenan kecewa saat Naraya berkata jika gadis itu tak mengenal dirinya.“Dok, Dokter!” panggil Amanda karena Kenan tak kunjung membalas ucapannya.Kenan tersadar dari lamunan, menatap Amanda yang sejak tadi sudah memandangnya.“Ya.” Kenan mencoba bersikap biasa.“Masih ada satu pasien lagi,” kata Amanda, tak berani memanggil masuk sebelum Kenan mengizinkan.Kenan menganggukkan kepala, tanda meminta Amanda untuk memanggil pasien yang datang.**Naraya mengantar Sofi pulang menggunakan taksi, tapi sepanjang jalan gadis itu tampak gelisah karena melihat Kenan di kota itu.Sofi menyadari jika Naraya terlihat gusar, hingga menyentuh telapak tangan putrinya itu, mengakibatkan Naraya terkejut dan langsung menoleh Sofi.“Ada apa? Kenapa kamu tampak gusar?” tanya Sofi dengan se
Kenan sudah selesai dengan prakteknya di Poliklinik. Ia kini berjalan bersama Amanda menuju ruang inap untuk mengecek pasiennya yang sedang dirawat.“Dok, saya lihat Anda tidak fokus sejak Ibu Sofi memeriksakan kakinya?” tanya Amanda hati-hati untuk menyelidik karena penasaran, terlebih ketika melihat reaksi Kenan dan Naraya saat bertemu.Kenan menoleh sekilas pada Amanda, lantas tersenyum kecil dengan tetap melangkahkan kaki.“Mungkin hanya kebetulan aku tidak fokus, mungkin aku kurang istirahat,” jawab Kenan yang tentu saja tak mungkin jujur pada Amanda yang baru dikenalnya beberapa hari.Amanda mengangguk-angguk, memeluk stopmap berisi data pasien.Kenan juga tak bicara, hingga ingat jika Amanda tampak dekat dengan Sofi.“Apa kamu sudah kenal lama dengan pasien bernama Bu Sofi itu?” tanya Kenan tiba-tiba.Amanda terkejut mendengar pertanyaan Kenan, merasa jika ini adalah angin segar dari rasa penasarannya sejak tadi.“Ya, tentu saja, Dok,” jawab Amanda. “Selain dia adalah pasien la
Sepuluh tahun yang lalu.Naraya baru saja kembali dari sekolah, dirinya sudah tinggal bersama Sofi beberapa minggu setelah diambil dari keluarga Devan Rajendra. Dulu rumah mereka sedikit besar dan memiliki beberapa kamar, sehingga Naraya bisa mempunyai kamarnya sendiri.Naraya baru saja datang dan melihat pintu kamarnya terbuka. Ia berjalan dengan hati-hati untuk masuk kamar karena takut jika itu pencuri atau yang lainnya. Namun, Naraya sangat terkejut saat melihat siapa yang berada di dalam kamarnya.“Ibu sedang apa?” tanya Naraya ketika melihat Sofi duduk di tepian ranjang memegang gunting.Sofi memandang ke arah Naraya datang, lantas tersenyum pada putrinya itu.“Ibu sedang membersihkan barang yang membuat kamarmu kotor,” jawab Sofi santai, sebelum kemudian menunduk dan memotong sesuatu yang berada di pangkuan.Naraya mengerutkan alis, hingga kemudian berjalan mendekat secara perlahan. Gadis itu sangat terkejut ketika melihat apa yang sedang dilakukan Sofi, wanita itu memotong semu
Di kota tempat orangtua Kenan dan Kalandra tinggal. Milea merasa keheranan ketika Kenan bertanya nama asli Anira. Ia lantas menatap Evangelina—Ibu Kalandra yang kebetulan duduk bersamanya sekarang.“Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal itu?” tanya Milea masih menatap Evangeline.Evangeline yang sedang menyesap teh, lantas melirik temannya itu.“Karena aku ingin memastikan sesuatu, Ma.” Suara Kalandra kembali terdengar setelah beberapa detik diam.“Ada apa?” tanya Evangeline tanpa suara dan hanya gerakan bibir, karena Milea menatap dirinya.Milea menggelengkan kepala pelan, lantas kembali bicara dengan putranya yang berada jauh darinya.“Memastikan apa?” tanya Milea menyelidik.“Ya, pokoknya sesuatu,” jawab Kenan yang tak mau jujur. “Ayolah, Ma. Mama pasti tahu, Mama Ivi juga pasti memberitahu Mama,” bujuk Kenan yang sudah sangat penasaran.Milea terlihat berpikir, pasti ada sesuatu hingga membuat putranya itu memaksa untuk tahu.“Mama tidak tahu,” jawab Milea pada akhirnya karena Kena
Naraya baru saja selesai mencuci piring di apartemen Kalandra, melakukan pekerjaan seperti biasanya di tempat itu jika mereka di sana. Ia merapikan dapur dan mengelap meja makan, lantas menengok jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam.“Aku sudah terlambat pulang,” gumam Naraya. Ia ingat jika Sofi memperingatkannya agar tak pulang malam.Naraya melepas celemek yang dikenakan dan menggantung kembali di tempatnya, kemudian berjalan menuju kamar di mana Kalandra di dalam sedang mengecek berkas.“Al!” panggil Naraya begitu masuk ke kamar.Naraya tak melihat Kalandra di sofa, membuatnya bingung dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.“Aku tidak melihatnya di ruang tamu, apa dia di ….” Baru saja Naraya hendak menyebut kamar mandi seraya memutar badan, gadis itu sudah dikejutkan terlebih dahulu oleh Kalandra yang memeluknya.“Al! Kenapa tak menyahut panggilanku?” Naraya bertanya sambil menatap Kalandra yang memeluknya dari depan.“Sengaja,” jawab Kalandra santai dengan sen
Naraya membulatkan bola mata lebar saat mendengar ucapan Kalandra, bagaimana bisa pemuda itu hendak mengulangi kejadian tak disengaja malam itu. Wajahnya panas dengan rona merah yang tak bisa disembunyikan, jantungnya berdegup cepat serta seolah ada ribuan bison yang berlarian di rongga dada. Naraya tak bisa menyembunyikan kegugupannya.“Jangan mengada-ada!” Naraya hendak mendorong tubuh Kalandra yang berada di atasnya, tapi pergelangan tangannya dicekal oleh Kalandra.“Aku tidak mengada-ada, karena kamu tidak ingat, jadi aku akan mengulanginya agar kamu ingat,” balas Kalandra dengan senyum yang tak bisa diartikan Naraya.“Apa dia serius mengatakan hal itu? Apa dia benar-benar akan melakukannya lagi? Oh Tuhan, tidak boleh.” Naraya bicara dalam hati, takut jika Kalandra benar-benar akan mengulanginya, dia tak siap melakukan hal itu dalam kondisi sadar.“Al, menyingkir dari tubuhku!” Naraya masih mencoba mendorong Kalandra, serta menarik tangan yang ditahan pemuda itu.Namun, karena ula
“Aku mau gendong bayinya.” Amanda yang baru saja datang, mengambil alih bayi yang berada di gendongan Nayla.“Dia tampan sekali,” ujar Amanda saat menggendong bayi itu.“Cantik, dia itu cewek.” Nayla meralat karena yang digendong Amanda adalah Abigail.Amanda terlihat bingung, bukankah Naraya bilang hamil anak kembar laki-laki, kenapa jadi perempuan.“Jadi, anak kembarnya Na itu sebenarnya cewek dan cowok.” Nayla kembali menjelaskan.“Wah … ternyata mereka sepasang,” gumam Amanda penuh pengaguman.Naraya sudah bisa duduk, Kalandra menemaninya dengan duduk di ranjang samping Naraya dan jemarin mereka saling bertautan.Ayres dikuasi Milea dan Evangeline karena bayi laki-laki itu sangat menggemaskan.“Man, kamu juga cepetan hamil ya, ga usah nunda-nunda apalagi pakai kontrasepsi. Mama ‘kan juga mau punya cucu seperti ini,” ucap Milea yang merasa iri karena Evangeline sudah mendahuluinya mendapatkan cucu, sedangkan dulu saja dia duluan yang mendapatkan anak.Wajah Amanda merona mendengar
“Aku mau gendong.” Nayla begitu bersemangat saat perawat mengantar bayi kembar Naraya ke ruang inap sang kakak.Naraya sudah dipindah ke ruang inap dan akan diobservasi karena kelelahan dan banyak kehilangan cairan tubuh.Naraya hanya tersenyum melihat sang adik yang sangat bersemangat. Tubuhnya masih lemah sehingga tidak mau berebut bayinya dengan Nayla atau Evangeline.Nayla menggendong satu bayi dan Evangeline menggendong bayi satunya, cukup adil karena mereka tidak perlu berebut dan menanti giliran untuk menggendong.“Akan kalian kasih nama siapa?” tanya Devan yang berdiri di samping Evangeline, telunjuk tampak menusuk pipi bayi laki-laki yang terlihat begitu menggemaskan.“Ayres Rajendra dan Abigail Rajendra,” jawab Kalandra. Dia sebenarnya menyiapkan dua nama laki-laki, karena bayi satunya perempuan, membuat Kalandra mencari nama dadakan.“Tunggu, kenapa Abigail? Itu nama cewek.” Protes Nayla sambil menimang bayi perempuan Naraya.“Yang kamu gendong itu perempuan, Nay.” Kalandra
“Kepala bayinya sudah terlihat, apa Ibu siap menyambut mereka?” tanya dokter yang sejak awal memang menangani kehamilan Naraya. Mengajak bicara agar Naraya tidak tegang karena harus berusaha mengeluarkan dua bayi.Naraya tidak mampu berkata-kata, perutnya benar-benar sudah terasa sakit hingga membuatnya hanya menganggukkan kepala.Kalandra setia berada di samping Naraya. Dia menggenggam telapak tangan istriya itu sambil terus menatap ke wajah sang istri. Dia bisa melihat bagaimana Naraya kesakitan bahkan menangis karena akan melahirkan, membuatnya benar-benar tidak tega hingga sesekali mengecup kening Naraya.“Kamu pasti bisa, kamu kuat demi anak kita,” bisik Kalandra memberi semangat.Naraya menggenggam erat telapak tangan Kalandra, sesekali terlihat mengatur napas karena kontraksi yang sudah tidak tertahankan.“Saat kontraksinya terasa kuat, Ibu bisa mulai mengejan,” ujar dokter memberikan aba-aba.Kening sudah bermanik di seluruh wajah Naraya, bahkan kulit wajah pun kini sudah beru
Naraya terlihat gelisah dan tidak bisa tidur malam itu. Pinggangnya terasa panas dan perutnya mulas berulang kali. Dia hendak bergerak ke kanan dan kiri, tapi kesusahan karena perut yang mengganjal.“Ra, kamu tidak bisa tidur lagi?” tanya Kalandra yang bisa merasakan pergerakan Naraya di atas tempat tidur.“Iya, Al. Pinggangku sakit,” ucap Naraya sambil meringis menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya.Kalandra meminta Naraya untuk berbaring dengan posisi miring menghadap ke arahnya, lalu dia mengusap-usap pinggang istrinya itu.“Bagaimana?” tanya Kalandra. Biasanya jika diusap seperti itu, Naraya akan merasa nyaman.“Masih sakit,” rengek Naraya.“Aku ingin bangun,” ucap Naraya berusaha bangun.Kalandra buru-buru bangun, kemudian membantu Naraya untuk duduk. Dia cemas karena tidak biasanya Naraya mengeluh sampai seperti itu.Naraya mengangsurkan kaki perlahan ke lantai, hingga saat kedua kaki menapak di lantai, Naraya merasakan sesuatu pecah dan kini di paha mengalir air sampai menet
“Aku juga awalnya malu, Man. Tapi kemudian aku berpikir, untuk apa malu, entah sekarang atau esok, aku tetap harus melakukannya, tidak mungkin mengecewakannya.”Ucapan Naraya terngiang di telinga, Amanda kini sedang di kamar mandi dan baru saja membersihkan diri setelah acara resepsi selesai sekitar empat jam yang lalu. Dia berada di kamar mandi kamar Kenan, terlihat bingung karena ini adalah malam pertama mereka di sana.“Bagaimana jika Kenan terlanjut tidak menginginkan karena aku menundanya beberapa kali?” Amanda bertanya-tanya sendiri karena bingung harus bagaimana.Kenan terlalu baik dengan menyetujui untuk menunda melakukan hubungan suami-istri, tapi Amanda sendiri tidak tahu apakah benar Kenan ikhlas atau hanya terpaksa.Amanda menoleh ke belakang di mana ada lingerie yang disiapkannya tapi belum dikenakan. Haruskah dia menggoda Kenan, agar suaminya itu tahu kalau dia sekarang sudah siap.“Baiklah, kamu wanita modern dan tidak takut akan hal itu, Man.” Amanda menyemangati diri
Hari itu Naraya hanya duduk menanti acara resepsi pernikahan Amanda dan Kenan dimulai. Dia tidak bisa membantu banyak hal karena kondisinya yang sudah hamil besar.Orang-orang berlalu-lalang menyiapkan diri untuk berangkat menuju rumah Kenan. Amanda sudah didandani begitu cantik dengan gaun yang tidak terlalu mewah tapi begitu indah.“Kita siap berangkat sekarang,” kata Kalandra saat menghampiri istrinya.Naraya mengangguk, kemudian berusaha berdiri meski agak kesusahan. Kalandra pun dengan sigap memegang pundak dan lengan Naraya, membantu istrinya itu berdiri dengan tegap.“Terima kasih,” ucap Naraya setelah sudah berdiri dengan benar.“Ra, apa kamu sakit?” tanya Kalandra karena wajah Naraya terlihat pucat. Kalandra takut jika istrinya kecapean.Naraya menangkup kedua pipi saat mendengar pertanyaan Kalandra, dia sudah menggunakan make up tipis, apa mungkin masih terlihat pucat.“Aku baik-baik saja, mungkin karena semalam kurang tidur akibat mereka terus menendang,” jawab Naraya sambi
Hari pernikahan Kenan dan Amanda pun tiba, mereka menikah tiga bulan setelah acara lamaran berlangsung. Mereka melakukan akad di rumah Amanda, tapi sepakat mengadakan pesta di rumah Kenan karena Milea yang meminta dan disetujui oleh keluarga Amanda.Naraya sendiri senang karena pesta diadakan di rumah Milea, sehingga dia tidak harus bepergian ke luar kota dalam kondisi hamil besar. Usia kandungan Naraya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan ukuran perutnya pun begitu besar karena bagi kembarnya.“Untung kalian menikah di sini, jadi aku tidak kerepotan pergi ke luar kota,” ucap Naraya saat mendatangi kamar Amanda.Amanda dan keluarganya diberi tempat di rumah Evangeline agar memudahkan mereka saat pergi ke rumah Kenan.Amanda langsung berlutut di depan Naraya yang sedang duduk, lantas mengusap-usap lembut permukaan perut temannya itu.“Aunty ‘kan baik, jadi ga mau nyusahin kalian,” ucap Amanda dengan tangan mengelus perut Naraya.Usai bicara demikian, terasa gerakan bergeser di p
Kalandra berbaring berbantal paha Naraya, dengan posisi miring dia menghadap ke perut sang istri dan terlihat sesekali menciumnya manja.“Apa mereka lapar atau menginginkan sesuatu?” tanya Kalandra sambil mengusap perut Naraya lagi.“Mereka sudah makan banyak tadi, jadi ga mau apa-apa lagi,” jawab Naraya sambil mengusap rambut suaminya.Kalandra kembali mencium perut Naraya, sebelum kemudian bangun dan mencium bibir istrinya itu.“Sekarang papinya yang menginginkan sesuatu,” ujar Kalandra dengan senyum menggoda.“Mau apa?” tanya Naraya dengan dahi berkerut halus.“Mau nengokin mereka,” jawab Kalandra tanpa basa-basi.Naraya terkesiap tapi kemudian terlihat malu karena ternyata suaminya meminta jatah. Kalandra memang tidak pernah meminta saat usia kandungannya masih di trimester pertama, itu karena larangan dari dokter agar kondisi jalan rahimnya tidak terbuka karena berhubungan intim. Namun, dokter mengizinkan jika berhubungan setelah masuk di trimester kedua.“Boleh, tapi jangan buat
Hari itu Naraya dan yang lainnya pergi untuk ikut dalam acara lamaran yang akan dilakukan Kenan. Setelah beberapa bulan berpacaran, akhirnya Kenan memantapkan hati untuk melamar Amanda.Semua orang singgah di hotel sebelum acara lamaran yang akan dilakukan esok hari, sedangkan Naraya meminta izin tinggal di rumah Amanda karena melepas rindu dengan temannya itu.“Perutmu besar sekali, Na? Bukankah kamu bilang baru lima bulan?” tanya Amanda keheranan.“Aku lupa bilang kalau mereka kembar,” ujar Naraya saat melihat temannya terheran-heran melihat perutnya yang besar.“Kembar?” Amanda seolah tidak percaya jika Naraya akan memiliki bayi kembar.Naraya mengangguk-angguk, sebelum kemudian berbisik, “Mereka laki-laki.”Amanda semakin tidak percaya karena Naraya bisa seberuntung itu. Dia menyentuh perut Naraya yang besar, penasaran sedang apa bayi kembar Naraya sekarang.Saat tangan Amanda sedang menyentuh dan mengusap lembut, tiba-tiba terasa gerakan dari dalam sana.“Mereka bergerak.” Amanda