Kenan termenung setelah Naraya dan Sofi pergi, bahkan saat Amanda mengajak bicara karena masih ada satu pasien, pemuda itu tak mendengar sama sekali, pikirannya masih tertuju pada Naraya yang diyakini adalah Anira. Namun, Kenan kecewa saat Naraya berkata jika gadis itu tak mengenal dirinya.“Dok, Dokter!” panggil Amanda karena Kenan tak kunjung membalas ucapannya.Kenan tersadar dari lamunan, menatap Amanda yang sejak tadi sudah memandangnya.“Ya.” Kenan mencoba bersikap biasa.“Masih ada satu pasien lagi,” kata Amanda, tak berani memanggil masuk sebelum Kenan mengizinkan.Kenan menganggukkan kepala, tanda meminta Amanda untuk memanggil pasien yang datang.**Naraya mengantar Sofi pulang menggunakan taksi, tapi sepanjang jalan gadis itu tampak gelisah karena melihat Kenan di kota itu.Sofi menyadari jika Naraya terlihat gusar, hingga menyentuh telapak tangan putrinya itu, mengakibatkan Naraya terkejut dan langsung menoleh Sofi.“Ada apa? Kenapa kamu tampak gusar?” tanya Sofi dengan se
Kenan sudah selesai dengan prakteknya di Poliklinik. Ia kini berjalan bersama Amanda menuju ruang inap untuk mengecek pasiennya yang sedang dirawat.“Dok, saya lihat Anda tidak fokus sejak Ibu Sofi memeriksakan kakinya?” tanya Amanda hati-hati untuk menyelidik karena penasaran, terlebih ketika melihat reaksi Kenan dan Naraya saat bertemu.Kenan menoleh sekilas pada Amanda, lantas tersenyum kecil dengan tetap melangkahkan kaki.“Mungkin hanya kebetulan aku tidak fokus, mungkin aku kurang istirahat,” jawab Kenan yang tentu saja tak mungkin jujur pada Amanda yang baru dikenalnya beberapa hari.Amanda mengangguk-angguk, memeluk stopmap berisi data pasien.Kenan juga tak bicara, hingga ingat jika Amanda tampak dekat dengan Sofi.“Apa kamu sudah kenal lama dengan pasien bernama Bu Sofi itu?” tanya Kenan tiba-tiba.Amanda terkejut mendengar pertanyaan Kenan, merasa jika ini adalah angin segar dari rasa penasarannya sejak tadi.“Ya, tentu saja, Dok,” jawab Amanda. “Selain dia adalah pasien la
Sepuluh tahun yang lalu.Naraya baru saja kembali dari sekolah, dirinya sudah tinggal bersama Sofi beberapa minggu setelah diambil dari keluarga Devan Rajendra. Dulu rumah mereka sedikit besar dan memiliki beberapa kamar, sehingga Naraya bisa mempunyai kamarnya sendiri.Naraya baru saja datang dan melihat pintu kamarnya terbuka. Ia berjalan dengan hati-hati untuk masuk kamar karena takut jika itu pencuri atau yang lainnya. Namun, Naraya sangat terkejut saat melihat siapa yang berada di dalam kamarnya.“Ibu sedang apa?” tanya Naraya ketika melihat Sofi duduk di tepian ranjang memegang gunting.Sofi memandang ke arah Naraya datang, lantas tersenyum pada putrinya itu.“Ibu sedang membersihkan barang yang membuat kamarmu kotor,” jawab Sofi santai, sebelum kemudian menunduk dan memotong sesuatu yang berada di pangkuan.Naraya mengerutkan alis, hingga kemudian berjalan mendekat secara perlahan. Gadis itu sangat terkejut ketika melihat apa yang sedang dilakukan Sofi, wanita itu memotong semu
Di kota tempat orangtua Kenan dan Kalandra tinggal. Milea merasa keheranan ketika Kenan bertanya nama asli Anira. Ia lantas menatap Evangelina—Ibu Kalandra yang kebetulan duduk bersamanya sekarang.“Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal itu?” tanya Milea masih menatap Evangeline.Evangeline yang sedang menyesap teh, lantas melirik temannya itu.“Karena aku ingin memastikan sesuatu, Ma.” Suara Kalandra kembali terdengar setelah beberapa detik diam.“Ada apa?” tanya Evangeline tanpa suara dan hanya gerakan bibir, karena Milea menatap dirinya.Milea menggelengkan kepala pelan, lantas kembali bicara dengan putranya yang berada jauh darinya.“Memastikan apa?” tanya Milea menyelidik.“Ya, pokoknya sesuatu,” jawab Kenan yang tak mau jujur. “Ayolah, Ma. Mama pasti tahu, Mama Ivi juga pasti memberitahu Mama,” bujuk Kenan yang sudah sangat penasaran.Milea terlihat berpikir, pasti ada sesuatu hingga membuat putranya itu memaksa untuk tahu.“Mama tidak tahu,” jawab Milea pada akhirnya karena Kena
Naraya baru saja selesai mencuci piring di apartemen Kalandra, melakukan pekerjaan seperti biasanya di tempat itu jika mereka di sana. Ia merapikan dapur dan mengelap meja makan, lantas menengok jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam.“Aku sudah terlambat pulang,” gumam Naraya. Ia ingat jika Sofi memperingatkannya agar tak pulang malam.Naraya melepas celemek yang dikenakan dan menggantung kembali di tempatnya, kemudian berjalan menuju kamar di mana Kalandra di dalam sedang mengecek berkas.“Al!” panggil Naraya begitu masuk ke kamar.Naraya tak melihat Kalandra di sofa, membuatnya bingung dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.“Aku tidak melihatnya di ruang tamu, apa dia di ….” Baru saja Naraya hendak menyebut kamar mandi seraya memutar badan, gadis itu sudah dikejutkan terlebih dahulu oleh Kalandra yang memeluknya.“Al! Kenapa tak menyahut panggilanku?” Naraya bertanya sambil menatap Kalandra yang memeluknya dari depan.“Sengaja,” jawab Kalandra santai dengan sen
Naraya membulatkan bola mata lebar saat mendengar ucapan Kalandra, bagaimana bisa pemuda itu hendak mengulangi kejadian tak disengaja malam itu. Wajahnya panas dengan rona merah yang tak bisa disembunyikan, jantungnya berdegup cepat serta seolah ada ribuan bison yang berlarian di rongga dada. Naraya tak bisa menyembunyikan kegugupannya.“Jangan mengada-ada!” Naraya hendak mendorong tubuh Kalandra yang berada di atasnya, tapi pergelangan tangannya dicekal oleh Kalandra.“Aku tidak mengada-ada, karena kamu tidak ingat, jadi aku akan mengulanginya agar kamu ingat,” balas Kalandra dengan senyum yang tak bisa diartikan Naraya.“Apa dia serius mengatakan hal itu? Apa dia benar-benar akan melakukannya lagi? Oh Tuhan, tidak boleh.” Naraya bicara dalam hati, takut jika Kalandra benar-benar akan mengulanginya, dia tak siap melakukan hal itu dalam kondisi sadar.“Al, menyingkir dari tubuhku!” Naraya masih mencoba mendorong Kalandra, serta menarik tangan yang ditahan pemuda itu.Namun, karena ula
Kalandra langsung menyalakan shower begitu berada di kamar mandi. Mengguyur tubuh dari ujung kepala hingga kaki, masih dengan pakaian lengkap dari kemeja dan celana panjangnya.Kalandra merasakan tubuhnya bereaksi, jika saja tidak bisa menahannya maka dirinya akan benar-benar memaksa Naraya untuk bercinta. Kalandra tak bisa melakukan itu, tidak sekarang juga tidak malam itu.Dia memejamkan mata, merasakan dinginnya air shower menyentuh tiap kulit terdalamnya. Kepala menunduk, membiarkan air terus mengguyur rambut hingga seluruh tubuh. Pikiran Kalandra melayang jauh, kembali berputar di kepala saat kejadian di mana Naraya menerobos masuk ke kamar dalam pengaruh obat perangsang.Kalandra menggendong Naraya yang kepanasan dan hampir melucuti pakaiannya sendiri. Dia dengan sigap membawa Naraya ke kamar mandi, lantas memasukkan gadis itu ke bathtub. Kalandra mengumpat berulangkali karena marah sebab melihat kondisi Naraya, siapapun yang melakukan itu kepada gadis yang dicintainya, maka Kal
Nayla duduk berhadapan dengan Prams. Dia terlihat geram karena siang tadi diabaikan oleh pemuda yang dianggapnya sangat tampan dan kaya, siapa lagi jika bukan Kalandra. Nayla kesal karena Kalandra hanya mencari Naraya, bahkan tidak melirik dirinya yang dilihat dari segi mana pun lebih baik dari kakaknya itu—menurut pandangan pribadi Nayla.“Nay, kenapa kamu melamun?” tanya Prams saat melihat kekasihnya itu hanya diam.Nayla melirik Prams, lantas mencebik dan menyandarkan punggung dengan kasar.“Aku kesal, kenapa kita tidak bisa mengerjai Naraya? Kenapa semua cara yang dilakukan selalu gagal?” Nayla mendengkus kasar.“Nanti kita cari cara lain, sekarang kamu jangan terlalu stres, lihat wajahmu yang kusam dan dahi berkerut karena memikirkan kakakmu itu,” ujar Prams menatap wajah kesal Nayla.Nayla menggosok kening dengan kasar, wajahnya masih tampak masam karena rencana untuk membuat Naraya pergi dari hidup keluarganya, juga mencelakai selalu saja tidak berhasil.“Daripada memikirkan ka