Di kota tempat orangtua Kenan dan Kalandra tinggal. Milea merasa keheranan ketika Kenan bertanya nama asli Anira. Ia lantas menatap Evangelina—Ibu Kalandra yang kebetulan duduk bersamanya sekarang.“Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal itu?” tanya Milea masih menatap Evangeline.Evangeline yang sedang menyesap teh, lantas melirik temannya itu.“Karena aku ingin memastikan sesuatu, Ma.” Suara Kalandra kembali terdengar setelah beberapa detik diam.“Ada apa?” tanya Evangeline tanpa suara dan hanya gerakan bibir, karena Milea menatap dirinya.Milea menggelengkan kepala pelan, lantas kembali bicara dengan putranya yang berada jauh darinya.“Memastikan apa?” tanya Milea menyelidik.“Ya, pokoknya sesuatu,” jawab Kenan yang tak mau jujur. “Ayolah, Ma. Mama pasti tahu, Mama Ivi juga pasti memberitahu Mama,” bujuk Kenan yang sudah sangat penasaran.Milea terlihat berpikir, pasti ada sesuatu hingga membuat putranya itu memaksa untuk tahu.“Mama tidak tahu,” jawab Milea pada akhirnya karena Kena
Naraya baru saja selesai mencuci piring di apartemen Kalandra, melakukan pekerjaan seperti biasanya di tempat itu jika mereka di sana. Ia merapikan dapur dan mengelap meja makan, lantas menengok jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam.“Aku sudah terlambat pulang,” gumam Naraya. Ia ingat jika Sofi memperingatkannya agar tak pulang malam.Naraya melepas celemek yang dikenakan dan menggantung kembali di tempatnya, kemudian berjalan menuju kamar di mana Kalandra di dalam sedang mengecek berkas.“Al!” panggil Naraya begitu masuk ke kamar.Naraya tak melihat Kalandra di sofa, membuatnya bingung dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.“Aku tidak melihatnya di ruang tamu, apa dia di ….” Baru saja Naraya hendak menyebut kamar mandi seraya memutar badan, gadis itu sudah dikejutkan terlebih dahulu oleh Kalandra yang memeluknya.“Al! Kenapa tak menyahut panggilanku?” Naraya bertanya sambil menatap Kalandra yang memeluknya dari depan.“Sengaja,” jawab Kalandra santai dengan sen
Naraya membulatkan bola mata lebar saat mendengar ucapan Kalandra, bagaimana bisa pemuda itu hendak mengulangi kejadian tak disengaja malam itu. Wajahnya panas dengan rona merah yang tak bisa disembunyikan, jantungnya berdegup cepat serta seolah ada ribuan bison yang berlarian di rongga dada. Naraya tak bisa menyembunyikan kegugupannya.“Jangan mengada-ada!” Naraya hendak mendorong tubuh Kalandra yang berada di atasnya, tapi pergelangan tangannya dicekal oleh Kalandra.“Aku tidak mengada-ada, karena kamu tidak ingat, jadi aku akan mengulanginya agar kamu ingat,” balas Kalandra dengan senyum yang tak bisa diartikan Naraya.“Apa dia serius mengatakan hal itu? Apa dia benar-benar akan melakukannya lagi? Oh Tuhan, tidak boleh.” Naraya bicara dalam hati, takut jika Kalandra benar-benar akan mengulanginya, dia tak siap melakukan hal itu dalam kondisi sadar.“Al, menyingkir dari tubuhku!” Naraya masih mencoba mendorong Kalandra, serta menarik tangan yang ditahan pemuda itu.Namun, karena ula
Kalandra langsung menyalakan shower begitu berada di kamar mandi. Mengguyur tubuh dari ujung kepala hingga kaki, masih dengan pakaian lengkap dari kemeja dan celana panjangnya.Kalandra merasakan tubuhnya bereaksi, jika saja tidak bisa menahannya maka dirinya akan benar-benar memaksa Naraya untuk bercinta. Kalandra tak bisa melakukan itu, tidak sekarang juga tidak malam itu.Dia memejamkan mata, merasakan dinginnya air shower menyentuh tiap kulit terdalamnya. Kepala menunduk, membiarkan air terus mengguyur rambut hingga seluruh tubuh. Pikiran Kalandra melayang jauh, kembali berputar di kepala saat kejadian di mana Naraya menerobos masuk ke kamar dalam pengaruh obat perangsang.Kalandra menggendong Naraya yang kepanasan dan hampir melucuti pakaiannya sendiri. Dia dengan sigap membawa Naraya ke kamar mandi, lantas memasukkan gadis itu ke bathtub. Kalandra mengumpat berulangkali karena marah sebab melihat kondisi Naraya, siapapun yang melakukan itu kepada gadis yang dicintainya, maka Kal
Nayla duduk berhadapan dengan Prams. Dia terlihat geram karena siang tadi diabaikan oleh pemuda yang dianggapnya sangat tampan dan kaya, siapa lagi jika bukan Kalandra. Nayla kesal karena Kalandra hanya mencari Naraya, bahkan tidak melirik dirinya yang dilihat dari segi mana pun lebih baik dari kakaknya itu—menurut pandangan pribadi Nayla.“Nay, kenapa kamu melamun?” tanya Prams saat melihat kekasihnya itu hanya diam.Nayla melirik Prams, lantas mencebik dan menyandarkan punggung dengan kasar.“Aku kesal, kenapa kita tidak bisa mengerjai Naraya? Kenapa semua cara yang dilakukan selalu gagal?” Nayla mendengkus kasar.“Nanti kita cari cara lain, sekarang kamu jangan terlalu stres, lihat wajahmu yang kusam dan dahi berkerut karena memikirkan kakakmu itu,” ujar Prams menatap wajah kesal Nayla.Nayla menggosok kening dengan kasar, wajahnya masih tampak masam karena rencana untuk membuat Naraya pergi dari hidup keluarganya, juga mencelakai selalu saja tidak berhasil.“Daripada memikirkan ka
Naraya mengaduk-aduk sedotan di dalam gelas, membuat isi di dalamnya terus berputar karena ulah gadis itu. Amanda melirik Naraya, melihat temannya itu seperti tidak bersemangat sama sekali. Siang itu Naraya meminta izin Kalandra untuk bertemu Amanda, dia hanya merasa bosan jika harus berada di dalam ruangan setiap waktu. “Kamu kenapa lagi? Apa mau diam terus seperti ini? Jam makan siangku bentar lagi habis,” ucap Amanda karena Naraya sejak tadi hanya diam. Naraya menatap Amanda, kemudian menghela napas kasar. Dia menyedot jus yang dipesannya, sebelum kemudian menyangga dagu dengan kedua telapak tangan, sedangkan siku bertumpu di meja. “Man, kenapa aku ingat akan malam itu?” Naraya kembali mendesau setelah selesai bicara. “Malam kapan, Nay?” tanya Amanda bingung dengan ucapan ambigu Naraya. “Malam itu, Man!” Naraya bicara agak keras karena Amanda tidak paham, hingga kemudian menurunkan nada bicaranya. “Saat aku dan Al ….” Naraya bicara lirih tapi digantung. Amanda langsung tahu m
“Jadi kamu benar Anira?”Naraya sangat terkejut mendengar suara itu, hingga menoleh dan melihat Kenan yang sudah memandangnya.Amanda sedikit menunduk dan menutup wajah dari samping dengan telapak tangan, ketahuan juga jika dirinya telah berbohong kepada dokternya.Kenan menatap tak percaya ke Naraya, bagaimana bisa gadis itu berbohong kepadanya.“Apa ada yang ingin kamu katakan kepadaku, Nira?”Naraya gelagapan, bingung harus bagaimana menghadapi Kenan. Dia berpikir, kenapa akhir-akhir ini hidupnya tak terkendali dengan munculnya orang-orang dari masa lalu.Kenan berjalan mendekat ke arah Naraya, hingga memandang gadis itu yang duduk dan mulai menunduk.“Kenapa kamu hanya diam?” tanya Kenan. “Kamu tidak senang melihatku, sehingga memilih berpura tidak mengingatku?” tanya Kenan lagi dengan sedikit kekecewaan dalam tatapannya.Naraya terkejut mendengar ucapan Kenan, kemudian mendongak dan memberanikan diri memandang pemuda itu.“Bu-bukan seperti itu, Ke.” Naraya akhirnya dengan terpaks
Naraya merasa kepalanya berdenyut ngilu, kenapa dirinya harus seperti terjebak dalam pusaran yang membingungkan. Dia memijat kening berulang kali, terlebih saat mengingat pembicaraannya dengan Kenan.“Baiklah jika kamu tidak ingin menceritakan atau menjelaskan kepadaku tentang menghilangnya dirimu. Namun, aku ingin kamu untuk tidak menghilang dari pandanganku lagi, setidaknya beri aku kesempatan untuk menjagamu seperti dulu.”Naraya semakin pusing mengingat ucapan Kenan, apa maksud pemuda itu dan apa yang diinginkan darinya. Naraya tidak bisa menelaah maksud Kenan, sungguh isi kepalanya terasa penuh.Kalandra mengamati Naraya, sejak datang tadi gadis itu berwajah kusut dan langsung duduk di sofa tanpa bicara. Kalandra sedang sibuk mengecek berkas sejak tadi, hingga dirinya memilih tak bicara terlebih dahulu.“Apa kamu sakit?” tanya Kalandra saat melihat Naraya terus memijat kening.Naraya terkejut dengan pertanyaan Kalandra, kemudian mencoba bersikap biasa dan mengulas senyum.“Tidak,