Naraya mengaduk-aduk sedotan di dalam gelas, membuat isi di dalamnya terus berputar karena ulah gadis itu. Amanda melirik Naraya, melihat temannya itu seperti tidak bersemangat sama sekali. Siang itu Naraya meminta izin Kalandra untuk bertemu Amanda, dia hanya merasa bosan jika harus berada di dalam ruangan setiap waktu. “Kamu kenapa lagi? Apa mau diam terus seperti ini? Jam makan siangku bentar lagi habis,” ucap Amanda karena Naraya sejak tadi hanya diam. Naraya menatap Amanda, kemudian menghela napas kasar. Dia menyedot jus yang dipesannya, sebelum kemudian menyangga dagu dengan kedua telapak tangan, sedangkan siku bertumpu di meja. “Man, kenapa aku ingat akan malam itu?” Naraya kembali mendesau setelah selesai bicara. “Malam kapan, Nay?” tanya Amanda bingung dengan ucapan ambigu Naraya. “Malam itu, Man!” Naraya bicara agak keras karena Amanda tidak paham, hingga kemudian menurunkan nada bicaranya. “Saat aku dan Al ….” Naraya bicara lirih tapi digantung. Amanda langsung tahu m
“Jadi kamu benar Anira?”Naraya sangat terkejut mendengar suara itu, hingga menoleh dan melihat Kenan yang sudah memandangnya.Amanda sedikit menunduk dan menutup wajah dari samping dengan telapak tangan, ketahuan juga jika dirinya telah berbohong kepada dokternya.Kenan menatap tak percaya ke Naraya, bagaimana bisa gadis itu berbohong kepadanya.“Apa ada yang ingin kamu katakan kepadaku, Nira?”Naraya gelagapan, bingung harus bagaimana menghadapi Kenan. Dia berpikir, kenapa akhir-akhir ini hidupnya tak terkendali dengan munculnya orang-orang dari masa lalu.Kenan berjalan mendekat ke arah Naraya, hingga memandang gadis itu yang duduk dan mulai menunduk.“Kenapa kamu hanya diam?” tanya Kenan. “Kamu tidak senang melihatku, sehingga memilih berpura tidak mengingatku?” tanya Kenan lagi dengan sedikit kekecewaan dalam tatapannya.Naraya terkejut mendengar ucapan Kenan, kemudian mendongak dan memberanikan diri memandang pemuda itu.“Bu-bukan seperti itu, Ke.” Naraya akhirnya dengan terpaks
Naraya merasa kepalanya berdenyut ngilu, kenapa dirinya harus seperti terjebak dalam pusaran yang membingungkan. Dia memijat kening berulang kali, terlebih saat mengingat pembicaraannya dengan Kenan.“Baiklah jika kamu tidak ingin menceritakan atau menjelaskan kepadaku tentang menghilangnya dirimu. Namun, aku ingin kamu untuk tidak menghilang dari pandanganku lagi, setidaknya beri aku kesempatan untuk menjagamu seperti dulu.”Naraya semakin pusing mengingat ucapan Kenan, apa maksud pemuda itu dan apa yang diinginkan darinya. Naraya tidak bisa menelaah maksud Kenan, sungguh isi kepalanya terasa penuh.Kalandra mengamati Naraya, sejak datang tadi gadis itu berwajah kusut dan langsung duduk di sofa tanpa bicara. Kalandra sedang sibuk mengecek berkas sejak tadi, hingga dirinya memilih tak bicara terlebih dahulu.“Apa kamu sakit?” tanya Kalandra saat melihat Naraya terus memijat kening.Naraya terkejut dengan pertanyaan Kalandra, kemudian mencoba bersikap biasa dan mengulas senyum.“Tidak,
Naraya pergi ke rumah sakit di hari berikutnya. Dia sebenarnya tidak ingin pergi karena takut bertemu Kenan, tapi Amanda meyakinkan jika hari itu Kenan tidak praktek, jadi kemungkinan mereka akan bertemu sangat kecil.“Man, kalau dokternya bertanya macam-macam bagaimana?” tanya Naraya cemas.“Kamu tenang saja, aku sudah menjelaskan semua kemarin. Jadi, tinggal dicek aja,” jawab Amanda meyakinkan.Naraya pun mencoba tenang, menunggu antrian bersama Amanda. Dia melirik ke kiri dan kanan di mana ada beberapa wanita hamil yang juga sedang menunggu jatah antrian periksa. Hingga nama Naraya dipanggil, dia masuk ditemani Amanda karena takut sendirian.“Halo,” sapa sang dokter. “Jadi ini temanmu?” tanya dokter ke Amanda.“Iya, Dok. Mohon bantuannya,” jawab Amanda sopan.Naraya merasa malu, tapi demi menjawab rasa penasaran selama ini dirinya harus melakukan ini. Dokter meminta Naraya berbaring di ranjang pemeriksaan dibantu perawat, kemudian mulai dicek apakah selaput daranya masih ada.“Agak
Naraya duduk dengan sedikit rasa canggung, apalagi saat Amanda menolak untuk ikut dan malah pergi meninggalkannya dengan Kenan. Kini dirinya terjebak bersama pemuda itu, membuatnya bingung karena Kalandra pasti akan mencarinya jika tak kunjung datang.“Kenapa tidak dimakan? Apa makanannya tidak enak?” tanya Kenan saat melihat Naraya hanya melamun.Naraya terjaga dari lamunan, kemudian mencoba tersenyum karena tak enak ketahuan melamun.“Enak kok,” jawab Naraya kemudian memasukkan suapan ke mulut.Kenan meletakkan alat makan, kemudian menyangga dagu dengan kedua telapak tangan yang bertautan, sedangkan siku tampak bertumpu di meja untuk menopang. Dia memandang Naraya yang sedang makan.“Ra, apa sebenarnya kamu tak senang bertemu denganku? Aku lihat kamu seperti tertekan bersamaku?” tanya Kenan karena merasa sikap Naraya jelas beda dengan sebelum gadis itu pergi.Naraya terkejut mendengar ucapan Kenan, hingga berhenti makan dan memandang pemuda di hadapannya.“Tidak,” jawab Naraya.Kena
Kalandra melihat Naraya yang baru saja masuk lobi, kemudian memilih segera memarkirkan mobil ke basement."Ra!" Kalandra langsung memanggil Naraya saat keluar dari lift yang terbuka di lantai unit apartemennya berada.Naraya sedang berjalan menuju unit apartemen, hingga berhenti melangkah saat mendengar suara Kalandra. Dia pun menoleh dan melihat kekasihnya itu sedang berjalan ke arahnya."Tahu kamu juga baru sampai, tadi mending aku jemput," ucap Kalandra saat sudah berada di hadapan Naraya.Naraya gelagapan melihat Kalandra yang datang hampir bersamaan dengannya, hingga takut jika pemuda itu melihat dirinya turun dari mobil Kenan."Ya, aku nggak tahu kamu juga langsung pulang," balas Naraya sekenanya.Kalandra tersenyum, kemudian memilih membuka pintu dan mengajak Naraya masuk.Naraya tampak sedikit lega, melihat Kalandra yang tak tampak emosi atau memberikan tatapan aneh, cukup membuktikan jika pemuda itu tak melihatnya turun dari mobil Kenan.“Kamu mau makan siang di rumah, biar a
Sepuluh tahun yang lalu, saat Naraya marah ke Sofi karena ibunya telah memotong semua foto kenangan yang dimilikinya. Naraya berlari ke jalanan tanpa arah, bahkan menyeberang jalan tanpa melihat.Sofi saat itu mengejar Naraya, tidak akan membiarkan putrinya itu pergi apalagi kembali ke keluarga Evangeline.“Na! Berhenti!” teriak Sofi saat melihat Naraya yang sudah menyeberang jalan.Naraya sendiri berlari ke arah halte bis, hendak benar-benar pergi meninggalkan ibunya. Sofi panik jika sampai Naraya pergi, hingga berlari tanpa melihat, sampai akhirnya ada sebuah truk yang sedang melaju kencang, menabrak tubuh Sofi hingga wanita itu terpental jauh sebelum jatuh ke aspal.Semua orang berteriak histeris, membuat langkah Naraya terhenti. Dia terkejut mendengar orang-orang berteriak jika ada yang tertabrak, juga tak lagi mendengar suara teriakan Sofi. Naraya memutar tubuh dengan gemetar, pikirannya menolak kemungkinan yang terjadi. Hingga dengan mat
Masa lalu memang begitu menyakitkan, tapi lebih menyakitkan lagi saat seseorang tidak bisa memaafkan diri sendiri, hingga pada akhirnya terjebak dalam rasa bersalah yang tak bertepi.Kalandra masih memeluk Naraya, mencoba menenangkan sang kekasih agar tidak larut dalam kesedihan. Dirinya ikut merasakan beban yang dipikul gadis itu, ketika mendengar tangis bercampur rasa penyesalan yang begitu dalam.“Sekarang kamu paham jika aku bersikap demikian ‘kan, Al?” Naraya bicara masih dalam pelukan Kalandra.“Ya, aku paham.” Kalandra membalas ucapan Naraya sambil mengusap punggung gadis itu secara konstan.Naraya menghela napas berat, kemudian bangkit dari pelukan Kalandra. Ditatapnya pemuda yang kini juga membelenggunya, di satu sisi dirinya tidak bisa pergi dari sang ibu, di sisi lain ingin sekali ikut ke mana pun pemuda yang ada di hadapannya saat ini membawa dirinya.“Tapi, apa kamu akan terus seperti ini? Mengikuti sesuatu yang sebenarnya tidak membuatmu bahagia?” tanya Kalandra sambil m