Kalandra melihat Naraya yang baru saja masuk lobi, kemudian memilih segera memarkirkan mobil ke basement."Ra!" Kalandra langsung memanggil Naraya saat keluar dari lift yang terbuka di lantai unit apartemennya berada.Naraya sedang berjalan menuju unit apartemen, hingga berhenti melangkah saat mendengar suara Kalandra. Dia pun menoleh dan melihat kekasihnya itu sedang berjalan ke arahnya."Tahu kamu juga baru sampai, tadi mending aku jemput," ucap Kalandra saat sudah berada di hadapan Naraya.Naraya gelagapan melihat Kalandra yang datang hampir bersamaan dengannya, hingga takut jika pemuda itu melihat dirinya turun dari mobil Kenan."Ya, aku nggak tahu kamu juga langsung pulang," balas Naraya sekenanya.Kalandra tersenyum, kemudian memilih membuka pintu dan mengajak Naraya masuk.Naraya tampak sedikit lega, melihat Kalandra yang tak tampak emosi atau memberikan tatapan aneh, cukup membuktikan jika pemuda itu tak melihatnya turun dari mobil Kenan.“Kamu mau makan siang di rumah, biar a
Sepuluh tahun yang lalu, saat Naraya marah ke Sofi karena ibunya telah memotong semua foto kenangan yang dimilikinya. Naraya berlari ke jalanan tanpa arah, bahkan menyeberang jalan tanpa melihat.Sofi saat itu mengejar Naraya, tidak akan membiarkan putrinya itu pergi apalagi kembali ke keluarga Evangeline.“Na! Berhenti!” teriak Sofi saat melihat Naraya yang sudah menyeberang jalan.Naraya sendiri berlari ke arah halte bis, hendak benar-benar pergi meninggalkan ibunya. Sofi panik jika sampai Naraya pergi, hingga berlari tanpa melihat, sampai akhirnya ada sebuah truk yang sedang melaju kencang, menabrak tubuh Sofi hingga wanita itu terpental jauh sebelum jatuh ke aspal.Semua orang berteriak histeris, membuat langkah Naraya terhenti. Dia terkejut mendengar orang-orang berteriak jika ada yang tertabrak, juga tak lagi mendengar suara teriakan Sofi. Naraya memutar tubuh dengan gemetar, pikirannya menolak kemungkinan yang terjadi. Hingga dengan mat
Masa lalu memang begitu menyakitkan, tapi lebih menyakitkan lagi saat seseorang tidak bisa memaafkan diri sendiri, hingga pada akhirnya terjebak dalam rasa bersalah yang tak bertepi.Kalandra masih memeluk Naraya, mencoba menenangkan sang kekasih agar tidak larut dalam kesedihan. Dirinya ikut merasakan beban yang dipikul gadis itu, ketika mendengar tangis bercampur rasa penyesalan yang begitu dalam.“Sekarang kamu paham jika aku bersikap demikian ‘kan, Al?” Naraya bicara masih dalam pelukan Kalandra.“Ya, aku paham.” Kalandra membalas ucapan Naraya sambil mengusap punggung gadis itu secara konstan.Naraya menghela napas berat, kemudian bangkit dari pelukan Kalandra. Ditatapnya pemuda yang kini juga membelenggunya, di satu sisi dirinya tidak bisa pergi dari sang ibu, di sisi lain ingin sekali ikut ke mana pun pemuda yang ada di hadapannya saat ini membawa dirinya.“Tapi, apa kamu akan terus seperti ini? Mengikuti sesuatu yang sebenarnya tidak membuatmu bahagia?” tanya Kalandra sambil m
Nayla pergi menemui Prams, ternyata pria itu sedang bertemu dengan Hardi—mantan bos Naraya.“Kalian membohongiku! Mana yang kalian janjikan!” bentak Hardi yang tidak terima karena tak bisa mendapatkan Naraya.“Aku sudah luka begini pun kalian juga tidak tanggung jawab, sekarang kalian mau main kabur, padahal sudah mendapatkan uang dariku!” sembur Hardi lagi. Pria berusia empat puluh tahun itu memang sangat menginginkan Naraya, bahkan pernah berniat menjadikan kekasih Kalandra itu sebagai simpanan, tapi tentunya ditolak mentah-mentah oleh Naraya.Nayla dan Prams saling senggol kaki, keduanya menunduk karena tidak bisa menepati janji.“Beri kami waktu lagi, kami pasti akan membawanya ke hadapan Anda,” kata Nayla terlihat salah tingkah. Jangan sampai pria itu memintanya mengembalikan uang yang jelas sudah habis.“Jangan buat janji lagi, kamu lihat ini!” Hardi menunjukkan kepala yang masih ada bekas
Naraya sedang membersihkan dapur saat mendengar suara pintu terbuka, hingga melihat Nayla baru pulang pada pukul sepuluh malam.“Dari mana kamu, jam segini baru pulang? Apa kamu tidak tahu jika Ibu sangat mencemaskanmu?” Naraya langsung menanyakan dari mana adiknya itu pergi.Nayla memicingkan mata ke arah Naraya yang ada di dapur saat mendengar suara kakaknya itu. Hingga perasaan kesal dan benci semakin bercokol saat ingat bagaimana dirinya harus melayani Hardi, pria tua bangka yang membuatnya risih. Semua itu akibat Naraya yang kabur malam itu, membuatnya kini harus membayar semuanya.“Untuk apa kamu sok-sok tanya dan perhatian, hah!” bentak Nayla yang kesal.Naraya sangat terkejut mendengar Nayla membentaknya, meski ini bukanlah pertama kali adiknya bersikap kasar kepadanya.“Aku hanya tanya karena Ibu sejak tadi cemas, kenapa kamu harus membentakku?” Naraya mulai kesal karena semakin hari Nayla semakin bersikap buruk.Nayla membanting tas ke lantai, kemudian berjalan cepat mengham
Dinginnya malam tak mampu membuat tubuh itu menggigil, rasa sakit yang menyelimuti membuat hati mati.Naraya melangkah meninggalkan rumah ibunya di malam yang begitu dingin, terus berjalan tanpa arah dengan pakaian dan alas kaki seadanya. Hatinya sakit kembali diingatkan akan kesalahan hingga membuat ayah tirinya meninggal, sebuah tragedi yang tak pernah siapapun harapkan.Hingga entah sampai mana Naraya melangkah, kakinya begitu lelah hingga akhirnya terduduk di trotoar sambil menangis. Dia menunduk dengan buliran kristal bening yang luruh hingga membasahi tanah, kedua pundak bergetar hebat karena tak sanggup lagi menahan kepedihan.Naraya seperti pengemis jalanan yang sedang meminta belas kasih, duduk dengan rambut yang acak-acakan serta menunduk dan menangis. Hingga dia pun mengeluarkan ponsel dengan tangan bergetar, kemudian menghubungi Kalandra karena hanya pemuda itu yang bisa mengobati sedikit kesedihannya.“A-Al.” Naraya bicara dengan suara bergetar.“Ra, ada apa? Kenapa kamu
Kalandra mengajak Naraya ke apartemen. Di sana meminta kekasihnya itu berganti pakaian karena yang dikenakan kotor.Naraya keluar dari kamar mandi mengenakan kemeja Kalandra, di sana tak memiliki pakaian karena semua yang dibelikan pemuda itu dibawanya pulang. Sedangkan ini sudah terlalu malam dan tentunya toko pakaian sudah tutup.“Kemarilah!” perintah Kalandra. Dia menepuk sisi ranjang dan meminta Naraya duduk di sampingnya.Naraya sedikit merasa canggung karena penampilannya, kemeja yang dikenakan memang kebesaran tapi bagian bawah hanya sepanjang paha dan itu membuatnya sedikit tak nyaman.Kalandra kembali menepuk kasur karena Naraya tak kunjung mendekat, menatap kekasihnya itu malah kebingungan dan berusaha menarik ujung kemeja ke bawah.“Kenapa? Aku sudah pernah melihat pahamu, kenapa harus malu?” tanya Kalandra menebak jika kekasihnya itu sedang kikuk.Naraya mencebik, kenapa Kalandra harus bicara demikian. Dia pun akhirnya mencoba tak acuh dengan penampilan, kemudian mendekat
Senyum yang dulu secerah matahari, kini begitu suram karena awan hitam yang menghalangi. Butuh sebuah angin perubahan untuk menyingkirkan awan hitam yang terus menghalangi kebahagiaan.Kalandra memandang Naraya yang sudah tidur, wajah gadis itu begitu damai seolah tanpa beban dan sedang bermimpi sesuatu yang begitu indah. Kalandra awalnya juga ingin tidur, tapi kelopak matanya menolak terpejam karena memikirkan kejadian yang menimpa Naraya.Hingga gendang telinga mendengar suara derit ponsel yang berada di atas nakas. Kalandra pun segera bangun dan berniat mematikan ponsel karena tak ingin menganggu tidur kekasihnya yang lelap setelah menangis begitu lama.Ekspresi wajah Kalandra berubah sengit saat tahu ponsel siapa yang berdering. Dia kesal melihat nama Sofia terpampang di layar ponsel Naraya.“Mau apa wanita ini menghubungi?” Kalandra bertanya-tanya dalam hati dengan rasa geram.Di rumah Sofia. Wanita itu kelimpungan saat tak mendapati Naraya di rumah. Dia sejak tadi mencoba menena