“Kalian akan tetap tinggal di rumah, ‘kan? Maksud Mama tidak akan tinggal di rumah sendiri, jadi masih di sini. Lagi pula Naraya juga harus tetap ada yang menemani dan tidak boleh sendirian.” Evangeline menatap Kalandra dan Naraya bergantian.Kalandra dan Naraya sudah pulang, keduanya kini sedang duduk bersama dengan Evangeline di ruang keluarga.“Iya, Ma. Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepada Naraya saat aku tinggal kerja, jangan sampai kejadian yang tidak diinginkan terulang kembali,” ucap Kalandra sambil menggenggam telapak tangan Naraya, lantas memandang istrinya itu.Evangeline sangat senang mengetahui hal itu, dengan demikian dirinya tidak perlu lagi mencemaskan karena bisa ikut memantau dan memastikan keselamatan Naraya.“Nanti Mama akan tambah satu pelayan, jadi dia akan bertugas untuk memenuhi kebutuhan Nira. Mama tidak mau Nira kekurangan sesuatu di rumah,” ujar Evangeline yang begitu sangat peduli dengan Naraya.“Terima kasih, Ma.” Naraya senang karena Evangeline sangat pe
“Tugasmu hanya memastikan semua kebutuhan putriku terpenuhi. Aku tidak mau ada kesalahan atau keluhan karena putriku butuh perhatian khusus. Selalu ada setiap kali dia memanggil dan jangan banyak beralasan.” Demi Naraya, kini Evangeline bersikap tegas ke pelayan rumah.Naraya sendiri merasa tidak enak hati, soalnya dia juga sebenarnya tidak perlu pelayan khusus. Dia ingin mandiri dan membiasakan diri dengan kondisinya, tapi Evangeline mencemaskan setiap waktu. Membuat Naraya akhirnya mau tidak mau menerima semua keputusan Evangeline.“Baik, saya mengerti Nyonya,” ucap pelayan berumur sekitar dua puluhan itu.Evangeline sebenarnya meminta ke agency penyalur tenaga kerja untuk mencarikan yang sudah pengalaman, tapi karena tidak ada pilihan lain, hingga akhirnya membuatnya menerima pelayan itu.“Ini putriku Anira.” Evangeline memperkenalkan Naraya ke pelayan baru itu.“Saya Mila, Nona.” Pelayan itu terlihat sopan.Naraya mengangguk mendengar suara Mila, dari suara itu Naraya bisa menebak
Mila menatap bayangan dari pantulan cermin. Sesekali mengusap wajah dan merapikan rambutnya yang tergerai.“Aku juga cantik, tidak kalah sama istri butanya Tuan Kalandra. Kalau aku menggodanya, apa aku salah.”Mila tersenyum miring setelah mengucapkan kalimat itu. Dia membuka ponsel karena berkedip dan ada pesan masuk di sana. Mila membaca pesan yang didapatkan dan membalasnya lagi.“Ah … tampaknya aku harus bekerja keras agar bisa memikatnya,” gumam Mila.**Kalandra berada di ruang kerjanya karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Mila yang malam itu belum tidur, melihat lampu ruang kerja Kalandra terbuka.“Kebetulan sekali,” gumam Mila.Mila mengetuk pintu, membuat Kalandra menoleh ke arahnya.“Ada apa?” tanya Kalandra saat melihat Mila di ambang pintu.“Apa Anda lembur? Mau saya buatkan kopi?” tanya Mila.Kalandra melirik ke cangkir yang memang sudah kosong, hingga kemudian memandang ke Mila.“Baiklah, buatkan secangkir kopi,” perintah Kalandra.Mila mengangguk dengan seulas
“Ini minumlah.” Kalandra memberikan segelas air putih untuk Naraya.“Terima ka … sih.” Naraya menerima air putih itu dengan sedikit perasaan heran, hidungnya mencium aroma wangi dan manis dari tangan suaminya. Sedangkan Naraya tahu jika Kalandra tidak pernah memakai parfum seperti itu.“Ada apa?” tanya Kalandra karena Naraya tidak langsung minum.“Oh … tidak ada.” Naraya tersadar dari lamunan, kemudian memilih segera minum.Kalandra dengan setia menunggu, lantas mengambil kembali gelas kosong dari tanan Naraya.Naraya masih memikirkan bau parfum siapa hingga menempel di tangan suaminya, sampai dia tidak tahu jika Kalandra ternyata mengamati Naraya yang hanya diam.“Mau tidur lagi, hm ….” Kalandra berjongkok di depan Naraya sambil memegang kedua telapak tangan istrinya itu.Naraya mengangguk-angguk, kemudian melepas tangan dari Kalandra untuk naik ke tempat tidur. Kalandra sendiri membantu Naraya dan menaikkan selimut untuk menutupi kaki sang istri, sebelum dia juga ikut naik ke ranjan
Naraya melingkarkan kedua lengan di leher Kalandra saat suaminya itu berganti posisi dan kini berada di atas tubuhnya. Dia memejamkan mata dengan bibis saling bertautan akan ciuman yang semakin panas dan bergairah.Kalandra menindih tubuh Naraya, satu tangan menaikkan ujung baju tidur yang dikenakan Naraya hingga sebatas paha, kemudian tangan menelusup masuk hingga menyentuh bagian inti tubuh istrinya.Naraya sedikit berjengit ketika tangan Kalandra menyentuh area sensitifnya, membuat Kalandra melepas pagutan bibir mereka dan juga menjauhkan tangannya.“Ada apa, Ra?” Kalandra takut Naraya trauma kembali.“Tidak apa-apa, hanya sedikit terkejut.” Naraya bicara sambil mengulas senyum.“Kamu benar-benar ingin melakukannya?” tanya Kalandra memastikan.“Aku menginginkanmu, Al.” Tatapan Naraya begitu sayu, wajahnya merah karena menahan sesuatu yang mulai naik dan menguasai pikirannya.Kalandra pun menuruti ucapan Naraya karena dia pun mulai terpancing gairah untuk melakukan penyatuan dengan
Mila masuk ke kamar Naraya setelah Kalandra pergi, hendak membersihkan kamar itu sesuai dengan pekerjaannya.“Saya akan membersihkan ranjang dulu, Nona.” Mila bicara dengan Naraya yang duduk di ranjang.“Oh, tentu.” Naraya hendak turun dari ranjang, Mila langsung mendekat dan membantu majikannya itu turun.Naraya mencium aroma parfum yang sama dengan semalam dirinya cium dari tangan Kalandra. Hingga dia tertegun beberapa saat dalam posisi berdiri.“Nona, Anda baik-baik saja?” tanya Mila saat melihat Naraya melamun.Naraya menggelengkan kepala, lantas memanjangkan tongkat dan berjalan dengan bantuan tongkat.Mila mengamati Naraya yang berjalan menuju sofa, hingga kemudian tersenyum miring seolah mengejek Naraya yang buta.“Aku yakin dia hanya dijadikan pelampiasan saja, apa hebatnya wanita buta itu,” gumam Mila dalam hati.**Naraya duduk termenung seoran diri, memikirkan parfum yang diciumnya membuat pikirannya tidak tenang. Dia berjalan menuju pintu, lantas mengunci kamarnya.Naraya
“Biar aku yang buatkan.” Naraya berada di dapur dan ingin membuatkan kopi untuk Kalandra yang baru pulang bekerja.“Tapi Nona, bagaimana kalau tangan Anda terkena air panas?” tanya pelayan rumah yang sudah bekerja di sana bertahun-tahun lamanya.“Aku akan hati-hati, mungkin simbok bisa bantu tuangkan airnya, aku yang akan meracik kopinya,” jawab Naraya. Sejak dirinya buta, Naraya tidak pernah lagi membuatkan kopi untuk Kalandra. Dia tahu kalau suaminya sangat suka kopi buatannya, karena itu dia bersikukuh ingin membuatkan untuk Kalandra sore itu.Mila melihat Naraya yang sedang bicara dengan pelayan senior di sana, hingga terlintas sebuah ide di kepalanya, membuat Mila akhirnya mendekat dan menghampiri keduanya.“Mbok, biar saya yang bantu Nona, Simbok kerjakan yang lain saja,” kata Mila mencoba mengambil alih untuk mengurus Naraya.Pelayan rumah Evangeline itu menoleh, hingga kemudian menatap Naraya sebelum akhirnya mengangguk setuju.“Ya sudah, soalnya aku masih harus menyiapkan mak
Kalandra menurunkan Naraya di ranjang, kemudian kembali memperhatikan tangan sang istri yang terluka.“Kenapa kamu membuat kopi sendiri? Kenapa tidak minta tolong ke pelayan saja?” tanya Kalandra yang tidak bisa melihat istrinya terluka.“Aku ingin sekali membuatkan kopi lagi untukmu,” jawab Naraya sambil menahan panas di kulit karena tumpahan kopi panas.“Tapi kalau kamu terluka seperti ini, aku malah akan mencemaskanmu,” ujar Kalandra. Ditatapnya wajah Naraya yang begitu sedih. “Kenapa kamu juga tiba-tiba ingin membuatkan kopi untukku?” tanya Kalandra kemudian, satu tangan digunakan untuk menyentuh pipi Naraya.Naraya terdiam, hingga kemudian teringat akan percakapannya dengan Kenan dan Amanda siang tadi.“Al, boleh aku tanya sesuatu? Jujur, aku tidak bisa memendamnya sendiri,” ujar Naraya.“Tanya saja, apa yang tidak boleh kamu tanyakan? Kamu berhak bertanya jika memang menginginkan,” balas Kalandra mengizinkan.Naraya menarik napas panjang, kemudian menghela perlahan. Dia pun memb
“Aku mau gendong bayinya.” Amanda yang baru saja datang, mengambil alih bayi yang berada di gendongan Nayla.“Dia tampan sekali,” ujar Amanda saat menggendong bayi itu.“Cantik, dia itu cewek.” Nayla meralat karena yang digendong Amanda adalah Abigail.Amanda terlihat bingung, bukankah Naraya bilang hamil anak kembar laki-laki, kenapa jadi perempuan.“Jadi, anak kembarnya Na itu sebenarnya cewek dan cowok.” Nayla kembali menjelaskan.“Wah … ternyata mereka sepasang,” gumam Amanda penuh pengaguman.Naraya sudah bisa duduk, Kalandra menemaninya dengan duduk di ranjang samping Naraya dan jemarin mereka saling bertautan.Ayres dikuasi Milea dan Evangeline karena bayi laki-laki itu sangat menggemaskan.“Man, kamu juga cepetan hamil ya, ga usah nunda-nunda apalagi pakai kontrasepsi. Mama ‘kan juga mau punya cucu seperti ini,” ucap Milea yang merasa iri karena Evangeline sudah mendahuluinya mendapatkan cucu, sedangkan dulu saja dia duluan yang mendapatkan anak.Wajah Amanda merona mendengar
“Aku mau gendong.” Nayla begitu bersemangat saat perawat mengantar bayi kembar Naraya ke ruang inap sang kakak.Naraya sudah dipindah ke ruang inap dan akan diobservasi karena kelelahan dan banyak kehilangan cairan tubuh.Naraya hanya tersenyum melihat sang adik yang sangat bersemangat. Tubuhnya masih lemah sehingga tidak mau berebut bayinya dengan Nayla atau Evangeline.Nayla menggendong satu bayi dan Evangeline menggendong bayi satunya, cukup adil karena mereka tidak perlu berebut dan menanti giliran untuk menggendong.“Akan kalian kasih nama siapa?” tanya Devan yang berdiri di samping Evangeline, telunjuk tampak menusuk pipi bayi laki-laki yang terlihat begitu menggemaskan.“Ayres Rajendra dan Abigail Rajendra,” jawab Kalandra. Dia sebenarnya menyiapkan dua nama laki-laki, karena bayi satunya perempuan, membuat Kalandra mencari nama dadakan.“Tunggu, kenapa Abigail? Itu nama cewek.” Protes Nayla sambil menimang bayi perempuan Naraya.“Yang kamu gendong itu perempuan, Nay.” Kalandra
“Kepala bayinya sudah terlihat, apa Ibu siap menyambut mereka?” tanya dokter yang sejak awal memang menangani kehamilan Naraya. Mengajak bicara agar Naraya tidak tegang karena harus berusaha mengeluarkan dua bayi.Naraya tidak mampu berkata-kata, perutnya benar-benar sudah terasa sakit hingga membuatnya hanya menganggukkan kepala.Kalandra setia berada di samping Naraya. Dia menggenggam telapak tangan istriya itu sambil terus menatap ke wajah sang istri. Dia bisa melihat bagaimana Naraya kesakitan bahkan menangis karena akan melahirkan, membuatnya benar-benar tidak tega hingga sesekali mengecup kening Naraya.“Kamu pasti bisa, kamu kuat demi anak kita,” bisik Kalandra memberi semangat.Naraya menggenggam erat telapak tangan Kalandra, sesekali terlihat mengatur napas karena kontraksi yang sudah tidak tertahankan.“Saat kontraksinya terasa kuat, Ibu bisa mulai mengejan,” ujar dokter memberikan aba-aba.Kening sudah bermanik di seluruh wajah Naraya, bahkan kulit wajah pun kini sudah beru
Naraya terlihat gelisah dan tidak bisa tidur malam itu. Pinggangnya terasa panas dan perutnya mulas berulang kali. Dia hendak bergerak ke kanan dan kiri, tapi kesusahan karena perut yang mengganjal.“Ra, kamu tidak bisa tidur lagi?” tanya Kalandra yang bisa merasakan pergerakan Naraya di atas tempat tidur.“Iya, Al. Pinggangku sakit,” ucap Naraya sambil meringis menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya.Kalandra meminta Naraya untuk berbaring dengan posisi miring menghadap ke arahnya, lalu dia mengusap-usap pinggang istrinya itu.“Bagaimana?” tanya Kalandra. Biasanya jika diusap seperti itu, Naraya akan merasa nyaman.“Masih sakit,” rengek Naraya.“Aku ingin bangun,” ucap Naraya berusaha bangun.Kalandra buru-buru bangun, kemudian membantu Naraya untuk duduk. Dia cemas karena tidak biasanya Naraya mengeluh sampai seperti itu.Naraya mengangsurkan kaki perlahan ke lantai, hingga saat kedua kaki menapak di lantai, Naraya merasakan sesuatu pecah dan kini di paha mengalir air sampai menet
“Aku juga awalnya malu, Man. Tapi kemudian aku berpikir, untuk apa malu, entah sekarang atau esok, aku tetap harus melakukannya, tidak mungkin mengecewakannya.”Ucapan Naraya terngiang di telinga, Amanda kini sedang di kamar mandi dan baru saja membersihkan diri setelah acara resepsi selesai sekitar empat jam yang lalu. Dia berada di kamar mandi kamar Kenan, terlihat bingung karena ini adalah malam pertama mereka di sana.“Bagaimana jika Kenan terlanjut tidak menginginkan karena aku menundanya beberapa kali?” Amanda bertanya-tanya sendiri karena bingung harus bagaimana.Kenan terlalu baik dengan menyetujui untuk menunda melakukan hubungan suami-istri, tapi Amanda sendiri tidak tahu apakah benar Kenan ikhlas atau hanya terpaksa.Amanda menoleh ke belakang di mana ada lingerie yang disiapkannya tapi belum dikenakan. Haruskah dia menggoda Kenan, agar suaminya itu tahu kalau dia sekarang sudah siap.“Baiklah, kamu wanita modern dan tidak takut akan hal itu, Man.” Amanda menyemangati diri
Hari itu Naraya hanya duduk menanti acara resepsi pernikahan Amanda dan Kenan dimulai. Dia tidak bisa membantu banyak hal karena kondisinya yang sudah hamil besar.Orang-orang berlalu-lalang menyiapkan diri untuk berangkat menuju rumah Kenan. Amanda sudah didandani begitu cantik dengan gaun yang tidak terlalu mewah tapi begitu indah.“Kita siap berangkat sekarang,” kata Kalandra saat menghampiri istrinya.Naraya mengangguk, kemudian berusaha berdiri meski agak kesusahan. Kalandra pun dengan sigap memegang pundak dan lengan Naraya, membantu istrinya itu berdiri dengan tegap.“Terima kasih,” ucap Naraya setelah sudah berdiri dengan benar.“Ra, apa kamu sakit?” tanya Kalandra karena wajah Naraya terlihat pucat. Kalandra takut jika istrinya kecapean.Naraya menangkup kedua pipi saat mendengar pertanyaan Kalandra, dia sudah menggunakan make up tipis, apa mungkin masih terlihat pucat.“Aku baik-baik saja, mungkin karena semalam kurang tidur akibat mereka terus menendang,” jawab Naraya sambi
Hari pernikahan Kenan dan Amanda pun tiba, mereka menikah tiga bulan setelah acara lamaran berlangsung. Mereka melakukan akad di rumah Amanda, tapi sepakat mengadakan pesta di rumah Kenan karena Milea yang meminta dan disetujui oleh keluarga Amanda.Naraya sendiri senang karena pesta diadakan di rumah Milea, sehingga dia tidak harus bepergian ke luar kota dalam kondisi hamil besar. Usia kandungan Naraya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan ukuran perutnya pun begitu besar karena bagi kembarnya.“Untung kalian menikah di sini, jadi aku tidak kerepotan pergi ke luar kota,” ucap Naraya saat mendatangi kamar Amanda.Amanda dan keluarganya diberi tempat di rumah Evangeline agar memudahkan mereka saat pergi ke rumah Kenan.Amanda langsung berlutut di depan Naraya yang sedang duduk, lantas mengusap-usap lembut permukaan perut temannya itu.“Aunty ‘kan baik, jadi ga mau nyusahin kalian,” ucap Amanda dengan tangan mengelus perut Naraya.Usai bicara demikian, terasa gerakan bergeser di p
Kalandra berbaring berbantal paha Naraya, dengan posisi miring dia menghadap ke perut sang istri dan terlihat sesekali menciumnya manja.“Apa mereka lapar atau menginginkan sesuatu?” tanya Kalandra sambil mengusap perut Naraya lagi.“Mereka sudah makan banyak tadi, jadi ga mau apa-apa lagi,” jawab Naraya sambil mengusap rambut suaminya.Kalandra kembali mencium perut Naraya, sebelum kemudian bangun dan mencium bibir istrinya itu.“Sekarang papinya yang menginginkan sesuatu,” ujar Kalandra dengan senyum menggoda.“Mau apa?” tanya Naraya dengan dahi berkerut halus.“Mau nengokin mereka,” jawab Kalandra tanpa basa-basi.Naraya terkesiap tapi kemudian terlihat malu karena ternyata suaminya meminta jatah. Kalandra memang tidak pernah meminta saat usia kandungannya masih di trimester pertama, itu karena larangan dari dokter agar kondisi jalan rahimnya tidak terbuka karena berhubungan intim. Namun, dokter mengizinkan jika berhubungan setelah masuk di trimester kedua.“Boleh, tapi jangan buat
Hari itu Naraya dan yang lainnya pergi untuk ikut dalam acara lamaran yang akan dilakukan Kenan. Setelah beberapa bulan berpacaran, akhirnya Kenan memantapkan hati untuk melamar Amanda.Semua orang singgah di hotel sebelum acara lamaran yang akan dilakukan esok hari, sedangkan Naraya meminta izin tinggal di rumah Amanda karena melepas rindu dengan temannya itu.“Perutmu besar sekali, Na? Bukankah kamu bilang baru lima bulan?” tanya Amanda keheranan.“Aku lupa bilang kalau mereka kembar,” ujar Naraya saat melihat temannya terheran-heran melihat perutnya yang besar.“Kembar?” Amanda seolah tidak percaya jika Naraya akan memiliki bayi kembar.Naraya mengangguk-angguk, sebelum kemudian berbisik, “Mereka laki-laki.”Amanda semakin tidak percaya karena Naraya bisa seberuntung itu. Dia menyentuh perut Naraya yang besar, penasaran sedang apa bayi kembar Naraya sekarang.Saat tangan Amanda sedang menyentuh dan mengusap lembut, tiba-tiba terasa gerakan dari dalam sana.“Mereka bergerak.” Amanda