Kalandra berbaring dengan posisi telentang dan satu tangan digunakan untuk bantal, tatapannya tertuju ke langit-langit kamar, sebelum kemudian menoleh dan melihat Naraya yang tidur dengan posisi memunggungi dirinya.Andai bisa mengumpat, dia ingin sekali memaki trauma yang menyerang Naraya, semua yang terjadi juga karena kelalaiannya yang membuat Naraya seperti sekarang. Andai dirinya tidak meninggalkan gadis itu, pastinya Naraya tidak akan seperti sekarang ini.Naraya hanya memejamkan mata dan belum sepenuhnya terlelap dalam mimpi. Dia masih takut dan syok jika Kalandra menyentuhnya dan bayangan akan perbuatan Hardi kembali melintas. Naraya mencoba melupakan semuanya, tapi dirinya tidak cukup kuat untuk melawan. Dia tahu jika kini mungkin telah menyakiti Kalandra, suaminya pasti berharap banyak tapi dirinya tidak bisa memenuhi hal itu.Naraya memejamkan mata rapat sambil menggigit bibir bawahnya, bagaimana caranya untuk melawan rasa takut itu, dia tidak ingin mengecewakan Kalandra. H
Rasa takut itu hanya dia yang mampu melawannya, dia harus memilih apakah akan selamanya diperbudak oleh trauma yang dialami, ataukah melawannya dan menghancurkan rantai ketakutan yang mengikat.Naraya memang takut saat merasakan pakaian yang kini terbuka, tapi terus berusaha menahan agar bibir tidak menjerit atau berteriak agar ketakutan itu tak muncul di permukaan.Kalandra sedikit ragu, tapi melihat Naraya yang tidak ketakutan seperti tadi, membuatnya melanjutkan apa yang sedang dilakukan. Dia kembali mencium bibir Naraya setelah melepas pakaian miliknya dan sang istri, melumat bibir itu sambil mencengkram jemari-jemari lentik Naraya.Naraya memejamkan mata rapat-rapat saat kulit mereka bersentuhan, gelenyar aneh menjalar di seluruh tubuh saat merasakan hangat tubuh pemuda yang sudah menjadi suaminya.Kalandra menyentuh tubuh Naraya, saat itu sang istri terkejut hingga hampir berjingkat dari tempatnya.“Ra.” Kalandra takut Naraya panik seperti tadi.“Aku tidak apa-apa, hanya sedikit
“Pakailah apa pun yang ingin kamu pakai, jangan sungkan.”Suara Angel mengejutkan Amanda yang sedang berdiri di depan meja rias. Meski di rumah besar itu banyak kamar yang bisa ditempati, tapi Angel bersikukuh jika Amanda harus tidur bersamanya malam itu, tentu saja Angel punya tujuan tersendiri sehingga menginginkan Amanda malam itu tidur bersamanya.“Tidak, Kak. Saya hanya lihat saja,” ucap Amanda jadi merasa canggung.Keluarga Kenan sangat terbuka dan baik, membuatnya merasa sungkan saat masuk rumah itu. Orangtua dan kakak Kenan sama sekali tidak keberatan akan hubungan antara dirinya dan Kenan. Bahkan mereka tidak mempermasalahkan status Amanda yang bukan dari kalangan orang kaya.“Ah … kamu pasti malu,” balas Angel sambil mendekat ke arah Amanda berdiri. “Kamu juga jangan berbicara dengan kalimat formal, membuatku merasa seperti sedang bicara dengan klien.”Amanda tertawa kecil mendengar Angel memprotes cara bicaranya, kemudian berkata jika akan mengubahnya jika itu tidak disukai
Milea naik ke lantai atas karena ingin pergi ke kamar Angel mengantar dua gelas susu. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Kenan yang berdiri di depan pintu sambil menyentuhkan telinga di pintu. Membuat wanita itu mengerutkan dahi karena heran.“Kamu ngapain?” tanya Milea hingga membuat Kenan terkejut.“Ngapain di situ? Nguping?” tanya Milea lagi.Kenan memberi isyarat agar Milea tidak bicara keras-keras, lantas mendekat untuk bicara dengan sang mama.“Aku hanya ingin tahu apa mereka sudah tidur, kenapa mereka berdua terdengar tenang,” ujar Kenan menjelaskan meski berbohong.Milea mengerutkan dahi, tentu saja tidak langsung percaya begitu saja.“Apa iya?” tanya Milea.“Iya, Ma,” jawab Kenan meyakinkan. “Masa Mama tidak percaya.”Milea mencoba percaya saja karena tidak ingin berdebat. Wanita itu kembali melangkah menuju kamar Angel, hingga ingat akan sesuatu dan kembali menoleh ke arah Kenan.“Ke, apa kamu serius dengan Manda?” tanya Milea tiba-tiba.Kenan terkejut mendapatkan perta
“Kalian akan tetap tinggal di rumah, ‘kan? Maksud Mama tidak akan tinggal di rumah sendiri, jadi masih di sini. Lagi pula Naraya juga harus tetap ada yang menemani dan tidak boleh sendirian.” Evangeline menatap Kalandra dan Naraya bergantian.Kalandra dan Naraya sudah pulang, keduanya kini sedang duduk bersama dengan Evangeline di ruang keluarga.“Iya, Ma. Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepada Naraya saat aku tinggal kerja, jangan sampai kejadian yang tidak diinginkan terulang kembali,” ucap Kalandra sambil menggenggam telapak tangan Naraya, lantas memandang istrinya itu.Evangeline sangat senang mengetahui hal itu, dengan demikian dirinya tidak perlu lagi mencemaskan karena bisa ikut memantau dan memastikan keselamatan Naraya.“Nanti Mama akan tambah satu pelayan, jadi dia akan bertugas untuk memenuhi kebutuhan Nira. Mama tidak mau Nira kekurangan sesuatu di rumah,” ujar Evangeline yang begitu sangat peduli dengan Naraya.“Terima kasih, Ma.” Naraya senang karena Evangeline sangat pe
“Tugasmu hanya memastikan semua kebutuhan putriku terpenuhi. Aku tidak mau ada kesalahan atau keluhan karena putriku butuh perhatian khusus. Selalu ada setiap kali dia memanggil dan jangan banyak beralasan.” Demi Naraya, kini Evangeline bersikap tegas ke pelayan rumah.Naraya sendiri merasa tidak enak hati, soalnya dia juga sebenarnya tidak perlu pelayan khusus. Dia ingin mandiri dan membiasakan diri dengan kondisinya, tapi Evangeline mencemaskan setiap waktu. Membuat Naraya akhirnya mau tidak mau menerima semua keputusan Evangeline.“Baik, saya mengerti Nyonya,” ucap pelayan berumur sekitar dua puluhan itu.Evangeline sebenarnya meminta ke agency penyalur tenaga kerja untuk mencarikan yang sudah pengalaman, tapi karena tidak ada pilihan lain, hingga akhirnya membuatnya menerima pelayan itu.“Ini putriku Anira.” Evangeline memperkenalkan Naraya ke pelayan baru itu.“Saya Mila, Nona.” Pelayan itu terlihat sopan.Naraya mengangguk mendengar suara Mila, dari suara itu Naraya bisa menebak
Mila menatap bayangan dari pantulan cermin. Sesekali mengusap wajah dan merapikan rambutnya yang tergerai.“Aku juga cantik, tidak kalah sama istri butanya Tuan Kalandra. Kalau aku menggodanya, apa aku salah.”Mila tersenyum miring setelah mengucapkan kalimat itu. Dia membuka ponsel karena berkedip dan ada pesan masuk di sana. Mila membaca pesan yang didapatkan dan membalasnya lagi.“Ah … tampaknya aku harus bekerja keras agar bisa memikatnya,” gumam Mila.**Kalandra berada di ruang kerjanya karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Mila yang malam itu belum tidur, melihat lampu ruang kerja Kalandra terbuka.“Kebetulan sekali,” gumam Mila.Mila mengetuk pintu, membuat Kalandra menoleh ke arahnya.“Ada apa?” tanya Kalandra saat melihat Mila di ambang pintu.“Apa Anda lembur? Mau saya buatkan kopi?” tanya Mila.Kalandra melirik ke cangkir yang memang sudah kosong, hingga kemudian memandang ke Mila.“Baiklah, buatkan secangkir kopi,” perintah Kalandra.Mila mengangguk dengan seulas
“Ini minumlah.” Kalandra memberikan segelas air putih untuk Naraya.“Terima ka … sih.” Naraya menerima air putih itu dengan sedikit perasaan heran, hidungnya mencium aroma wangi dan manis dari tangan suaminya. Sedangkan Naraya tahu jika Kalandra tidak pernah memakai parfum seperti itu.“Ada apa?” tanya Kalandra karena Naraya tidak langsung minum.“Oh … tidak ada.” Naraya tersadar dari lamunan, kemudian memilih segera minum.Kalandra dengan setia menunggu, lantas mengambil kembali gelas kosong dari tanan Naraya.Naraya masih memikirkan bau parfum siapa hingga menempel di tangan suaminya, sampai dia tidak tahu jika Kalandra ternyata mengamati Naraya yang hanya diam.“Mau tidur lagi, hm ….” Kalandra berjongkok di depan Naraya sambil memegang kedua telapak tangan istrinya itu.Naraya mengangguk-angguk, kemudian melepas tangan dari Kalandra untuk naik ke tempat tidur. Kalandra sendiri membantu Naraya dan menaikkan selimut untuk menutupi kaki sang istri, sebelum dia juga ikut naik ke ranjan