Kenzie memindai sekeliling. Udara pagi ini terasa begitu sejuk, berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang tak karuan. Perasaan bersalah, penyesalan, dan rasa khawatir bercampur menjadi satu. Ia tak bisa tenang sebelum mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada Kenzo. Biar bagaimanapun, dirinya telah bersalah karena menuduh lelaki itu.
“Pak, masih lama ya?” tanya Kenzie pada sopir taksi yang membawanya menuju kediaman Kenzo.
“Dua menit lagi, Mbak. Sabar ya,” balas sopir tersebut.
Dua menit kali ini terasa lebih lama dari biasanya. Kenzie tak henti melihat benda bulat yang melingkari pergelangan tangannya, guna memastikan apakah Kenzo masih berada di rumah, atau sudah berangkat bekerja.
“Baru setengah tujuh, harusnya masih di rumah,” gumam Kenzie.
Dua menit berhasil terlewati. Taksi yang membawa Kenzie berhenti tepat di depan rumah mewah bernuansa putih. Ia segera menyerahkan uang lima puluh ribuan pada sopi
Suara ribut-ribut seseorang membuat gadis yang masih lelap dalam tidurnya itu terganggu. Matanya terbuka perlahan, dan seketika membola sempurna saat setengah ingatan membawanya pada ,kejadian tadi malam, ketika dirinya dan Kenzo berada di ruangan yang sama. Langit-langit dan dinding kamar yang asing, membuat Alea segera menyingkap selimut. Ia sangat yakin, ruangan besar ini bukanlah kamarnya. Setelah seluruh ingatannya kembali, hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa apakah pakaiannya masih lengkap atau…“Seharusnya Bang Ken tidak melakukan apa pun. Semua pakaianku masih lengkap. Ya, aku yakin kami hanya tidur. Pasti begitu,” gumam Alea. Ia bergegas keluar dari kamar itu, sambil terus mensugesti diri, bahwa tidak ada yang terjadi antara dirinya dan Kenzo. Saat itulah telinganya menangkap percakapan dua manusia yang seperti tengah meributkan sesuatu. Alea diam seraya mencuri dengar, sampai akhirnya ia yakin kalau pemilik suara tersebut adalah Kenzie dan Kenzo. Jangan-jangan
“Bukan begitu, Ma,” jawab Kenzo.“Lantas apa?!” sahut Lidia. Ia memasang raut sedih dan kecewa atas sikap Kenzo yang sebenarnya wajar dilakukan pria dewasa yang sudah memiliki istri.“Ken hanya tidak ingin gagal dua kali,” ujar Kenzo tak sepenuhnya berbohong.“Ya sudah, kejar gadis itu.” Lidia menggantung ucapannya, seraya menatap dingin Kenzo. “Tapi, jangan pernah menyesal jika saat kau kembali, aku tak ada di muka bumi ini lagi,” tegasnya sembari melenggang pergi.Kenzo merasa syarat yang diajukan Lidia adalah pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia ingin mengejar Kenzie dan meminta maaf pada wanita tersebut. Tapi, statusnya sebagai anak membuat dia tak bisa leluasa melakukan itu. Aplagi, Kenzo merasa ucapan Lidia kali ini tidak main-main.“Arghhhh!” Kenzo menyugar rambutnya frustrasi. Ia benci situasi ini, situasi dimana seseorang berhasil memainkan emosinya.Kenzie dan Lidia sama-sama penting, dan memiliki tempat masing-masing. Haruskah dia memilih salah satunya? Jawabannya tentu tid
“Mbak, gimana keadaan Mama?” tanya Gala panik. Tadi, sewaktu mendapat kabar Melati jatuh dari kursi roda dan tak sadarkan diri, ia tak memikirkan apa pun lagi, selain keselamatan sang mama. Bahkan, dia terpaksa membatalkan janjinya pada Amanda.“Sudah tidak apa-apa, Gal. Kondisinya sudah stabil,” terang Sani sambil tersenyum tipis.“Syukurlah.” Gala menarik napas lega. Ia mengambil tempat di sisi kanan Melati, sembari menatap dalam wajah itu.“Tidak ke sekolah, Gal?” tanya Sani. Ia berdiri di samping Gala dan memandang pada objek yang sama.Pertanyaan Sani lebih terdengar seperti basa-basi, mengingat jarum penunjuk waktu sudah mengarah ke angka sembilan.“Sepertinya tidak, Mbak, aku ingin menemani Mama,” jawab Gala.Sani paham perasaan Gala. Oleh sebab itu, ia tak bertanya lebih lanjut, apalagi memaksa lelaki tersebut. “Kalau gitu, Mbak keluar sebentar ya, beli sarapan,”
“Capek, hmm?” Anggita menyambut kepulangan Bara seraya bergelayut manja di lengan lelaki itu.“Tidak, kau adalah obat paling mujarab untuk segala penyakit yang ada dalam diriku,” kelakar Bara sambil tersenyum lembut dan mencium kening Anggita.Kupu-kupu berterbangan memenuhi hati yang berbunga. Begitulah Anggita, wanita itu akan sangat bahagia ketika Bara menggodanya. Ia tak bisa membayangkan akan mejalani hidup seperti apa jika tanpa Bara. Sebab, menurutnya Bara adalah malaikat penolong yang dikirim Tuhan khusus untuknya.“Bang?” panggil Anggita. Ia menelisik wajah Bara, seakan tengah mencari sesuatu di sana.“Iya, sayang?”Mereka berjalan beriringan dengan Anggita yang terus menempel pada Bara. Keduanya seperti pasangan suami istri yang hidupnya dipenuhi kebahagiaan.“Kapan Abang berniat menikahiku?”Seketika, Bara menghentikan langkah. Ia cukup terusik dengan pertanyaan An
Kenzie kehilangan kendali bersamaan dengan tamparan keras yang mendarat sempurna di pipi Kenzo. Sekuat tenaga ia berusaha tak menangis, meskipun cacian dan hinaan lelaki itu benar-benar menyakiti. Bukannya menyembuhkan luka sebelumnya, dia malah menambah luka baru di tempat yang sama.Senyum miring terbit dari bibir Kenzo, ia menatap Kenzie seraya menyentuh pipinya yang terasa perih. “Kenzie,, Kenzie, kenapa kau marah? Bukankah ucapanku benar, hmm?”“Laki-laki brengsek! Pergi dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!” teriak Kenzie dengan emosi meledak-ledak.Melihat perseteruan yang kian memanas, Amanda tak tinggal diam. Ia menghampiri Kenzie dan berusaha menenangkan kakaknya. Biar bagaimanapun, ia tak mau melihat Kenzie menangis lagi. Meski, bulir bening yang menggantung di pelupuk mata sang kakak sudah tampak, dan akan terjun bebas hanya dengan satu kedipan saja. Dia berusaha mencegah agar hal itu tak terjadi, paling tidak sampai Ken
Seketika, Alea mundur beberapa langkah, membuat jarak dengan Gala. Raut wajahnya seperti orang bingung. Namun, ia juga tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya karena bertemu Kenzie.“Kak Ziezie.” Alea mendekat, ia menggapai punggung tangan Kenzie. “Seharian ini aku cari Kakak kemana-mana, syukurlah ketemu di sini.” Ia tampak sumringah, berbanding terbalik dengan eskpresi Kenzie yang terlihat datar dan dingin.“Mau apa kamu cari Kakak?” tanya Kenzie.“Kak, percaya sama aku, aku dan Bang Ken…”“Kakak gak peduli, Al, mau kamu ada apa-apa, atau gak ada apa-apa sekalipun terserah kalian,” ungkap Kenzie.Gala mengerutkan kening, merasa heran dengan Kenzie yang terlihat sangat kesal, dan Alea yang juga tampak merasa bersalah. Berada di tengah-tengah mereka membuatnya bingung harus bereaksi seperti apa. Alhasil, Gala memilih pamit lebih dulu, meninggalkan kakak beradik itu.“Ma
Dini hari menjelang pagi, Kenzo yang baru selesai memeriksa beberapa berkas menyandarkan punggungnya seraya memfokuskan perhatian pada ponsel pintar di genggaman. Matanya melebar kala mendapati Kenzie masih online di waktu seperti ini. Mengabaikan ego dan gengsi, ia segera menghubungi wanita itu. Pikirannya sudah kemana-mana, salah satunya bagaimana jika Bara sempat meminta nomor ponsel Kenzie, dan keduanya rutin berkomunikasi?Panggilan Kenzo tak kunjung dijawab, membuat lelaki itu menggeram kesal. Ia memutuskan mengirim pesan, kalau Kenzie juga tak membalas, dia akan menemui wanita tersebut dan menyeretnya secara paksa.“Kau mau mati! Jangan menguji kesabaranku, Kenzie!”Setelah pesan tersebut berhasil terkirim, Kenzo menunggu sembari mengetuk-etuk meja. Tatapannya tak lepas dari benda pipih yang tak kunjung memunculkan notifikasi.Satu menit, dua menit, hingga lima menit terlewati, notifkasi yang diharapkan Kenzo tak kunju
Alea melangkah riang disertai senyum lebar. Sebab, hidup sangatlah berat jika dilewati dengan muram. Masalahnya sudah sangat banyak, ia tak mau menambah beban pikiran dengan memperlihatkan kegalauan di depan umum. Karena jika demikian, orang-orang yang mengenalnya atau sekadar kepo saja akan banyak bertanya dan dia terlalu malas menjawab itu semua. “Zetta, tunggu.” Alea berlari-lari kecil untuk menyejajarkan langkahnya dengan Alzetta, yang saat ini berjarak tiga meter darinya. Alzetta menoleh sekilas kemudian memalingkan wajah. “Ada apa?” sinisnya. “Kamu tetangganya Kak Gala, kan?” tanya Alea saat sudah bersisian dengan Alzetta. Sebenarnya Alea tidak tahu persis apa yang membuat Alzetta berubah. Wanita itu tak pernah mau menjelaskan, hanya tiba-tiba bersikap dingin dan menghindar tanpa sebab yang jelas. “Kenapa?” ketus Alzetta. “Apa dia punya keluarga lain selain orang tua? Tante misalnya?” Alea mengutarakan isi kepala. Meskipun tahu Alzetta tak suka padanya, ia tetap ber
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.“Halo.”“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Dua Bulan Kemudian“Lusa, kau harus menemaniku ke luar kota!” titah Kenzo tak mau dibantah.“Untuk apa?”“Urusan pekerjaan,” jawab Kenzo singkat.“Tapi, Tuan, aku sudah berjanji akan berlibur bersama kekasihku.” Gala menolak secara halus. Pasalnya, ia dan Alea sudah sepakat akan pergi ke suatu tempat weekend ini.“Cih! Aku tidak peduli dengan urusan siapa pun!” sungut Kenzo.“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya carilah seseorang yang mau menemani kemanapun kau pergi, bukan…”“Siapa yang mengizinkanmu memberi saran, ha?!” potong Kenzo seraya mendelik.Gala nyaris tergelak melihat ekspresi marah Kenzo. Namun, tentu saja dia tak seberani itu, mengingat siapa Kenzo dan dimana mereka berada sekarang membuatnya harus menjaga sikap.“Tidak ada,” sesalnya seraya menundukkan kepala.“K
Flashback On“Brengsek!”Kenzo segera menghubungi nomor tersebut, usai memastikan Lidia dan Brata tak berada di sekitarnya.“Halo, Tuan,” ucap suara di seberang layar.“Aku tidak mau tahu, cari dia sampai dapat!” titah Kenzo. “Kalau perlu, kerahkan semua anak buahmu!” sambungnya.“Ba…ik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”“Kalau kau tak berhasil menemukannya, maka kepalamu yang akan jadi taruhannya!”Tut!Setelah ujaran bernada ancaman itu terlontar, Kenzo mematikan sambungan teleponnya kemudian menggulir layar. Ia mengotak-atik benda pintar tersebut beberapa saat, hingga senyum puas terbit kala membaca pesan balasan dari seseorang.“Malam ini kau akan masuk perangkapku, Bara!” gumamnya.Tanpa berlama-lama, Kenzo menyambar jaket dan kunci motor, memacu kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya tiba di sebuah klub malam.Bergegas turun dari motor dan melangkah masuk, Kenzo memintas sekeliling, mencari-cari keberadaan Bara di tengah lautan manusia. Suara dentu
“Permisi!”Seorang wanita mengenakan kemeja merah muda dan celana jeans hitam mengetuk pintu beberapa kali. Sambil menunggu pemilik rumah, matanya memintas segala arah, melihat dedaunan kering yang mengganggu penglihatan, juga beberapa bunga dalam pot yang tampilannya menyedihkan—hidup segan mati tak mau.Dalam hati ia bertanya-tanya, tumben sekali penampakan rumah ini seperti tak berpenghuni? Pasalnya, dia tahu betul sang pemilik sosok yang rajin dan menyukai tanaman.Lamunannya buyar kala mendengar suara derit pintu, diikuti wanita berseragam SMA menyembul dari baliknya.“Eh, Kak Anggita, silakan masuk, Kak,” ajak Alea ramah seraya membuka pintu lebih lebar.Anggita tersenyum tipis sembari mengikuti langkah Alea. Rumah minimalis ini tampak sepi, mungkinkah Alea tinggal seorang diri?“Silakan duduk. Maaf masih berantakan, aku sama Kak Manda belum sempet beres-beres, baru pindahan,” ucap Alea memecah hening sekaligus tanya di benak Anggita.Pindahan? Memang mereka darimana? Begitulah
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si