Dini hari menjelang pagi, Kenzo yang baru selesai memeriksa beberapa berkas menyandarkan punggungnya seraya memfokuskan perhatian pada ponsel pintar di genggaman. Matanya melebar kala mendapati Kenzie masih online di waktu seperti ini. Mengabaikan ego dan gengsi, ia segera menghubungi wanita itu. Pikirannya sudah kemana-mana, salah satunya bagaimana jika Bara sempat meminta nomor ponsel Kenzie, dan keduanya rutin berkomunikasi?
Panggilan Kenzo tak kunjung dijawab, membuat lelaki itu menggeram kesal. Ia memutuskan mengirim pesan, kalau Kenzie juga tak membalas, dia akan menemui wanita tersebut dan menyeretnya secara paksa.
“Kau mau mati! Jangan menguji kesabaranku, Kenzie!”
Setelah pesan tersebut berhasil terkirim, Kenzo menunggu sembari mengetuk-etuk meja. Tatapannya tak lepas dari benda pipih yang tak kunjung memunculkan notifikasi.
Satu menit, dua menit, hingga lima menit terlewati, notifkasi yang diharapkan Kenzo tak kunju
Alea melangkah riang disertai senyum lebar. Sebab, hidup sangatlah berat jika dilewati dengan muram. Masalahnya sudah sangat banyak, ia tak mau menambah beban pikiran dengan memperlihatkan kegalauan di depan umum. Karena jika demikian, orang-orang yang mengenalnya atau sekadar kepo saja akan banyak bertanya dan dia terlalu malas menjawab itu semua. “Zetta, tunggu.” Alea berlari-lari kecil untuk menyejajarkan langkahnya dengan Alzetta, yang saat ini berjarak tiga meter darinya. Alzetta menoleh sekilas kemudian memalingkan wajah. “Ada apa?” sinisnya. “Kamu tetangganya Kak Gala, kan?” tanya Alea saat sudah bersisian dengan Alzetta. Sebenarnya Alea tidak tahu persis apa yang membuat Alzetta berubah. Wanita itu tak pernah mau menjelaskan, hanya tiba-tiba bersikap dingin dan menghindar tanpa sebab yang jelas. “Kenapa?” ketus Alzetta. “Apa dia punya keluarga lain selain orang tua? Tante misalnya?” Alea mengutarakan isi kepala. Meskipun tahu Alzetta tak suka padanya, ia tetap ber
Kenzo menutup tirai sambil tersenyum tipis kala melihat perdebatan Aura dengan satpam di rumahnya. Dari kejauhan, ia bisa melihat wanita itu sangat kesal hingga berakhir meninggalkan kediamannya dengan langkah yang dihentak-hentakkan. “Kau sangat egois, Aura,” monolog Kenzo seraya berjalan menjauh. Waktu yang masih cukup pagi digunakan Kenzo untuk olahraga sejenak. Ia memutuskan lari pagi di sekitar komplek guna mendinginkan tubuh dan pikiran akibat Kenzie yang tak kunjung pulang. “Selamat pagi, Tuan. Anda mau kemana?” “Sekadar berkeliling komplek,” jawab Kenzo singkat. “Baiklah, aku akan ikut denganmu.” “Tidak perlu,” sela Kenzo. “Aku ingin mencari udara segar. Lagipula hanya sebentar,” sambungnya seraya berlalu. Mengenakan kaos putih polos dengan topi dan celana pendek serta sepatu hitam, membuat penampilan Kenzo saat ini terlihat sederhana, bahkan sama seperti masyarakat pada umumnya. Ya, dia memang sengaja berpenampilan begitu agar orang-orang tak mengenali siapa dirinya. S
“Psikopat!” Kenzo terus melangkah lebar, tak peduli pada makian dan umpatan-umpatan kasar yang dilayangkan Kenzie padanya. Netra hitam itu menatap lurus, mengabaikan bisik-bisik manusia yang menatap kagum sekaligus heran ke arahnya. Bahkan, ia sempat mendengar beberapa dari mereka merasa aneh, mengapa lelaki sesempurna Kenzo mau dengan gadis yang sangat biasa saja seperti Kenzie?Bukan hanya mereka, Kenzo sendiri pun heran. Tapi, persetan dengan semua itu, yang terpenting sekarang adalah Kenzie, ia akan membuat wanita itu mau kembali ke rumah dan melayani dirinya seperti dulu. Sebab, tanpa Kenzie hidupnya terasa hampa, hari-harinya tidak berwarna. Apakah yang begitu bisa disebut cinta? Entahlah, Kenzo belum bisa memastikan bagaimana perasaannya terhadap wanita tersebut. Satu yang pasti, dia tak suka jika melewati hari tanpa Kenzie. “Lepaskan aku! Kau tidak dengar, sejak tadi mereka semua berbisik tentang kita? Apa kau sengaja ingin mempermalukanku?” teriak Kenzie.
“Apa kau mencintaiku?” tanya Kenzie disela-sela ciuman mereka.Tanpa menghentikan aktivitas tersebut, Kenzo bergumam pelan, gumaman yang tak bisa Kenzie pahami. Namun, gumaman tersebut diikuti dengan gelengan singkat, yang artinya Kenzo sama sekali tak menaruh rasa pada Kenzie. Akan tetapi, bukannya menyudahi ciuman mereka, Kenzie malah semakin memperdalam lumatannya. Lidah keduanya saling membelit. Ia sadar, tak seharusnya dia bersikap seperti ini pada lelaki yang secara gamblang mengaku tak mencintainya. Tapi, entah mengapa, Kenzie merasa Kenzo berbohong. Lelaki itu seperti sengaja mendenial semua rasa yang bergejolak di dalam hatinya. “Benarkah?”Lagi-lagi, hanya gumaman jelas yang terdengar, disertai gigitan-gigitan kecil di bibir ranum Kenzie. “Lantas, mengapa kau bersikap seolah cemburu pada pria tadi? Dan, pent house ini terlalu berlebihan untuk diberikan pada wanita yang tak kau cintai,” cecar Kenzie. “Berhenti menanyaiku!” sungut Kenzo sembari menggendong tubuh Ken
“Itu karena aku mencintaimu, Kenzie,” batin Kenzo. Melihat Kenzo tak menanggapi ucapannya, Kenzie menyentuh pundak lelaki itu. “Apa yang membuatmu mau membantuku?”Kenzo tersenyum jahil, ia menatap sesuatu yang menyembul dari balik pakaian Kenzie yang sedikit basah. “Apalagi kalau bukan…”Kenzie yang menyadari kemana arah pandang Kenzo, seketika menyilangkan kedua tangannya di depan dada, seraya mendelik sebal. “Laki-laki mesum!” sungutnya. Kekehan pelan yang terdengar renyah membuat Kenzie terpaku sejenak, mengamati paras tampan lelaki di hadapannya. Garis wajah lelaki itu sangat sempurna, seolah memang sengaja diciptakan untuk menjadi pusat perhatian kaum perempuan. “Aku tahu aku tampan, berhenti menatapku seperti singa kelaparan,” ejek Kenzo.Kenzie yang tertangkap basah tengah mengagumi lelaki tersebut segera mengalihkan pandangan. “Terlalu percaya diri sampai lupa mengurus bulu hidung,” gumamnya asal. Kontan, Kenzo menyentuh lubang hidungnya guna memastikan ucapan Kenz
Mata Amanda terpaku pada sebuah pesan yang tertera di layar. Pesan tersebut berisi deretan kalimat yang menunjukkan Kenzie dan Kenzo sudah berbaikan. Oh ya, ponsel yang ada di genggamannya saat ini adalah pemberian Gala, mengingat ponsel lamanya sudah dibuang penjahat itu. Amanda ikut senang saat mengetahui keduanya sudah berbaikan, dan Kenzie mengatakan jika dirinya akan menghabiskan waktu bersama Kenzo. Belum lagi, melalui pesan singkat itu pula Kenzie mengabarkan bahwa sebentar lagi mereka akan kembali ke rumah lelaki tersebut. “Syukurlah,” ucap Amanda seraya tersenyum lebar. Ia yang saat ini tengah bersama Gala, menunjukkan layar ponselnya pada lelaki itu. Gala turut senang membaca kata demi kata yang terpampang di layar. “Aku ikut seneng bacanya,” ucap Gala. “Makasih, ya.”“Iya. Pulang sekarang?” Amanda mengangguk. Ia naik ke jok belakang, tak lama kemudian motor melaju dengan kecepatan lamban. Namun, saat hendak meninggalkan gerbang sekolah,
Kenzie mendongak, menatap Kenzo yang saat ini tengah memeluknya. Lelaki itu terlihat memejamkan mata, namun Kenzie tahu dia tak tidur. Segaris senyum terbit di bibir wanita tersebut, Kenzo benar-benar definisi sempurna, hingga ia tak pernah bosan memandang wajah tegas lelaki tersebut. “Om?” panggil Kenzie. Tangannya bermain-main di dagu Kenzo.Kenzo tak membuka mata, ia hanya berdehem singkat sebagai jawaban. “Hmm?”“Aku penasaran,” ujar Kenzie. Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di kepala Kenzie, dan membuat ia ingin tahu bagaimana seorang Kenzo menanggapi keresahan dirinya dan orang-orang di luar sana. “Soal?”“Apa di kantormu ada lowongan pekerjaan?”Sontak, Kenzo membuka mata, menatap heran wanita yang saat ini tengah memandang serius padanya. “Memangnya kenapa? Kau ingin melamar pekerjaan di kantorku?” Itulah yang langsung terbesit dalam benak Kenzo saat ini. “Untuk apa?” lanjutnya seraya mencium punggung tangan Kenzie. “Bukan.”“Lantas?” “Hanya penasaran.”“Me
“Memangnya kenapa? Kak Ziezie kan Kakak kami,” ujar Alea seraya memicingkan mata.“Dia istriku!” sambar Kenzo. “Ck!” Alea berdecak kesal, Kenzo terlalu berlebihan menurutnya. “Seluruh dunia juga tahu Kak Ziezie itu istri Bang Ken!” selorohnya. Sementara Kenzie dan Amanda, keduanya diam saja, memilih mengamati pembicaraan Alea dan Kenzo sambil tersenyum tanpa berniat menimpali percakapan tersebut. “Sudahlah, lepaskan Kenzie! Biarkan dia berkemas,” titah Kenzo pada kedua adik iparnya. Dengan sangat terpaksa, Amanda dan Alea melepaskan cekalan mereka di lengan Kenzie. “Aku bantuin ya, Kak,” ujar Alea.“Aku juga mau bantuin.” Amanda menimpali. “Boleh,” jawab Kenzie sambil tersenyum lebar. Ketiganya beranjak dari sana, mengabaikan Kenzo yang menatap tajam mereka. “Jangan terlalu lama, aku tidak suka menunggu!” teriaknya. Setelah Kenzie, Amanda, dan Alea hilang dari pandangan, Kenzo memutuskan menunggu istrinya seraya mengecek beberapa berkas. Baru beberapa menit berkutat de
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.“Halo.”“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Dua Bulan Kemudian“Lusa, kau harus menemaniku ke luar kota!” titah Kenzo tak mau dibantah.“Untuk apa?”“Urusan pekerjaan,” jawab Kenzo singkat.“Tapi, Tuan, aku sudah berjanji akan berlibur bersama kekasihku.” Gala menolak secara halus. Pasalnya, ia dan Alea sudah sepakat akan pergi ke suatu tempat weekend ini.“Cih! Aku tidak peduli dengan urusan siapa pun!” sungut Kenzo.“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya carilah seseorang yang mau menemani kemanapun kau pergi, bukan…”“Siapa yang mengizinkanmu memberi saran, ha?!” potong Kenzo seraya mendelik.Gala nyaris tergelak melihat ekspresi marah Kenzo. Namun, tentu saja dia tak seberani itu, mengingat siapa Kenzo dan dimana mereka berada sekarang membuatnya harus menjaga sikap.“Tidak ada,” sesalnya seraya menundukkan kepala.“K
Flashback On“Brengsek!”Kenzo segera menghubungi nomor tersebut, usai memastikan Lidia dan Brata tak berada di sekitarnya.“Halo, Tuan,” ucap suara di seberang layar.“Aku tidak mau tahu, cari dia sampai dapat!” titah Kenzo. “Kalau perlu, kerahkan semua anak buahmu!” sambungnya.“Ba…ik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”“Kalau kau tak berhasil menemukannya, maka kepalamu yang akan jadi taruhannya!”Tut!Setelah ujaran bernada ancaman itu terlontar, Kenzo mematikan sambungan teleponnya kemudian menggulir layar. Ia mengotak-atik benda pintar tersebut beberapa saat, hingga senyum puas terbit kala membaca pesan balasan dari seseorang.“Malam ini kau akan masuk perangkapku, Bara!” gumamnya.Tanpa berlama-lama, Kenzo menyambar jaket dan kunci motor, memacu kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya tiba di sebuah klub malam.Bergegas turun dari motor dan melangkah masuk, Kenzo memintas sekeliling, mencari-cari keberadaan Bara di tengah lautan manusia. Suara dentu
“Permisi!”Seorang wanita mengenakan kemeja merah muda dan celana jeans hitam mengetuk pintu beberapa kali. Sambil menunggu pemilik rumah, matanya memintas segala arah, melihat dedaunan kering yang mengganggu penglihatan, juga beberapa bunga dalam pot yang tampilannya menyedihkan—hidup segan mati tak mau.Dalam hati ia bertanya-tanya, tumben sekali penampakan rumah ini seperti tak berpenghuni? Pasalnya, dia tahu betul sang pemilik sosok yang rajin dan menyukai tanaman.Lamunannya buyar kala mendengar suara derit pintu, diikuti wanita berseragam SMA menyembul dari baliknya.“Eh, Kak Anggita, silakan masuk, Kak,” ajak Alea ramah seraya membuka pintu lebih lebar.Anggita tersenyum tipis sembari mengikuti langkah Alea. Rumah minimalis ini tampak sepi, mungkinkah Alea tinggal seorang diri?“Silakan duduk. Maaf masih berantakan, aku sama Kak Manda belum sempet beres-beres, baru pindahan,” ucap Alea memecah hening sekaligus tanya di benak Anggita.Pindahan? Memang mereka darimana? Begitulah
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si