“Psikopat!”
Kenzo terus melangkah lebar, tak peduli pada makian dan umpatan-umpatan kasar yang dilayangkan Kenzie padanya. Netra hitam itu menatap lurus, mengabaikan bisik-bisik manusia yang menatap kagum sekaligus heran ke arahnya. Bahkan, ia sempat mendengar beberapa dari mereka merasa aneh, mengapa lelaki sesempurna Kenzo mau dengan gadis yang sangat biasa saja seperti Kenzie?Bukan hanya mereka, Kenzo sendiri pun heran. Tapi, persetan dengan semua itu, yang terpenting sekarang adalah Kenzie, ia akan membuat wanita itu mau kembali ke rumah dan melayani dirinya seperti dulu. Sebab, tanpa Kenzie hidupnya terasa hampa, hari-harinya tidak berwarna. Apakah yang begitu bisa disebut cinta? Entahlah, Kenzo belum bisa memastikan bagaimana perasaannya terhadap wanita tersebut. Satu yang pasti, dia tak suka jika melewati hari tanpa Kenzie.“Lepaskan aku! Kau tidak dengar, sejak tadi mereka semua berbisik tentang kita? Apa kau sengaja ingin mempermalukanku?” teriak Kenzie. <“Apa kau mencintaiku?” tanya Kenzie disela-sela ciuman mereka.Tanpa menghentikan aktivitas tersebut, Kenzo bergumam pelan, gumaman yang tak bisa Kenzie pahami. Namun, gumaman tersebut diikuti dengan gelengan singkat, yang artinya Kenzo sama sekali tak menaruh rasa pada Kenzie. Akan tetapi, bukannya menyudahi ciuman mereka, Kenzie malah semakin memperdalam lumatannya. Lidah keduanya saling membelit. Ia sadar, tak seharusnya dia bersikap seperti ini pada lelaki yang secara gamblang mengaku tak mencintainya. Tapi, entah mengapa, Kenzie merasa Kenzo berbohong. Lelaki itu seperti sengaja mendenial semua rasa yang bergejolak di dalam hatinya. “Benarkah?”Lagi-lagi, hanya gumaman jelas yang terdengar, disertai gigitan-gigitan kecil di bibir ranum Kenzie. “Lantas, mengapa kau bersikap seolah cemburu pada pria tadi? Dan, pent house ini terlalu berlebihan untuk diberikan pada wanita yang tak kau cintai,” cecar Kenzie. “Berhenti menanyaiku!” sungut Kenzo sembari menggendong tubuh Ken
“Itu karena aku mencintaimu, Kenzie,” batin Kenzo. Melihat Kenzo tak menanggapi ucapannya, Kenzie menyentuh pundak lelaki itu. “Apa yang membuatmu mau membantuku?”Kenzo tersenyum jahil, ia menatap sesuatu yang menyembul dari balik pakaian Kenzie yang sedikit basah. “Apalagi kalau bukan…”Kenzie yang menyadari kemana arah pandang Kenzo, seketika menyilangkan kedua tangannya di depan dada, seraya mendelik sebal. “Laki-laki mesum!” sungutnya. Kekehan pelan yang terdengar renyah membuat Kenzie terpaku sejenak, mengamati paras tampan lelaki di hadapannya. Garis wajah lelaki itu sangat sempurna, seolah memang sengaja diciptakan untuk menjadi pusat perhatian kaum perempuan. “Aku tahu aku tampan, berhenti menatapku seperti singa kelaparan,” ejek Kenzo.Kenzie yang tertangkap basah tengah mengagumi lelaki tersebut segera mengalihkan pandangan. “Terlalu percaya diri sampai lupa mengurus bulu hidung,” gumamnya asal. Kontan, Kenzo menyentuh lubang hidungnya guna memastikan ucapan Kenz
Mata Amanda terpaku pada sebuah pesan yang tertera di layar. Pesan tersebut berisi deretan kalimat yang menunjukkan Kenzie dan Kenzo sudah berbaikan. Oh ya, ponsel yang ada di genggamannya saat ini adalah pemberian Gala, mengingat ponsel lamanya sudah dibuang penjahat itu. Amanda ikut senang saat mengetahui keduanya sudah berbaikan, dan Kenzie mengatakan jika dirinya akan menghabiskan waktu bersama Kenzo. Belum lagi, melalui pesan singkat itu pula Kenzie mengabarkan bahwa sebentar lagi mereka akan kembali ke rumah lelaki tersebut. “Syukurlah,” ucap Amanda seraya tersenyum lebar. Ia yang saat ini tengah bersama Gala, menunjukkan layar ponselnya pada lelaki itu. Gala turut senang membaca kata demi kata yang terpampang di layar. “Aku ikut seneng bacanya,” ucap Gala. “Makasih, ya.”“Iya. Pulang sekarang?” Amanda mengangguk. Ia naik ke jok belakang, tak lama kemudian motor melaju dengan kecepatan lamban. Namun, saat hendak meninggalkan gerbang sekolah,
Kenzie mendongak, menatap Kenzo yang saat ini tengah memeluknya. Lelaki itu terlihat memejamkan mata, namun Kenzie tahu dia tak tidur. Segaris senyum terbit di bibir wanita tersebut, Kenzo benar-benar definisi sempurna, hingga ia tak pernah bosan memandang wajah tegas lelaki tersebut. “Om?” panggil Kenzie. Tangannya bermain-main di dagu Kenzo.Kenzo tak membuka mata, ia hanya berdehem singkat sebagai jawaban. “Hmm?”“Aku penasaran,” ujar Kenzie. Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di kepala Kenzie, dan membuat ia ingin tahu bagaimana seorang Kenzo menanggapi keresahan dirinya dan orang-orang di luar sana. “Soal?”“Apa di kantormu ada lowongan pekerjaan?”Sontak, Kenzo membuka mata, menatap heran wanita yang saat ini tengah memandang serius padanya. “Memangnya kenapa? Kau ingin melamar pekerjaan di kantorku?” Itulah yang langsung terbesit dalam benak Kenzo saat ini. “Untuk apa?” lanjutnya seraya mencium punggung tangan Kenzie. “Bukan.”“Lantas?” “Hanya penasaran.”“Me
“Memangnya kenapa? Kak Ziezie kan Kakak kami,” ujar Alea seraya memicingkan mata.“Dia istriku!” sambar Kenzo. “Ck!” Alea berdecak kesal, Kenzo terlalu berlebihan menurutnya. “Seluruh dunia juga tahu Kak Ziezie itu istri Bang Ken!” selorohnya. Sementara Kenzie dan Amanda, keduanya diam saja, memilih mengamati pembicaraan Alea dan Kenzo sambil tersenyum tanpa berniat menimpali percakapan tersebut. “Sudahlah, lepaskan Kenzie! Biarkan dia berkemas,” titah Kenzo pada kedua adik iparnya. Dengan sangat terpaksa, Amanda dan Alea melepaskan cekalan mereka di lengan Kenzie. “Aku bantuin ya, Kak,” ujar Alea.“Aku juga mau bantuin.” Amanda menimpali. “Boleh,” jawab Kenzie sambil tersenyum lebar. Ketiganya beranjak dari sana, mengabaikan Kenzo yang menatap tajam mereka. “Jangan terlalu lama, aku tidak suka menunggu!” teriaknya. Setelah Kenzie, Amanda, dan Alea hilang dari pandangan, Kenzo memutuskan menunggu istrinya seraya mengecek beberapa berkas. Baru beberapa menit berkutat de
Napas Kenzo tercekat, ia merasa kesulitan untuk sekadar menelan ludah. Permintaan Lidia sangat mustahil dilakukan, namun juga tak bisa dia abaikan. Benar-benar pilihan yang sulit. Kenzo berada di persimpangan, bingung harus menolak atau menerima. Tapi satu yang pasti, dalam setiap keputusan yang diambil, tentu ada risiko yang harus dipikirkan. Bersamaan dengan Kenzo yang sedang menimbang-nimbang harus memilih apa, Lidia kembali kejang-kejang, saat itulah Bara memintanya keluar. Serasa dihantam besi ribuan ton, bahu Kenzo meluruh ketika menyaksikan berbagai alat-alat medis terpasang di tubuh mamanya. “Om, ada apa?” Kenzie mendekat pada Kenzo saat pintu terbuka, ia melihat lelaki itu berjalan lemas dengan raut wajah yang terlihat begitu kacau.Kenzo mengabaikan Kenzie dan berjalan ke arah Rhea. “Rhea, ayo kita menikah,” ajaknya pada gadis itu. Rhea menganga tak percaya, begitupun Kenzie. Ada apa dengan Kenzo? Mereka baru saja merencanakan hal-hal indah unt
Sensasi hangat dari cahaya matahari menyapa kulit wajah Kenzie. Ia menggeliat dan membuka mata perlahan, pundaknya terasa sakit akibat tidur dengan posisi duduk. Kenzie memicingkan mata saat tangan besar berusaha melindungi wajahnya dari cahaya itu. “Kau?” “Selamat pagi,” sapa pria berjas putih yang saat ini tersenyum lebar ke arahnya. “Apa yang kau lakukan?” “Bukan apa-apa,” jawab Bara singkat. Kenzie bangkit dan merapikan rambut serta penampilannya, mengabaikan nyeri di punggung dan leher. Ia perlu bertemu Kenzo dan bicara pada lelaki itu. Setelah semalam suntuk memikirkan langkah apa yang harus diambil, Kenzie sampai pada keputusan yang akan membawanya pada ketenangan. Ya, semoga Kenzie bisa mendapat ketenangan, bukan malah sebaliknya. Saat sudah melangkah menjauh, Kenzie teringat sesuatu, ia membalik badan dan menatap Bara. “Dimana Kenzo?”“Aku akan mengantarmu bertemu Ken.” Bara menarik pergelangan Kenzie secara tiba-tiba.“Beritahu saja dimana Kenzo, aku akan menem
“Kau gila?!” Kenzie bangkit dari duduknya, disertai tatapan tajam dan menusuk yang dilayangkan pada Kenzo. Kenzo menarik tangan Kenzie, memintanya duduk kembali. “Dengarkan aku dulu,” pintanya. “Tidak! Aku tidak mau,” tolak Kenzie tegas.Kenzo menangkup pipi Kenzie dan menatap dalam netra wanita itu. Seakan terbius pada tatapan tersebut, Kenzie membeku di tempatnya. “Tenanglah, ini tak seperti yang kau kira,” ujar Kenzo menenangkan. “Sampai kapanpun aku tak mau dimadu!” Kenzie menolak mentah-mentah keinginan Kenzo. Secinta apapun pada lelaki itu, ia tak sudi jika harus berbagi—berbagi suami, berbagi ranjang, berbagi kehangatan, dan berbagi jatah bulanan—. Oh tidak! Lebih baik dirinya yang mengalah dan mencari kebahagiaan lain daripada terjebak dalam situasi tersebut.“Bukankah agama membolehkan?” tanya Kenzo tanpa rasa bersalah.Kenzie menahan diri untuk tak memukul kepala Kenzo meskipun ia merasa sangat kesal. “Memang benar, agama kita tidak melarang.”“Lantas apa masalah