"Mbak Ayunda, Mbak Ayunda tidak0 tau kalo pak Satria sudah menikah?" tanya satpam itu menatap Ayunda mengernyit."Yang di bonceng sama pak Satria itu adalah istrinya."
"What?" jawab mereka serempak.
"Iya, Mbak. Yang tadi itu istrinya, kalo nggak salah namanya mbak Rachel. Iya, mbak Rachel namanya."
"Pak, Bapak percaya kalo mereka sudah menikah? Kalo mereka sudah menikah, pastinya Satria akan mengadakan pesta besar-besaran. Tapi, buktinya nggak ada kan?"gerutu Ayunda ngeyel.
"Sudahlah, mungkin mereka sudah menikah. Kita harus terima kenyataan ini," lirih Bryan memegang tangan Ayunda.
"Tapi ...."
"Menikah atau tidak, pernikahan asli ataupun palsu, kita akan mendapatkan apa yang kita mau. Percaya sama aku," kata Bryan dengan nada rendah.
Ayunda terdiam. Hati kecilnya terasa teriris-iris mendengar kalo pernikahan Satria bukan sandiwara seperti apa yang ia pikirkan.
"Makasih, ya, Pak atas informasinya. Mungkin Satria in
Senyum tipisnya benar-benar membuat Rachel tak mampu membantah akan permintaannya. 'Tenang Rachel tenang, itu sudah menjadi kewajibanmu untuk melayaninya. Suka atau tidak, cinta atau tidak, siap atau tidak kamu harus melakukannya. Ingat pesan mama, belajarlah untuk menerimanya. Lagian, nggak apa juga kan? Jika aku menuruti keinginannya?" gumam Rachel mengatur nafasnya dalam-dalam. Jari jemarinya tak berhenti bergerak mengimbangi detak jantungnya yang berdetak begitu kencang. Suara detakan jarum jam mengiringi suasana sunyi di malam ini. Sesaat, Satria berjalan menghampiri Rachel yang sudah berbaring di tempat tidur membelakangi dirinya. Tanpa sepengetahuan Satria, Rachel tak berhenti mengerjap. Ia selalu mengatur nafasnya dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Kedua mata indahnya terbelalak kaget saat ada gerakan yang tiba-tiba menggerakkan tempat tidurnya. 'Apa dia sudah kembali?' tanya batin Rachel mengerling saat tangan kekar berbulu me
Satria menyeringai. Ia sangat menyukai ekspresi istrinya yang begitu menggemaskan. "Karena kamu adalah milikku." Satria memegang dagu istrinya. "Dan aku tak akan membiarkan siapapun menyentuh apa yang aku miliki saat ini. Tubuh ini dan hati ini," tunjuk Satria tepat di belahan dada istrinya yang tertutup kaos putih. Tatapan lembut dan senyum tipis tertoreh di wajah Rachel. "Kamu ini bicara apa? Kenapa kamu bicara, seakan-akan, aku mudah disentuh orang lain. Emang aku wanita apaan?" gumam Rachel dengan bibir manyunnya. Satria menyeringai menatap wajah cantik istrinya. "Kamu tau, Siapa orang yang berani menyentuh tubuhku ini?" tanya Rachel yang membuat senyum Satria memudar. Wajah jutek yang dari semalam menghilang kini muncul kembali di dirinya. "Siapa?" Pikiran Satria seakan melayang mencari siapa orang yang berani menyentuh tubuh istrinya selain dirinya. "Kamu," jawab Rachel yang membuat hati Satria sangat lega.
Satria hanya melirik Dinda yang mulai duduk di depannya. Jari jemari tangannya tak berhenti memilah-milah beberapa lembaran yang menumpuk di hadapannya. "Daripada ngoceh tak jelas seperti itu, mendingan bantu aku merevisi semua laporan ini," ucap Satria melempar beberapa berkas di meja. "Beres! Oiya, Sat. Aku baru tau, kalo Oma sangat peduli banget sama kamu." Senyum Dinda memudar saat Satria tak merespon kata-katanya. Dinda hanya mendesah sebal, lagi dan lagi dia harus kecewa dengan sikap jutek sahabatnya itu. "Sat, kamu kan sekarang sudah menikah, hilangkanlah sifat jutekmu itu. Aku nggak bisa bayangin, nasib istri kamu jika berhadapan dengan suami kayak kamu," lirik Dinda yang masih saja tak mendapat respon dari Satria. Dinda menghela nafas panjang. 'Bener-bener nih, orang. Jika urusan pekerjaan, meskipun suaraku seperti petir menyambar tetap saja ia tak mendengarkannya,' gerutunya dalam hati dan mulai membuka beberapa berkas
"Apa?" tanya Satria penasaran. "Aku di suruh membeli makanan yang berbungkus daun pisang," kata Rachel. "Daun pisang?" "Heem, kata oma di restauran ini makanannya bisa dibungkus pakai daun pisang. Tapi, aku tanya pihak restauran nggak pernah membungkus dengan daun pisang. Masa' iya, panas-panas seperti ini aku harus ke pasar?" Satria terdiam. Ia menatap wajah cantik istrinya yang terlihat begitu lelah.'Apa dia membuat oma marah? Sampai-sampai oma menyuruhnya untuk membeli makanan yang di bungkus dengan daun pisang,' kata batin Satria seraya melirik istrinya yang tiada henti mengipaskan tangan ke arah wajah cantik nan menawan. Sejenak, Rachel terkejut saat Satria menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam restauran itu kembali. Rachel terkejut saat melihat pelayanan seorang waiters pada suaminya. Ramah dan santun, itulah yang tersirat di wajah kedua waiters tersebut. Mereka melayani Satria sangat ramah di bandingkan de
"Tak di angkat lagi," keluh Dinda yang menghubungi Satria kembali. Jari jemarinya dengan cepat melihat rincian waktu dan pengeluaran pembangunan proyek yang tertera jelas di layar laptopnya. Tak ada yang janggal, semua bekerja sesuai dengan apa yang di harapkan. "Apa yang membuat Bryan meminta ganti rugi pada perusahaan ini? Pengerjaan proyeknya juga sesuai kok!" tanya Dinda berpikir seraya menutup beberapa laporannya tersebut. "Apa aku menemuinya saja, ya? Lagian, aku juga ingin tau apa alasan Bryan meminta ganti rugi," ucapnya seraya menopangkan satu tangannya di dagu. "Masalah seperti ini seharusnya aku bisa handle, tak perlu mengandalkan Satria terus. Sekali-kali, nggak apalah, memberi dia waktu untuk bersama dengan istrinya. Lagipula, dulu dia selalu menghandle semua pekerjaannya saat aku bulan madu." Dinda tersenyum jika mengingat perjuangan sahabat juteknya itu kepada dirinya. **** Oma terkejut ketika melihat Satria datang
Kedua mata Darwin mengerling saat melihat senyum manis Olivia terlihat di balik cermin. "Wow, papa Darwin ganteng banget! Papa Darwin mau ikutan foto, ya?" tanya Olivia yang begitu polos. "Iya, dong! Papa Darwin akan ikut foto bareng Olivia dan mama. Ehm, Olivia nggak keberatan, kan?" tanya Darwin memangku tubuh gendut Olivia. "Nggak lah, mana mungkin Olivia keberatan. Justru, papa Darwin yang keberatan karena sudah memangku Olivia yang gendut ini," ucap Olivia yang tak berhenti mengedipkan mata indahnya. Wajah cantik dan lucu Olivia benar-benar membuat Darwin tak berhenti tertawa akan tingkah lucunya. "Bisa aja, kamu ini!" ucap Darwin mentoel hidung mancung bocah tiga tahun itu. "Olivia, mau lihat mama dulu!" Darwin terkejut saat bocah gendut itu turun dari pangkuannya dengan tiba-tiba. "Olivia, lain kali nggak boleh kayak gitu, ya? Papa Darwin sampai kaget tau, nggak?" Dengan penuh perhatian, kedua tangan Darwin memegang bahu Olivia
Malam ini merupakan hari yang bersejarah bagi Monica. Semilir angin malam begitu terasa menembus kulit putihnya. Suasana yang awalnya sepi perlahan mulai ramai akan kedatangan tamu yang telah di undang. Tapi, rasa bahagia itu hanya tertera di wajahnya saja tidak untuk hatinya saat ini. Hatinya terasa sepi dan menanti kedatangan keluarga yang tak kunjung datang di acara pernikahannya. Kedua bola matanya berbinar saat menatap arah pintu masuk yang terhias begitu indah dengan berbagai aneka bunga. Ia tak habis pikir jika pernikahannya kali ini tak membuat keluarganya menyukainya. Beda dengan pernikahannya dengan Farel, ayah Olivia. Padahal, menurut Monica, Darwin bisa menyayangi dirinya melebihi cinta Farel kepadanya. "Ya Tuhan, apa Satria juga tak mau ke sini?' gumam Monica menitikkan air mata. Darwin menghampiri Monica yang duduk di depan meja penghulu. "Kamu sangat cantik," puji Darwin mengagetkan Monica. Tanpa sepengetahuan Darwin, Monica mengusap ai
'Benar apa yang papa bilang. Tak seharusnya aku menyetujui pernikahan mereka. Apalagi melihat tatapan matanya Darwin tadi. Tak ada tata kramanya sama sekali padaku,' gumamnya dalam hati. Sejenak, ia melirik istrinya yang tertidur pulas di sampingnya. Wajah cantiknya terlihat begitu lelah dengan berbagai kegiatan yang dilakukannya hari ini. "Apa aku batalkan saja acara besok?" tanya Satria."Tapi, nggak mungkin. Tak ada alasan yang kuat untuk membatalkan acara yang di buat oleh oma." Spontan, Satria menghentikan mobilnya secara tiba-tiba. Ia mendesah sebal. Lagi dan lagi, beberapa orang yang berparas seperti preman menghalangi jalannya. "Siapa lagi mereka?" ucapnya seraya melepas seatbelt yang melekat di tubuhnya. "Kenapa tidak dari dulu waktu aku masih lajang, mereka mengusik kehidupanku," gumam Satria mulai turun dari mobilnya. Dengan berani, Satria menghampiri mereka yang berdiri di belakang mobil. "Tolong, pinggir