Apa yang membuat kamu bisa kuat, jika suatu saat nanti kamu menjadi istriku?" Pertanyaan Satria yang membuat Rachel tak mampu menjawab.
Kenapa dia malah bertanya seperti itu? kata batin Rachel melipat bibir mungilnya. Sejenak, ia mulai berpikir bagaimana caranya agar atasannya itu membenci dirinya.
"Kenapa diam?" tanya Satria yang benar-benar membuat Rachel mau tak mau harus melakukannya.
"Bapak jawab dulu pertanyaan saya?" ujar Rachel bernada tinggi dan berharap jika atasannya akan memarahinya habis-habisan. Satria mengernyitkan dahinya dan tersenyum tipis melihat Rachel yang pura-pura galak di kepadanya.
"Kenapa diam?" bentak Rachel seraya memegang pinggangnya. Sesaat, mata bundar yang tampak marah itu seketika redup melihat Satria berdiri mendekati dirinya. Matanya tak berhenti berkedip, langkah kakinya perlahan berjalan mundur mengikuti langkah kaki Satria yang terus saja maju ke arahnya.
"Ba-pak mau ngapain?" tanya Rachel gugup. Jantungny
"Pak Satria, maafkan saya, ya, Pak. Tak seharusnya saya menyuruh Anda!" tutur Rachel yang menghampiri Satria. "Makasih banyak, ya, Pak. Anda sudah banyak membantu saya," lirih Rachel. Tanpa sepengetahuan Rachel, Satria mendengar semua ucapan penyesalan yang di tujukan padanya. Sesaat, ia menyipitkan mata seraya melihat Rachel yang mulai pergi menuju kamar mandi. Senyum mahalnya kembali tertoreh mendengar penyesalan yang terucap dari mulut Rachel. Dengan rambut yang masih basah, Rachel memandangi tubuhnya yang terbalut kimono pink pemberian Satria. Senyum manisnya merekah melihat dirinya yang terlihat bersinar menggunakan kimono tersebut. "Ya Tuhan, ternyata aku sangat cantik memakai kimono ini," pujinya seorang diri seraya memegang pipinya yang agak tembem. Sesaat, senyum manisnya mulai meredup. Bibirnya yang mungil seketika cemberut saat teringat wajah Satria yang melintas di pikirannya. "Tapi, dibalik sifatnya yang jutek, dia sudah sangat perh
Kenapa aku merasa ada hal yang di sembunyikan dari Satria? batin mama Rita bertanya. "Mungkin, yang mengirim kue ini salah satu klien aden boss, Nya!" tebak simbok membuyarkan lamunan mama Rita. "Ya, bisa jadi! Ya sudah, ayo kita pulang! Saya ada janji dengan teman!" gegas mama Rita melangkah. "Tidak nunggu aden boss bangun dulu, Nya?" tutur simbok mengikuti majikannya yang terlihat terburu-buru. "Tidak usah. Nanti biar saya kabari lew*t w* saja," jaw*b mama Rita memakai kacamata hitamnya yang menggantung di baju. Tangan mulusnya bersiap membuka pintu rumah yang terkunci tersebut. Ceklek Terperangah, terkejut, itulah yang terjadi pada kedua wanita paruh baya yang berbeda penampilan. Kedua mata mereka terbelalak kaget melihat tumpukan kado yang berjejer rapi di teras rumah. "Sebanyak ini, kado untuk Satria?" tanya mama Rita seakan tak percaya. Kedua matanya berputar, kakinya melangkah mengitari tumpukan kado tersebut. "M
Senyum manis mama Rita yang tertoreh seketika hilang mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut salah satu temannya itu. "Iya, Jeng. Andai dia bersikap lembut sedikit saja, pasti banyak perempuan yang mau sama dia," saran Bu Tuti. Mama Rita mencoba untuk tersenyum menghadapi kedua temannya yang begitu sok tau tentang putranya. "Siapa bilang putraku tidak ada yang mau. Dia sudah punya tunangan dan sebentar lagi dia akan menikah," kata mama Rita yang membuat semua terkejut bukan main. Mama Rita hanya tersenyum tipis melihat kedua temannya yang awalnya menyudutkan dirinya sekarang terdiam seribu bahasa. "Benarkah? Syukurlah kalo begitu, Jeng!" kata Ibu Sita seakan tak percaya. "Iya, saya sangat bersyukur memiliki calon mantu yang bisa menerima putra saya apa adanya," ujar mama Rita sombong seraya menyilangkan kedua kakinya. Simbok Darmi menyuguhkan kue dan minuman untuk mereka. "Ayo, di makan! Ini k
"Apa pak Satria marah, kalo aku juga mendapatkan hadiah ini di hari ulang tahunnya?" gumamnya seraya memanyunkan bibirnya. "Oiya, aku belum membelikan hadiah untuk pak Satria," gegasnya pergi. Di kantor, Satria masih saja memikirkan apa yang di ceritakan Intan kepadanya. Drt ... Getaran ponsel membuyarkan lamunannya. Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan membukanya. Sudut matanya berkerut, alis tebalnya seakan ingin menyatu ketika melihat beberapa chat dari pak Slamet. Yach, pak Slamet merupakan satpam yang bekerja di rumahnya. (Saya sudah foto semuanya, Pak.) (Rachel) "Kenapa dia memakai handphonenya pak Slamet?" tanya Satria penasaran. Tanpa banyak buang waktu, ia dengan cepat menghubungi telepon rumah agar rasa penasarannya hilang. "Kenapa tak di angkat?" kata Satria beralih menghubungi pak Slamet. "Pak Slamet, tolong suruh Rachel untuk mengangkat telepon saya!" pinta Satria yang terkejut
"Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan dengan tunangan saya!" ketus Satria yang membuat mereka tak berkutik. "Boss, dia Satria Angkasa. Anaknya pak boss besar," bisik salah satu preman tersebut. Mereka saling menatap satu sama lain. Dengan hitungan ketiga, mereka berlari meninggalkan Satria dan Rachel. Satria menatap Rachel yang masih saja tak sadarkan diri.Dengan cepat, ia membopong tubuh Rachel ala bridal itu menuju mobil Jeepnya. Sejenak, tangannya begitu aktif menyapu rambut Rachel yang menutupi wajah cantik di diri Rachel. "Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang mereka lakukan sampai kamu pingsan seperti ini?" gumam batin Satria penasaran. **** Pak Dhaniel tak habis pikir jika orang suruhannya harus gagal membawa Rachel. "Bagaimana bisa kalian gagal lagi?" ketus pak Dhaniel kecewa. "Maaf, Boss. Kami hampir saja membawa nona Rachel, tapi ...." "Sudah! Saya tak mau mendengar alasan kalian lagi.
"Pak Satria, akhirnya saya bertemu dengan Bapak," kata Rachel yang begitu merindukan suara datar nan jutek itu. Ia merasa sangat terjaga jika bersama Satria. Rachel mendongak, manatap Satria dengan penuh haru. Senyum manis mulai merekah di bibirnya. Sejenak, Satria menatap wajah Rachel yang masih tetap cantik walaupun tanpa make-up. Perlahan, kedua tangannya dengan lembut, mengusap air mata yang membasahi pipi Rachel. "Semakin kamu menangis, wajahmu terlihat sangat jelek! Saya tak suka itu!" pinta Satria tersenyum tipis melihat Rachel yang menganggukkan kepala. "Pak, bawa saya pulang. Ada orang yang ingin menculik saya, Pak!" kata Rachel menoleh ke belakang dan berharap security tadi tidak menemukannya. "Menculik?" tanya Satria bingung akan perkataan Rachel. "Iya, Pak. Nanti saya ceritakan semuanya di rumah. Ayo, Pak!" ajak Rachel menarik tangan Satria yang kekar itu. Satria tersenyum tipis menatap tangannya yang b
"Kenapa kamu menampar saya?" "Karena Bapak sudah lancang mencium saya. Bapak seenaknya saja, mencium saya tanpa ijin terlebih dahulu," gumam Rachel. "Hah, Jika saya ijin terlebih dahulu, apa kamu akan mengijinkannya?" Pertanyaan Satria yang benar-benar membuat Rachel terdiam seketika."Sudahlah! Lagian, apa salahnya saya mencium tunangan saya sendiri?" kata Satria begitu enteng dan pergi begitu saja tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. "Kenapa dia selalu menginginkan diriku untuk menjadi tunangannya? Hah, Aku juga! Kenapa harus mau di cium sama dia. Kalo begini kan, aku yang rugi," gerutu Rachel mendesah kesal ketika teringat akan kebodohan yang ia lakukan. Menerima dengan mudahnya ciuman itu. Ayunda benar-benar sakit hati. Ia tak menyangka jika Satria memilih Rachel daripada dirinya.Air mata terus mengalir, hatinya benar-benar hancur saat ini. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikirannya seakan buntu, hanya ada rasa cemburu yang memb
Ia tersenyum tipis menatap handphone baru yang ada di tangannya. Jari jemari tangannya tak berhenti mengusap layar hp tersebut. Ia tak menyangka dan seakan tak percaya akan tingkah laku atasannya yang begitu peduli padanya. "Ya Tuhan, di balik sifatnya yang nyebelin, dia masih peduli sama aku. Padahal, hari ini adalah hari ulang tahunnya. Seharusnya dia yang mendapatkan hadiah bukan aku," gumam Rachel dengan mata berbinar. ***** Marah-marah tak jelas dan menggerutu tiada henti. Itulah yang dilakukan pak Dhaniel saat ini. Kedua tangannya menopang di dada, dengan tatapan mata yang begitu tajam. Mama Rita menghela nafas melihat suaminya yang terlihat begitu emosi. Dengan langkah perlahan, mama Rita mulai menghampiri pak Dhaniel. Belaian tangannya membuat amarah pak Dhaniel sedikit luntur. "Pa, ada apa? Kenapa papa menyebut nama Satria dengan nada seperti itu?" tanya mama Rita duduk d