Jenna rasanya ingin menangis dengan debaran memualkan yang muncul di dadanya. Ia tak bisa membayangkan apa saja yang akan Daniel lakukan untuk mengusik dirinya jika pria itu tinggal di rumah ini.
Untuk pertama kalinya, ia memohon. Memohon pada Tuhan agar Jerome menolak keinginan Daniel. Namun, permohonannya terlambat diucap, Jerome sudah mengangguk sedetik lebih cepat.
“Lakukan sesukamu,” kata Jerome. Melempar handuk di lehernya ke kursi dan berdiri. Melangkah ke pinggiran kolam.
Senyum licik tersamar di antara keceriaan yang seketika memenuhi wajah Daniel ketika bertatapan dengan Jenna yang pucat pasi.
“Kau tidak ikut berenang?” tanya Daniel ketika Jerome melompat turun ke kolam.
Jenna mengerjap dan menggeleng.
“Aneh, tak biasanya kau tidak berminat berenang,” gumam Daniel menyipitkan mata penuh curiga ke arah Jenna.
Kepala Jenna berputar dengan cepat dengan gumaman Daniel. Selain karena Jenna tak suka memakai bikini-bikini milik Liora, Jenna juga tak bisa berenang. Itulah sebabnya ia menolak ajakan Jerome untuk berenang bersama. Dan ...
Mendadak hal itu terpikir olehnya. Apakah Liora bisa berenang?
“Sejak aku mengajarimu berenang, ini pertama kalinya kau menolak ajakan untuk berenang. Jenna dan kolam renang sepertinya sudah ditakdirkan bersama, itu yang kau katakan saat kau hampir tenggelam di pantai hari itu.”
Kepucatan tercipta di wajah Jenna. Jadi, Daniel yang mengajari Liora berenang?
“A-aku sedang tak enak badan,” dalih Jenna beralasan, menjilat bibirnya yang kering.
Alis Daniel berkerut sejenak. “Ah, tamu bulananmu akan segera datang, ya?” tebaknya kemudian dengan wajah riang. “Pantas saja akhir-akhir ini kau jadi lebih sensitif.”
Rasanya Jenna tak lagi punya stok terkejut menanggapi setiap kata-kata Daniel. Tamu bulanan? Bahkan pria itu hafal dengan jadwal tamu bulanan Liora?
Daniel berdiri, menarik ujung kaos melewati kepala, melepas sepatu dengan kedua kaki, dan menurunkan celananya sebelum menyusul ke kolam renang, menyusul Jerome yang sudah mencapai ujung kolam dan berbalik kemari.
Jenna masih membeku di tempatnya. Apakah Jerome juga tahu mengenai kesukaan Liora pada renang? Kali ini ia bisa berdalih untuk menolak ajakan renang Jerome. Tapi lain kali?
Siapa yang harus ia hubungi untuk mencari tahu Liora. Jenna mengambil ponsel pemberian Liora. Mencari kontak-kontak yang mungkin bisa ia hubungi. Dan saat itu ia menyadari bahwa hanya ada tiga kontak di ponsel itu. Miliknya -yang sudah tidak aktif-, Jerome, dan Daniel.
Keanehan ini mulai membuatnya bertanya-tanya. Bagaimana mungkin Liora hanya memiliki dua kontak di ponselnya? Liora adalah pribadi yang riang dan jelas punya teman lebih banyak dari pada dirinya. Wanita itu bahkan mengatakan akan menghubungi teman di Paris yang akan membantu. Tapi nomor itu pun tidak ada di ponsel ini.
Sepanjang hari ia memikirkan hal itu. Tapi ia bahkan tak bisa bertanya pada Jerome. Jenna benar-benar merasa seperti terjebak di lubang gelap.
“Kau terlihat memikirkan sesuatu?” bisik Jerome dengan lengan yang melingkari pinggang Jenna.
Jenna menoleh ke samping dan mendapatkan kecupan di bibir. Ia sudah hafal dengan kebiasaan Jerome yang satu ini tapi tak berani menolak karena berpikir itu juga kebiasan yang dilakukan oleh Liora.
“Kenapa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
“Tidak.”
Jerome memutar tubuh Jenna menghadapnya dan mendudukkan wanita itu di wastafel sebelum menyelipkan tubuhnya di antara kedua kaki Jenna. Tangan Jenna bergerak melingkari lehernya, tepat seperti yang ia inginkan. “Apa keberadaan Daniel membuatmu tak nyaman di rumah ini?”
Tubuh Jenna membeku. Berada dengan jarak sedekat ini dengan Jerome, ia harus lebih lihai dalam mengendalikan emosinya. “Kenapa aku harus merasa tidak nyaman dengan keberadaannya?”
Jerome menyentuhkan bibirnya di bibir Jenna dan berbisik, “Karena kau tak bisa kutelanjangi secara sembarangan lagi di rumah ini?”
Jenna terbakar. Ya, keinginan Jerome pada dirinya terkadang muncul di tempat-tempat yang terduga. Di meja makan, di pinggiran kolam renang, di ruang kerja pria itu, dan di kamar mandi tempat mereka tengah berada saat ini. “Mungkin,” gumamnya pelan di antara bibir Jerome. Ia bisa merasakan senyum dan tatapan pria itu yang mulai bergairah akan tubuhnya. Saat tangan pria itu mulai menanggalkan kancing bajunya, saat itulah semuanya dimulai.
***
Daniel sungguh berani, entah butuh berapa banyak kesabaran menghadapi kenakalan pria itu. Yang dengan beraninya mencoba menggodanya bahkan ketika Jerome sedang berada di dekat mereka.
“Ada apa, sayang?” tanya Jerome ketika mendengar kesiap pelan keluar dari bibir Jenna. “Apa kau tak suka makanannya?”
Jenna memutar kepalanya dengan cepat menatap Jerome. Menarik kakinya ke bawah kursi karena Daniel yang berusaha menyentuhnya di bawah meja. Memasang senyum manisnya, ia menggeleng. “Tidak ada apa-apa.”
Jerome beralih menatap Daniel yang terlihat sibuk dengan piring pria itu sendiri. “Apa kau sudah memantau perkembangan proyek rumah sakit di pusat kota?”
Daniel sedikit mengangkat wajahnya dan mengangguk. “Tak banyak perkembangan yang harus dipantau. Sepertinya kau butuh mengecek dan turun tangan sendiri. Keadaan di sana nyaris tak terkontrol. Biaya yang kita keluarkan tak sepadan dengan pengerjaannya.”
Jerome menggeram pelan. Genggaman tangannya di sendok mengetat. “Aku sudah tahu hal semacam ini akan terjadi. Aku paling benci pengkhianat.”
Mendengar kalimat terakhir Jerome, Jenna segera mengangkat wajahnya dengan cepat. Menatap pria itu dengan kegugupan yang menjalari seluruh tulang punggungnya. Kegelapan di mata Jerome terlihat nyata, dan membuat bulu kuduknya merinding. Seolah kalimat terakhir itu ditujukan untuknya dan Liora.
Apakah ini sisi gelap yang dimaksud Liora? Hingga masuk ke dalam mimpi buruk kakaknya.
“Memikirkannya saja sudah membuat seluruh darahku mendidih,” decih Jerome dengan mata yang membara.
Daniel menoleh ke arah Jenna, menatap getar di tangan wanita itu yang terlihat jelas. Juga tatapan panik Jenna yang ditujukan ke arah Jerome. Mau tak mau hal itu mengundang kecurigaan Daniel.
Jenna Anaya biasanya tak seekspresif itu. Dan saat ia menyadari sesuatu selama tiga hari tinggal di rumah ini. Jenna seolah berubah. Kepribadian wanita itu sepenuhnya berubah setelah menikah dengan Jerome. Bahkan cara berpakaian, model rambut, selera makan, dan cara Jenna menanggapi godaannya tidak seperti yang Jenna kenal.
Ah, kecurigaan itu muncul sejak Jenna menamparnya malam itu. Kemarahan wanita itu padanya selalu cepat mereda dengan hadiah-hadiah mewah yang ia berikan untuknya. Setelah menerima set perhiasan mewah yang begitu diinginkan oleh Jenna, wanita itu malah tidak pernah membalas pesan apalagi mengangkat panggilannya. Pun ketika Jerome sedang berada di kantor.
Hanya karena ada Jerome di samping Jennalah yang membuat wanita itu mengabaikan pesan ataupun panggilannya. Bahkan saat ada kesempatan bagi mereka untuk berduaan, Jenna malah lari terbirit-birit dan mencari Jerome. Seolah meminta perlindungan pada Jerome.
Jenna yang ia kenal, akan selalu mencari alasan untuk berduaan dengannya pun ketika bersama Jerome. Mereka biasanya bercumbu diam-diam di toilet dan bahkan tidur di apartemen Jenna jika Jerome sedang pergi ke luar kota.
Dan kecurigaan Daniel akhir-akhir ini semakin menebal ketika melihat ada udang goreng di piring Jenna. Wanita itu selalu sensitif dengan makanan laut karena baunya yang amis. Tapi melihat bagaimana lahapnya Jenna menandaskan isi piring, tentu itu menjadi tanda tanya besar untuk Daniel.
“Apakah udangnya enak?” Pertanyaan Daniel mengalihkan kegugupan yang menyerang Jenna.
Jenna menoleh, kerutan kecil terbentuk di kedua alisnya. Wanita itu menatap isi piring di depannya kemudian kembali ke arah Daniel. Pria itu menatapnya dengan penuh maksud tersembunyi dan pertanyaan jebakan.
“Kenapa kau bertanya?” Jeroma memecah keheningan di antara Daniel dan Jenna. “Apa kau punya alergi udang atau semacamnya?”
Daniel memutus kontak matanya dengan Jenna dan menggeleng ke arah Jerome. “Aku hanya bertanya. Apa kokimu ganti?”
“Tidak.”
“Oh, benarkah? Sepertinya cita rasanya sudah mulai berbeda. Mungkin kau perlu mengganti juru masakmu.”
“Kau saja yang mudah bosan pada sesuatu. Semua yang ada di meja sesuai dengan seleraku. Juga Jenna. Benar kan, sayang?”
Jenna mengangguk gugup. Jika Daniel bahkan bisa tahu jadwal tamu bulanan Liora, mungkinkah pria itu juga tahu tentang makanan kesukaan kakaknya? Udang, apakah Liora tidak suka udang?
Siang itu Jenna mengambil buku di perpustakaan Jerome dan membawanya ke kolam renang. Semilir angin dan udara yang cerah, membuatnya menikmati siang dengan sedikit kesenangan. Karena ia tak sungguh-sungguh fokus dengan buku bacaan yang diambilnya.Pikirannya masih berkelana tentang Liora, yang masih mengirimkan ribuan tanya di benaknya. Ponsel yang diberikan kakaknya tak banyak membantu. Sama sekali tak membantu.Terlalu lelah dengan pikirannya dan suasana mengenakkan, membuat Jenna tanpa sadar menyandarkan kepala dan matanya terpejam. Membawanya dalam ketenangan yang begitu menghanyutkan.Hingga ketenangan itu terusik oleh gerakan lembut yang menyentuh kening, perlahan mata Jenna terbuka, dan seketika tersentak kaget ketika wajah Daniel berada begitu dekat dengan wajahnya.“Daniel!” Jenna melompat terduduk dengan kedua tangan mendorong pria itu untuk mundur. “Apa yang kau lakukan?”Daniel tersenyum dan menggeleng. “Ak
“Tidak!” sangkal Jenna menggelengkan kepala dengan keras. Wajahnya yang pucat menatap bergantian antara Daniel dan Jerome. Daniel menyeringai puas ke arahnya dengan tatapan licik, dan Jerome, pria itu membeku. Terlalu sulit menemukan reaksi semacam apa dengan ekspresi datar yang tertampil di wajah pria itu. Terkejut? Marah? Memercayai pengakuan Daniel? Jenna tak bisa menentukan emosi mana yang tengah membekukan Jerome. Dan Daniel, pria itu benar-benar sudah kehilangan akal dengan pengakuan sembrononya. Apakah pria itu memang berniat bunuh diri? Dengan membawa nama Liora. “Percaya padaku, Jerome. Apa yang dikatakan Daniel tidak benar. Aku tidak pernah berselingkuh darimu.” Setidaknya itu setengah dari kebenaran. Liora yang berselingkuh dengan Daniel, bukan dirinya. “Dia ... dia memang menggodaku, tapi aku tak pernah mengkhianatimu.” Daniel maju lebih ke depan. Mengambil ponsel dari dalam saku celananya, sesaat jemarinya bergerak di layar ponsel itu sebelum men
Seketika Jenna menyesali kepanikan yang membuatnya keceplosan.“Dan kau memang bukan Jenna yang asli?” Daniel mengangkat salah satu alisnya. “Atau si Liora itu yang menggunakan nama Jenna? Untuk mempermainkanku dan Jerome?”Jenna mengedarkan pandangan ke seluruh ruang apartemen tersebut. Tak ada siapa pun di sini selain dirinya dan Daniel. “D-di mana kakakku?”Seringai di bibir Daniel semakin naik. Kelicikan tersirat di sorot matanya yang penuh kebencian terhadap dirinya. “Jadi kau adik kembarnya Jenna. Ah bukan, kau adiknya Liora?”Bibir Jenna membeku. Tak tahu harus mengiyakan pertanyaan Daniel atau tetap bersikukuh dengan kebohongannya saat kedoknya sudah terbongkar seperti ini.“Sungguh cerdik Liora menggunakan adiknya yang masih perawan untuk menggantikan tempatnya.”Jenna melangkah mundur untuk menghindari gerakan Daniel yang maju mendekatinya dengan perlahan. “D-di mana
Menukarku dengan nyawanya? Jenna mengulang kalimat Jerome dalam kekalutan yang tak dimengertinya. Liora menukarnya dengan nyawa sang kakak?“Sejak awal aku sudah mengetahui Liora menggunakan namamu saat mencoba mendekatiku. Entah tujuannya apa, tapi aku sama sekali tak perlu tahu karena ternyata dia cukup menyenangkan dijadikan pasangan. Hanya saja, ternyata keserakahan menguasai hatinya yang gelap dan licik. Dia mengkhianatiku tepat di hari pertunangan kami. Mereka berbaring telanjang di tempat tidur yang kubelikan untuknya, dalam keadaan mabuk.” Jerome mengucapkan setiap kata-katanya dengan bibir menipis tajam. Seolah kemarahannya diakibatkan oleh luka yang baru dan pengkhianatan Liora serta Danie baru saja terjadi.Hari pertunangan Liora dan Jerome? Itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Jadi, selama ini Jerome sudah mengetahui perselingkuhan Liora dan Daniel? Jenna semakin dibuat kebingungan dan tak henti-hentinya tercengang oleh setiap informasi yang diuc
Tangisan Jenna akhirnya terhenti lama setelah Jerome meninggalkan ruang tidur. Dengan ranjang yang masih berserakan, kembali menorehkan yang teramat dalam mengingat pergulatan menyakitkan yang dilakukan Jerome padanya. Dan ia tak bisa menolak setiap kesakitan tersebut hanya karena ingin. Jerome menyetubuhinya seperti hewan.‘Tubuhmu ternyata lebih menggairahkan dari Liora. Aku mulai berpikir untuk menyimpanmu saja.’Kata-kata Jerome kembali terngiang di kepalanya. Hidupnya benar-benar selesai jika Jerome menyimpannya untuk jadi pelacur pria itu. Pemikiran itu membuat Jenna tersadar dan mengangkat wajahnya. Mengabaikan rasa nyeri di pangkal pahanya, ia berjalan ke kamar mandi. Membersihkan seluruh tubuhnya dari keringat dan gairah Jerome secepat mungkin dan segera masuk ke ruang ganti. Menyambar pakaian apapun yang pertama ia lihat dan segera berjalan menuju pintu kamar yang tidak dikunci. Jenna menjulurkan leher, memastikan tidak ada siapa pun di s
Melayani Jerome saat mengira pria itu tidak tahu siapa dirinya, terasa lebih mudah daripada saat pria itu menyentuhnya setelah semua kedoknya terbongkar. Jenna tak bisa menepis perasaan bahwa dirinya hanya sebagai pelacur pria itu. Tubuhnya serasa kotor, di setiap jengkal kulitnya yang dicium oleh bibir pria itu, pun dengan cara Jerome yang menyentuhnya tak sekasar seperti tadi siang.Sentuhan pria itu kali ini penuh hasrat, panas membakar, dan menggodanya seperti sebelum-sebelumnya. Yang terasa berbeda hanyalah perasaan Jenna. Yang dipenuhi kebencian untuk Jerome. Rasa jijik dan serangan pria itu yang tak henti-henti menggodanya membuatnya terombang-ombing dalam kebimbangan. Haruskah ia mengikuti semua permainan panas pria itu ataukah menekan dalam-dalam rasa jijiknya.Kecupan singkat mendarat di kening Jenna yang basah oleh keringat setelah Jerome meledak di dalam dirinya. Pria itu mengerang puas sebelum menjatuhkan tubuhnya di samping tubuh Jenna. Jenna bergegas mem
“Kau terlambat satu menit.” Suara Jerome yang tengah duduk di sofa tunggal ruang tamu menghentikan langkah Jenna yang sudah setengah melintasi ruang tamu dengan langkah terburu.Jenna nyaris menjerit kaget, tersentak kaget menyadari keberadaan Jerome. “A-aku ... maaf aku terlambat,” jelasnya sambil menggigit bibir bagian dalamnya. Ekspresi Jerome tampak sedatar es. Tak ada kemarahan yang muncul ke permukaan, tapi tatapan tajam pria itu terasa begitu menusuk kedua bola matanya. Membuat seluruh tubuh Jenna membeku di tempat.Setelah memikirkan Daniellah satu-satunya kunci yang bisa membantunya menemukan Liora, Jenna langsung bergegas keluar dari apartemen Liora dan mencari taksi untuk mengantarnya ke apartemen Daniel. Berkali-kali ia memencet bel dan menunggu pintu tersebut dibuka, Jenna akhirnya menyerah. Membuatnya nyaris menghubungi nomor Daniel lewat ponselnya jika ia tidak ingat ponselnya pun sedang diawasi oleh Jerome.Jenna pun kemba
Jenna menyimpan ponselnya di dasar lemari pakaian dan menyamarkannya dengan gaun-gaunnya yang menggantung hingga ke dasar lemari. Setelah memastikan tak ada sesuatu pun yang terlihat janggal, ia berpindah ke lemari pakaian yang satunya. Mengambil kotak hadiah yang dimaksud oleh Jerome. Tak terlalu terkejut menemukan lingerie berwarna merahlah yang ada di dalam kotak tersebut. Jerome selalu tergila-gila dengan tubuhnya, dan sekarang bukan saat yang untuk memikirkan harga diri. Jika Jerome menginginkan tubuhnya, ia akan memberikannya. Rasanya hatinya sudah terlalu kebas untuk memikirkan cinta dan segala macam perasaan sentimentil yang mengikuti. Cukup sekali hatinya dipatahkan oleh Juna. Ia tak akan memikirkan apa pun lagi selain lepas dari jeratan Jerome.Setelah menyiapkan air di bath up dan meneteskan bath foam, Jenna menggoyang-goyangkan air hingga tercipta buih di permukaan. Harum mawar, ia tak terlalu menyukainya tapi Jerome sangat menyukainya. Melepas pakaiannya, Jenna p
Jangan lupa baca cerita baru author, yaPeringatan : KHUSUS 21+ Di bawah umur sebaiknya melipir. Mengandung adegan dewasa dan kekerasan, TETAPI yang berharap menemukan adegan ena-ena dan eksplisit sebaiknya menjauh sebelum harapan kalian runtuh. Blurb : Anne Lucas, dengan kecantikannya yang begitu memesona berhasil menarik perhatian seorang Luciani Enzio. Supermiliader, filantropis, aktivis dan tak lupa predikat bujangan paling diagungkan di lingkungan sosial atas. Segala macam pujian dipersembahkan oleh semua orang untuk pria itu. Tetapi Anne tak pernah terkecoh dengan semua topeng pria itu yang digunakan untuk menjilat kedua orang tuanya demi restu mereka untuk menikahkan Anne dengan Luciano. Ia tahu, di balik kesempurnaan Luciano. Pria itu tak lebih dari pria tua mesum yang berengsek. Segala cara ia lakukan untuk merobek topeng dan menunjukkan pada dunia wajah Luciano yang sebenarnya. Termasuk menghancurkan tubuhnya yang berhasil menarik pria itu. Tetapi, semua rencananya ta
Jerome berhasil menangkap tubuh Jenna yang terhuyung ke depan tepat sebelum kepala sang istri menyentuh lantai. Wajah Jenna benar-benar seputih kapas. Matanya terpejam. Wanita itu pasti benar-benar terkejut mendengar bahwa Daniel menemukan Liora lebih dulu. Yang artinya Xiu akan dipisahkan dari sang kakak, juga dari mereka berdua.Ya, selama dua tahun merawat Xiu, dan meski balita itu bukan anak kandungnya. Kasih sayang mereka tak berkurang sedikit pun untuk Xiu. Tak ada bedanya dibandingkan dengan Axel dan Alexa. Penyesalan bercokol di dadanya, sepertinya ia memang harus bertemu dengan Daniel."Bangun, Jenna," panggil Jerome dengan telapak tangan yang menepuk lembut pipi sang istri. Tak ada reaksi, Jerome pun menggendong Jenna ke dalam kamar. Membaringkan dengan hati-hati di tempat tidur.Jerome sedikit melonggarkan pakaian dalam Jenna agar lebih mudah bernapas. Mengambil minyak kayu putih di laci dan mengoleskan di dekat hidung. Setelah menunggu beberapa saat, perlahan Jenna terban
Jerome menatap Juna yang berdiri di ambang pintu gandanya yang tinggi dan megah. Berbanding terbalik dengan pakaian sederhana yang dikenakan pria itu. Kaos polos dan celana jeans, juga sepatu kets yang dikotori debu.Di samping Juna berdiri Abe yang mengangguk patuh begitu mendapatkan isyarat pergi dari Jerome.Kedua mata Juna menatap lurus pada Jerome, denga keberanian sebesar itu, Jerome tahu siaa jati diri pria itu yang sebenarnya. Sudah belasan tahun yang lalu, sejak terakhir ia melihat Julian yang dipaksa naik ke dalam mobil oleh anak buah mamanya. Tanpa tahu remaja itu tak akan pernah kembali ke kediaman Lim untuk waktu yang lama. Kecurigaan sempat hinggap di hati Jerome ketika menyuruh anak buahnya menyelidiki tentang tujuan Juna Fadli karena pria itu kembali ke hidup Jenna. Ada sesuatu tang familiar mengamati berkas laporan yang didapatkan oleh anak buahnya. Sekarang kecurigaan itu semakin meruncing."Sudah lama tak bertemu, Jerome," sapa Juna tanpa sedikit pun getaran dalam
"Gali lebih dalam." Jerome melempar berkas di tangannya ke hadapan Max. Wajahnya dipekati kegusaran yang begitu dalam. Menahan kemarahan di dadanya kuat-kuat. Kenapa harus ada kebetulan sialan semacam ini di hidupnya dan Jenna. Yang rasanya baru saja dipenuhi ketenangan. "Cari tahu apakah dia ada hubungannya dengan Karina Darleen."Max mengangguk patuh sembari memungut berkas yang jatuh di lantai. Suasana hati sang tuan jauh dari kata baik. Sedikit saja kekesalan, sang tuan tampak siap mengamuk di detik berikutnya. Beruntung informasi yang didapatkannya tentang asal usul Juna Fadli di kampung halaman pria itu cukup memuaskan sang tuan. Meski perlu informasi lebih dalam lagi. Max pun berpamit undur diri dan berjalan keluar. Berpapasan dengan Jennifer."Karina Darleen?" Jennifer memasuki ruangan Jerome dengan penuh keheranan dan kemarahan yang bercampur jadi satu. Berhenti tepat di depan meja Jerome. "Untuk apa kau mencari tahu tentang wanita itu, Jerome. Dia sudah mati, kan?""Ya, di
"Nyonya?" Mata Jenna terpejam mendengar suara memanggil yang mendadak muncul dari arah belakangnya. Baru saja ia keluar dari lift dan hendak memasuki ruang IGD. Mendesah pendek dan berbalik. "Ada apa lagi?""Tuan meminta saja …""Aku bisa mengurus urusanku sendiri," potong Jenna. "Kau pergilah ke kamar Xiu dan tanyakan apa yang dibutuhkan oleh kakakku.""T-tapi Anda …""Aku akan mengurusnya diriku sendiri.""Tuan Lim …""Abe, aku yang akan bertanggung jawab jika suamiku memarahimu."Abe pun mengangguk menangkap kemarahan yang mulai memekati wajah sang nyonya. Ia mengangguk undur diri dan menunggu sejenak di depan lift untuk naik ke atas.Jenna berbalik setelah pintu lift tertutup, menyusuri lorong pendek dan langsung ke ruang IGD. Tetapi tak menemukan Juna."Pasien yang tadi malam?" Perawat yang berjaga memasang senyum ramahnya. "Atas nama?"Jenna mengangguk. "Juna Fadli."Perawat itu menatap layar komputer di hadapannya, mencari sejenak. "Pasien sudah pulang."Mata Jenna melebar. "B
Abe mengatakan Jenna menyerempet seseorang di basement dan membanting setir hingga menabrak tiang. Saat pengawal wanita itu menemukan Jenna, Jenna sudah ditolong oleh seseorang yang ditabrak istrinya dan dibawa ke ruang UGD.Wajah Jerome yang dipenuhi kepanikan seketika berubah merah padam dan mengeras dengan kuat melihat pemandangannya di hadapannya. Kekhawatiran yang memenuhi dadanya dalam sekejap ditimbun oleh kemarahan melihat Jenna yang berbaring di ranjang pasien salah satu bilik dengan seorang pria. Tangan Jenna berada dalam genggaman jemari pria itu, dengan ibu jari yang mengelus lembut punggung Jenna."Lancang sekali," desis Jerome. Yang membuat pria itu menoleh dan Jerome dikejutkan untuk kedua kalinya. Mengenali si pria dengan sangat baik meski ini adalah pertemuan pertama mereka.Bagaimana mungkin ada kebetulan konyol semacam ini? Jerome jelas tak terima orang yang ditabrak oleh Jenna adalah Juna Fadli. Dari jutaan orang di kota ini, tidak adalah korban lain?"Apa yang k
Napas Jenna masih tertahan akan ancaman yang terselip dalam peringatan yang diucapkan oleh Jennifer. Tetapi terlihat rapuh dan ketakutan sama sekali bukan pilihan bagi Jenna. “Jika kau ingin membuatku ketakutan, kuakui kau sedikit membuat goyah, Jennifer. Tapi maaf mengecewakanmu, aku tak akan tersingkirkan semudah itu. Aku tahu apa yang kumiliki dengan Jerome jauh lebih besar dan kuat dari apa yang kau katakan.”Jenna memajukan tubuhnya lebih dekat ke arah Jennifer yang tampak terdiam. Ada secercah keterkejutan di wajahnya akan keberanian dan keyakinan yang ditampilkan oleh Jenna, tapi ia tahu itu hanyalah penampilan di permukaan saja.“Dan aku tak perlu membuktikan apa pun padamu. Pernikahan ini, kami sendiri yang tahu dan kami yang menjalaninya. Kami memiliki beberapa masalah, ya tidak ada hubungan yang lurus dan lancar-lancar saja. Kadang kami bertengkar karena hal besar maupun kecil, tapi disitulah hubungan kami tumbuh. Dan kami tak membutuhkan masalah lainnya. Seperti dirimu.”K
“Siapa namanya?” Tiga tahun lalu, Jerome ingat Jenna pernah memiliki kekasih yang hubungannya sudah dihancurkan oleh Liora. Tetapi ia tak ingat pasti siapa nama belakang pria itu.“Juna Fadli.”“Cari setiap informasi tentangnya. Alamat dan pekerjaannya sekarang. Sedetail mungkin dan letakkan di atas meja di ruanganku. Secepatnya.” Setelah memungkasi perintahnya, Jeroma menurunkan ponselnya dan meletakkannya di meja wastafel. Menatap pantulan wajahnya di cermin. Bola matanya yang sepekat arang menghiasi wajahnya yang mengeras. Sekecil apa pun, ia tak akan menciptakan celah sekecil apa pun bagi Jenna untuk mengkhianatinya.Orang tua, kakak, kekasih, tunangan, dan bahkan sepupunya sendiri. Mereka semua mengkhianatinya di belakangnya. Hanya Jenna dan si kembar yang dimilikinya. Ia sudah memberikan apa pun dan menjadikan Jenna kelemahannya. Jika Jenna pun mengkhianatinya juga, maka selesailah sudah.***Jenna tak menemukan Jerome di manapun meski pria itu berpamit akan turun ke lantai satu
Jenna baru saja menuruni anak tangga, Jerome mengatakan akan sampai di rumah dalam sepuluh menit setelah menanyakan si kembar yang sudah terlelap. Ia hendak membantu menyiapkan makan malam di ruang makan, tetapi langkahnya tiba-tiba dihadang oleh Jennifer.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap wanita angkuh itu, melirik ke arah Abe yang berdiri beberapa meter di belakang Jenna. Membuatnya kesal akan keberadaan pengawal wanita itu. “Di ruang makan.”Jenna mengangguk, mengikuti langkah Jennifer. Keduanya duduk berhadap-hadapan dan dipisahkan oleh meja makan yang besar. Saat Jennifer meletakkan sebuah berkas yang baru disadari keberadaannya. Yang kemudian disodorkan tepat di hadapannya. Berikut sebuah pen yang terselip di dalamnya.“Baca dan tandatangani,” perintah Jennifer.Jenna mulai membaca lembaran tersebut. Surat Perjanjian Pernikahan.“Apa ini?” Jenna bukannya tak memahami surat yang disodorkan oleh Jennifer. Dari judulnya semuanya sudah jelas.“Kenapa? Kau tidak mau menandatanganinya