"Kamu pindah?"
"Siapa?" tanya Ella sambil berjuang menahan rasa mualnya yang menyiksa. Rasanya ia ingin mengutuk Fahri yang datang di saat yang tidak tepag.
"Kamu." Fahri menunjuk Ella dan koper bergantian. "Kamu pindah, ke sini?"
"Nggak ak—"
"Mbak, ini kopernya," potong satpam yang tadi Ella minta untuk mengambilkan koper miliknya.
"Ter—" Ella tidak melanjutkan kata-katanya rasa mual langsung menderanya, ia berlari ke kamar mandi umum yang disediakan oleh pihak apartemen untuk memuntahkan entah apa lagi dari dalam tubuhnya.
Setelah sampai di kamar mandi, Ella memuntahkan kembali air minum yang baru saja ka tegak tadi. Kepalanya sakit bukan main, rasa asam langsung memenuhi mulut Ella. Ella benar-benar tersiksa, rasa lapar langsung Ella rasakan detik itu juga.
"Ella, kamu nggak apa-apa?" tanya Fahri setelah Ella keluar dari dalam kamar mandi.
"Nggak papa, cuman nggak enak badan dan aku belum makan jadi mual," dusta Ella
"Jadi sore ini kamu pulang ke Jakarta," ujar David masih mengecupi pundak Renya yang polos tanpa sehelai benangpun. Mereka baru saja selesai melakukan pelepasan untuk kesekian kalinya pagi ini. Pagi itu masih terasa sunyi tanpa celoteh Renata yang masih tertidur pulas di kamar barunya. "Iya, aku mau cepat-ceoat mengurus perceraianku dengan Daru, agar semuanya jelas. Kasihan pacar Daru kalo menunggu terlalu lama, dan aku juga gak mau meninggalkan kamu dan Renata lama-lama tanpa aku di sini." Renya masih menggenggam satu tangan David. "Kenapa dengan pacar Daru?" "Hamil ... Gadis itu bahkan masih berumur 20 atau 21 tahun, aku lupa." "Tapi Daru mencintainya?" Renya mengangguk, "aku belum pernah melihat Daru mencintai seorang wanita sedemikian rupa selain Nadya ... ya, Daru sudah membuka hatinya untuk wanita lain, sayangnya gadis itu terlalu muda untuk Daru." "Selagi cinta tidak ada kata terlambat entah itu umur yang terlalu muda at
Perasaan Daru sedikit terganggu dengan frekuensi pertemuan tak sengaja Ella dan Fahri yang ia nilai terlalu sering. Laki-laki itu seperti tidak tahu mana batasan sikap pada seorang wanita yang telah memiliki hubungan dengan laki-laki lain. Dan perasaan sedikit terganggu itu malah menyisakan sikap uring-uringan yang dibawanya saat kembali ke kamar di mana Ella berada. “Ngapain tadi?” tanya Ella. “Ada yang perlu aku tanya dengan Satpam bawah,” sahut Daru. “Kamu gimana? Udah mendingan?” tanya Daru, merebahkan dirinya di ranjang. “Masih sama aja. Tapi aku udah makan,” kata Ella, bentuk sindiran tipisnya pada Daru yang tak ada menanyakan hal itu padanya. “Aku tau,” sahut Daru. “Pasti makan sama laki-laki yang tadi. Aku nggak suka,” sambung Daru. “Dia cuma temen yang ngajakin makan. Karena aku nggak tau kamu bakal langsung ke sini.” Ella mengambil gelas dan mengisinya dengan
Daru melepaskan penyatuan mereka. Ella bisa melihat kejantanan pria itu masih begitu gagah dan bersiap kembali menghunjamnya. Daru mengangkat satu lengannya dan meminta Ella menelungkup. Lalu, dengan tumpuan bantal, ia berbaring dengan wajah menoleh miring. Lututnya bergetar, namun Daru menegakkan kakinya. Pria itu membungkuk menciuminya dari belakang. Ella bisa merasakan kejantanan Daru menggesek bokongnya. “Aku akan masuk lebih dalam,” kata Daru. Ia meremas payudara Ella yang membungkuk di depannya. Lalu, menyatukan kedua tangan wanita itu terikat di belakang tubuhnya. “Aaahhhh ….” Erangan panjang lolos dari mulut Ella saat kejantanan Daru yang keras kembali menghunjamnya. Ella merasa kejantanan itu menyelubunginya begitu dalam. “Kamu pasti suka. Ini aku yang biasa,” erang Daru seraya terus menghunjam dengan kuat. Daru terus menghunjam, mengetatkan kedua pergelangan tangan Ella di belakang
"Apa yang kamu lakukan belakangan ini?" Renya menelan ludahnya saat mendengar pertanyaan Bramatya, rasanya baru detik tadi Renya merasakan kebahagiaan mendengar suara malaikat kecilnya dan David. "Gimana, Papa?" tanya Renya sambil mengusap-usap pahanya. Dia gugup bukan main bila sudah berhadapan dengan suara Bramatya yang berat dan penuh kecurigaan. Renya tahu, Bramatya mengetahui keinginannya untuk bercerai dengan Daru dan sudah bertemu Renata. "Apa yang kamu lakukan belakangan ini, Renya?" ulang Bramatya dengan suara yang mulai tidak sabar. Ia ingin mengetahu secepatnya apakah kabar yang ia dapatkan dari anak buahnya itu valid. "Nothing, selalu sama. Menikah, mengurus Bayu dan Daru," dusta Renya sambil berjuang mempertahankan intonasi suaranya setenang mungkin.
Perbincangan dengan Bramantya beberapa hari yang lalu sedikit mengusik hati kecil Renya. Dia hanya berharap ayahnya itu tidak melakukan hal konyol yang nantinya malah akan berakibat fatal.Pagi itu Renya berdiri di depan kaca besar yang berada di dalam kamarnya. Memandangi dirinya, hari ini adalah hari dimana dia sebentar lagi akan berubah status menjadi seorang janda. Pernikahan singkat yang akhirnya memberikan jalan pada Renya menemukan kebahagiaannya.Renya kembali memoleskan lippen berwarna merah muda itu ke bibirnya, dia kembali merapikan rambut serta kemeja yang dia kenakan pagi itu.Setidaknya dia berharap pagi ini semua akan berjalan dengan baik-baik saja. Renya melangkah menuruni anak tangga itu, dia mendapati Daru dan Bayu sedang berbincang-bincang mengenai sekolah anak semata wayang suaminya itu."Sudah siap?" tanya Daru pada Renya."Sudah ..." Renya membelai rambut Bayu lalu menarik kursi di sebelah remaja itu, memoles rot
"Maksud kamu apa ini!?" Brak!? Kaki Renya langsung merasakan benda elektronik itu, matanya membulat sempurna saat melihat foto dirinya dan Daru yang baru keluar dari pengadilan agama. Tangan Renya bergetar sambil memungut ponsel yang ada di kakinya itu. Renya dengan cepat menggulir foto-foto di layar ponsel yang Yuni lemparkan tadi. Napasnya tercekat saat melihat foto-foto yang ada di sana, dia kaget bukan main. Bagaimana Yuni bisa mendapatkan ini semua!? Bagaiaman caranya! "Ma," panggil Renya sambil berjalan ke arah Yuni. "Ma, dengarkan penjelasan Renya dulu, Ma." "Apa yang mau kamu jelaskan, Renya!? Apa? Sudah cukup yah, Mama sudah lelah dengan kelakuan kamu yang binal dan tidak tau aturan ini!?" pekik Yuni sambil melemp
Suara derap kaki Bramantya memasuki rumah itu, suaranya menggelegar memanggil istrinya."Dimana Renya?""Dikamar nya," ujar Ibu Yuni.Langkah lebar lelaki berumur lebih dari 50 tahun itu menaiki anak tangga diikuti Yuni.BrakPintu terbuka dengan kasar, Renya terkejut lalu berdiri, wanita itu melangkah mudur saat sang Ayah mendekatinya.Plak"Bikin malu keluarga kamu! Dimana otak kamu Renya! Hah!"Air mata Renya menetes, belum juga hilang tamparan serta pukulan dari ibunya sudah harus lagi dia rasakan tamparan dari Bramantya."Mana ponsel kamu?" Pandangan mata Bramantya penuh dengan amarah. "Jangan ada yang berani kasih alat komunikasi ke Renya, kalo saya lihat ada yang berani membantu dia pergi dari rumah ini, atau memberikan satu alat komunikasi buat dia, kalian saya pecat, NGERTI!" bentak Bramantya pada pekerjanya yang kebetulan sedang berada di kamar itu. "Semua ... kasih tau ke semua yang tinggal di rumah ini."
“Di Bandung,” jawab Daru. “Hubungi Satrio, minta siapin semuanya. Besok pagi-pagi sekali.” Daru berjalan hilir-mudik di tengah ruangan dengan dahi mengernyit. Sesekali ia melemparkan pandangan pada wajah Ella yang pucat dan sejak tadi tak lepas menatapnya.“Jadi gimana? Aku harus apa? Aku harus bilang ke ibu atau gimana?” Ella langsung memberondong Daru dengan pertanyaan.Daru duduk di tepi ranjang mengatur napasnya. “Malam ini kita ke Bandung. Aku ragu kita sempet ngomong ke ibu kamu. Situasinya nggak memungkinkan. Karena, Renya—” Daru meraih tangan Ella dan menggenggamnya. “Perasaanku nggak enak soal Renya. Boleh aku ngeliat dia ke rumah orang tuanya?”“Mmm—memangnya Mbak Renya ke mana? Belum ada ngasi kabar?” tanya Ella sedikit gugup. Ia merasakan nada suara Daru mengandung kewaspadaan yang tak biasa. Pernikahan terburu-buru itu dan Re
Sewaktu kecil Ella tak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang ayah. Dia anak yang tumbuh besar dari ibu tunggal yang membesarkannya dengan menyingkir dari kecaman keluarga dan omongan orang terdekat. Sudah tak heran lagi kalau kebanyakan manusia selalu menganggap dirinya yang paling benar dan sempurna. Sehingga merasa lebih mudah untuk menghakimi kehidupan orang lain. Satu perasaan yang selalu Ella syukuri adalah bahwa ia dibesarkan oleh seorang wanita tangguh yang mengorbankan masa muda dan mampu mengalahkan egonya untuk tidak menikah lagi. Dulu Ella tak mengerti. Ia menganggap kalau apa yang dilakukan ibunya memang suatu keharusan. Membesarkannya, merawatnya, memberinya jajan yang cukup, pakaian bagus dan pendidikan mahal. Ella tak pernah bertanya uangnya dari mana. Dan ia tak pernah menyangka kalau sebagian besar apa yang diperolehnya berasal dari seorang pria yang ternyata diam-diam masih bertanggungjawab
Hidup itu selalu tentang pilihan. Tentang baik dan yang buruk, tentang kesulitan dan kemudahan, tentang berjuang atau memasrahkan, juga tentang menjadi baik atau tidak. Semuanya tentang pilihan. Tentu saja semua orang ingin hidupnya berjalan dengan baik. Namun, seringnya yang terjadi malah jauh melenceng dengan yang direncanakan. Begitu pula Andi yang sejak dulu merencanakan memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia bersama Ella. Gadis yang menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun, namun hubungan itu kandas karena perselingkuhan yang dilakukan oleh wanita itu. Andi tetaplah manusia biasa. Laki-laki yang jauh dari kata sempurna. Ia marah, murka, membalas, puas, kemudian melampiaskan semuanya dalam satu waktu. Andi yang menjaga dirinya menjadi sosok lelaki berengsek, malah berubah menjadi sosok itu. Bagi Ella, Andi pernah menjadi lelaki berengsek. Bagi Andi, Ella juga pernah menjadi wanita berengsek yang mengkhian
"Oke ... mengejan sekali lagi ya Ibu Ella, sedikit lagi kepalanya sudah kelihatan ya ... siap ya, hitungan ketiga," ujar Dokter Sarah yang membantu persalinan Ella. "Satu ... dua ... tiga ... sekarang Bu Ella," titah sang Dokter. Ella mengejan sekuat tenaga, semampu yang dia bisa. Genggaman tangan Ella semakin erat menggenggam tangan Daru, Daru meringis menahan sakit kala genggaman itu mencengkeram semakin kuat seakan akan mematahkan jari jemari Daru. "Iya ... terus Ibu, bagus ...." Suara tangis bayi memenuhi ruangan persalinan, bayi mungil yang masih ditempeli sisa-sisa plasenta itu menangis begitu keras. "Sempurna, ya ... semua lengkap, perempuan, cantik, berat badan dan tinggi semuanya baik," ucap dokter Sarah. "Selamat Bapak Daru dan Ibu Ella," ujar Dokter Sarah. Ella meneteskan air matanya, saat bayi mungil mereka berada di atas dadanya, mencari-cari puting susu sang Ibu. "Cantik," ujar Daru menatap bayi mereka. "Benar
Daru membuka pintu kamarnya perlahan, dia membawakan susu hangat sesuai permintaan Ella tadi. Istrinya itu sedang duduk bersandar pada headboard, menggulir layar ponselnya. Ya, belakangan ini Ella memang lebih tertarik dengan ponselnya di banding yang lain. Berlama-lama melihat online shop lebih menarik dan menjadi salah satu hobi terbaru Ella. "Susunya di minum dulu, Miss Ella," ujar Daru yang sengaja memanggil Ella dengan sebutan Miss seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu. "Terimakasih, Pak Daru." Ella pun tersenyum, menyesap susu yang diberikan oleh Daru. Dari duduk di sebelah istrinya, sambil mengusap-usap perut yang semakin membesar itu. "Kamu pasti belanja baju bayi lagi, ya?" tanya Daru yang melihat Ella sedang memilah-milah jumper untuk bayi mereka. "Lucu-lucu, Mas ... nggak mungkin aku lewatkan." "Iya, tapi kan sayang kalo ke pakenya cuma sebentar, itu yang kemarin kamu belanja sama ibu aja belum ka
Lalu lintas sore itu cukup padat, Arya melirik jamnya berkali-kali khawatir ia terlambat untuk makan di restoran. Tempat yang diminta Arya datangi oleh Papahnya. Sambil menatap lampu merah yang lama, Arya teringat dengan pembicaraan dengan Papanya tiga hari yang lalu. Saat di mana Papanya tiba-tiba memanggilnya dan memberikan satu pertanyaan yang tidak pernah Arya duga sebelumnya. “Arya, bolehkan Papa menikah lagi?” Arya mengenang pertanyaan Ayahnya, pertanyaan yang paling simple, paling to the point dan pertanyaan yang paling tidak di duga oleh dirinya. Mengingat selama dua tahun Papanya menjadi seorang duda, sibuk dengan dunia politik. Papanya tidak pernah membicarakan tentang pendamping hidup semenjak kepergian Ibunya. Arya tahu bahwa orang tuanya dinikahkan melalui jalan perjodohan tapi, selama mereka hidup sebagai pasangan suami istri, mereka adalah rekan, partner, rekan dan sahabat baik. Ibu Arya memang selalu tidak sehat, kesehatannya memang ti
Dulu, Diana sangat terkesima dengan sosok Syarif Chalid muda yang begitu gagah dan penuh kharisma. Seorang angkatan bersenjata dengan karir yang cemerlang. Usia mereka bertaut cukup jauh, dan Diana muda yang naif begitu singkat dalam berfikir. “Ella memang lagi di rumah?” tanya Chalid di dalam mobil, menoleh ke arah Diana yang pandangannya mengarah ke luar kaca jendela mobil. “Iya, Ella nunggu hari kelahirannya. Belakangan dia sering nginep di rumah bawa Bayu. Aku juga minta dia di rumah sementara ini. Khawatir ... Daru kerja kadang pulangnya larut malam,” sahut Diana, menoleh sekilas ke arah Chalid kemudian mengembalikan tatapannya ke depan. “Jadi, Bayu juga lagi di rumah?” tanya Chalid lagi. “Iya, Mas. Tadi malah katanya mau ikut kalau dia belum makan. Tapi, kayaknya dia keburu makan sop,” ujar Diana tertawa. Ia menoleh ke arah Chalid dan bertemu pandang sesaat. Tawanya langsung lenyap berg
Diana sudah berdiri di depan kaca selama setengah jam. Wanita 45 tahun itu sudah tiga kali berganti pakaian. Pertama tadi dia hanya mengenakan celana panjang dan kemeja santai. Beberapa langkah keluar pintu kamar, ia kembali ke dalam dan kembali mematut diri.Sekarang Diana telah mengenakan terusan berwarna kuning muda yang menutup hingga ke betisnya. Rasa-rasanya ia sudah sangat lama tidak mengenakan jenis pakaian seperti itu.Alasannya bukan karena tidak suka, tapi lebih ke tidak adanya kesempatan atau tempat yang cocok untuk ia bisa mengenakannya. Tak ada pergaulan yang sangat penting yang terjadi dalam hidupnya setelah ia memiliki Ella.Setelah pernikahan yang amat singkat dengan Chalid, ayah kandung Ella, Diana membelanjai dirinya sendiri dengan memanfaatkan sedikit uang peninggalan orangtuanya. Diana berinvestasi kecil-kecilan di perusahaan temannya. Hasilnya memang tak banyak, tapi setidaknya ia bisa menjaga egony
"Em ... karena—" Ratih tercekat, ternyata nyalinya juga belum cukup kuat untuk mengatakan sejujurnya pada kedua orangtuanya. "Jadi gini, Om ... Tante. Saya dan Ratih, kami ...." Andi menguatkan hatinya. "Kami memohon restu dari Om dan Tante, saya ingin menikahi Ratih putri Om," ujar Andi tegas. "Maksudnya gimana ini, Ibu gak ngerti." Retno duduk di sisi suaminya. "Ratih akan berhenti bekerja, Bu ... kami minta restu dari Ayah sama Ibu, Andi ingin Ratih menjadi istrinya." "Sudah berapa lama?" tanya Ridwan menatap Andi. "Kami kenal sudah enam bulan kurang lebih, Yah." Ratih menjawab cepat. "Ayah tanya pacar kamu." Ekspresi datar dari seorang Ridwan, pensiunan polisi itu. "Enam bulan, Om ... sudah enam bulan." "Pekerjaan kamu?" "Baru selesai ambil spesialis, Om." "Dokter?" "Iya, Om." "Kamu bisa pastikan anak saya bahagia? Dengan latar belakang dia, kehidupan dia bahkan masa lalunya?"
"Oh? Hanya oh?" Ratih berjalan cepat tanpa memikirkan perutnya, troli yang berisi barang belanjaan mereka dia tinggalkan begitu saja. Andi yang serba salah menyusul Ratih hingga meja kasir, wanita hamil itu melenggang begitu saja membiarkan Andi kesusahan membawa barang belanjaan mereka. "Tih ... ya ampun Tih, jangan cepet-cepet jalannya, ingat kamu lagi hamil." Andi meringis melihat Ratih berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. "Buka pintunya," ujar Ratih dengan ekspresi wajah kesal. "Astaga, Tih!" Andi membuka pintu mobilnya. Andi benar-benar harus menahan amarahnya menghadapi Ratih yang selalu sensitif selama masa kehamilannya. Ratih masih dengan mode diamnya, pandangannya dia alihkan keluar jendela mobil. Sementara Andi, merasa kikuk dengan tingkah Ratih yang selalu membuat serba salah. "Maaf ya," ujar Andi yang akhirnya mengalah. Ratih masih terdiam. "Kamu kan tau, hampir tiga bulan ini aku sibuk dengan pro