Arland menoleh ke arah kamar mandi. Ia teringat menemukan paperbag di dalamnya. Belum sempat ia cek apa isinya karena itu termasuk hal privasi Meika dan akan lebih baik jika Azkara yang membukanya.
"Maaf sebelumnya, Tuan Muda. Saat Anda pingsan tadi, saya mencoba mencari keberadaan Nyonya Meika. Saat saya mengetuk pintu kamar mandi tidak ada respon sama sekali dari dalam. Maaf sekali lagi atas kelancangan saya, Tuan, saya membuka pintunya karena saat itu saya berpikir sedang terjadi sesuatu yang buruk pada Nyonya di dalam, mengingat Anda tadi pingsan. Namun, begitu saya masuk, Nyonya tidak ada. Saya malah menemukan satu paperbag yang teronggok di dekat wastafel," ungkap Arland panjang lebar."Baiklah, saya mengerti. Berikan paperbag yang kau maksud itu," pinta Azkara yang masih agak pusing kepalanya.Arland mengambil paperbag yang terletak di atas sofa berwarna krim di sudut kamar lalu memberikannya pada Azkara. Di paperbag itu terdapat tulisan kata "Maaf" dalam bahasa Jerman "Verzeihen" yang dicetak tebal.Pria yang masih terbaring itu dengan cekatan membukanya. Tangannya mengeluarkan sebuah gaun pengantin."Arland! Ini gaun pengantin istri saya. Dia tidak jadi memakainya lalu kemana dia?" tanya Azkara yang panik."Saya dan anak buah masih mencari keberadaan Nyonya Meika, Tuan Muda," jawab Arland."Apa sudah kau coba hubungi Meika?""Sudah, Tuan. Tetapi, nomornya tidak aktif."Azkara tampak berpikir mengapa istrinya tidak jadi memakai gaun pengantin yang kini ia pegang, padahal dia sendiri melihat bahwa Meika masuk ke dalam kamar mandi sambil menenteng gaun tersebut. Meika sendiri yang mengatakan bahwa dia akan berganti pakaian setelah istirahat.Sebelum ke kamar mandi, istrinya memberinya teh hangat. Setelah meminum teh tersebut mendadak kepala Azkara terasa pusing dan rasa kantuk menyerangnya. Matanya lambat laun terasa berat untuk terbuka, perlahan ia pun tertidur.'Tidak mungkin Meika memberiku obat tidur,' batin Azkara."Arland, selidiki siapa yang telah mencampur obat tidur dalam minuman saya. Gelasnya ada di atas nakas," perintahnya."Baik, Tuan Muda! Bagaimana dengan para tamu Tuan? Mereka sudah lama menunggu bahkan beberapa dari mereka sudah ada yang pulang terlebih dahulu.""Sebentar lagi saya akan turun untuk meminta mereka pulang saja. Percuma untuk melanjutkan resepsi," jawab Tuan Muda. Ada rasa kecewa, sakit dan sesak serta bingung menjadi satu dalam dirinya."Saya permisi, Tuan Muda! CCTV di gedung ini harus saya cek," pamit Arland pada Azkara."Untuk CCTV di kamar ini hanya saya saja yang boleh melihatnya. Kirim salinan rekamannya ke laptop saya dan antarkan kepada saya segera," perintah Azkara."Baik, Tuan! Segera saya antar secepatnya. Saya undur diri," pamit Arland.'Di mana kamu sayang?' gumam Azkara.Wajah sendunya semakin bertambah gusar. Ia lalu mengambil ponsel dan melacak posisi Meika melalui GPS ponselnya yang dihubungkan ke ponsel Meika."Tidak terhubung! GPS-nya mati? Astaga!" teriaknya. Ia sungguh kesal."Ini tidak beres. Apa kamu diculik, Mei? Tapi selama ini tidak ada musuh yang mengintaimu. Penjagaan di sini juga ada. Lalu? Apa kau sengaja meninggalkanku?" gumamnya masih dengan wajah yang gusar.Beralih pada Arland yang sedang berkutat di depan layar monitor CCTV dan juga laptop bosnya. Ia menonton satu video rekaman sebelum listrik padam.Ada pesan masuk dari Gio.[Siap laksanakan, Pak! Gelas akan segera dikirim untuk diperiksa lebih lanjut.][Bapak masih di ruang pemantauan CCTV? Tadi saat mengambil gelas di kamar Tuan Muda Azkara, beliau bilang untuk segera membawakan laptop kerjanya. Beliau sekarang menunggu di lantai bawah bersama para tamu.]Arland membaca pesan tersebut langsung membalas, [Baik, terima kasih. Lanjutkan kerjamu.]Saat ia tengah berberes, anak buahnya datang berlari tergesa-gesa."Pak! Pak Arland! Ada bom di dalam gedung, Pak!" teriak anak buahnya yang ngos-ngosan."Astaghfirullah!" pekiknya. Matanya membulat, jantungnya berpacu kencang, Arland kaget setengah mati. Ditambah lagi ia melihat apa yang ada dalam genggaman Vyan.Dia bergidik ngeri. 'Berani sekali anak ini,' batinnya."Saya berusaha mengutak-atik kabel bomnya. Akan tetapi, nihil. Waktunya terus berjalan, Pak. Tersisa dua menit lebih 40 detik lagi. Kita harus cepat keluar dari sini! Serahkan saja semua pada saya," sergah Vyan, anak buahnya yang berkompeten di bidang khusus itu.Arland mengangguk cepat meski rasa khawatir menjalari perasaannya. Ia berkata, "Baiklah, berhati-hatilah, Vyan."Arland kemudian berlari menuju aula di mana para tamu berada."Tuan! Kita semua harus segera keluar dari sini!" bisik Arland yang sudah panik. "Telah ditemukan bom di dalam gedung!" sambungnya lagi.Sementara itu, Vyan meletakkan bom yang waktunya tersisa 2 menit 30 detik di area belakang gedung. Lokasinya cukup jauh dari gedung. Hanya terlihat pepohonan lebat serta banyak semak belukar. Ia ditemani oleh dua anak buah lainnya. Mereka pun berlari sekencang mungkin meninggalkan bom."Para Hadirin! Segera tinggalkan gedung ini! Karena akan ada ledakan yang terjadi. Segera keluar!" jerit Azkara menggunakan microphone.Sontak para tamu berhamburan keluar meninggalkan gedung sejauh mungkin. Para anak buah lain pun menjerit memperingati melalui toak dan microphone bahwa semua yang ada di dalam gedung harus segera keluar.Azkara menaiki tangga dengan cepat."Tuan Muda Azkara! Ledakan sebentar lagi akan terjadi untuk apa Anda naik kembali?" teriak Arland sambil mengejar bosnya, tapi tidak dihiraukan Azkara.Azkara mengambil paperbag di atas kasur lalu bergegas lari."Ayo cepat turun dan keluar dari sini!" teriaknya pada Arland.Arland pun berbalik memutar arah larinya. Mereka berlari sangat kencang hingga terguling-guling saat menuruni tangga lalu bangkit dan berlari kembali.Waktu bom yang tersisa sekitar sepuluh detik saat semuanya berhasil keluar dan menjauh termasuk Azkara dan Arland.Tanpa mereka sadari terdapat bom lain di area depan gedung, tepatnya di tanaman pagar berbunga dekat jendela. Waktu di bom tersebut tersisa lima detik lagi hingga ledakan pun terjadi. Beberapa anak buah yang belum keluar dari gerbang akhirnya terkena ledakan.Sekitar beberapa detik kemudian, ledakan kembali terjadi dari arah belakang. Gedung pun hancur luluh lantah dan sekitarnya juga berimbas terkena ledakan.Malam telah berlalu."Akhirnya kita bersama Mei," ucap lirih pria berwajah blasteran Indonesia-Korea berkulit putih. Ia duduk di samping Meika yang tengah tidur.Dia tersenyum sembari membelai pucuk kepala Meika dengan lembut. Sorot mata yang dipancarkan pada Meika begitu hangat dan mesra.Pria itu adalah Malvin. Lelaki yang amat mencintai Meika jauh sebelum Meika mengenal Azkara."Rupanya bius itu sangat ampuh hingga kau tertidur selama ini," gumamnya. Ia tak menyangka sekarang bisa bersama dengan wanita pujaannya.Sejak malam tadi hingga pagi ini Meika belum bangun sama sekali. Malvin menyuntik Meika dengan bius yang sangat ampuh yang bisa membuat mereka yang terkena suntikannya tertidur dalam waktu yang cukup lama.Malvin adalah dalang di balik insiden malam tadi. Semua ia rencanakan dengan amat matang. Bermain secara tenang, lihai, dan cerdik. Sehingga rencananya tidak terendus sama sekali oleh Azkara, tangan kanan beserta ajudan dan anak buahnya.Ia memendam rasa cintanya pada Meika dan tak pernah menunjukkannya sedikit pun pada siapa pun. Saat mengetahui dambaan hatinya akan menikah dengan orang lain sebulan yang lalu, ia tak rela. Timbul hasrat untuk merebut dan memiliki Meika yang kini sudah bersuami. Sungguh ambisinya begitu besar.Azkara kini berada di rumahnya. Ia masih tidur. Sejak dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya malam tadi, Azkara masih merasakan kantuk yang luar biasa. Kepala terasa berat dan pusing, tangan kebas kesemutan, serta napasnya pun tersengal-sengal. Alhasil dir
Beberapa menit kemudian Azkara tertidur lalu lampu yang tadi menyala seketika padam. Kamera CCTV pun otomatis berhenti merekam."Agghhrr," teriak Azkara.'Apa yang terjadi selama listrik padam?' ucapnya dalam hati.Wajahnya tampak tak tenang, ia geram pada keadaan."CCTV itu juga tidak bekerja!" gerutunya. Ia menyandarkan tubuhnya di senderan kursi lalu memandang langit-langit ruang kerjanya.'Aku yakin pasti telah terjadi sesuatu pada Meika saat lampu itu padam,' batinnya.Arland sudah sampai di kediaman Azkara. Mereka tengah berada di ruang kerja Azkara, sebuah ruangan khusus yang Azkara siapkan di rumahnya, tepat di sebelah kamar tidurnya."Apa Meika sudah ditemukan? Di mana dia dan bagaimana keadaannya?" tanya Azkara penuh harap."Tidak, Tuan. Kami belum berhasil menemukannya. Tapi, ada satu titik lokasi bahwa Nyonya Meika diduga berada di sana. Namun, setelah didatangi, Nyonya tidak ada," ungkap Arland."Di mana lokasinya?" tanyanya lagi."Lokasinya di hotel G Foresst sebelah sela
Yasmin menunggu sendirian di aula. Sudah hampir tiga puluh menit, rekannya tak jua kembali. Gadis itu mulai kesal dan bangkit dari duduknya."Kemana dia? Apa dia sudah pulang? Kenapa tidak mengabariku?" gerutu Yasmin. Ia lalu berjalan mondar-mandir.'Jika tidak terpaksa. Aku tak sudi bekerja sama dengan Oliv. Modelan orangnya saja begitu. Dasar jutek!' ucapnya dalam hati.Ia ingin sekali menelepon rekannya itu. Tetapi, ia takut akan mengganggu percakapan antara Oliv dan si Nyonya Muda."Yas!" tegur Oliv.Ia sudah tiba di aula. Kali ini tangannya membawa sebuah map berisi perjanjian kontrak kerja sama dengan Nyonya Muda."Lama sekali kau! Aku muak menunggu di sini," keluh Yasmin padanya."Anggap saja kita impas. Beruntung Nyonya Muda itu mau bekerja sama dengan kita. Nampaknya ia sangat menyukai desain gaunmu. Kode desainmu yang ZD09X.""Oh, yang itu. Aku pikir tidak akan ada yang menyukainya. Karena model yang kubuat itu cukup abstrak. Tetapi biar bagaimana pun itu terlihat unik! Janga
Liza buru-buru beranjak dari sana. Sesampainya di kamar, ia berjalan mondar-mandir. Ia terlihat sedang cemas.'Apa benar itu adalah Meika?''Apa dia berhasil lolos? Tapi kenapa dia tidak langsung pulang ke sini saja?''Apa wanita itu punya rencana lain?'Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Liza kemudian menelepon seseorang. Namun, nomor yang dihubungi tidak aktif."Bisa-bisanya saat keadaan gawat seperti ini, dia malah tidak bisa dihubungi!" geramnya.Liza lalu duduk di kasur, dengan kesal ia melempar bantal.***"Arland, siapkan saja semua dana untuk membayar kerugian ini," pinta Azkara."Baik, Tuan Muda!"Arland lalu beranjak pergi membawa beberapa berkas dokumen yang sudah ditandatangani oleh Azkara.Saat hendak berbelok arah ke kanan koridor, tiba-tiba muncul tangan seseorang di balik tembok koridor tersebut yang mencegatnya. Ia sontak berhenti. Hampir saja dadanya mengenai tangan itu. Orang di balik tembok akhirnya keluar berdiri tepat menghadapnya. "Emm ... dengar!
Wanita bersanggul itu kemudian meletakkan cangkir kopinya."Maaf, Nyonya Ira. Mengapa Anda begitu membenci Nyonya Meika?""Apa kau ingin tahu penyebabnya?" tanya Mahira. Arland mengangguk. "Iya, Nyonya.""Arland, bukankah kau tahu bahwa aku tidak membenci sembarang orang tanpa sebab yang fatal. Meika yang kelihatan polos itu benar-benar telah menyakitiku sebagai seorang ibu!" sergah Mahira."Dia memaksaku agar menyetujui pernikahannya dengan Azkara karena rahasiaku yang diketahuinya. Dia menjadikan itu sebagai senjata untuk mengancamku. Apa kau masih berpikir dia wanita tulus dan baik?""Rahasia?" tanya Arland."Ya, aku akan mengatakannya padamu. Aku rasa kau adalah orang yang tepat untuk kuberitahu. Aku mempercayaimu, Arland. Kuminta setelah kau mendengarnya, jangan beritahukan pada siapapun termasuk Azkara dan Liza.""Tapi kenapa, Nyonya Ira? Kenapa mereka tidak boleh tahu?""Mereka mungkin akan terluka," jawab Mahira. Sesaat ia termenung mengingat kejadian dua puluh delapan tahun s
"Baiklah, aku punya sesuatu untukmu," imbuh Oliv."Apa?"Oliv mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang membuat Yasmin semakin heran."Botol parfum?" tanya Yasmin. Sedari tadi ia terus memperhatikan botol di genggaman Oliv."Iya! Ini bukan sembarang botol parfum.""Tapi kenapa warna airnya begitu?" Jarinya menunjuk botol parfum.Oliv meletakkan botol itu di meja. "Ini isinya bukan parfum atau air bibit wangi, melainkan air cabai." "Untuk apa kau membawanya?" Yasmin tercengang tak mengira Oliv bisa menyediakan benda seperti itu di dalam tas. Ia sebenarnya sempat melihat di televisi dan sosmed mengenai botol parfum atau botol semprot yang diisi air cabai sebagai senjata wanita saat bepergian. "Untuk jaga-jaga. Ini bisa jadi senjata pamungkas bagi seorang wanita. Apalagi jika sendirian. Tidak mungkin, kan, kalau kita pergi kemanapun harus membawa pisau atau pistol? Jadi lebih baik pakai ini saja. Kita bisa membawanya di dalam tas. Tapi, tetap harus hati-hati jangan sampai tertukar. N
"Tidak. Aku sengaja tidak memberi tahu Mama. Mama pasti tidak akan mengizinkan karena kondisi mental dan fisikku. Semalam saja Mama terus menyuruhku untuk istirahat akibat obat tidur dan ledakan itu, padahal aku baik-baik saja. Kuminta jangan beritahu siapa pun. Untuk pekerjaan di kantor pusat Kak Liza dan kau yang meng-handle," tutur Azkara. Arland tak habis pikir, kenapa seorang suami harus diam-diam pergi untuk mencari istrinya. "Azkara, kau pergi dengan siapa?" tanya Arland. "Beberapa ajudan dan seorang supir.""Aku akan beri tahu Akbar supaya mereka tidak usah kembali ke sini. Biar mereka tetap di sana saja menunggumu. Mereka yang terlebih dulu tahu info tentang istrimu.""Baiklah, ide yang bagus!" Azkara menaiki tangga menuju pintu perpustakaan diikuti oleh Arland di belakangnya. Saat mereka mendekat, pintu terbuka otomatis. Pintu tersebut terbuat dari mirror glass dengan ukuran besar dan tinggi. Dari dalam bisa terlihat dengan jelas keadaan di luar ruangan.Lain halnya jika
Aldrich sudah tiba di mension. Ia membuka bagasi lalu menggendong Yasmin yang berada dalam kantung jenazah. Pintu mension dibukakan oleh pengawal. Ia masuk kemudian menaiki tangga menuju lantai dua. 'Menyebalkan! Bisa-bisanya dia menempatkan kamar wanita ini di lantai atas,' omelnya dalam hati. Setibanya di kamar, ia membaringkan Yasmin di kasur pasien. Datanglah dua orang perawat yang membantunya mengeluarkan Yasmin dari kantung janazah.Kamar itu berisikan alat-alat medis seperti di kamar rumah sakit pada umumnya. Bahkan yang ada di kamar itu jauh lebih lengkap. Sekarang Yasmin sedang ditangani oleh seorang dokter dan dua perawat. ***Aldrich sedang menunggu seseorang di lantai bawah. Ia meregangkan otot-ototnya. Menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sehingga menimbulkan bunyi gemeretak. Orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. "Oh, Aldrich! Ternyata kau sudah sampai. Di mana Yasmin? Apa dia telah tiada?" tanya seorang wanita dengan gaun hitam yang melekat di tubuhnya. S
Yasmin memukul-mukul dada bidang Azkara ketika mereka sampai di depan kamar mandi."Azkara, turunkan, aku bisa sendiri!" Begitu dilepaskan, ia segera menutup pintu seraya berteriak, "Jangan masuk!"Lelaki itu menggelengkan kepala. Dia beranjak menarik pintu kaca penghubung balkon. Sengaja dibuka supaya udara malam masuk. Dia lalu mengambil setelan baju tidur wanita berbahan adem dan longgar. "Mei! Ambil baju," ucapnya sambil mengetuk pintu. "Letak di bawah, Azka. Aku masih berendam," jawab Yasmin merasakan sensasi dingin nan sejuk pada air yang merendam tubuhnya. Tuan Muda mengangkat kursi ke depan pintu toilet lalu meletakkan baju tidur di atasnya. Sudah menjadi kebiasaan untuk bersantai di balkon. Ia berjalan sambil melakukan peregangan. Memperhatikan sekitar, mungkin saja dia melihat penampakan. Sesuatu pun terlihat jatuh dari atas pohon. Ia menyipitkan mata melihat objek di bawah sana. Bergegas dia menuruni tangga saking penasaran.Yasmin merasa baikan telah berpakaian beserta
"Aku alergi udang! Kan, aku sudah ambil ikan bakar. Kenapa kau tambahkan udang?" ujar Yasmin dongkol. "Hmm, aku sudah tahu." Azkara lahap menyantap hidangan seraya tersenyum."Lalu kenapa kau berikan?! Kau mau alergiku kambuh?" katanya ceplos. Suasana hatinya semakin panas."Aku suamimu, tentu tahu. Mana mungkin kau memakannya, Mei." Sengaja dia letakkan udang itu supaya melihat reaksi wanita yang terus saja menolak dipanggil Meika."Aku bukan istrimu! Aku alergi ...." Yasmin terdiam. Tuan Muda meneguk air putih. Dengan Yasmin berkata demikian, Azkara semakin yakin bahwa dia adalah Meika. Suami mana yang tidak tahu seluk beluk perkara mengenai istri sendiri. 'Meika juga alergi udang? Kalau begini, pasti lelaki ini semakin percaya bahwa aku istrinya. Aduh, habislah aku!'"Dan apa?" tanya Azkara yang lanjut memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut."Aku tidak alergi udang!" Satu udang lolos dalam kunyahan. Sempat ragu, tapi Yasmin menepis. Sudah lama juga dia tak memakannya. Dipikir-
"Kau mau mandi sendiri atau kumandikan, Sayang?" Ia langsung menyingkirkan tangan Azkara. Mendadak lelaki yang lebih tinggi itu mendorongnya ke tembok. Yasmin merasakan usapan lembut di pipi. Tatapan pria itu terasa hangat. Ia menikmati ketampanan dari jarak sedekat ini. Jantungnya berdebar kencang. "Kau mau menemaniku?" ucapnya lembut. "Aku sungguh merindukanmu." Dahi dan hidung mereka saling bersentuhan. Yasmin memejamkan mata. Tuan Muda tersenyum. Ia merangkul mesra pinggang wanita yang dipikir adalah istrinya. Sebelum hal lebih jauh terjadi, desainer itu tersadar. Azkara berstatus suami orang. Yasmin membuang muka dan menurunkan kedua tangan di pinggangnya. Senyum CEO itu menghilang diikuti kepergian gadis itu."Aku harus jaga jarak." Ia mengunci kamar.Di dinding belakang ranjang terpajang bingkai besar pernikahan. Dua pengantin tak lain adalah Azkara dan Meika. "Di manapun kau berada. Kuharap lekaslah kembali." Matanya awas menilik setiap inci wajah pengantin wanita. "Waja
Liza mengerem tepat waktu. Ia segera mengecek kondisi luar. Azkara menggendong Yasmin yang terbaring di jalanan. "Buka pintunya, Kak!" "I-iya." Ia takut jika perempuan itu adalah Meika sungguhan. "Gio, hubungi Dokter Ryan, suruh datang ke rumah!" "Baik, Tuan Muda." Liza pun menyetir. "Tidak usah bawa ke rumah sakit?" "Pulang ke rumah saja. Biar Dokter Ryan yang akan kemari." Azkara mengecek nadi Yasmin. Gadis itu masih hidup. Rupanya Raline tidak beranjak dari tempat. "Ya ampun! Apa di rumah sebesar ini tidak ada pelayan atau pembantu? Tidak ada yang mempersilakan diriku masuk!" umpatnya. "Rumah ini terlihat sepi. Mungkin media wartawan sempat memaksa masuk ke sini." Ia berjalan lalu duduk di kursi taman. Oh, lihatlah! Betapa perhatiannya Tuan Muda ini. Azkara segera membawa Yasmin masuk. Disusul oleh Liza. "Hei! Apa-apaan ini. Tidak ada yang menawarkanku untuk masuk?" Langkah Liza terhenti. "Oh, aku pikir urusanmu sudah selesai." "Astaga! Setidaknya di rumah sebes
Yasmin mencegat taksi. "Pak, tolong cepat! Aku dikejar orang aneh," pinta Yasmin sambil menengok ke belakang. Rupanya lelaki asing tadi mengejarnya naik ojek. Supir pun menambah kecepatan laju mobil. Sesekali diliriknya Yasmin dari kaca tengah. Sesampainya di depan hotel, ada kerumunan wartawan. Wanita itu segera membayar. "Itu, Meika!" teriak seorang jurnalis. Saat itu pula dari mereka banyak yang merekam. Sadar jadi pusat perhatian, Yasmin segera lari ke dalam lift. Gerombolan wartawan dengan kameranya kembali mengejar sampai ke atas. Entah apa salahku sampai harus menghadapi hal ini, batin Yasmin yang terus saja berlari. "Meika, tunggu!" teriak mereka. "Sania, buka pintunya," desak Yasmin. Namun, tak kunjung dibukakan. Beruntung, ia mengantongi kunci serep. "Meika, keluarlah. Kami ingin mewawancaraimu," ucap jurnalis wanita. Disusul dengan ketukan-ketukan pintu. "Apa lagi ini, Ya Allah." Yasmin terengah-engah. "Meika itu ke mana, sih. Gara-gara dia aku dikejar. Orang-
Pagi ini Yasmin pulang ke rumahnya. Rasa senang terus membuatnya tersenyum sedari tadi. Sempat putus asa akan nasib, tetapi sekarang tak lagi. Ia akan kembali ke siklus semula hidupnya. Menjalankan rutinitas harian dan mengembangkan karier. Namun, Yasmin harus lebih waspada. Bisa saja Raline masih mengincarnya. Orang yang layak mendapat ucapan terima kasih adalah Sania. Rupanya gadis itu tak menipu, ia sungguh menolong Yasmin. Sedangkan Oliv, biarlah menjadi urusan belakangan. "Iya, sebentar!" Nesha tergesa-gesa menuju ruang tamu. Sejak tadi bel rumah berbunyi berulang kali. Nesha memperhatikan dari atas hingga turun ke bawah sosok tamu itu. "Kau?" Yasmin mengangguk cepat sembari tersenyum. Sebelumnya ia melihat dua cincin emas di tangan kiri adiknya. Sementara di jari manis tangan kanan tersemat cincin berlian. Ia memeluk erat Nesha. Tak peduli jika sang adik masih memakai masker wajah yang cukup belepotan. "Lepas!" cecar Nesha. "Beraninya kau kemari," ujarnya dengan tatapa
Sania mengambil kendali kemudi setelah mereka kembali dari mall. Perjalanan berlanjut menuju kota tempat tinggal Yasmin. "Minum obat itu. Rasaku kau belum terlalu fit. Tidur saja kalau mau," terang Sania. Mereka kini saling diam. Setelah meminum obat, Yasmin mengamati keadaan sekitar tol. Malam belum larut. Seperti deja vu, ingatan saat dihabisi kembali muncul. "Ada apa??" Sania heran melihat dia yang terkesiap tanpa sebab. Yasmin menggeleng. Ketika menoleh ke samping, mobil lain sudah sejajar dengan mereka. Spontan ia mengedipkan kedua mata dengan rasa takut bercampur kejut. Ia sedikit mengeluarkan suara. "Kenapa? Kau lihat hantu?!" Sania resah. Suaranya lebih kuat dari sebelumnya. "Tidak. Aku ... cuma teringat sesuatu," kelit Yasmin. 'Inikah yang dinamakan trauma pasca kecelakaan?' Trauma terhadap mobil yang melintas di malam hari benar-benar membuatnya dalam ketakutan. Apalagi jika jarak dengan mobil itu sangat dekat. Ia memejamkan mata lalu bersandar dan mer
"Seharusnya mama masih dirawat di rumah sakit. Aku harus memarahi Dokter Ryan karena membiarkan mama pulang." "Mama sudah baikan. Kamu kenapa tidak istirahat saja, Az? Mengkhawatirkan mama, tapi tidak mengkhawatirkan diri sendiri," ujar ibu mertua. "Ma, Azkara belum berhasil menemukan Meika." Ia tertunduk sedih dan merasa tidak berguna sebagai suami. "Kita akan terus berusaha Azka. Mama yakin, putriku pasti akan kembali." Citra bersikap tegar untuk menutupi kesedihan atas hilangnya Meika. Ia tak mau terlalu membebani Azkara. Bertepatan pula dengan kepulangan Arland dan Liza dari kantor. "Syukurlah kau sudah pulang, Azkara. Aku tidak bisa membayangkan hari-hariku bekerja terus dengan asistenmu!" Liza ikut duduk menyantap cemilan yang disajikan. Azkara memberi Arland kode lewat mata lalu pergi sambil melempar senyum pada Citra dan Mahira. 'Kulihat mereka semakin lama sudah seperti kakak adik saja.' Liza selalu sewot melihat kedekatan mereka. Nama Malvin tertera di la
Pria berkumis tipis dengan setelan jaket kulit berwarna hitam menemui Raline di kediaman lamanya. "Hal penting apa yang ingin kau sampaikan? Hingga aku harus meninggalkan rapat." "Nyonya Raline, saya rasa Anda akan terkejut melihat vidio ini," ungkapnya sembari menyalakan laptop. "Coba putar biar kulihat." Prans menghubungkan flashdisk ke laptop lalu diputarlah suatu video berdurasi satu menit. Raline menjadi panik. "Kenapa bisa ada yang merekam kejadian itu, Prans?" "Kau bilang sudah mengamankan semuanya! Kau polisi yang paling berpengaruh di kota ini. Perjanjian kita tidak main-main!" Ia menatap nyalang lelaki itu. Di video terlihat jelas Aldrich dan ketiga pria suruhannya. Hubungan dengan Aldrich saat ini tidak baik. Ia takut kalau pria itu tidak bisa menutup mulut dan diajak kerja sama. Melihat kemarahan Raline justru membuat Prans terkekeh kecil. "Payah! Kenapa kau malah tertawa? Reputasiku sedang dipertaruhkan di sini!" Raline melempar tas mini yang berhasil ditan