Sania mengambil kendali kemudi setelah mereka kembali dari mall. Perjalanan berlanjut menuju kota tempat tinggal Yasmin. "Minum obat itu. Rasaku kau belum terlalu fit. Tidur saja kalau mau," terang Sania. Mereka kini saling diam. Setelah meminum obat, Yasmin mengamati keadaan sekitar tol. Malam belum larut. Seperti deja vu, ingatan saat dihabisi kembali muncul. "Ada apa??" Sania heran melihat dia yang terkesiap tanpa sebab. Yasmin menggeleng. Ketika menoleh ke samping, mobil lain sudah sejajar dengan mereka. Spontan ia mengedipkan kedua mata dengan rasa takut bercampur kejut. Ia sedikit mengeluarkan suara. "Kenapa? Kau lihat hantu?!" Sania resah. Suaranya lebih kuat dari sebelumnya. "Tidak. Aku ... cuma teringat sesuatu," kelit Yasmin. Inikah yang dinamakan trauma pasca kecelakaan? Trauma terhadap mobil yang melintas di malam hari benar-benar membuatnya dalam ketakutan. Apalagi jika jarak dengan mobil itu sangat dekat. Ia memejamkan mata lalu bersandar dan meregangkan
Pagi ini Yasmin pulang ke rumahnya. Rasa senang terus membuatnya tersenyum sedari tadi. Sempat putus asa akan nasib, tetapi sekarang tak lagi. Ia akan kembali ke siklus semula hidupnya. Menjalankan rutinitas harian dan mengembangkan karier. Namun, Yasmin harus lebih waspada. Bisa saja Raline masih mengincarnya. Orang yang layak mendapat ucapan terima kasih adalah Sania. Rupanya gadis itu tak menipu, ia sungguh menolong Yasmin. Sedangkan Oliv, biarlah menjadi urusan belakangan. "Iya, sebentar!" Nesha tergesa-gesa menuju ruang tamu. Sejak tadi bel rumah berbunyi berulang kali. Nesha memperhatikan dari atas hingga turun ke bawah sosok tamu itu. "Kau?" Yasmin mengangguk cepat sembari tersenyum. Sebelumnya ia melihat dua cincin emas di tangan kiri adiknya. Sementara di jari manis tangan kanan tersemat cincin berlian. Ia memeluk erat Nesha. Tak peduli jika sang adik masih memakai masker wajah yang cukup belepotan. "Lepas!" cecar Nesha. "Beraninya kau kemari," ujarnya dengan tatapa
Yasmin mencegat taksi. "Pak, tolong cepat! Aku dikejar orang aneh," pinta Yasmin sambil menengok ke belakang. Rupanya lelaki asing tadi mengejarnya naik ojek. Supir pun menambah kecepatan laju mobil. Sesekali diliriknya Yasmin dari kaca tengah. Sesampainya di depan hotel, ada kerumunan wartawan. Wanita itu segera membayar. "Itu, Meika!" teriak seorang jurnalis. Saat itu pula dari mereka banyak yang merekam. Sadar jadi pusat perhatian, Yasmin segera lari ke dalam lift. Gerombolan wartawan dengan kameranya kembali mengejar sampai ke atas. Entah apa salahku sampai harus menghadapi hal ini, batin Yasmin yang terus saja berlari. "Meika, tunggu!" teriak mereka. "Sania, buka pintunya," desak Yasmin. Namun, tak kunjung dibukakan. Beruntung, ia mengantongi kunci serep. "Meika, keluarlah. Kami ingin mewawancaraimu," ucap jurnalis wanita. Disusul dengan ketukan-ketukan pintu. "Apa lagi ini, Ya Allah." Yasmin terengah-engah. "Meika itu ke mana, sih. Gara-gara dia aku dikejar. Orang-
Liza mengerem tepat waktu. Ia segera mengecek kondisi luar. Azkara menggendong Yasmin yang terbaring di jalanan. "Buka pintunya, Kak!" "I-iya." Ia takut jika perempuan itu adalah Meika sungguhan. "Gio, hubungi Dokter Ryan, suruh datang ke rumah!" "Baik, Tuan Muda." Liza pun menyetir. "Tidak usah bawa ke rumah sakit?" "Pulang ke rumah saja. Biar Dokter Ryan yang akan kemari." Azkara mengecek nadi Yasmin. Gadis itu masih hidup. Rupanya Raline tidak beranjak dari tempat. "Ya ampun! Apa di rumah sebesar ini tidak ada pelayan atau pembantu? Tidak ada yang mempersilakan diriku masuk!" umpatnya. "Rumah ini terlihat sepi. Mungkin media wartawan sempat memaksa masuk ke sini." Ia berjalan lalu duduk di kursi taman. Oh, lihatlah! Betapa perhatiannya Tuan Muda ini. Azkara segera membawa Yasmin masuk. Disusul oleh Liza. "Hei! Apa-apaan ini. Tidak ada yang menawarkanku untuk masuk?" Langkah Liza terhenti. "Oh, aku pikir urusanmu sudah selesai." "Astaga! Setidaknya di rumah sebes
"Kau mau mandi sendiri atau kumandikan, Sayang?" Ia langsung menyingkirkan tangan Azkara. Mendadak lelaki yang lebih tinggi itu mendorongnya ke tembok. Yasmin merasakan usapan lembut di pipi. Tatapan pria itu terasa hangat. Ia menikmati ketampanan dari jarak sedekat ini. Jantungnya berdebar kencang. "Kau mau menemaniku?" ucapnya lembut. "Aku sungguh merindukanmu." Dahi dan hidung mereka saling bersentuhan. Yasmin memejamkan mata. Tuan Muda tersenyum. Ia merangkul mesra pinggang wanita yang dipikir adalah istrinya. Sebelum hal lebih jauh terjadi, desainer itu tersadar. Azkara berstatus suami orang. Yasmin membuang muka dan menurunkan kedua tangan di pinggangnya. Senyum CEO itu menghilang diikuti kepergian gadis itu."Aku harus jaga jarak." Ia mengunci kamar.Di dinding belakang ranjang terpajang bingkai besar pernikahan. Dua pengantin tak lain adalah Azkara dan Meika. "Di manapun kau berada. Kuharap lekaslah kembali." Matanya awas menilik setiap inci wajah pengantin wanita. "Waja
"Mengapa lampunya bisa padam? Suruh bagian keamanan untuk memeriksa listrik! Cepatlah! Agar listrik kembali bekerja," perintah Arland pada anak buahnya.Pria itu memutuskan panggilan lalu beralih menyentuh ikon senter yang ada di ponselnya.Riuh dari suara para tamu ketika di gedung mewah yang mereka tempati lampunya sedang padam. Di antara mereka bahkan juga ada yang menyalakan senter dari ponselnya.Arland berjalan melewati para tamu dan naik ke atas panggung, tempat di mana terdapat pelamainan di atasnya. Ia ingin menyampaikan sesuatu kepada para tamu atas ketidaknyamanan karena lampu yang tiba-tiba padam.Namun, sebelum mengatakan itu. Gio, anak buahnya tadi kembali menghubunginya."Halo, Pak Arland! Kabel listrik di luar gedung putus. Sehingga listrik tidak bisa menyala," ucap anak buahnya."Astaga! Cepat hubungi tim lainnya untuk menyelidiki penyebab kabel itu putus! Panggil PLN juga untuk segera memperbaikinya. Sekarang cepat kemari! Suruh mereka nyalakan genset! Genset otomatis
Arland menoleh ke arah kamar mandi. Ia teringat menemukan paperbag di dalamnya. Belum sempat ia cek apa isinya karena itu termasuk hal privasi Meika dan akan lebih baik jika Azkara yang membukanya."Maaf sebelumnya, Tuan Muda. Saat Anda pingsan tadi, saya mencoba mencari keberadaan Nyonya Meika. Saat saya mengetuk pintu kamar mandi tidak ada respon sama sekali dari dalam. Maaf sekali lagi atas kelancangan saya, Tuan, saya membuka pintunya karena saat itu saya berpikir sedang terjadi sesuatu yang buruk pada Nyonya di dalam, mengingat Anda tadi pingsan. Namun, begitu saya masuk, Nyonya tidak ada. Saya malah menemukan satu paperbag yang teronggok di dekat wastafel," ungkap Arland panjang lebar."Baiklah, saya mengerti. Berikan paperbag yang kau maksud itu," pinta Azkara yang masih agak pusing kepalanya.Arland mengambil paperbag yang terletak di atas sofa berwarna krim di sudut kamar lalu memberikannya pada Azkara. Di paperbag itu terdapat tulisan kata "Maaf" dalam bahasa Jerman "Verzeihe
Sejak malam tadi hingga pagi ini Meika belum bangun sama sekali. Malvin menyuntik Meika dengan bius yang sangat ampuh yang bisa membuat mereka yang terkena suntikannya tertidur dalam waktu yang cukup lama.Malvin adalah dalang di balik insiden malam tadi. Semua ia rencanakan dengan amat matang. Bermain secara tenang, lihai, dan cerdik. Sehingga rencananya tidak terendus sama sekali oleh Azkara, tangan kanan beserta ajudan dan anak buahnya.Ia memendam rasa cintanya pada Meika dan tak pernah menunjukkannya sedikit pun pada siapa pun. Saat mengetahui dambaan hatinya akan menikah dengan orang lain sebulan yang lalu, ia tak rela. Timbul hasrat untuk merebut dan memiliki Meika yang kini sudah bersuami. Sungguh ambisinya begitu besar.Azkara kini berada di rumahnya. Ia masih tidur. Sejak dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya malam tadi, Azkara masih merasakan kantuk yang luar biasa. Kepala terasa berat dan pusing, tangan kebas kesemutan, serta napasnya pun tersengal-sengal. Alhasil dir