Aldrich sudah tiba di mension. Ia membuka bagasi lalu menggendong Yasmin yang berada dalam kantung jenazah. Pintu mension dibukakan oleh pengawal. Ia masuk kemudian menaiki tangga menuju lantai dua. 'Menyebalkan! Bisa-bisanya dia menempatkan kamar wanita ini di lantai atas,' omelnya dalam hati. Setibanya di kamar, ia membaringkan Yasmin di kasur pasien. Datanglah dua orang perawat yang membantunya mengeluarkan Yasmin dari kantung janazah.Kamar itu berisikan alat-alat medis seperti di kamar rumah sakit pada umumnya. Bahkan yang ada di kamar itu jauh lebih lengkap. Sekarang Yasmin sedang ditangani oleh seorang dokter dan dua perawat. ***Aldrich sedang menunggu seseorang di lantai bawah. Ia meregangkan otot-ototnya. Menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sehingga menimbulkan bunyi gemeretak. Orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. "Oh, Aldrich! Ternyata kau sudah sampai. Di mana Yasmin? Apa dia telah tiada?" tanya seorang wanita dengan gaun hitam yang melekat di tubuhnya. S
"Azkara!" panggil Liza sekali lagi. Ia mengitari kamar adiknya. Mengecek ke kamar mandi dan balkon. Tak jua didapatinya keberadaan sang adik. Pantang menyerah, dia lalu mendatangi seluruh ruangan di lantai dua. Hasilnya nihil. Ia kembali ke kamarnya dan menghubungi Azkara. Namun, nomornya tidak dapat menerima panggilan. "Dia tidak ada di mana pun. Ditelepon juga tidak aktif. Kemana dia selarut ini? Arland, dia pasti tahu ke mana Azkara." Ia kembali turun untuk menemui Arland. Bukannya permisi atau mengetuk pintu, Liza malah menerobos masuk begitu saja."Kau tahu kemana Azkara pergi? Dia tidak ada di kamarnya.""Dia pergi untuk mengurus suatu hal yang penting," jawab Arland. Matanya menahan kantuk. "Iya, tapi kemana, hah? Jangan bilang kalau kau tidak akan memberitahuku. Dengar! Aku berhak untuk tahu.""Saya sudah berjanji padanya untuk tidak memberitahu siapa pun.""Ya ampun! Jangan bilang karena alasan itu makanya Azkara menyuruhmu untuk tinggal di sini kembali.""Saya hanya tingg
Azkara tengah berada di restoran hotel G Foresst bersama dua ajudannya. Ia menanti kehadiran Zayyan sang polisi yang ditugaskan untuk mencari Meika. CEO tampan itu tidak memakai pakaian resmi. Ia terlihat santai dengan gaya berpakaiannya. Hoodie abu-abu dan celana spot panjang dengan warna yang senada. Sepatu kets putih melekat di kakinya. Tentunya semua barang tersebut dari brand terkenal. Dia juga memakai masker agar tak mengundang banyak perhatian. "Selamat pagi, Tuan Muda Azkara Arghantara! Senang bisa bertemu dengan Anda." sapa Zayyan ramah. Ia mengulas senyum serta tangan kanannya terulur kepada Azkara. Azkara menjabat tangan Zayyan. "Selamat pagi, Pak Zayyan. Senang juga bisa bertemu dengan Anda. Maaf jika saya harus memakai masker seperti ini." "Tidak masalah, Tuan. Anda juga harus tetap menjaga privasi Anda di khalayak ramai."Mereka berdua kemudian duduk membahas topik penting yang menjadi tujuan Azkara datang ke sana. "Langsung saja, Tuan Azkara. Saya akan berusaha me
Orang yang menghubunginya malah menjawab dengan bahasa korea. 'Astaga! Mau apa orang ini, aku tidak bisa bahasa Korea,' batin Liza. Walau tidak bisa, tapi dia sedikit tahu beberapa kata dan logat Korea.Liza bertanya dalam bahasa Inggris, "Who are you? Do you know me?" (Siapa kau? Apa kau mengenalku?)"Hhmm," balas pria yang meneleponnya. Respon penelepon misterius itu berhasil membuat Liza geram. Bisa dipastikan tensinya naik sekarang. "If nothing is important, you better not call!" (Jika tidak ada yang penting, Anda sebaiknya tidak menelepon!) hardik Liza yang sudah kesal. Sebelum Liza memutus panggilan, penelepon itu berkata, "Kim Malvin!""What? Malvin, is that you?" (Apa? Malvin, Kaukah itu?) tanya Liza tak percaya. "Menurutmu siapa lagi? Sorry, aku baru bisa menghubungimu karena pagi tadi aku baru saja tiba di Seoul." Malvin berdiri dekat jendela, melihat pemandangan kota sembari meneguk teh favoritnya. "Thanks, Liz. Berkat bantuanmu aku bisa membawa Meika ke sini. Tenang s
"Iya, aku membekap Meika pakai itu," jawab Zea. "Sebentar lagi Meika pasti tertidur. Sapu tangan yang kuberi padamu disemprot bius. Tunggulah beberapa menit lagi, pasti akan bekerja.""Semoga bius itu cepat bekerja. Bagaimana kau akan menikahinya jika dia saja seperti itu? Dia tidak akan mau menikah denganmu.""Jika dia tidak mau, aku akan memaksanya.""Oh, astaga! Pernikahan paksa." Zea memasang wajah pura-pura kaget. "Percayalah, dia tidak akan rugi menikah denganmu. Kau juga tak kalah kaya dari Azkara. Selain mengejar cinta, Meika juga mengejar harta," katanya lagi."Meika dulu sangat sombong. Sekarang kita lihat, dia akan termakan oleh ucapannya sendiri." Malvin tersenyum lalu berjalan menuju kamar Meika.***Aldrich menguap berulangkali, pasalnya ia kurang tidur. Malam tadi, pria itu tidak bisa memejamkan mata walau ia terus memaksa. Dia kepikiran saat menabrak Yasmin dengan sengaja hingga begitu parah. Dokter memeriksa kondisi Yasmin. Tangannya membuka mata Yasmin yang tengah
Nesha buru-buru mematikan ponselnya. "Nanti kutelepon lagi." Ia lalu membuka pintu. "Ada apa, Ra?""Tadi aku dengar kakak tertawa.""Oh, itu." Nesha tersenyum. "Di dalam kamar aku memang tertawa. Aku teringat saat-saat kebersamaan dengan Yasmin. Walau aku kurang akur dengannya, percayalah aku sangat menyayanginya. Aku tak menyangka sekarang dia telah tiada," ucapnya sedih. Nesha mencoba merasa sedih agar air matanya keluar. "Aku bahkan belum meminta maaf padanya, Ra."Zahira ikut menangis. "Sudah, Kak Nesh. Kita harus sabar dengan semua ini." Ia memeluk Nesha. "Sekarang tidurlah. Kau tidak boleh cuti lama dari kuliahmu." ujar Nesha seraya melepas pelukan Zahira. Zahira patuh, segera ia meninggalkan Nesha dan pergi ke kamarnya. Nesha lantas mengunci pintu. "Untung aku pandai berakting." Nesha membanggakan diri. "Cepatlah pergi dari sini Zahira! Sehingga aku akan lebih leluasa menguasai harta Yasmin." gadis itu tersenyum menang karena berhasil menyingkirkan saudari angkatnya. Dia l
"Ya Allah, tolonglah aku. Siapa pun tolong aku." Yasmin panik merasa semakin lemas tak berdaya, takut pria di dekatnya ini macam-macam padanya. Riko ingin menjangkau wajah Yasmin, tetapi terhalang oleh ventilator yang menutupi sebagian wajahnya. 'Kubuka saja, lagi pula hanya sebentar. Tidak akan beresiko,' ucapnya dalam hati. Setelah melepas ventilator, perlahan wajah Riko semakin mendekat sementara kedua tangannya menangkup wajah gadis itu. Yasmin kesusahan bernapas akibat ventilator terlepas. Diselimuti ketakutan, ia meremas pelan sprei. "Kurang ajar!" bentak Aldrich, kakinya menendang kuat bokong pengawal itu hingga tersungkur. Riko kalang kabut tak menyangka akan tertangkap basah. Ia tak menduga kalau Aldrich akan kembali. Yasmin bersyukur karena selamat dari lelaki yang hendak menodainya. "Tidak, Pak. Saya hanya ...," ucap Riko membela diri. "Diam kau!" hardik Aldrich. Ia memasang kembali ventilator Yasmin hingga gadis itu tak lagi kesusahan bernapas.Aldrich menarik kera se
Yasmin mengamati sekeliling. Semilir angin menerpa wajah cantiknya. Surai hitam bergelombang alami yang tergerai itu terbang bak berkibar akibat tiupan angin sampai menutupi sebagian wajah. Yasmin melihat hanya ada rimbunana pepohonan, tumbuhan, serta jalan satu arah. Terdapat pula beberapa rumah warga, jaraknya cukup jauh antar satu sama lain. Masih ia dengar lamat-lamat suara gonggongan anjing yang memecah keheningan. Tak berselang lama, Mobil mewah Calleythi memasuki pekarangan mansion. Yasmin menyadari ada mobil menuju ke arahnya, segera merubah posisi menjadi tengkurap agar tak terlihat penumpang mobil. Ia tak bisa percaya pada siapapun di sana. Dia ingin pulang, tetapi entah bagaimana caranya supaya dia berhasil pergi dari sana tanpa ketahuan. "Bagaimana ini, Pak?" Sania ketar-ketir. Sedangkan Aldrich ikutan panik. Ia bangkit dari kursi hingga kursi itu jatuh terbalik. Ia lalu mondar-mandir menatap ke luar jendela. "Sania, kau harus ke bawah. Cari topik lain untuk mengalihkan