Esok adalah hari minggu, itu sebabnya Dhananjaya meminta Dewi untuk ke rumahnya karena ia tidak akan pergi ke mana pun. Sebelum itu, Dhananjaya juga akan berbicara pada keluarganya perihal Dewi yang akan menjadi seorang pengasuh untuk Adelio dan Adelia saat makan malam nanti.Tidak, sebenarnya hal itu tidak penting untuk dibicarakan. Dhananjaya bebas menerima siapa pun yang bersedia untuk menjadi seorang pengasuh. Hanya saja, wajah Dewi yang sangat mirip dengan Indah akan membuat seisi rumah kebingungan. Untuk itu, Dhananjaya akan menceritakan kemiripan wajah dan postur tubuh Indah yang dimiliki Dewi lebih dulu.“Jay, sebenarnya Ibu tidak masalah siapa pun yang akan menjadi pengasuh Lio dan Lia, tapi jika wanita itu sangat mirip dengan ibu mereka, jujur saja Ibu tidak setuju. Ibu akan meminta seseorang untuk mencari pengasuh lain secepatnya, jangan wanita yang kamu bahas itu,” kata Maria setelah mendengar penjelasan Dhananjaya.“Dia bukan Indah, wanita yang Ibu benci. Ibu tenang saja.
“Lio, Lia, ayah harap kalian tidak membuat pengasuh baru kalian kesulitan. Jika Dewi mengalami kesulitan hingga berhenti menjaga kalian, maka Ayah tidak akan pernah mencari pengasuh lagi. Apa kalian mengerti?” Dhananjaya terkesan mengancam, menatap kedua anaknya dengan tajam.“Kamu?” Adelio melongo melihat Dewi di samping sang ayah.“Kamu menjadi pengasuhku?” Adelia sama tercengangnya.“Kenapa? Apa ada masalah?” Dewi bingung sendiri dengan reaksi mereka seolah tak percaya bahwa ia akan menjadi pengasuhnya.“Cih, bagaimana kamu bisa menjaga kami jika kamu saja bersikap sembarangan?” Adelia terlihat jijik.“Aku wanita kuat. Akan kupastikan aku akan selalu melindungi kalian,” kata Dewi dengan tegas, tapi sesungguhnya ia sengaja membuat nadanya terdengar lembut walau tidak berhasil.“Jangan harap bisa membodohiku.” Adelio bersungut-sungut, memutar bola matanya ke arah lain dengan malas.“Kalian yang putuskan, ingin memiliki pengasuh atau tidak.” Dhananjaya tak ingin pusing dengan reaksi k
“Dewi, bisakah ambilkan pensilku?” titah Adelia tanpa menatap Dewi, fokus membaca tulisan di bukunya.“Tidak.” Dewi menolak tanpa banyak berpikir.“Sepertinya kamu tidak menyukai pekerjaanmu.” Adelia lalu mendelik tajam.“Aku suka.” Dewi tidak setuju atas singgungan bocah itu. “Tapi, jangan harap aku akan tunduk dengan perintah konyol kalian,” lanjutnya dengan tenang.“Perintah konyol?” Adelia terlihat kesal.“Kamu bisa turun dari kursimu, lalu mengambil pensilmu sendiri. Tidak perlu menyuruh orang lain selagi kamu bisa melakukannya.” Dewi menegur sekaligus menasehati.“Ayahku sudah menggajimu.” Adelio ikut bicara, membela sang adik.“Ayahmu tidak mengatakan aku harus mengambil sebuah pensil di kolong meja.” Dewi tak sungkan menegaskan melalui tatapannya.Ya, seperti inilah sikap Dewi terhadap dua bocah yang berlaku seperti anak seorang raja, sombong dan bersikap seenaknya. Baru tiga hari bekerja saja, Dewi sudah muak dengan sikap mereka. Belum lagi sikap semua pelayan terutama Alda y
Hari minggu pun tiba, hari di mana Adelio dan Adelia akan menikmati liburannya di sebuah taman. Bukan hanya Dewi yang akan menemani mereka, tapi Caroline juga dikabarkan akan ikut menemani. Sementara Dhananjaya, memilih untuk tetap di dalam ruangannya, mengerjakan beberapa dokumen seperti biasanya. Kabarnya Basuki dan Maria sedang menghadiri acara pernikahan anak kerabatnya. Sedangkan Jasmin, mengunjungi rumah mertuanya.Satu setengah jam menunggu, akhirnya Caroline datang juga. Ini adalah pertama kalinya Dewi bertemu Caroline, wanita yang sangat cantik bak bidadari. Tubuhnya yang persis manekin di sebuah toko pakaian sungguh membuat Dewi terkagum-kagum. Dari pandangan pertama saja, Dewi sudah dapat menilai begitu lembutnya wanita itu. Tidak seperti orang kaya lainnya, Caroline murah senyum dan rendah hati. Definisi cantik luar dalam, ditambah keturunan bangsawan, tapi tidak sombong yang sesungguhnya.“Kamu pengasuh baru?” tanya Caroline seraya tersenyum manis.“Benar.” Dewi menganggu
Jalanan di siang itu cukup macet tidak seperti biasanya, entah ada apa di depan sana hingga kendaraan bergerak sangat lambat. Dewi tampak tetap santai, bersiul menyanyikan lagu kesukaannya. Namun, Adelio dan Adelia yang duduk di kursi belakang memasang wajah masam, terlihat dari kaca spion dan Dewi tidak peduli. Pada dasarnya, wajah mereka memang tidak bersahabat, tidak ada bedanya kesal atau senang.“Aku ingin jalan-jalan sebelum pulang.” Adelio juga melirik ke arah spion, tahu Dewi tengah memperhatikannya.“Hm .... ” Dewi berdeham seolah sedang memikirkan jawabannya.“Ayolah, aku bosan di rumah. Jika pulang dulu, aku yakin tidak bisa keluar lagi dari rumah.” Adelia juga ingin jalan-jalan sebentar.“Satu syarat saja.” Dewi melemparkan cengiran konyol.“Jangan macam-macam.” Adelio menatap tak santai.“Hanya satu macam.” Dewi menggeleng dengan tenang. “Panggil aku bibi. Tidak bisakah kalian sedikit hormat kepada orang yang lebih tua?” lanjutnya mengucapkan permintaannya.“Kamu hanya pe
Di sebuah rumah yang sangat besar berdesain kuno, tampak beberapa pelayan mondar-mandir membawa apa pun yang dipesan tamu sekaligus tuan-tuan dan nyonya-nyonya Abraham yang hadir. Rumah Sanjaya lebih tepatnya. Hari ini keluarga besar Abraham akan berkumpul di rumah besar milik Sanjaya Abraham walau pemilik rumah itu sendiri sudah tiada. Pertemuan keluarga besar memang rutin diadakan, setidaknya satu kali dalam satu bulan.Beberapa keluarga sudah datang, termasuk keluarga Haidar. Tidak lama dari itu, Jasmin datang bersama Pahlevi tanpa mengunjungi rumah orang tuanya lebih dulu. Sebenarnya Jasmin tak sabar untuk bertemu kedua orang tuanya, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan di depan semua keluarga, yaitu kehamilannya yang baru ia ketahui dua hari yang lalu.Dari kejauhan, Basuki dan Maria tampak memasuki rumah. Namun, seperti biasa, yang menjadi pusat perhatian adalah dua sosok anak kecil yang menggemaskan. Siapa lagi kalau bukan Adelio dan Adelia? Adelia terlihat sangat cantik dengan
Melihat anak-anak tunduk atas perintah Dewi walau bibir mereka selalu saja menggerutu, Jasmin tersenyum dalam hatinya. Dewi berbeda dari pengasuh lainnya, ia begitu berani memerintah dan mengomel apabila anak-anak melakukan kesalahan. Bahkan, Dewi bersikap seenaknya di hadapan siapa pun termasuk Jasmin seolah tak peduli jika terkena teguran. Namun, hal itu malah berhasil membuat sikap Adelio dan Adelia mengalami perubahan menjadi lebih baik sedikit demi sedikit. Lihatlah, kedua bocah yang biasanya selalu membangkang kini menuruti ucapan pengasuhnya untuk tidur siang.Tidak ada yang Dewi lakukan selain duduk di atas sofa, memainkan ponselnya seraya menunggu kedua anak itu berhasil tertidur. Ia tidak berniat untuk membacakan dongeng, bernyanyi, atau yang lainnya agar kedua anak asuhnya tidur. Matanya yang melotot dan bibirnya yang mengoceh lah yang akan ia lakukan jika mereka tidak juga tidur siang.Setelah yakin kedua keponakannya sudah tertidur, Jasmin masuk ke dalam kamar anak-anak.
Duduk di kursi kebesarannya, Dhananjaya tidak melakukan apa pun selain memijat pangkal hidungnya yang mancung. Banyak berkas yang harus diperiksanya, bertumpuk di sudut meja. Apa daya, saat ini pikirannya sedang berputar-putar memikirkan Adelio dan Adelia. Sejak semalam Dhananjaya memutar waktu, kembali ke tujuh tahun yang lalu, tepatnya ketika kedua anaknya terlahir ke dunia. Sejak saat itu, ia memang tidak berlaku seperti seorang ayah pada umumnya. Seharusnya ia meluangkan waktu untuk bersama mereka, seharusnya ia ikut andil dalam mendidik anak, seharusnya ia tidak acuh dan terkesan tak peduli hingga mereka tidak dapat merasakan kasih sayangnya.Percuma melanjutkan pekerjaannya yang menumpuk, Dhananjaya tidak bisa memaksakan dirinya untuk tetap berkutat dengan dokumen-dokumen kantornya. Baru dua jam memasuki ruangannya, Dhananjaya sudah meninggalkan ruangan tersebut untuk pulang ke rumah.Duduk di sofa yang nyaman di dalam kamar anak-anak, Dhananjaya menyandarkan tubuhnya ke punggu