Dihujani pertanyaan seperti itu, Fahmi masih tidak bergeming dari tempat duduknya. Dia juga tidak membuka suara meskipun Melly sudah menatapnya. Memberi kode pada suaminya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara.
"Kenapa diam?" Tiara makin emosi karena sikap diamnya Fahmi dan gayanya Melly yang begitu tenang.
Wanita itu seolah tanpa dosa, memandang Taira dan suaminya secara bergantian.
"Mas!"
Pekik Tiara.
"Apa salahnya aku sampai kau juga membawa pelakor ini ke rumah?"
"Tiara!" Tegur Bu Nur.
Dia terpaksa angkat suara karena Tiara sudah teriak di depan anak-anak untuk mengungkapkan kekesalannya. Mana bisa Bu Nur melihat situasi itu. Ketiga cucunya nangis sambil memeluk Taira.
Bu Nur tidak mau anak-anak yang masih polos itu melihat pertengkaran orang tuanya.
Bu Nur tahu. Tiara semakin dikuasai amarah, suaranya membuat resah Bu Nur. Tak ingin keributan anak dan mantunya itu didengar tetangga, dia langsung menengahi.
"Jangan teriak-teriak begitu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,"
"Mas Fahmi keterlaluan sekali, Ma. Siapa yang bisa sabar jika diperlakukan seperti ini. Atau dia takut sama pelakor ini?" Katanya sambil menuding ke arah Melly.
"Maaf ya, Mbak. Aku ga pernah ngerebut laki orang. "sahut Melly dengan tak kalah ketus, dia tidak terima ketika Tiara menuduhnya sebagai pelakor.
"Jangan asal ngomong!" imbuhnya.
Dia baru masuk ke rumah Bu Nur setengah jam yang lalu tapi entah apa yang membuat Tiara seperti punya keyakinan kalau Fahmi dan ibunya akan ada di pihak wanita itu.
"Dari pertama kenal Mas Fahmi tidak pernah bilang kalau punya anak istri. Dan ketika dia mengajak aku pulang begitu tugasnya di sana selesai, dia juga mengajak aku dengan baik-baik. Keluargaku sedang dalam perjalanan ke sini karena mereka membawa mobil pribadi," cerocosnya.
"Oh begitu? Apa kau dan keluargamu tidak curiga ketika Mas Fahmi melamar kamu sendiri saja? Keluarganya juga tidak ada yang ke sana, kan? Mikir!"
"Apa kau bilang?"
Matanya mendelik melihat Tiara makin kalap.
"Ga ada yang datang?"
Dia langsung tertawa sinis usai bertanya seperti itu.
Dengan sikapnya yang masih tenang, dia melihat Mas Fahmi yang berdiri di sampingnya Bu Nur dan juga Tiara satu persatu.
"Aku sudah bilang dan aku tegaskan lagi. Aku tidak pernah mengambil suami orang. Kami memang menikah di bawah tangan tapi itu sah. Waktu itu teman satu kantor Mas Fahmi yang jadi saksi dan Papanya juga memberi restu walaupun hanya lewat telepon,"
"Tia, sudah. Jangan ribut-ribut begini. Bagaimana kalau tetangga pada kumpul di rumah ini. Malu, mama?"
"Ma, aku marah karena Mas Fahmi.....,"
"Iya, Mama tahu. Kau pikir Mama tidak shock?"
Bu Nur merangkul bahu Tiara dan membawa dalam pelukannya. "Lihat anak-anakmu. Mereka nangis karena Mamanya teriak-teriak sejak tadi. Kasian mereka, mereka belum bisa memahami apa yang terjadi. Tenanglah, Mama janji akan menyelesaikan semuanya secepatnya mungkin,"
"Ma?"
Tiara menarik tubuhnya dan menatap ibu mertuanya itu lekat-lekat
"Kau tidak percaya sama Mama?" tanya Bu Nur karena dia melihat keraguan di mata anak menantunya itu.
"Kamu sudah mama anggap sebagai anak mama sendiri. Fahmi juga anak mama, kenapa kita harus menyelesaikan masalah ini dengan urat kalau bisa beres dengan akal sehat,"
"Aku sudah dibohongi, Ma. Waktu aku mau ikut, Mas Fahmi minta aku tinggal karena alasan anak. Empat tahun dia pergi tanpa kabar sepatah pun pada kita. Saat aku mau menyusul ke tempat kerja, Mama melarang aku. Jadi begini rupanya?"
"Tiara, kau menuduh mama bersekongkol dengan Fahmi?"
Suara Bu Nur yang awalnya terdengar sabar, kini naik pitam.
"Enggak, Ma. Tapi....,"
"Sudah. Jika kau masih mengganggap aku ini ibu mertuamu, masuk kamar. Tenangkan anak-anakmu!" perintah Bu Nur dengan tegas.
Dia jarang sekali bicara dengan nada tinggi seperti ini. Tiara yang sudah yujuh tahun jadi menantunya dan mereka tinggal di rumahnya, tahu persis karakter ibu dari suaminya itu.
Dia tahu kalau ini adalah perintah. Meskipun dia tahu kalau Bu Nur belum tentu akan memihaknya, dia tidak punya pilihan lain kecuali masuk kamar. Menyusul ketiga anaknya yang tengah terisak. Suara tangis mereka membuat suasana sore yang cerah itu menjadi tegang dan menakutkan.
Apalagi dia melihat ada tetangga yang datang dan ingin tahu apa yang terjadi, Bu Nur buru-buru keluar dan memberi tahu tetangga sebelah rumahnya itu kalau keluarganya sedang terharu karena Fahmi baru pulang setelah empat tahun bertugas di daerah terpencil dan terluar.
Tiara langsung memeluk ketiga anaknya dan menenangkan mereka meskipun saat itu, hatinya begitu teriris.
Sakit sekali rasanya. Apalagi Mas Fahmi tidak segera masuk ke kamar menyusul mereka.
Mungkin dia tidak kangen dengan Tiara yang sudah setia menunggu kedatangannya kembali meskipun selama empat tahun itu,tidak sepeser pun nafkah yang dia terima.
Tapi bagaimana dengan tiga anak mereka? Apa Mas Fahmi tidak ingin memeluk darah dagingnya sendiri?
Tiara menatap anaknya satu persatu. Fattan sudah berumur enam tahun sekarang. Saat Mas Fahmi pergi meninggalkan rumah karena tugas, waktu itu dia masih berumur dua tahun.
Dia mungkin tidak begitu ingat dengan wajah papanya, jadi saat melihat Mas Fahri masuk rumah bersama istri barunya, anak-anak belum ada yang sadar kalau itu papa mereka.
Apalagi Fadlan yang berumur lima tahun. Kalau Tasya malah belum pernah merasakan kehangatan seorang Papa.
Mas Fahri pergi ketika Tiara sedang menyusui Fadlan dan dia sendiri tidak tahu kalau sedang hamil muda waktu itu.
"Nak, kenapa Papamu tega banget sama kita?" tanya Tiara dengan sedihnya.
Ketiga anaknya sudah tertidur, tapi dia mengajak mereka bicara karena dengan cara itulah dia bisa menguragi sesak di dadanya.
Air mata yang dia tahan sejak tadi, akhirnya mengalir juga.
Dikecupnya kening anaknya satu persatu sambil terus terisak.
Dia memikirkan bagaimana nasib mereka setelah ini?
Jika Mas Fahmi berani membawa pulang Melly tanpa bilang lebih dulu padanya dan juga Mamanya, itu sudah jelas sekali maksudnya.
Apalagi Melly juga bilang kalau keluarga dalam perjalanan ke sini.
Bisa jadi Melly akan tinggal di sini bersama mereka. Atau ....
Tiara tidak bisa melanjutkan pikirannya. Dia belum siap jika harus satu atap dengan madunya. Apalagi kalau Mas Fahmi tidak menginginkan ada dua menantu di keluarga ini. Sudah pasti dia yang akan tersingkir.
"Bagaimana nasib kita, Nak?"
Sekuat tenaga Tiara menahan agar tangisnya tidak pecah karena sambil ngeloni anak-anaknya, dia juga ingin mendengar apa yang dibicarakan oleh Ibu mertuanya, Mas Fahmi dan Melly.
Dia memasang telinga baik-baik namun suara Bu Nur yang sedang bicara tidak terdengar jelas karena jarak antara kamar yang dia tempati saat ini dengan ruang tamu, cukup jauh. terpisah ruang makan yang cukup luas.
"Tiara!"
Itu adalah suara Bu Nur.
Mendengar suara yang begitu jelas, Tiara yakin kalau ibu mertuanya itu ada di depan pintu.
"Iya, Ma,"
Pintu kamar terbuka. Bu Nur melihat ketiga cucunya terlelap.
"Mama mau bicara,, Nak,"
Tiara mengangkat tubuhnya dengan tidak berdaya dan menyeka air matanya yang sudah kering.
"Jangan di sini, nanti mereka bangun!"
Tiara tidak bisa menolak. Dia menyusul Bu Nur yang jalan lebih dulu ke ruang makan.
Tidak ada siapa-siapa di situ. Tiara juga memanjangkan lehernya, dia juga tidak melihat Mas Fahmi dan Melly di ruang tamu. Suara mereka juga tidak terdengar lagi.
"Duduklah, Nak!" ajak Bu Nur ketika melihat Tiara masih saja berdiri dan pandangannya terus tertuju ke ruang tamu.
Tanpa menjelaskan kemana perginya Fahmi dan Melly, Bu Nur langsung menceritakan apa yang dia dengar langsung dari anaknya tadi, pada Tiara."Fahmi sudah cerita. Dia menikahi Melly tiga tahun yang lalu,""Mama benar-benar tidak tahu?" selidik Tiara dengan kehati-hatian. Dia takut menyinggung orang yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri."Tia, selama ini kita memakai HP yang sama. Jika Fahmi SMS atau telpon, kau pasti tahu,""Iya, Ma!"Tiara percaya itu karena HP milik Mamanya itu memang selalu diletakkan di atas kulkas. Baik Bu Nur maupun Taira, sangat jarang keluar rumah. Jadi, apapun yang terjadi di rumah ini, dia pasti tahu.Dia bertanya seperti itu karena Melly bilang kalau Papanya Fahmi yang jadi saksi pernikahan mereka.Ayah mertuanya itu memang tidak tinggal di rumah ini. Bu Nur sudah lama ditinggal suaminya, tepatnya ketika Fahmi masih sekolah.Yang Tiara tahu, ayahnya Fahmi tinggal di Pekan Baru dan sudah punya keluarga yang baru.Tiara juga tahu kalau antara Bu Nur dan Ay
Sikap ibunya Melly yang ramah dan sopan, membuat Bu Nur menyambut mereka dengan ramah.Tiara juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika wanita yang sepantaran mertuanya itu menyalaminya, dia juga mengulurkan tangannya dan berusaha tersenyum."Tiara, senang bertemu denganmu!"Akhirnya mereka semua berkumpul di ruang tamu. Kini Tiara baru tahu, ternyata Mas Fahmi dan Melly sempat tidak terlihat beberapa saat, ternyata menjemput wanita ini.Bersama mereka ada seorang pria lain tapi entah kenapa tidak ikut masuk. Pria itu hanya duduk di teras."Sebenarnya kami sudah sampai di Jakarta pagi tadi tapi karena perjalanan jauh dan Fahmi juga bilang kalau dia belum kasih tahu ke ibu kalau mau pulang hari ini, jadi saya putuskan untuk istirahat di hotel,""Oh.. begitu. Kenapa harus ke hotel segala Fahmi? Kalau kau bilang lebih awal, mama bisa beres-beres. Kita punya empat kamar. Bisa kok kalau hanya untuk istirahat saja,""Terimakasih Bu Nur. Saya tidak mau merepotkan. Apalagi dengan kondisi yang se
"Terserah apa yang kau pikirkan tentang anakku dan Fahmi. Saya ke sini hanya menjalankan kewajiban saya sebagai orang tua. Ketika anaknya akan ikut suaminya, saya sebagai orang tua tunggal dari Melly harus memastikan di mana dia akan tinggal. Itu saja,""Tiara, jangan bersikap kasar pada mertuaku. Apa yang dikatakan Bu Ning, semuanya benar. Kodisi aku memang seperti yang beliau ceritakan. Apa yang terjadi di sana, tidak seperti yang aku pikirkan. Kampung tempat aku mengajar benar-benar terpencil. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa satu kilo. Jalan masih tanah, kalau hujan jadi kubangan. Anak yang sekolah di tempat itu juga cuma beberapa orang saja, kalau hujan malah tidak ada yang datang. Aku yakin, jika kau jadi aku, kau juga tidak akan betah di sana. Aku sudah terlanjur mengambil keputusan dan demi tanggung jawab aku sebagai pria yang akan menafkahi keluarganya, aku harus menjalani itu semua. Aku salah, awalnya aku hanya ingin memanfaatkan kebaikan Bu Ning tapi sia
"Fahmi, apa yang dikatakan Tiara benar. Kau belum nemuin anak-anakmu, kan? Malam ini, tidurlah di rumah!" Bu Nur ikut memintanya karena dia rasa, Fahmi seperti tidak peduli dengan ketiga anaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, padahal mereka tidak bertemu selama empat tahun, apa dia tidak kangen dengan Fattan,Fadlan, dan Tanaya ?Bu Nur jadi khawatir sendiri dengan kondisi anaknya. Tapi bagaimana pun juga, Fahmi itu anak kandungnya. Dia tidak berani berpikir yang macam-macam.Bu Nung sudah duduk di bangku belakang segera menurunkan kaca di sampingnya. Melly yang ada di sebelahnya juga ikut memanjangkan lehernya ke Bu Nur."Fahmi harus menemani Mama Nung dan Melly, Ma. Meskipun tinggal di hotel tapi tidak ada yang mereka kenal di kota ini selain aku,""Mama tahu, tapi kau juga harus adil dengan anakmu. Ingat, mereka tidak salah apa-apa. Jangan hukum mereka dengan sikap tidak pedulimu,"Melihat perdebatan ibu dan anak itu, membuat Bu Nung merasa tidak enak hati.Dia langsung menengahi
Bu Nur dan ibunya Tiara itu berteman baik. Rekan satu profesi dan punya nasib yang sama dalam membina rumah tangga. Sama seperti Bu Nur, Papanya Tiara juga meninggalkan ibunya demi wanita lain. Entah dimana dia sekarang, Tiara juga tidak tahu keberadaan ayah kadungnya itu.Bu Nur juga yang punya ide menjodohkan Fahmi dan Tiara. Saat Mamanya Tiara pensiun dan memilih kembali ke kampung, mereka menikahkan anak-anaknya. Jadi Tiara tinggal di rumah Bu Nur bersama suaminya.“Ma, aku tidak akan menceraikan Tiara. Aku akan tetap memenuhi kebutuhan dia dan juga anak-anak. Makanya aku ijinkan Melly membuaka usaha. Ada lima kepala yang harus aku hidupi dan sebentar lagi anak Melly lahir. Itu semua tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gaji aku sebagai PNS, Ma!”“Iya, Mama tahu,”Bu Nur mengangguk.“Tapi penghasilan PNS daerah dengan di sini kan beda. Selain gaji pokok dan tunjangan anak istri, kau juga akan mendapat tunjangan kerja dari pemda, bisa dua kali lipat dari gajimu. Belum lagi ua
“Tiara tidak akan melakukannya, Ma!” kata Fahmi dengan begitu yakinnya setelah keduanya diam cukup lama.Bu Nur benar-benar takut akan hal ini. Apa yang sudah dicapai Fammi dengan bersusah payah akan lepas begitu saja jika apa yang dia pikirkan itu terjadi. Dan Bu Nur rasa, perkara ini belum disadari oleh Fahmi, Melly dan keluarganya.“Kenapa tidak? Dia memang pendiam dan sangat patuh pada kau dan Mama. Tapi kalau dia sakit hati, apa kau bisa jamin dia tidak melakukan itu untuk menghancurkan kau dan Melly?”“Jika kau pengangguran dan tanggunaganmu juga banyak, apa kau pikir Melly masih mau denganmu? Kau tidak hanya akan kehilangan pekerjaanmu tapi kau akan kehilangan istri-istrimu,”“Ma, itu tidak akan terjadi. Percayalah!”“Tiara tidak sejahat itu!”Meskipun hatinya gentar mendengar apa yang dikatakan Mamanya, dia tetap berusaha agar Mamanya tidak panik. Jujur, dia tidak berpikir sampai ke sana karena yang dia tahu, Tiara itu anak yang patuh dan dia juga tidak faham dengan urusan ya
Tiara sudah bangun sejak jam lima pagi tapi dia masih diam di tempat tidur karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan pagi ini.Dia ingin keluar untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tapi dia tahu kalau Fahmi masih ada di rumah. Karena dia tidak mau melihat suaminya lah, dia enggan beranjak dari kamar.Pun ketika si bungsu bangun dan minta ke kamar mandi untuk pipis, Tiara malah menyuruh anak yang masih berumur tiga tahun itu keluar dari kamar.“Ada Nenek di belakang. Pipis sendiri, ya!”Tayana yang belum tahu ada apa dengan orang tuanya itu dengan patuh turun dari tempat tidur dan dengan langkahnya yang menggemaskan langsung berlari ke luar.Pintu kamar terbuka. Fahmi yang masih duduk di ruang tengah usai sholat subuh langsung menangkap sesosok anak kecil yang lucu dan menggemaskan berlari menuju ke dapur.Tanaya sempat menahan langkahnya karena melihat Fahmi. Ketika Fahmi mengulurkan kedua tangannya dan ingin menangkapnya, secara refleks anak itu menghindar.“Nenek!” dia lan
Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. “Aku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,” “Ma, rendang yang sekilo tadi mana?” Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. “Ini rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,” katanya saat membuka kotak yang pertama. “Ini ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,” “Ada empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
“Apa itu?” selidik ibunay tidak sabar. “Kau bukin ibu deg-degan aja, sayang!” “Mas Fahmi tidak hanya pulang, Bu. Tapi dia sudah mengurus mutasinya ke Jakarta,” “Oh….cepet sekali!” tidak bisa dipungkiri, Bu Dahlia sangat terkejut mendengan berita ini. “Dia baru empat tahun jadi PNS, bulan depan pas tapi sudah mengurus pindah. Fahmi benar-benar hebat, kau tidak salah memilih suami, sayang,” Tiara terdiam. Dia bingung harus menanggapi apa. “PAdahal Ibu baru saja kepikiran soal itu. Ibu ga tega melihat kau jauh dari Fahmi. Mungkin karena niatnya yang begitu kuat untuk kumpul kembali keluarga, agar ga sering- sering meninggalkan kalian, dia bekerja dengan giat mengumpulkan uang untuk mengurus kepindahan ini. Tia, Ibu benar-benar terharu. Fahmi itu sama seperti ayahnya, pria yang ulet mencari nafkah untuk keluarga. Kau harus menghargai pengorbanan dia. Jangan ungkit kenapa dia tidak pernah memberi kaba r karena kita sudah tahu jawabannya,” “Iya, Ma,” sahutnya lesu. Tadinya Tiara ing
“Tia, Kau mau ke mana?” tanya Bu nur sekali lagi. Dia khawatir kalau anak menantunya itu tidak mendengar pertanyaannya, jadi dia mengulanginya sekali lagi. “Aku mau ke wartel, Ma!” “Ke wartel?” Bu Nur makin kaget. Seumur-umur Tiara belum pernah pergi ke tempat seperti itu. Kalau dia mau gobrol sama Mamanya, kalau tidak menggunakan telpon rumah, pasti menggunakan HP jadulnya. “Ada seseorang yang mau aku telpon,” sahut Tiara. Dia menyebut seseorang dan Bu Nur tahu kalau Tiara tidak mau menyebut identitasnya. Karena situasinya tidak mungkin untuk bertanya lebih banyak, Bu Nur akhirnya membiarkan Tiara yang pergi seorang diri saja. Anak-anak sedang berbagi makanan yang dibawa oleh Melly,jadi tidak ada yang sadar kalau Tiara pergi. Termasuk Tanaya yang biasanya tidak bisa tinggal dari Tiara, kini sibuk dengan coklat batangan yang dibagi untuknya. Meskipun sedih, Tiara merasa diuntungkan juga. Jadi dia bisa pergi sebentar tanpa anak-anak untuk melepaskan kepenatan yang membuat kepalany
“Fattan, makan yang banyak biar sehat!” seru Melly ketika melihat anak sulung suaminya itu makan dengan lahapnya. Satu porsi bubur ayam lengkap ditambah satu potong paha ayam goreng, habis dilahapnya dalam beberapa detik saja. Melly terlihat sangat senang. Meskipun anak-anaknya Fahmi masih cangcung dengannya tapi mereka tidak malu-malu makan bersama dirinya. “Mau nambah?” Fattan menggeleng dengan ragu. Dia menolak tawaran itu bukan karena sudah kenyang tapi karena tidak biasa makan dalam porsi yang banyak. Setiap makan, baik Nenek maupun Mamanya selalu membagi-bagi lauk untuknya dan kedua adiknya. Selama ini mereka berlima hidup hanya mengandalkan uang pensiun Bu Nur saja. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu harus dibagi-bagi untuk uang susu dan kebutuhan lainnya. Sudah bisa ditebak, bagaimana menu yang terhidang di meja ini setiap harinya. Yang Fattan ingat, seumur-umur dia belum pernah makan semewah ini. Tiara tidak punya uang sendiri, dia juga tidak pernah mengajak anaknya
Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. “Aku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,” “Ma, rendang yang sekilo tadi mana?” Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. “Ini rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,” katanya saat membuka kotak yang pertama. “Ini ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,” “Ada empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
Tiara sudah bangun sejak jam lima pagi tapi dia masih diam di tempat tidur karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan pagi ini.Dia ingin keluar untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tapi dia tahu kalau Fahmi masih ada di rumah. Karena dia tidak mau melihat suaminya lah, dia enggan beranjak dari kamar.Pun ketika si bungsu bangun dan minta ke kamar mandi untuk pipis, Tiara malah menyuruh anak yang masih berumur tiga tahun itu keluar dari kamar.“Ada Nenek di belakang. Pipis sendiri, ya!”Tayana yang belum tahu ada apa dengan orang tuanya itu dengan patuh turun dari tempat tidur dan dengan langkahnya yang menggemaskan langsung berlari ke luar.Pintu kamar terbuka. Fahmi yang masih duduk di ruang tengah usai sholat subuh langsung menangkap sesosok anak kecil yang lucu dan menggemaskan berlari menuju ke dapur.Tanaya sempat menahan langkahnya karena melihat Fahmi. Ketika Fahmi mengulurkan kedua tangannya dan ingin menangkapnya, secara refleks anak itu menghindar.“Nenek!” dia lan
“Tiara tidak akan melakukannya, Ma!” kata Fahmi dengan begitu yakinnya setelah keduanya diam cukup lama.Bu Nur benar-benar takut akan hal ini. Apa yang sudah dicapai Fammi dengan bersusah payah akan lepas begitu saja jika apa yang dia pikirkan itu terjadi. Dan Bu Nur rasa, perkara ini belum disadari oleh Fahmi, Melly dan keluarganya.“Kenapa tidak? Dia memang pendiam dan sangat patuh pada kau dan Mama. Tapi kalau dia sakit hati, apa kau bisa jamin dia tidak melakukan itu untuk menghancurkan kau dan Melly?”“Jika kau pengangguran dan tanggunaganmu juga banyak, apa kau pikir Melly masih mau denganmu? Kau tidak hanya akan kehilangan pekerjaanmu tapi kau akan kehilangan istri-istrimu,”“Ma, itu tidak akan terjadi. Percayalah!”“Tiara tidak sejahat itu!”Meskipun hatinya gentar mendengar apa yang dikatakan Mamanya, dia tetap berusaha agar Mamanya tidak panik. Jujur, dia tidak berpikir sampai ke sana karena yang dia tahu, Tiara itu anak yang patuh dan dia juga tidak faham dengan urusan ya
Bu Nur dan ibunya Tiara itu berteman baik. Rekan satu profesi dan punya nasib yang sama dalam membina rumah tangga. Sama seperti Bu Nur, Papanya Tiara juga meninggalkan ibunya demi wanita lain. Entah dimana dia sekarang, Tiara juga tidak tahu keberadaan ayah kadungnya itu.Bu Nur juga yang punya ide menjodohkan Fahmi dan Tiara. Saat Mamanya Tiara pensiun dan memilih kembali ke kampung, mereka menikahkan anak-anaknya. Jadi Tiara tinggal di rumah Bu Nur bersama suaminya.“Ma, aku tidak akan menceraikan Tiara. Aku akan tetap memenuhi kebutuhan dia dan juga anak-anak. Makanya aku ijinkan Melly membuaka usaha. Ada lima kepala yang harus aku hidupi dan sebentar lagi anak Melly lahir. Itu semua tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gaji aku sebagai PNS, Ma!”“Iya, Mama tahu,”Bu Nur mengangguk.“Tapi penghasilan PNS daerah dengan di sini kan beda. Selain gaji pokok dan tunjangan anak istri, kau juga akan mendapat tunjangan kerja dari pemda, bisa dua kali lipat dari gajimu. Belum lagi ua
"Fahmi, apa yang dikatakan Tiara benar. Kau belum nemuin anak-anakmu, kan? Malam ini, tidurlah di rumah!" Bu Nur ikut memintanya karena dia rasa, Fahmi seperti tidak peduli dengan ketiga anaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, padahal mereka tidak bertemu selama empat tahun, apa dia tidak kangen dengan Fattan,Fadlan, dan Tanaya ?Bu Nur jadi khawatir sendiri dengan kondisi anaknya. Tapi bagaimana pun juga, Fahmi itu anak kandungnya. Dia tidak berani berpikir yang macam-macam.Bu Nung sudah duduk di bangku belakang segera menurunkan kaca di sampingnya. Melly yang ada di sebelahnya juga ikut memanjangkan lehernya ke Bu Nur."Fahmi harus menemani Mama Nung dan Melly, Ma. Meskipun tinggal di hotel tapi tidak ada yang mereka kenal di kota ini selain aku,""Mama tahu, tapi kau juga harus adil dengan anakmu. Ingat, mereka tidak salah apa-apa. Jangan hukum mereka dengan sikap tidak pedulimu,"Melihat perdebatan ibu dan anak itu, membuat Bu Nung merasa tidak enak hati.Dia langsung menengahi
"Terserah apa yang kau pikirkan tentang anakku dan Fahmi. Saya ke sini hanya menjalankan kewajiban saya sebagai orang tua. Ketika anaknya akan ikut suaminya, saya sebagai orang tua tunggal dari Melly harus memastikan di mana dia akan tinggal. Itu saja,""Tiara, jangan bersikap kasar pada mertuaku. Apa yang dikatakan Bu Ning, semuanya benar. Kodisi aku memang seperti yang beliau ceritakan. Apa yang terjadi di sana, tidak seperti yang aku pikirkan. Kampung tempat aku mengajar benar-benar terpencil. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa satu kilo. Jalan masih tanah, kalau hujan jadi kubangan. Anak yang sekolah di tempat itu juga cuma beberapa orang saja, kalau hujan malah tidak ada yang datang. Aku yakin, jika kau jadi aku, kau juga tidak akan betah di sana. Aku sudah terlanjur mengambil keputusan dan demi tanggung jawab aku sebagai pria yang akan menafkahi keluarganya, aku harus menjalani itu semua. Aku salah, awalnya aku hanya ingin memanfaatkan kebaikan Bu Ning tapi sia