Tanpa menjelaskan kemana perginya Fahmi dan Melly, Bu Nur langsung menceritakan apa yang dia dengar langsung dari anaknya tadi, pada Tiara.
"Fahmi sudah cerita. Dia menikahi Melly tiga tahun yang lalu,"
"Mama benar-benar tidak tahu?" selidik Tiara dengan kehati-hatian. Dia takut menyinggung orang yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri.
"Tia, selama ini kita memakai HP yang sama. Jika Fahmi SMS atau telpon, kau pasti tahu,"
"Iya, Ma!"
Tiara percaya itu karena HP milik Mamanya itu memang selalu diletakkan di atas kulkas. Baik Bu Nur maupun Taira, sangat jarang keluar rumah. Jadi, apapun yang terjadi di rumah ini, dia pasti tahu.
Dia bertanya seperti itu karena Melly bilang kalau Papanya Fahmi yang jadi saksi pernikahan mereka.
Ayah mertuanya itu memang tidak tinggal di rumah ini. Bu Nur sudah lama ditinggal suaminya, tepatnya ketika Fahmi masih sekolah.
Yang Tiara tahu, ayahnya Fahmi tinggal di Pekan Baru dan sudah punya keluarga yang baru.
Tiara juga tahu kalau antara Bu Nur dan Ayahnya Fahmi tidak pernah berkomunikasi.
"Kalau tentang Ayahnya Fahmi yang jadi saksi, Mama tidak tahu dan tidak akan bertanya. Jadi jangan anggap kalau Mama menutupi kesalahan mereka,"
"Iya, Ma. Aku minta maaf,"
"Semua sudah terjadi. Pepatah bilang, nasi sudah jadi bubur,"
Bu Nur diam sebentar karena tenggorokannya sakit untuk menjelaskan ini semua.
Tiara tidak bisa berkata-kata. Dia yang masih belum bisa menerima kejutan dari Mas Fahmi, berusaha menunggu penjelasan ibu mertuanya.
"Melly memaksa ikut karena dia tengah hamil muda. Fahmi tidak bisa menolak karena tiga tahun menikah, baru sekarang Melly bisa hamil. Itu alasannya, Nak,"
"Dia hamil?"
Bu Nur mengangguk."Iya. Makanya orang tuanya ikut ke sini. Mereka mengantar anaknya ikut suami sekalian mau kenalan sama Mama,"
"Ma, jadi Melly akan tinggal di sini?"
"Itu yang Fahmi katakan tadi. Kau tahu sendiri, Fahmi belum punya rumah dan kemana lagi dia akan membawa istrinya kalau bukan ke sini?"
Kepala Taira makin cenat-cenut saja mendengarnya.
Rumah ini memang punya empat kamar. Satu kamar, yaitu kamar yang paling besar ditempati oleh Bu Nur.
Selama ini Tiara dan Fahmi menempati kamar depan bersama dua anaknya.
Tapi ketika anak-anak mulai besar, Bu Nur memberi Fattan dan Fauzan satu kamar lagi. Yang ada diruang tengah. Kamar yang letaknya diantara kamar depan dan kamar yang ditempati Bu Nur. Tiara dan si bungsu masih di kamar depan.
“Lalu Melly akan tidur dimana?”
Hanya satu ruang yang masih mungkin dijadikan kamar. Yaitu gudang belakang, tempat Bu Nur menyimpan barang-barang yang sudah tidak terpakai, termasuk mainan anak-anaknya dan itu ada di belakang. "Apa mungkin Melly mau tidur di kamar belakang?"
Saat Bu Nur masih kerja dan masih ada ayahnya Fahmi, konon ruangan itu adalah kamar pembantu. Cukup lega dan sirkulasi udaranya juga cukup bagus karena tembus ke jalan belakang dan depannya juga tempat jemuran dan taman yang kecil.
Tapi kalau melihat bentuknya yang sudah seperti gudang apa mungkin Fahmi tega membiarkan Melly di sana?
"Fahmi pulang karena sudah empat tahun tugas di sana. Dan sesuai rencana, dia berhasil mengurus mutasi ke sini. Jadi dia bilang, Melly juga akan tinggal bersama kita, Tia!"
Tiara tertawa. Pahit sekali mendengarnya meskipun dia sudah menduga apa yang dipikirkan oleh Fahmi ketika membawa bini barunya itu ke sini?
"Aku kan menumpang di rumah ini, Ma. Jika itu maunya Mas Fahmi dan Mama menyetujui, aku bisa apa?"
"Jangan seperti itu? Mama juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tentang bagaimana kalian tinggal, itu kita pikirkan nanti. Sebentar lagi orang tuanya Fahmi sampai. Dia tamu, jadi mama minta tolong padamu. Jangan buat keributan, ya!"
Les...
Kekuatan yang tersisa dalam tubuh Tiara, serasa lenyap saat itu juga.
Memang Bu Nur tidak bisa menolak kedatangan orang Tiara yang konon semakin dekat, apalagi mereka datang dari jauh.
Tapi melihat sikap penerimaan Bu Nur itu, pikiran Tiara makin sakit. Mereka datang mengantar Melly, seolah-olah Melly adalah istri satu-satunya Fahmi. Apa mereka benar-benar tidak tahu kalau Fahmi sudah punya istri dan tiga orang anak?
"Ya Allah. Kenapa nasib pernikahan aku harus seperti ini?" keluh Tiara. Ingin rasanya dia menjerit sejadi-jadinya saat itu agar kepalanya tidak pecah.
Sakit sekali mendapatkan perlakuan yang sangat tidak masuk akal ini.
"Tiara. Mama mohon sekali, Nak. Tolong bersikap dewasa. Tak ada gunanya juga kita teriak-teriak yang membuat tetangga jadi tahu permasalahan keluarga kita. Ini tidak akan menyelesaikan masalah, kan?" desak Bu Nur.
Tiara masih diam. Dia tidak memberikan reaksi apapun.
Saat itulah, hp yang ada di atas kulkas berbunyi. Tiara hafal tanda itu, itu ada pesan yang masuk. Bu Nur yang sedang bersama Tiara langsung mengambil benda itu dan membaca isinya.
Tiara melirik, dia melihat bagaimana ekspresi ibu mertuanya itu dan sepertinya tidak ada harapan kalau perempuan itu akan berubah pikiran.
"Tiara, mereka sudah ada di ujung jalan. Bisa bantu bukakan pintu gerbang?" pinta Bu Nur yang membuat Tiara langsung tercengang.
"Apa, Ma?" tanya Tiara spontan. Dia mendengar permintaan itu dengan jelas tapi Tiara seakan ingin memastikan lagi pendengarannya.
"Iya, Nak. Entah sudah berapa piluh tahun pintu gerbang itu tidak pernah dibuka. Pasti butuh tenaga untuk mendorongnya. Tangan mama sakit, Nak."
"Ya!" sahutnya terpaksa karena tidak mungkin rasakan menolak permintaan Bu Nur yang sangat jarang sekali minta tolong padanya.
"Maaf, ya. Mama jiga tidak mau kau seperti ini. Tapi kita bisa apa?"
"Iya, Ma. Tak apa."
Tiara menerima kunci dari Bu Nur dan langsung menuju ke depan dengan langkah yang gontai.
Ternyata apa yang dikatakan ibu mertuanya benar.
Gemboknya aja sudah karatan. Tapi untungnya begitu anak kunci itu dimasukkan, langsung terbuka.
Tapi, dugaan Bu Nur kembali benar. Teralis setinggi dua meter itu sangat susah untuk digeser. Tiara sudah mengerahkan seluruh tenaga tapi dia pintu itu bergeser sedikit saja.
Untungnya ada tetangga yang lewat. Melihat bagaimana susahnya Taira, dia langsung menawarkan diri.
"Tumben dibuka. Mau ada tamu apa, Mbak?" tanya pria berseragam coklat muda itu. Yang Tiara tahu, laki-laki itu tinggal di kos-kosan depan rumah mertuanya.
"Iya. Tamunya Mama,"
"Lubang relnya tertutup debu yang mengering." Katanya. Tiara melihat, pria itu juga kesusahan mendorongnya.
Tapi yang namanya tenaga laki-laki, akhirnya berhasil juga.
Tiara langsung mengucapkan terimakasih atas bantuannya, masalah dia selesai.
Tiara tidak begitu kenal dengan tetangga karena dia jarang melangkah ke luar pagar. Tapi dia tahu laki-laki itu karena sering melihat pria itu keluar masuk kos-kosan depan rumahnya saat pagi dan sore. Saat Tiara menyuapi anaknya.
Tiara baru akan menyingkirkan sepeda anaknya dari garasi tapi klakson yang terdengar tak jauh darinya membuat dia langsung melihat ke arah jalan.
Tepat di depan rumah, berhenti kijang super berwarna coklat muda dan sedang berbelok ke arahnya.
Sebelum mobil itu masuk, pintu belakang terbuka dan turunlah Fahmi yang kemudian menghampirinya.
"Singkirkan barang-barang ini. Mobilnya mau masuk!"
Tiara melihat suaminya lekat-lekat. Dia baru saja ingin buka suara tapi Bu Nur sudah keluar dan tergopoh-gopoh membereskan mainan cucunya yang tercecer di garasi.
"Tadi siang anak-anak main sepeda dan bikin berantakan. Kami belum sempet beres-beres,"
Melihat bagaimana sikap Bu Nur,Tiara langsung tersenyum miris.
Akhirnya dua hanya bisa mematung di tempatnya dan melihat bagaimana Bu Nur dan Fahmi menyambut keluarga Melly dengan ramahnya.
"Maaf berantakan,"
Kata-kata itu yang terus diucapkan Bu Nur sambil beres-beres.
Setelah mobil terparkir di tempatnya dan penumpangnya turun, barulah dia menghampiri tamunya.
"Maaf, saya tidak tahu kalau akan ada tamu. Belum sempet beres-beres,"
Seorang perempuan yang keluar dari pintu samping sopir langsung menyalami Bu Nur dan berkata dengan ramah. "Bu Nur, maaf jika sudah merepotkan. Senang, akhirnya bisa ketemu besan!"
Sikap ibunya Melly yang ramah dan sopan, membuat Bu Nur menyambut mereka dengan ramah.Tiara juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika wanita yang sepantaran mertuanya itu menyalaminya, dia juga mengulurkan tangannya dan berusaha tersenyum."Tiara, senang bertemu denganmu!"Akhirnya mereka semua berkumpul di ruang tamu. Kini Tiara baru tahu, ternyata Mas Fahmi dan Melly sempat tidak terlihat beberapa saat, ternyata menjemput wanita ini.Bersama mereka ada seorang pria lain tapi entah kenapa tidak ikut masuk. Pria itu hanya duduk di teras."Sebenarnya kami sudah sampai di Jakarta pagi tadi tapi karena perjalanan jauh dan Fahmi juga bilang kalau dia belum kasih tahu ke ibu kalau mau pulang hari ini, jadi saya putuskan untuk istirahat di hotel,""Oh.. begitu. Kenapa harus ke hotel segala Fahmi? Kalau kau bilang lebih awal, mama bisa beres-beres. Kita punya empat kamar. Bisa kok kalau hanya untuk istirahat saja,""Terimakasih Bu Nur. Saya tidak mau merepotkan. Apalagi dengan kondisi yang se
"Terserah apa yang kau pikirkan tentang anakku dan Fahmi. Saya ke sini hanya menjalankan kewajiban saya sebagai orang tua. Ketika anaknya akan ikut suaminya, saya sebagai orang tua tunggal dari Melly harus memastikan di mana dia akan tinggal. Itu saja,""Tiara, jangan bersikap kasar pada mertuaku. Apa yang dikatakan Bu Ning, semuanya benar. Kodisi aku memang seperti yang beliau ceritakan. Apa yang terjadi di sana, tidak seperti yang aku pikirkan. Kampung tempat aku mengajar benar-benar terpencil. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa satu kilo. Jalan masih tanah, kalau hujan jadi kubangan. Anak yang sekolah di tempat itu juga cuma beberapa orang saja, kalau hujan malah tidak ada yang datang. Aku yakin, jika kau jadi aku, kau juga tidak akan betah di sana. Aku sudah terlanjur mengambil keputusan dan demi tanggung jawab aku sebagai pria yang akan menafkahi keluarganya, aku harus menjalani itu semua. Aku salah, awalnya aku hanya ingin memanfaatkan kebaikan Bu Ning tapi sia
"Fahmi, apa yang dikatakan Tiara benar. Kau belum nemuin anak-anakmu, kan? Malam ini, tidurlah di rumah!" Bu Nur ikut memintanya karena dia rasa, Fahmi seperti tidak peduli dengan ketiga anaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, padahal mereka tidak bertemu selama empat tahun, apa dia tidak kangen dengan Fattan,Fadlan, dan Tanaya ?Bu Nur jadi khawatir sendiri dengan kondisi anaknya. Tapi bagaimana pun juga, Fahmi itu anak kandungnya. Dia tidak berani berpikir yang macam-macam.Bu Nung sudah duduk di bangku belakang segera menurunkan kaca di sampingnya. Melly yang ada di sebelahnya juga ikut memanjangkan lehernya ke Bu Nur."Fahmi harus menemani Mama Nung dan Melly, Ma. Meskipun tinggal di hotel tapi tidak ada yang mereka kenal di kota ini selain aku,""Mama tahu, tapi kau juga harus adil dengan anakmu. Ingat, mereka tidak salah apa-apa. Jangan hukum mereka dengan sikap tidak pedulimu,"Melihat perdebatan ibu dan anak itu, membuat Bu Nung merasa tidak enak hati.Dia langsung menengahi
Bu Nur dan ibunya Tiara itu berteman baik. Rekan satu profesi dan punya nasib yang sama dalam membina rumah tangga. Sama seperti Bu Nur, Papanya Tiara juga meninggalkan ibunya demi wanita lain. Entah dimana dia sekarang, Tiara juga tidak tahu keberadaan ayah kadungnya itu.Bu Nur juga yang punya ide menjodohkan Fahmi dan Tiara. Saat Mamanya Tiara pensiun dan memilih kembali ke kampung, mereka menikahkan anak-anaknya. Jadi Tiara tinggal di rumah Bu Nur bersama suaminya.“Ma, aku tidak akan menceraikan Tiara. Aku akan tetap memenuhi kebutuhan dia dan juga anak-anak. Makanya aku ijinkan Melly membuaka usaha. Ada lima kepala yang harus aku hidupi dan sebentar lagi anak Melly lahir. Itu semua tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gaji aku sebagai PNS, Ma!”“Iya, Mama tahu,”Bu Nur mengangguk.“Tapi penghasilan PNS daerah dengan di sini kan beda. Selain gaji pokok dan tunjangan anak istri, kau juga akan mendapat tunjangan kerja dari pemda, bisa dua kali lipat dari gajimu. Belum lagi ua
“Tiara tidak akan melakukannya, Ma!” kata Fahmi dengan begitu yakinnya setelah keduanya diam cukup lama.Bu Nur benar-benar takut akan hal ini. Apa yang sudah dicapai Fammi dengan bersusah payah akan lepas begitu saja jika apa yang dia pikirkan itu terjadi. Dan Bu Nur rasa, perkara ini belum disadari oleh Fahmi, Melly dan keluarganya.“Kenapa tidak? Dia memang pendiam dan sangat patuh pada kau dan Mama. Tapi kalau dia sakit hati, apa kau bisa jamin dia tidak melakukan itu untuk menghancurkan kau dan Melly?”“Jika kau pengangguran dan tanggunaganmu juga banyak, apa kau pikir Melly masih mau denganmu? Kau tidak hanya akan kehilangan pekerjaanmu tapi kau akan kehilangan istri-istrimu,”“Ma, itu tidak akan terjadi. Percayalah!”“Tiara tidak sejahat itu!”Meskipun hatinya gentar mendengar apa yang dikatakan Mamanya, dia tetap berusaha agar Mamanya tidak panik. Jujur, dia tidak berpikir sampai ke sana karena yang dia tahu, Tiara itu anak yang patuh dan dia juga tidak faham dengan urusan ya
Tiara sudah bangun sejak jam lima pagi tapi dia masih diam di tempat tidur karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan pagi ini.Dia ingin keluar untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tapi dia tahu kalau Fahmi masih ada di rumah. Karena dia tidak mau melihat suaminya lah, dia enggan beranjak dari kamar.Pun ketika si bungsu bangun dan minta ke kamar mandi untuk pipis, Tiara malah menyuruh anak yang masih berumur tiga tahun itu keluar dari kamar.“Ada Nenek di belakang. Pipis sendiri, ya!”Tayana yang belum tahu ada apa dengan orang tuanya itu dengan patuh turun dari tempat tidur dan dengan langkahnya yang menggemaskan langsung berlari ke luar.Pintu kamar terbuka. Fahmi yang masih duduk di ruang tengah usai sholat subuh langsung menangkap sesosok anak kecil yang lucu dan menggemaskan berlari menuju ke dapur.Tanaya sempat menahan langkahnya karena melihat Fahmi. Ketika Fahmi mengulurkan kedua tangannya dan ingin menangkapnya, secara refleks anak itu menghindar.“Nenek!” dia lan
Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. “Aku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,” “Ma, rendang yang sekilo tadi mana?” Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. “Ini rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,” katanya saat membuka kotak yang pertama. “Ini ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,” “Ada empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
“Fattan, makan yang banyak biar sehat!” seru Melly ketika melihat anak sulung suaminya itu makan dengan lahapnya. Satu porsi bubur ayam lengkap ditambah satu potong paha ayam goreng, habis dilahapnya dalam beberapa detik saja. Melly terlihat sangat senang. Meskipun anak-anaknya Fahmi masih cangcung dengannya tapi mereka tidak malu-malu makan bersama dirinya. “Mau nambah?” Fattan menggeleng dengan ragu. Dia menolak tawaran itu bukan karena sudah kenyang tapi karena tidak biasa makan dalam porsi yang banyak. Setiap makan, baik Nenek maupun Mamanya selalu membagi-bagi lauk untuknya dan kedua adiknya. Selama ini mereka berlima hidup hanya mengandalkan uang pensiun Bu Nur saja. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu harus dibagi-bagi untuk uang susu dan kebutuhan lainnya. Sudah bisa ditebak, bagaimana menu yang terhidang di meja ini setiap harinya. Yang Fattan ingat, seumur-umur dia belum pernah makan semewah ini. Tiara tidak punya uang sendiri, dia juga tidak pernah mengajak anaknya
“Apa itu?” selidik ibunay tidak sabar. “Kau bukin ibu deg-degan aja, sayang!” “Mas Fahmi tidak hanya pulang, Bu. Tapi dia sudah mengurus mutasinya ke Jakarta,” “Oh….cepet sekali!” tidak bisa dipungkiri, Bu Dahlia sangat terkejut mendengan berita ini. “Dia baru empat tahun jadi PNS, bulan depan pas tapi sudah mengurus pindah. Fahmi benar-benar hebat, kau tidak salah memilih suami, sayang,” Tiara terdiam. Dia bingung harus menanggapi apa. “PAdahal Ibu baru saja kepikiran soal itu. Ibu ga tega melihat kau jauh dari Fahmi. Mungkin karena niatnya yang begitu kuat untuk kumpul kembali keluarga, agar ga sering- sering meninggalkan kalian, dia bekerja dengan giat mengumpulkan uang untuk mengurus kepindahan ini. Tia, Ibu benar-benar terharu. Fahmi itu sama seperti ayahnya, pria yang ulet mencari nafkah untuk keluarga. Kau harus menghargai pengorbanan dia. Jangan ungkit kenapa dia tidak pernah memberi kaba r karena kita sudah tahu jawabannya,” “Iya, Ma,” sahutnya lesu. Tadinya Tiara ing
“Tia, Kau mau ke mana?” tanya Bu nur sekali lagi. Dia khawatir kalau anak menantunya itu tidak mendengar pertanyaannya, jadi dia mengulanginya sekali lagi. “Aku mau ke wartel, Ma!” “Ke wartel?” Bu Nur makin kaget. Seumur-umur Tiara belum pernah pergi ke tempat seperti itu. Kalau dia mau gobrol sama Mamanya, kalau tidak menggunakan telpon rumah, pasti menggunakan HP jadulnya. “Ada seseorang yang mau aku telpon,” sahut Tiara. Dia menyebut seseorang dan Bu Nur tahu kalau Tiara tidak mau menyebut identitasnya. Karena situasinya tidak mungkin untuk bertanya lebih banyak, Bu Nur akhirnya membiarkan Tiara yang pergi seorang diri saja. Anak-anak sedang berbagi makanan yang dibawa oleh Melly,jadi tidak ada yang sadar kalau Tiara pergi. Termasuk Tanaya yang biasanya tidak bisa tinggal dari Tiara, kini sibuk dengan coklat batangan yang dibagi untuknya. Meskipun sedih, Tiara merasa diuntungkan juga. Jadi dia bisa pergi sebentar tanpa anak-anak untuk melepaskan kepenatan yang membuat kepalany
“Fattan, makan yang banyak biar sehat!” seru Melly ketika melihat anak sulung suaminya itu makan dengan lahapnya. Satu porsi bubur ayam lengkap ditambah satu potong paha ayam goreng, habis dilahapnya dalam beberapa detik saja. Melly terlihat sangat senang. Meskipun anak-anaknya Fahmi masih cangcung dengannya tapi mereka tidak malu-malu makan bersama dirinya. “Mau nambah?” Fattan menggeleng dengan ragu. Dia menolak tawaran itu bukan karena sudah kenyang tapi karena tidak biasa makan dalam porsi yang banyak. Setiap makan, baik Nenek maupun Mamanya selalu membagi-bagi lauk untuknya dan kedua adiknya. Selama ini mereka berlima hidup hanya mengandalkan uang pensiun Bu Nur saja. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu harus dibagi-bagi untuk uang susu dan kebutuhan lainnya. Sudah bisa ditebak, bagaimana menu yang terhidang di meja ini setiap harinya. Yang Fattan ingat, seumur-umur dia belum pernah makan semewah ini. Tiara tidak punya uang sendiri, dia juga tidak pernah mengajak anaknya
Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. “Aku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,” “Ma, rendang yang sekilo tadi mana?” Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. “Ini rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,” katanya saat membuka kotak yang pertama. “Ini ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,” “Ada empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
Tiara sudah bangun sejak jam lima pagi tapi dia masih diam di tempat tidur karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan pagi ini.Dia ingin keluar untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tapi dia tahu kalau Fahmi masih ada di rumah. Karena dia tidak mau melihat suaminya lah, dia enggan beranjak dari kamar.Pun ketika si bungsu bangun dan minta ke kamar mandi untuk pipis, Tiara malah menyuruh anak yang masih berumur tiga tahun itu keluar dari kamar.“Ada Nenek di belakang. Pipis sendiri, ya!”Tayana yang belum tahu ada apa dengan orang tuanya itu dengan patuh turun dari tempat tidur dan dengan langkahnya yang menggemaskan langsung berlari ke luar.Pintu kamar terbuka. Fahmi yang masih duduk di ruang tengah usai sholat subuh langsung menangkap sesosok anak kecil yang lucu dan menggemaskan berlari menuju ke dapur.Tanaya sempat menahan langkahnya karena melihat Fahmi. Ketika Fahmi mengulurkan kedua tangannya dan ingin menangkapnya, secara refleks anak itu menghindar.“Nenek!” dia lan
“Tiara tidak akan melakukannya, Ma!” kata Fahmi dengan begitu yakinnya setelah keduanya diam cukup lama.Bu Nur benar-benar takut akan hal ini. Apa yang sudah dicapai Fammi dengan bersusah payah akan lepas begitu saja jika apa yang dia pikirkan itu terjadi. Dan Bu Nur rasa, perkara ini belum disadari oleh Fahmi, Melly dan keluarganya.“Kenapa tidak? Dia memang pendiam dan sangat patuh pada kau dan Mama. Tapi kalau dia sakit hati, apa kau bisa jamin dia tidak melakukan itu untuk menghancurkan kau dan Melly?”“Jika kau pengangguran dan tanggunaganmu juga banyak, apa kau pikir Melly masih mau denganmu? Kau tidak hanya akan kehilangan pekerjaanmu tapi kau akan kehilangan istri-istrimu,”“Ma, itu tidak akan terjadi. Percayalah!”“Tiara tidak sejahat itu!”Meskipun hatinya gentar mendengar apa yang dikatakan Mamanya, dia tetap berusaha agar Mamanya tidak panik. Jujur, dia tidak berpikir sampai ke sana karena yang dia tahu, Tiara itu anak yang patuh dan dia juga tidak faham dengan urusan ya
Bu Nur dan ibunya Tiara itu berteman baik. Rekan satu profesi dan punya nasib yang sama dalam membina rumah tangga. Sama seperti Bu Nur, Papanya Tiara juga meninggalkan ibunya demi wanita lain. Entah dimana dia sekarang, Tiara juga tidak tahu keberadaan ayah kadungnya itu.Bu Nur juga yang punya ide menjodohkan Fahmi dan Tiara. Saat Mamanya Tiara pensiun dan memilih kembali ke kampung, mereka menikahkan anak-anaknya. Jadi Tiara tinggal di rumah Bu Nur bersama suaminya.“Ma, aku tidak akan menceraikan Tiara. Aku akan tetap memenuhi kebutuhan dia dan juga anak-anak. Makanya aku ijinkan Melly membuaka usaha. Ada lima kepala yang harus aku hidupi dan sebentar lagi anak Melly lahir. Itu semua tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gaji aku sebagai PNS, Ma!”“Iya, Mama tahu,”Bu Nur mengangguk.“Tapi penghasilan PNS daerah dengan di sini kan beda. Selain gaji pokok dan tunjangan anak istri, kau juga akan mendapat tunjangan kerja dari pemda, bisa dua kali lipat dari gajimu. Belum lagi ua
"Fahmi, apa yang dikatakan Tiara benar. Kau belum nemuin anak-anakmu, kan? Malam ini, tidurlah di rumah!" Bu Nur ikut memintanya karena dia rasa, Fahmi seperti tidak peduli dengan ketiga anaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, padahal mereka tidak bertemu selama empat tahun, apa dia tidak kangen dengan Fattan,Fadlan, dan Tanaya ?Bu Nur jadi khawatir sendiri dengan kondisi anaknya. Tapi bagaimana pun juga, Fahmi itu anak kandungnya. Dia tidak berani berpikir yang macam-macam.Bu Nung sudah duduk di bangku belakang segera menurunkan kaca di sampingnya. Melly yang ada di sebelahnya juga ikut memanjangkan lehernya ke Bu Nur."Fahmi harus menemani Mama Nung dan Melly, Ma. Meskipun tinggal di hotel tapi tidak ada yang mereka kenal di kota ini selain aku,""Mama tahu, tapi kau juga harus adil dengan anakmu. Ingat, mereka tidak salah apa-apa. Jangan hukum mereka dengan sikap tidak pedulimu,"Melihat perdebatan ibu dan anak itu, membuat Bu Nung merasa tidak enak hati.Dia langsung menengahi
"Terserah apa yang kau pikirkan tentang anakku dan Fahmi. Saya ke sini hanya menjalankan kewajiban saya sebagai orang tua. Ketika anaknya akan ikut suaminya, saya sebagai orang tua tunggal dari Melly harus memastikan di mana dia akan tinggal. Itu saja,""Tiara, jangan bersikap kasar pada mertuaku. Apa yang dikatakan Bu Ning, semuanya benar. Kodisi aku memang seperti yang beliau ceritakan. Apa yang terjadi di sana, tidak seperti yang aku pikirkan. Kampung tempat aku mengajar benar-benar terpencil. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa satu kilo. Jalan masih tanah, kalau hujan jadi kubangan. Anak yang sekolah di tempat itu juga cuma beberapa orang saja, kalau hujan malah tidak ada yang datang. Aku yakin, jika kau jadi aku, kau juga tidak akan betah di sana. Aku sudah terlanjur mengambil keputusan dan demi tanggung jawab aku sebagai pria yang akan menafkahi keluarganya, aku harus menjalani itu semua. Aku salah, awalnya aku hanya ingin memanfaatkan kebaikan Bu Ning tapi sia