"Terserah apa yang kau pikirkan tentang anakku dan Fahmi. Saya ke sini hanya menjalankan kewajiban saya sebagai orang tua. Ketika anaknya akan ikut suaminya, saya sebagai orang tua tunggal dari Melly harus memastikan di mana dia akan tinggal. Itu saja,"
"Tiara, jangan bersikap kasar pada mertuaku. Apa yang dikatakan Bu Ning, semuanya benar. Kodisi aku memang seperti yang beliau ceritakan. Apa yang terjadi di sana, tidak seperti yang aku pikirkan. Kampung tempat aku mengajar benar-benar terpencil. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa satu kilo. Jalan masih tanah, kalau hujan jadi kubangan. Anak yang sekolah di tempat itu juga cuma beberapa orang saja, kalau hujan malah tidak ada yang datang. Aku yakin, jika kau jadi aku, kau juga tidak akan betah di sana. Aku sudah terlanjur mengambil keputusan dan demi tanggung jawab aku sebagai pria yang akan menafkahi keluarganya, aku harus menjalani itu semua. Aku salah, awalnya aku hanya ingin memanfaatkan kebaikan Bu Ning tapi siapa sangka aku jatuh cinta dengan anak gadisnya. Aku ini pria normal, kebutuhan biologis aku bisa terpenuhi setelah aku menikah Melly secara sah. Jika itu sebuah kesalahan yang besar, aku yang paling patut kau salahkan. Hukum saja aku daripada kau terus menerus memojokkan Melly dan ibunya,"
"Sudah....sudah!" Bu Nur langsung melerai ketika Tiara ingin menyerang kata-kata suaminya. Dia tidak mau keributan ini membuat semuanya jadi berantakan.
"Kalau cari siapa yang salah, aku orangnya. Aku sebagai ibunya Fahmi tidak bisa mendidik anak dengan baik. Aku mengizinkan Fahmi pergi ketika dia lulus PNS di daerah terpencil karena dengan cara itu dia bisa menjadi pegawai tetap. Sebagai jembatan agar dia bisa punya karir ke depannya. Aku juga salah ketika tidak mengizinkan Tiara ikut karena yang aku pikir, bagaimana anak dan cucuku hidup di tempat yang jauh dari keramaian," suara Bu Nur makin parau karena Isak yang ditahannya sekuat mungkin.
"Aku yang salah, jadi hukum saja aku jika ini bisa menyelesaikan masalah,"
"Bu Nur tidak salah. Sebagai orang tua, saya juga akan melakukan itu jika itu adalah jalan satu-satunya bagi anakku untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Aku juga salah, andai aku selidiki dulu siapa Fahmi jauh sebelum menikah, semua tidak akan terjadi. Fahmi anak yang baik, dia sangat sopan dan jelas dimana kerja meskipun aku belum tahu siapa orang tuanya. Karena aku pikir dia hanya sementara saja di sana,aku tidak masalah mereka menikah dibawah tangan daripada pacaran. Begitu Fahmi kembali ke daerahnya, barulah nikah secara sah dan bikin pesta besar-besaran. Melly itu anak saya satu-satunya jadi itu yang aku pikirkan waktu itu. Tapi kenyataannya tidak seindah yang aku pikirkan, kalau sudah begini, apa adil memisahkan anakku dengan suaminya padahal dalam agama yang kita anut, pernikahan ini tidak salah, kan?"
"Baiklah, semua sudah terjadi. Melly sekarang sudah menjadi menantu saya dan dia juga sedang mengandung anaknya Fahmi. Jadi kalau Fahmi ingin mengajak Melly tinggal di sini, aku tidak melarang. Tiara juga harus menerimanya. Suka atau tidak, ini adalah perintah."
Setelah mendapatkan penjelasan yang panjang lebar dari Bu Nung, Bu Nur akhirnya tahu kalau anaknya yang kurang ajar.
Karena tidak mau hidup susah di rantau, dia memanfaatkan Melly dan kekayaan ibunya untuk mewujudkan impiannya.
Ternyata sekarang ini Fahmi sudah resmi diterima sebagai guru olahraga di salah satu SMA unggulan di jakarta, di sekolah tempat dia honor waktu itu karena koneksi dan modal Bu Nung yang tidak sedikit jumlahnya. Jadi sangat wajar jika Melly ingin ikut suaminya setelah apa yang dikorbankan oleh keluarganya untuk Fahmi.
"Terima kasih, Bu!"
"Kenapa Bu Nung berkata begitu?. Ini salah anak saya, harusnya saya yang berterima kasih karena sudah membuat ibu repot,”
Bu Nur akhirnya sadar kalau semua terjadi karena kesalahan anaknya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima Melly dengan tangan terbuka.
"Aku sudah putuskan. Kamar depan akan menjadi kamarnya Melly," Fahmi langsung menyambung omongan.
"Jadi aku yang harus pindah kamar?" tanya Tiara dengan bibir yang gemetar.
"Maafkan aku. Tidak mungkin jika aku membongkar rumah ini karena butuh dana yang tidak sedikit. Karena Melly yang akan merehab kamar, jadi hanya kamar depan yang paling mungkin di renovasi. Rencananya kamar itu akan kami buat dua lantai. Yang bawah untuk usaha warung makan dan yang atas buat tidur. Melly sudah terbiasa sibuk, jadi dia mau coba-coba buka usaha, Ma. Kamar depan kan menghadap ke jalan dan di sekitar kita cukup ramai. Apa salahnya kita coba karena belum ada yang buka usaha warung makan di sekitar sini, kan?"
Bu Ning diam. Dia lagi-lagi dibuat kaget dengan rencana Fahmi yang mendadak ini. Tanpa kompromi dengannya, dia sudah mengambil keputusan sendiri.
"Silahkan saja. Dulu, waktu kau masih kecil, kamar depan itu bekas warung sembako. Ayahmu yang buka usaha sejak dipecat dari Pertamina,"
Fahmi tau itu. Dia masih ingat, saat orang tuanya masih bersama, kamar depan itu memang toko yang dikelola oleh Ayahnya. Usahanya ramai tapi karena ayahnya tidak kerja kantoran, tidak pernah mengunakan seragam yang rapi seperti pegawai pada umumnya, seperti Mamanya yang seorang guru, keduanya suka ribut.
Fahmi ingat betul kalau keduanya sering bertengkar hanya karena ayahnya tidak mau disalahkan terus menerus.
Sudah mengurus rumah, cuci gosok disela-sela melayani pembeli. Belum lagi antar jemput Fahmi yang saat itu masih SD, tapi masih saja dianggap tidak berguna oleh Mamanya.
Fahmi sampai lupa, kapan ayahnya pergi karena toko itu akhirnya tutup dengan sendirinya. Setelah isinya habis, disulap jadi kamar oleh Mamanya.
"Bu Nur, saya minta maaf sebelumnya karena sepertinya Fahmi belum bilang tentang rencana ini. Tapi jika ibu keberatan,saya akan cari toko yang bisa disewa oleh Melly. Saya pikir, kalau dia punya usaha, dia bisa mandiri dan tidak bergantung dengan pendapatan suami. Jadi, Melly dan anaknya tidak akan mengambil jatah Tiara dan anak-anaknya, kan?"
"Iya, silahkan saja jika kalian sudah rembukan masalah ini. Saya tidak keberatan. Jadi untuk sementara waktu, Tiara akan tinggal di kamar belakang dengan ....,"
Kesepakatan pun terjadi meskipun sangat tidak adil bagi Tiara yang notabene sebagai istri pertama Fahmi.
Tapi apa boleh buat. Tiara hanya menumpang di rumah ini, keputusan apa yang diambil oleh ibu mertuanya, dia harus terima.
Karena sudah tidak ada yang mau dibahas lagi dan hari juga sudah mulai larut, akhirnya Bu Nung pamit. Dia mau kembali ke hotel tempatnya menginap.
Tiara pikir, Melly dan suaminya akan tinggal. Mereka hanya ingin mengantar Bu Nung sampai naik ke mobilnya.
Tapi ketika melihat Fahmi tidak mengantar ibunya Melly tapi dia sudah membuka pintu di samping sopir, Tiara langsung menahannya.
"Aku bisa terima jika kau perlakukan aku dengan kejam seperti ini. Tapi apa kau tidak punya hati nurani, Mas. Kau punya anak, apa tidak mau menyapa mereka?"
"Fahmi, apa yang dikatakan Tiara benar. Kau belum nemuin anak-anakmu, kan? Malam ini, tidurlah di rumah!" Bu Nur ikut memintanya karena dia rasa, Fahmi seperti tidak peduli dengan ketiga anaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, padahal mereka tidak bertemu selama empat tahun, apa dia tidak kangen dengan Fattan,Fadlan, dan Tanaya ?Bu Nur jadi khawatir sendiri dengan kondisi anaknya. Tapi bagaimana pun juga, Fahmi itu anak kandungnya. Dia tidak berani berpikir yang macam-macam.Bu Nung sudah duduk di bangku belakang segera menurunkan kaca di sampingnya. Melly yang ada di sebelahnya juga ikut memanjangkan lehernya ke Bu Nur."Fahmi harus menemani Mama Nung dan Melly, Ma. Meskipun tinggal di hotel tapi tidak ada yang mereka kenal di kota ini selain aku,""Mama tahu, tapi kau juga harus adil dengan anakmu. Ingat, mereka tidak salah apa-apa. Jangan hukum mereka dengan sikap tidak pedulimu,"Melihat perdebatan ibu dan anak itu, membuat Bu Nung merasa tidak enak hati.Dia langsung menengahi
Bu Nur dan ibunya Tiara itu berteman baik. Rekan satu profesi dan punya nasib yang sama dalam membina rumah tangga. Sama seperti Bu Nur, Papanya Tiara juga meninggalkan ibunya demi wanita lain. Entah dimana dia sekarang, Tiara juga tidak tahu keberadaan ayah kadungnya itu.Bu Nur juga yang punya ide menjodohkan Fahmi dan Tiara. Saat Mamanya Tiara pensiun dan memilih kembali ke kampung, mereka menikahkan anak-anaknya. Jadi Tiara tinggal di rumah Bu Nur bersama suaminya.“Ma, aku tidak akan menceraikan Tiara. Aku akan tetap memenuhi kebutuhan dia dan juga anak-anak. Makanya aku ijinkan Melly membuaka usaha. Ada lima kepala yang harus aku hidupi dan sebentar lagi anak Melly lahir. Itu semua tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gaji aku sebagai PNS, Ma!”“Iya, Mama tahu,”Bu Nur mengangguk.“Tapi penghasilan PNS daerah dengan di sini kan beda. Selain gaji pokok dan tunjangan anak istri, kau juga akan mendapat tunjangan kerja dari pemda, bisa dua kali lipat dari gajimu. Belum lagi ua
“Tiara tidak akan melakukannya, Ma!” kata Fahmi dengan begitu yakinnya setelah keduanya diam cukup lama.Bu Nur benar-benar takut akan hal ini. Apa yang sudah dicapai Fammi dengan bersusah payah akan lepas begitu saja jika apa yang dia pikirkan itu terjadi. Dan Bu Nur rasa, perkara ini belum disadari oleh Fahmi, Melly dan keluarganya.“Kenapa tidak? Dia memang pendiam dan sangat patuh pada kau dan Mama. Tapi kalau dia sakit hati, apa kau bisa jamin dia tidak melakukan itu untuk menghancurkan kau dan Melly?”“Jika kau pengangguran dan tanggunaganmu juga banyak, apa kau pikir Melly masih mau denganmu? Kau tidak hanya akan kehilangan pekerjaanmu tapi kau akan kehilangan istri-istrimu,”“Ma, itu tidak akan terjadi. Percayalah!”“Tiara tidak sejahat itu!”Meskipun hatinya gentar mendengar apa yang dikatakan Mamanya, dia tetap berusaha agar Mamanya tidak panik. Jujur, dia tidak berpikir sampai ke sana karena yang dia tahu, Tiara itu anak yang patuh dan dia juga tidak faham dengan urusan ya
Tiara sudah bangun sejak jam lima pagi tapi dia masih diam di tempat tidur karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan pagi ini.Dia ingin keluar untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tapi dia tahu kalau Fahmi masih ada di rumah. Karena dia tidak mau melihat suaminya lah, dia enggan beranjak dari kamar.Pun ketika si bungsu bangun dan minta ke kamar mandi untuk pipis, Tiara malah menyuruh anak yang masih berumur tiga tahun itu keluar dari kamar.“Ada Nenek di belakang. Pipis sendiri, ya!”Tayana yang belum tahu ada apa dengan orang tuanya itu dengan patuh turun dari tempat tidur dan dengan langkahnya yang menggemaskan langsung berlari ke luar.Pintu kamar terbuka. Fahmi yang masih duduk di ruang tengah usai sholat subuh langsung menangkap sesosok anak kecil yang lucu dan menggemaskan berlari menuju ke dapur.Tanaya sempat menahan langkahnya karena melihat Fahmi. Ketika Fahmi mengulurkan kedua tangannya dan ingin menangkapnya, secara refleks anak itu menghindar.“Nenek!” dia lan
Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. “Aku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,” “Ma, rendang yang sekilo tadi mana?” Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. “Ini rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,” katanya saat membuka kotak yang pertama. “Ini ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,” “Ada empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
“Fattan, makan yang banyak biar sehat!” seru Melly ketika melihat anak sulung suaminya itu makan dengan lahapnya. Satu porsi bubur ayam lengkap ditambah satu potong paha ayam goreng, habis dilahapnya dalam beberapa detik saja. Melly terlihat sangat senang. Meskipun anak-anaknya Fahmi masih cangcung dengannya tapi mereka tidak malu-malu makan bersama dirinya. “Mau nambah?” Fattan menggeleng dengan ragu. Dia menolak tawaran itu bukan karena sudah kenyang tapi karena tidak biasa makan dalam porsi yang banyak. Setiap makan, baik Nenek maupun Mamanya selalu membagi-bagi lauk untuknya dan kedua adiknya. Selama ini mereka berlima hidup hanya mengandalkan uang pensiun Bu Nur saja. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu harus dibagi-bagi untuk uang susu dan kebutuhan lainnya. Sudah bisa ditebak, bagaimana menu yang terhidang di meja ini setiap harinya. Yang Fattan ingat, seumur-umur dia belum pernah makan semewah ini. Tiara tidak punya uang sendiri, dia juga tidak pernah mengajak anaknya
“Tia, Kau mau ke mana?” tanya Bu nur sekali lagi. Dia khawatir kalau anak menantunya itu tidak mendengar pertanyaannya, jadi dia mengulanginya sekali lagi. “Aku mau ke wartel, Ma!” “Ke wartel?” Bu Nur makin kaget. Seumur-umur Tiara belum pernah pergi ke tempat seperti itu. Kalau dia mau gobrol sama Mamanya, kalau tidak menggunakan telpon rumah, pasti menggunakan HP jadulnya. “Ada seseorang yang mau aku telpon,” sahut Tiara. Dia menyebut seseorang dan Bu Nur tahu kalau Tiara tidak mau menyebut identitasnya. Karena situasinya tidak mungkin untuk bertanya lebih banyak, Bu Nur akhirnya membiarkan Tiara yang pergi seorang diri saja. Anak-anak sedang berbagi makanan yang dibawa oleh Melly,jadi tidak ada yang sadar kalau Tiara pergi. Termasuk Tanaya yang biasanya tidak bisa tinggal dari Tiara, kini sibuk dengan coklat batangan yang dibagi untuknya. Meskipun sedih, Tiara merasa diuntungkan juga. Jadi dia bisa pergi sebentar tanpa anak-anak untuk melepaskan kepenatan yang membuat kepalany
“Apa itu?” selidik ibunay tidak sabar. “Kau bukin ibu deg-degan aja, sayang!” “Mas Fahmi tidak hanya pulang, Bu. Tapi dia sudah mengurus mutasinya ke Jakarta,” “Oh….cepet sekali!” tidak bisa dipungkiri, Bu Dahlia sangat terkejut mendengan berita ini. “Dia baru empat tahun jadi PNS, bulan depan pas tapi sudah mengurus pindah. Fahmi benar-benar hebat, kau tidak salah memilih suami, sayang,” Tiara terdiam. Dia bingung harus menanggapi apa. “PAdahal Ibu baru saja kepikiran soal itu. Ibu ga tega melihat kau jauh dari Fahmi. Mungkin karena niatnya yang begitu kuat untuk kumpul kembali keluarga, agar ga sering- sering meninggalkan kalian, dia bekerja dengan giat mengumpulkan uang untuk mengurus kepindahan ini. Tia, Ibu benar-benar terharu. Fahmi itu sama seperti ayahnya, pria yang ulet mencari nafkah untuk keluarga. Kau harus menghargai pengorbanan dia. Jangan ungkit kenapa dia tidak pernah memberi kaba r karena kita sudah tahu jawabannya,” “Iya, Ma,” sahutnya lesu. Tadinya Tiara ing
“Apa itu?” selidik ibunay tidak sabar. “Kau bukin ibu deg-degan aja, sayang!” “Mas Fahmi tidak hanya pulang, Bu. Tapi dia sudah mengurus mutasinya ke Jakarta,” “Oh….cepet sekali!” tidak bisa dipungkiri, Bu Dahlia sangat terkejut mendengan berita ini. “Dia baru empat tahun jadi PNS, bulan depan pas tapi sudah mengurus pindah. Fahmi benar-benar hebat, kau tidak salah memilih suami, sayang,” Tiara terdiam. Dia bingung harus menanggapi apa. “PAdahal Ibu baru saja kepikiran soal itu. Ibu ga tega melihat kau jauh dari Fahmi. Mungkin karena niatnya yang begitu kuat untuk kumpul kembali keluarga, agar ga sering- sering meninggalkan kalian, dia bekerja dengan giat mengumpulkan uang untuk mengurus kepindahan ini. Tia, Ibu benar-benar terharu. Fahmi itu sama seperti ayahnya, pria yang ulet mencari nafkah untuk keluarga. Kau harus menghargai pengorbanan dia. Jangan ungkit kenapa dia tidak pernah memberi kaba r karena kita sudah tahu jawabannya,” “Iya, Ma,” sahutnya lesu. Tadinya Tiara ing
“Tia, Kau mau ke mana?” tanya Bu nur sekali lagi. Dia khawatir kalau anak menantunya itu tidak mendengar pertanyaannya, jadi dia mengulanginya sekali lagi. “Aku mau ke wartel, Ma!” “Ke wartel?” Bu Nur makin kaget. Seumur-umur Tiara belum pernah pergi ke tempat seperti itu. Kalau dia mau gobrol sama Mamanya, kalau tidak menggunakan telpon rumah, pasti menggunakan HP jadulnya. “Ada seseorang yang mau aku telpon,” sahut Tiara. Dia menyebut seseorang dan Bu Nur tahu kalau Tiara tidak mau menyebut identitasnya. Karena situasinya tidak mungkin untuk bertanya lebih banyak, Bu Nur akhirnya membiarkan Tiara yang pergi seorang diri saja. Anak-anak sedang berbagi makanan yang dibawa oleh Melly,jadi tidak ada yang sadar kalau Tiara pergi. Termasuk Tanaya yang biasanya tidak bisa tinggal dari Tiara, kini sibuk dengan coklat batangan yang dibagi untuknya. Meskipun sedih, Tiara merasa diuntungkan juga. Jadi dia bisa pergi sebentar tanpa anak-anak untuk melepaskan kepenatan yang membuat kepalany
“Fattan, makan yang banyak biar sehat!” seru Melly ketika melihat anak sulung suaminya itu makan dengan lahapnya. Satu porsi bubur ayam lengkap ditambah satu potong paha ayam goreng, habis dilahapnya dalam beberapa detik saja. Melly terlihat sangat senang. Meskipun anak-anaknya Fahmi masih cangcung dengannya tapi mereka tidak malu-malu makan bersama dirinya. “Mau nambah?” Fattan menggeleng dengan ragu. Dia menolak tawaran itu bukan karena sudah kenyang tapi karena tidak biasa makan dalam porsi yang banyak. Setiap makan, baik Nenek maupun Mamanya selalu membagi-bagi lauk untuknya dan kedua adiknya. Selama ini mereka berlima hidup hanya mengandalkan uang pensiun Bu Nur saja. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu harus dibagi-bagi untuk uang susu dan kebutuhan lainnya. Sudah bisa ditebak, bagaimana menu yang terhidang di meja ini setiap harinya. Yang Fattan ingat, seumur-umur dia belum pernah makan semewah ini. Tiara tidak punya uang sendiri, dia juga tidak pernah mengajak anaknya
Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. “Aku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,” “Ma, rendang yang sekilo tadi mana?” Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. “Ini rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,” katanya saat membuka kotak yang pertama. “Ini ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,” “Ada empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
Tiara sudah bangun sejak jam lima pagi tapi dia masih diam di tempat tidur karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan pagi ini.Dia ingin keluar untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tapi dia tahu kalau Fahmi masih ada di rumah. Karena dia tidak mau melihat suaminya lah, dia enggan beranjak dari kamar.Pun ketika si bungsu bangun dan minta ke kamar mandi untuk pipis, Tiara malah menyuruh anak yang masih berumur tiga tahun itu keluar dari kamar.“Ada Nenek di belakang. Pipis sendiri, ya!”Tayana yang belum tahu ada apa dengan orang tuanya itu dengan patuh turun dari tempat tidur dan dengan langkahnya yang menggemaskan langsung berlari ke luar.Pintu kamar terbuka. Fahmi yang masih duduk di ruang tengah usai sholat subuh langsung menangkap sesosok anak kecil yang lucu dan menggemaskan berlari menuju ke dapur.Tanaya sempat menahan langkahnya karena melihat Fahmi. Ketika Fahmi mengulurkan kedua tangannya dan ingin menangkapnya, secara refleks anak itu menghindar.“Nenek!” dia lan
“Tiara tidak akan melakukannya, Ma!” kata Fahmi dengan begitu yakinnya setelah keduanya diam cukup lama.Bu Nur benar-benar takut akan hal ini. Apa yang sudah dicapai Fammi dengan bersusah payah akan lepas begitu saja jika apa yang dia pikirkan itu terjadi. Dan Bu Nur rasa, perkara ini belum disadari oleh Fahmi, Melly dan keluarganya.“Kenapa tidak? Dia memang pendiam dan sangat patuh pada kau dan Mama. Tapi kalau dia sakit hati, apa kau bisa jamin dia tidak melakukan itu untuk menghancurkan kau dan Melly?”“Jika kau pengangguran dan tanggunaganmu juga banyak, apa kau pikir Melly masih mau denganmu? Kau tidak hanya akan kehilangan pekerjaanmu tapi kau akan kehilangan istri-istrimu,”“Ma, itu tidak akan terjadi. Percayalah!”“Tiara tidak sejahat itu!”Meskipun hatinya gentar mendengar apa yang dikatakan Mamanya, dia tetap berusaha agar Mamanya tidak panik. Jujur, dia tidak berpikir sampai ke sana karena yang dia tahu, Tiara itu anak yang patuh dan dia juga tidak faham dengan urusan ya
Bu Nur dan ibunya Tiara itu berteman baik. Rekan satu profesi dan punya nasib yang sama dalam membina rumah tangga. Sama seperti Bu Nur, Papanya Tiara juga meninggalkan ibunya demi wanita lain. Entah dimana dia sekarang, Tiara juga tidak tahu keberadaan ayah kadungnya itu.Bu Nur juga yang punya ide menjodohkan Fahmi dan Tiara. Saat Mamanya Tiara pensiun dan memilih kembali ke kampung, mereka menikahkan anak-anaknya. Jadi Tiara tinggal di rumah Bu Nur bersama suaminya.“Ma, aku tidak akan menceraikan Tiara. Aku akan tetap memenuhi kebutuhan dia dan juga anak-anak. Makanya aku ijinkan Melly membuaka usaha. Ada lima kepala yang harus aku hidupi dan sebentar lagi anak Melly lahir. Itu semua tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gaji aku sebagai PNS, Ma!”“Iya, Mama tahu,”Bu Nur mengangguk.“Tapi penghasilan PNS daerah dengan di sini kan beda. Selain gaji pokok dan tunjangan anak istri, kau juga akan mendapat tunjangan kerja dari pemda, bisa dua kali lipat dari gajimu. Belum lagi ua
"Fahmi, apa yang dikatakan Tiara benar. Kau belum nemuin anak-anakmu, kan? Malam ini, tidurlah di rumah!" Bu Nur ikut memintanya karena dia rasa, Fahmi seperti tidak peduli dengan ketiga anaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, padahal mereka tidak bertemu selama empat tahun, apa dia tidak kangen dengan Fattan,Fadlan, dan Tanaya ?Bu Nur jadi khawatir sendiri dengan kondisi anaknya. Tapi bagaimana pun juga, Fahmi itu anak kandungnya. Dia tidak berani berpikir yang macam-macam.Bu Nung sudah duduk di bangku belakang segera menurunkan kaca di sampingnya. Melly yang ada di sebelahnya juga ikut memanjangkan lehernya ke Bu Nur."Fahmi harus menemani Mama Nung dan Melly, Ma. Meskipun tinggal di hotel tapi tidak ada yang mereka kenal di kota ini selain aku,""Mama tahu, tapi kau juga harus adil dengan anakmu. Ingat, mereka tidak salah apa-apa. Jangan hukum mereka dengan sikap tidak pedulimu,"Melihat perdebatan ibu dan anak itu, membuat Bu Nung merasa tidak enak hati.Dia langsung menengahi
"Terserah apa yang kau pikirkan tentang anakku dan Fahmi. Saya ke sini hanya menjalankan kewajiban saya sebagai orang tua. Ketika anaknya akan ikut suaminya, saya sebagai orang tua tunggal dari Melly harus memastikan di mana dia akan tinggal. Itu saja,""Tiara, jangan bersikap kasar pada mertuaku. Apa yang dikatakan Bu Ning, semuanya benar. Kodisi aku memang seperti yang beliau ceritakan. Apa yang terjadi di sana, tidak seperti yang aku pikirkan. Kampung tempat aku mengajar benar-benar terpencil. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa satu kilo. Jalan masih tanah, kalau hujan jadi kubangan. Anak yang sekolah di tempat itu juga cuma beberapa orang saja, kalau hujan malah tidak ada yang datang. Aku yakin, jika kau jadi aku, kau juga tidak akan betah di sana. Aku sudah terlanjur mengambil keputusan dan demi tanggung jawab aku sebagai pria yang akan menafkahi keluarganya, aku harus menjalani itu semua. Aku salah, awalnya aku hanya ingin memanfaatkan kebaikan Bu Ning tapi sia