Sikap ibunya Melly yang ramah dan sopan, membuat Bu Nur menyambut mereka dengan ramah.
Tiara juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika wanita yang sepantaran mertuanya itu menyalaminya, dia juga mengulurkan tangannya dan berusaha tersenyum.
"Tiara, senang bertemu denganmu!"
Akhirnya mereka semua berkumpul di ruang tamu. Kini Tiara baru tahu, ternyata Mas Fahmi dan Melly sempat tidak terlihat beberapa saat, ternyata menjemput wanita ini.
Bersama mereka ada seorang pria lain tapi entah kenapa tidak ikut masuk. Pria itu hanya duduk di teras.
"Sebenarnya kami sudah sampai di Jakarta pagi tadi tapi karena perjalanan jauh dan Fahmi juga bilang kalau dia belum kasih tahu ke ibu kalau mau pulang hari ini, jadi saya putuskan untuk istirahat di hotel,"
"Oh.. begitu. Kenapa harus ke hotel segala Fahmi? Kalau kau bilang lebih awal, mama bisa beres-beres. Kita punya empat kamar. Bisa kok kalau hanya untuk istirahat saja,"
"Terimakasih Bu Nur. Saya tidak mau merepotkan. Apalagi dengan kondisi yang sekarang ini,saya sepertinya harus tinggal beberapa hari sampai Melly bisa ditinggal. Tidak mungkin juga saya menginap di sini, kan?" Katanya. Secara tidak sadar wanita itu melihat kondisi rumah Bu Nur dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak.
Bu Nur terlihat biasa-biasa saja. Beda dengan Tiara. Menurutnya, apa yang dilakukan wanita itu sangat meremehkan kondisi rumah ini.
"Heh ... sombong sekali orang ini. Sekaya apapun dia di kampung, tetap tidak bisa meremehkan Mama. Rumah ini memang sudah tua dan kurang terawat. Tapi apa mereka tidak tahu, jika rumah seperti ini harganya ga main-main di Jakarta. Bisa buat beli setengah lusin mobil seperti yang mereka pakai," gerutu Tiara tak berkesudahan.
"Ma, selain ga mau merepotkan kita, Mama Nung ga bisa tidur umpel-umpelan. Jadi aku rasa, tak apa Mama Nung di hotel. Deket juga kok dari sini, hotel Cempaka Baru yang ada di jalan B itu, Ma,"
"Ehem....,"
Bu Nung yang sedang jadi bahan pembicaraan antara ibu dan anak itu langsung berdehem. Dia tidak mau berbasa-basi terlalu lama karena tidak nyaman melihat ekspresi Taira yang tidak suka akan kehadirannya di sini.
"Jadi begini, Bu Nur. Intinya tidak masalah saya tinggal dimana karena niat saya ke Jakarta ini hanya untuk mengantar Melly pada keluarga suaminya," kata Bu Nung. Saat bicara dia menatap Melly yang duduk di samping Fahmi, anak menantunya.
"Ya, Fahmi sudah bilang tadi,"
"Bu, Mas Fahmi itu suami saya dan kami sudah punya tiga anak. Kenapa ibu menikahkan anak ibu dengan laki-laki yang punya keluarga? Apa tidak ada laki-laki lain, apa?" sela Tiara yang mengagetkan semua orang. Dia tidak bisa terus-terusan membungkam melihat bagaimana perlakuan Mas Fahmi yang sangat aneh itu.
Dia kesal dengan sikap suaminya. Masa sejak datang sampai sekarang, dia tidak menyapa dirinya sama sekali. Padahal, saat dia pergi tiga tahun yang lalu, tidak ada masalah dengan hubungan mereka. Semua baik-baik saja
"Saya ke sini juga ingin menjelaskan masalah ini. Tadi Melly bilang kalau kau menuduhnya sebagai pelakor. Ini salah faham, saya harus meluruskannya agar Dek Tiara dan juga Bu Nur tidak salah faham dengan Melly,"
"Salah faham bagaimana, Bu?" Sergah Taira.
"Sudah jelas suami saya menikahi anak ibu diam-diam. Saya dan juga ibunya juga tidak tahu, bisa-bisanya ibu bilang begitu,"
"Bisa saya jelaskan?" tanya Bu Nung tak mau kalah.
"Kalau Dek Tiara terus bicara, kapan saya kebagian ngomong,"
"Heh?" Tiara langsung mendelik.
"Bisa-bisanya dia bilang begitu di depan istri sah menantunya?" Gerutu Tiara. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan wanita yang sudah menjadi mertua dari suaminya itu.
"Tiara, ibu mohon. Dengarkan mereka dulu, Nak!"
Kini Bu Nur yang angkat suara. Tiara akhirnya tidak bisa berkata-kata.
"Empat tahun yang lalu, Fahmi datang ke kampung kami. Saya inget betul, hari Minggu tepatnya. Dia cari tempat tinggal karena tidak betah tinggal di perumahan dinas yang ada di sekolahan tempat dia mengajar. Selain airnya keruh, listrik nyalanya dari jam lima sore sampai jam enam pagi. Begitu katanya,"
"Iya, Ma. Di sana juga susah cari makan. Ga ada yang jualan. Pasar juga hanya ada sepekan sekali, itu juga jualannya cuma perabot ala kadarnya dan pakaian obralan,"
Bu Nur terhenyak. Dia tidak menyangka kalau anaknya akan tinggal di daerah seperti itu.
Waktu itu, Fahmi bisa lulus PNS sebagai guru sudah membuatnya senang karena upah yang dia terima sebagai guru honor di Jakarta sangat tidak manusiawi sekali.
Jadi tak apa Fahmi bersakit-sakit dahulu. Dari info yang dia dapat dari sana sini, konon PNS yang tugas di kepulauan terluar bisa pindah setelah empat tahun mengabdi.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana anak semata wayangnya waktu itu. Meskipun bukan dari keluarga yang serba berkecukupan tapi hidup Fahmi tidak susah-susah baget.
Selama ini dia selalu dilayani oleh ibunya. Mulai dari pakaian, makan, hingga kebutuhan lainnya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib anaknya waktu itu?
"Ya, saya kan buka warung makan di pusat perkebunan. Ada kos-kosan juga. Jadi, Fahmi menyewa salah satu kamar kos saya saat itu juga. Ibu tahu, ga. Berapa jarak tempat kos Fahmi dengan sekolah tempat dia mengajar?"
Bu Nur langsung menggelengkan kepalanya.
"75 km, Bu. Naik motor bisa satu jam kalau ga musim hujan dan kalau kapal penyeberangan ga ramai,"
"Dusun banget ya tempatnya?" tanya Bu Nur keheranan.
"Begitulah, Ma. Kalau aku paksakan tinggal di sekolah, bisa mati aku. Gimana mau makan kalau warung ga ada? Kalau belanja di pasar pekan buat stok makanan, mau disimpan di mana? Listrik kalo siang mati, kulkas ga kepake disana,"
"Fahmi benar. Ibu juga jangan salah sangka, meskipun di kampung, bahan makanan mahal. Nasi, sayur plus lauk tahu tempe aja sudah tujuh ribu. Lebih mahal dari harga makanan di Jakarta. Namanya Kepulauan, sayur mayur ga semua bisa tumbuh. Saya sendiri kalau belanja buat warung, harus ke kota biar lebih murah. Kadang ke Malaysia kalau stok sembako dan kering-keringan menipis,"
"Kalau bukan karena kebaikan Bu Nung, mana bisa hidup? Mama tahu sendiri, PNS baru kan gajinya kecil. Karena di kampung , ga ada tunjangan apa-apa. Duit dua juta memang cukup besar dibanding yang aku terima saat masih jadi guru honor, tapi kebutuhan aku lebih banyak, Ma. Buat kos, makan, bensin, mana cukup. Untungnya Bu Nung minjamin aku motor, jadi aku ga keluar duit lagi,"
"Baik karena ada maunya. Dia tahu kalau Mas Fahmi itu PNS, dari kota lagi. Jadi dia menyebarkan kebaikan karena ingin menjodohkan Mas Fahmi sama anaknya, kan?" sela Tiara dengan kesal.
"Masa begitu aja ga ngerti?"
"Tiara, jaga ucapanmu!"
"Kenapa?" tanya Tiara makin ketus. Dia kesal karena Fahmi sepertinya akan membela Melly dan ibunya.
"Tiara, saya tanya padamu dan jawab dengan jujur. Menurutmu saya membantu Fahmi karena punya rencana yang enggak baik padanya?"
"Begitu kenyataannya,"
Bu Nung tertawa. Hambar sekali? "Karena Fahmi itu guru PNS dan orang kota, gitu?"
Tiara hanya menanggapi dengan senyum yang dingin
"Kalau saya punya pikiran seperti itu, sudah pasti Melly akan punya banyak suami. Asal kau tahu, yang kos ditempat saya bukan orang sembarangan. Mulai dari PNS, pegawai kementerian, pejabat perkebunan, pertambangan dan masih banyak lagi. Bukan satu dua orang yang ingin saya jadikan mantu. Kalau kau pikir ini tentang uang, juga salah besar. Satu kamar saya sewakan satu juta dan saya punya 30 kamar. Hitung sendiri berapa yang saya dapat dari uang kontrakan. Belum lagi omset dari warung makan saya yang buka 24 jam. Gaji PNS itu ga ada apa-apanya buat saya. Apalagi buat Melly. Buat beli kosmetik anak saya aja ga cukup."
Tiara makin kesal mendengar kesombongan wanita itu. Dia yang sudah terlanjur tidak simpatik dengan Melly sejak awal, kembali bertanya dengan dingin.
"Lalu karena apa, ya? Mau bilang kalau semua itu karena cinta?"
"Terserah apa yang kau pikirkan tentang anakku dan Fahmi. Saya ke sini hanya menjalankan kewajiban saya sebagai orang tua. Ketika anaknya akan ikut suaminya, saya sebagai orang tua tunggal dari Melly harus memastikan di mana dia akan tinggal. Itu saja,""Tiara, jangan bersikap kasar pada mertuaku. Apa yang dikatakan Bu Ning, semuanya benar. Kodisi aku memang seperti yang beliau ceritakan. Apa yang terjadi di sana, tidak seperti yang aku pikirkan. Kampung tempat aku mengajar benar-benar terpencil. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa satu kilo. Jalan masih tanah, kalau hujan jadi kubangan. Anak yang sekolah di tempat itu juga cuma beberapa orang saja, kalau hujan malah tidak ada yang datang. Aku yakin, jika kau jadi aku, kau juga tidak akan betah di sana. Aku sudah terlanjur mengambil keputusan dan demi tanggung jawab aku sebagai pria yang akan menafkahi keluarganya, aku harus menjalani itu semua. Aku salah, awalnya aku hanya ingin memanfaatkan kebaikan Bu Ning tapi sia
"Fahmi, apa yang dikatakan Tiara benar. Kau belum nemuin anak-anakmu, kan? Malam ini, tidurlah di rumah!" Bu Nur ikut memintanya karena dia rasa, Fahmi seperti tidak peduli dengan ketiga anaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, padahal mereka tidak bertemu selama empat tahun, apa dia tidak kangen dengan Fattan,Fadlan, dan Tanaya ?Bu Nur jadi khawatir sendiri dengan kondisi anaknya. Tapi bagaimana pun juga, Fahmi itu anak kandungnya. Dia tidak berani berpikir yang macam-macam.Bu Nung sudah duduk di bangku belakang segera menurunkan kaca di sampingnya. Melly yang ada di sebelahnya juga ikut memanjangkan lehernya ke Bu Nur."Fahmi harus menemani Mama Nung dan Melly, Ma. Meskipun tinggal di hotel tapi tidak ada yang mereka kenal di kota ini selain aku,""Mama tahu, tapi kau juga harus adil dengan anakmu. Ingat, mereka tidak salah apa-apa. Jangan hukum mereka dengan sikap tidak pedulimu,"Melihat perdebatan ibu dan anak itu, membuat Bu Nung merasa tidak enak hati.Dia langsung menengahi
Bu Nur dan ibunya Tiara itu berteman baik. Rekan satu profesi dan punya nasib yang sama dalam membina rumah tangga. Sama seperti Bu Nur, Papanya Tiara juga meninggalkan ibunya demi wanita lain. Entah dimana dia sekarang, Tiara juga tidak tahu keberadaan ayah kadungnya itu.Bu Nur juga yang punya ide menjodohkan Fahmi dan Tiara. Saat Mamanya Tiara pensiun dan memilih kembali ke kampung, mereka menikahkan anak-anaknya. Jadi Tiara tinggal di rumah Bu Nur bersama suaminya.“Ma, aku tidak akan menceraikan Tiara. Aku akan tetap memenuhi kebutuhan dia dan juga anak-anak. Makanya aku ijinkan Melly membuaka usaha. Ada lima kepala yang harus aku hidupi dan sebentar lagi anak Melly lahir. Itu semua tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gaji aku sebagai PNS, Ma!”“Iya, Mama tahu,”Bu Nur mengangguk.“Tapi penghasilan PNS daerah dengan di sini kan beda. Selain gaji pokok dan tunjangan anak istri, kau juga akan mendapat tunjangan kerja dari pemda, bisa dua kali lipat dari gajimu. Belum lagi ua
“Tiara tidak akan melakukannya, Ma!” kata Fahmi dengan begitu yakinnya setelah keduanya diam cukup lama.Bu Nur benar-benar takut akan hal ini. Apa yang sudah dicapai Fammi dengan bersusah payah akan lepas begitu saja jika apa yang dia pikirkan itu terjadi. Dan Bu Nur rasa, perkara ini belum disadari oleh Fahmi, Melly dan keluarganya.“Kenapa tidak? Dia memang pendiam dan sangat patuh pada kau dan Mama. Tapi kalau dia sakit hati, apa kau bisa jamin dia tidak melakukan itu untuk menghancurkan kau dan Melly?”“Jika kau pengangguran dan tanggunaganmu juga banyak, apa kau pikir Melly masih mau denganmu? Kau tidak hanya akan kehilangan pekerjaanmu tapi kau akan kehilangan istri-istrimu,”“Ma, itu tidak akan terjadi. Percayalah!”“Tiara tidak sejahat itu!”Meskipun hatinya gentar mendengar apa yang dikatakan Mamanya, dia tetap berusaha agar Mamanya tidak panik. Jujur, dia tidak berpikir sampai ke sana karena yang dia tahu, Tiara itu anak yang patuh dan dia juga tidak faham dengan urusan ya
Tiara sudah bangun sejak jam lima pagi tapi dia masih diam di tempat tidur karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan pagi ini.Dia ingin keluar untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tapi dia tahu kalau Fahmi masih ada di rumah. Karena dia tidak mau melihat suaminya lah, dia enggan beranjak dari kamar.Pun ketika si bungsu bangun dan minta ke kamar mandi untuk pipis, Tiara malah menyuruh anak yang masih berumur tiga tahun itu keluar dari kamar.“Ada Nenek di belakang. Pipis sendiri, ya!”Tayana yang belum tahu ada apa dengan orang tuanya itu dengan patuh turun dari tempat tidur dan dengan langkahnya yang menggemaskan langsung berlari ke luar.Pintu kamar terbuka. Fahmi yang masih duduk di ruang tengah usai sholat subuh langsung menangkap sesosok anak kecil yang lucu dan menggemaskan berlari menuju ke dapur.Tanaya sempat menahan langkahnya karena melihat Fahmi. Ketika Fahmi mengulurkan kedua tangannya dan ingin menangkapnya, secara refleks anak itu menghindar.“Nenek!” dia lan
Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. “Aku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,” “Ma, rendang yang sekilo tadi mana?” Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. “Ini rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,” katanya saat membuka kotak yang pertama. “Ini ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,” “Ada empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
“Fattan, makan yang banyak biar sehat!” seru Melly ketika melihat anak sulung suaminya itu makan dengan lahapnya. Satu porsi bubur ayam lengkap ditambah satu potong paha ayam goreng, habis dilahapnya dalam beberapa detik saja. Melly terlihat sangat senang. Meskipun anak-anaknya Fahmi masih cangcung dengannya tapi mereka tidak malu-malu makan bersama dirinya. “Mau nambah?” Fattan menggeleng dengan ragu. Dia menolak tawaran itu bukan karena sudah kenyang tapi karena tidak biasa makan dalam porsi yang banyak. Setiap makan, baik Nenek maupun Mamanya selalu membagi-bagi lauk untuknya dan kedua adiknya. Selama ini mereka berlima hidup hanya mengandalkan uang pensiun Bu Nur saja. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu harus dibagi-bagi untuk uang susu dan kebutuhan lainnya. Sudah bisa ditebak, bagaimana menu yang terhidang di meja ini setiap harinya. Yang Fattan ingat, seumur-umur dia belum pernah makan semewah ini. Tiara tidak punya uang sendiri, dia juga tidak pernah mengajak anaknya
“Tia, Kau mau ke mana?” tanya Bu nur sekali lagi. Dia khawatir kalau anak menantunya itu tidak mendengar pertanyaannya, jadi dia mengulanginya sekali lagi. “Aku mau ke wartel, Ma!” “Ke wartel?” Bu Nur makin kaget. Seumur-umur Tiara belum pernah pergi ke tempat seperti itu. Kalau dia mau gobrol sama Mamanya, kalau tidak menggunakan telpon rumah, pasti menggunakan HP jadulnya. “Ada seseorang yang mau aku telpon,” sahut Tiara. Dia menyebut seseorang dan Bu Nur tahu kalau Tiara tidak mau menyebut identitasnya. Karena situasinya tidak mungkin untuk bertanya lebih banyak, Bu Nur akhirnya membiarkan Tiara yang pergi seorang diri saja. Anak-anak sedang berbagi makanan yang dibawa oleh Melly,jadi tidak ada yang sadar kalau Tiara pergi. Termasuk Tanaya yang biasanya tidak bisa tinggal dari Tiara, kini sibuk dengan coklat batangan yang dibagi untuknya. Meskipun sedih, Tiara merasa diuntungkan juga. Jadi dia bisa pergi sebentar tanpa anak-anak untuk melepaskan kepenatan yang membuat kepalany
“Apa itu?” selidik ibunay tidak sabar. “Kau bukin ibu deg-degan aja, sayang!” “Mas Fahmi tidak hanya pulang, Bu. Tapi dia sudah mengurus mutasinya ke Jakarta,” “Oh….cepet sekali!” tidak bisa dipungkiri, Bu Dahlia sangat terkejut mendengan berita ini. “Dia baru empat tahun jadi PNS, bulan depan pas tapi sudah mengurus pindah. Fahmi benar-benar hebat, kau tidak salah memilih suami, sayang,” Tiara terdiam. Dia bingung harus menanggapi apa. “PAdahal Ibu baru saja kepikiran soal itu. Ibu ga tega melihat kau jauh dari Fahmi. Mungkin karena niatnya yang begitu kuat untuk kumpul kembali keluarga, agar ga sering- sering meninggalkan kalian, dia bekerja dengan giat mengumpulkan uang untuk mengurus kepindahan ini. Tia, Ibu benar-benar terharu. Fahmi itu sama seperti ayahnya, pria yang ulet mencari nafkah untuk keluarga. Kau harus menghargai pengorbanan dia. Jangan ungkit kenapa dia tidak pernah memberi kaba r karena kita sudah tahu jawabannya,” “Iya, Ma,” sahutnya lesu. Tadinya Tiara ing
“Tia, Kau mau ke mana?” tanya Bu nur sekali lagi. Dia khawatir kalau anak menantunya itu tidak mendengar pertanyaannya, jadi dia mengulanginya sekali lagi. “Aku mau ke wartel, Ma!” “Ke wartel?” Bu Nur makin kaget. Seumur-umur Tiara belum pernah pergi ke tempat seperti itu. Kalau dia mau gobrol sama Mamanya, kalau tidak menggunakan telpon rumah, pasti menggunakan HP jadulnya. “Ada seseorang yang mau aku telpon,” sahut Tiara. Dia menyebut seseorang dan Bu Nur tahu kalau Tiara tidak mau menyebut identitasnya. Karena situasinya tidak mungkin untuk bertanya lebih banyak, Bu Nur akhirnya membiarkan Tiara yang pergi seorang diri saja. Anak-anak sedang berbagi makanan yang dibawa oleh Melly,jadi tidak ada yang sadar kalau Tiara pergi. Termasuk Tanaya yang biasanya tidak bisa tinggal dari Tiara, kini sibuk dengan coklat batangan yang dibagi untuknya. Meskipun sedih, Tiara merasa diuntungkan juga. Jadi dia bisa pergi sebentar tanpa anak-anak untuk melepaskan kepenatan yang membuat kepalany
“Fattan, makan yang banyak biar sehat!” seru Melly ketika melihat anak sulung suaminya itu makan dengan lahapnya. Satu porsi bubur ayam lengkap ditambah satu potong paha ayam goreng, habis dilahapnya dalam beberapa detik saja. Melly terlihat sangat senang. Meskipun anak-anaknya Fahmi masih cangcung dengannya tapi mereka tidak malu-malu makan bersama dirinya. “Mau nambah?” Fattan menggeleng dengan ragu. Dia menolak tawaran itu bukan karena sudah kenyang tapi karena tidak biasa makan dalam porsi yang banyak. Setiap makan, baik Nenek maupun Mamanya selalu membagi-bagi lauk untuknya dan kedua adiknya. Selama ini mereka berlima hidup hanya mengandalkan uang pensiun Bu Nur saja. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu harus dibagi-bagi untuk uang susu dan kebutuhan lainnya. Sudah bisa ditebak, bagaimana menu yang terhidang di meja ini setiap harinya. Yang Fattan ingat, seumur-umur dia belum pernah makan semewah ini. Tiara tidak punya uang sendiri, dia juga tidak pernah mengajak anaknya
Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. “Aku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,” “Ma, rendang yang sekilo tadi mana?” Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. “Ini rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,” katanya saat membuka kotak yang pertama. “Ini ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,” “Ada empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
Tiara sudah bangun sejak jam lima pagi tapi dia masih diam di tempat tidur karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan pagi ini.Dia ingin keluar untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tapi dia tahu kalau Fahmi masih ada di rumah. Karena dia tidak mau melihat suaminya lah, dia enggan beranjak dari kamar.Pun ketika si bungsu bangun dan minta ke kamar mandi untuk pipis, Tiara malah menyuruh anak yang masih berumur tiga tahun itu keluar dari kamar.“Ada Nenek di belakang. Pipis sendiri, ya!”Tayana yang belum tahu ada apa dengan orang tuanya itu dengan patuh turun dari tempat tidur dan dengan langkahnya yang menggemaskan langsung berlari ke luar.Pintu kamar terbuka. Fahmi yang masih duduk di ruang tengah usai sholat subuh langsung menangkap sesosok anak kecil yang lucu dan menggemaskan berlari menuju ke dapur.Tanaya sempat menahan langkahnya karena melihat Fahmi. Ketika Fahmi mengulurkan kedua tangannya dan ingin menangkapnya, secara refleks anak itu menghindar.“Nenek!” dia lan
“Tiara tidak akan melakukannya, Ma!” kata Fahmi dengan begitu yakinnya setelah keduanya diam cukup lama.Bu Nur benar-benar takut akan hal ini. Apa yang sudah dicapai Fammi dengan bersusah payah akan lepas begitu saja jika apa yang dia pikirkan itu terjadi. Dan Bu Nur rasa, perkara ini belum disadari oleh Fahmi, Melly dan keluarganya.“Kenapa tidak? Dia memang pendiam dan sangat patuh pada kau dan Mama. Tapi kalau dia sakit hati, apa kau bisa jamin dia tidak melakukan itu untuk menghancurkan kau dan Melly?”“Jika kau pengangguran dan tanggunaganmu juga banyak, apa kau pikir Melly masih mau denganmu? Kau tidak hanya akan kehilangan pekerjaanmu tapi kau akan kehilangan istri-istrimu,”“Ma, itu tidak akan terjadi. Percayalah!”“Tiara tidak sejahat itu!”Meskipun hatinya gentar mendengar apa yang dikatakan Mamanya, dia tetap berusaha agar Mamanya tidak panik. Jujur, dia tidak berpikir sampai ke sana karena yang dia tahu, Tiara itu anak yang patuh dan dia juga tidak faham dengan urusan ya
Bu Nur dan ibunya Tiara itu berteman baik. Rekan satu profesi dan punya nasib yang sama dalam membina rumah tangga. Sama seperti Bu Nur, Papanya Tiara juga meninggalkan ibunya demi wanita lain. Entah dimana dia sekarang, Tiara juga tidak tahu keberadaan ayah kadungnya itu.Bu Nur juga yang punya ide menjodohkan Fahmi dan Tiara. Saat Mamanya Tiara pensiun dan memilih kembali ke kampung, mereka menikahkan anak-anaknya. Jadi Tiara tinggal di rumah Bu Nur bersama suaminya.“Ma, aku tidak akan menceraikan Tiara. Aku akan tetap memenuhi kebutuhan dia dan juga anak-anak. Makanya aku ijinkan Melly membuaka usaha. Ada lima kepala yang harus aku hidupi dan sebentar lagi anak Melly lahir. Itu semua tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gaji aku sebagai PNS, Ma!”“Iya, Mama tahu,”Bu Nur mengangguk.“Tapi penghasilan PNS daerah dengan di sini kan beda. Selain gaji pokok dan tunjangan anak istri, kau juga akan mendapat tunjangan kerja dari pemda, bisa dua kali lipat dari gajimu. Belum lagi ua
"Fahmi, apa yang dikatakan Tiara benar. Kau belum nemuin anak-anakmu, kan? Malam ini, tidurlah di rumah!" Bu Nur ikut memintanya karena dia rasa, Fahmi seperti tidak peduli dengan ketiga anaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, padahal mereka tidak bertemu selama empat tahun, apa dia tidak kangen dengan Fattan,Fadlan, dan Tanaya ?Bu Nur jadi khawatir sendiri dengan kondisi anaknya. Tapi bagaimana pun juga, Fahmi itu anak kandungnya. Dia tidak berani berpikir yang macam-macam.Bu Nung sudah duduk di bangku belakang segera menurunkan kaca di sampingnya. Melly yang ada di sebelahnya juga ikut memanjangkan lehernya ke Bu Nur."Fahmi harus menemani Mama Nung dan Melly, Ma. Meskipun tinggal di hotel tapi tidak ada yang mereka kenal di kota ini selain aku,""Mama tahu, tapi kau juga harus adil dengan anakmu. Ingat, mereka tidak salah apa-apa. Jangan hukum mereka dengan sikap tidak pedulimu,"Melihat perdebatan ibu dan anak itu, membuat Bu Nung merasa tidak enak hati.Dia langsung menengahi
"Terserah apa yang kau pikirkan tentang anakku dan Fahmi. Saya ke sini hanya menjalankan kewajiban saya sebagai orang tua. Ketika anaknya akan ikut suaminya, saya sebagai orang tua tunggal dari Melly harus memastikan di mana dia akan tinggal. Itu saja,""Tiara, jangan bersikap kasar pada mertuaku. Apa yang dikatakan Bu Ning, semuanya benar. Kodisi aku memang seperti yang beliau ceritakan. Apa yang terjadi di sana, tidak seperti yang aku pikirkan. Kampung tempat aku mengajar benar-benar terpencil. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa satu kilo. Jalan masih tanah, kalau hujan jadi kubangan. Anak yang sekolah di tempat itu juga cuma beberapa orang saja, kalau hujan malah tidak ada yang datang. Aku yakin, jika kau jadi aku, kau juga tidak akan betah di sana. Aku sudah terlanjur mengambil keputusan dan demi tanggung jawab aku sebagai pria yang akan menafkahi keluarganya, aku harus menjalani itu semua. Aku salah, awalnya aku hanya ingin memanfaatkan kebaikan Bu Ning tapi sia