34 Malam itu, Hadrian diajak berbincang berdua dengan Panji. Sang paman yang merupakan satu-satunya Adik almarhum Hasan, Ayah Hadrian, memberikan wejangan pada keponakan tertua keluarga Danadyaksha. Hadrian mendengarkan nasihat Panji dengan serius. Sekali-sekali dia manggut-manggut sebagai tanda memahami petuah laki-laki bermata besar, yang memiliki kemiripan wajah dengannya. Panji berhenti mengoceh, lalu mengerjap-ngerjapkan matanya. Pria tua berkaus merah mengingat sosok sang akang yang telah tiada, semenjak Hadrian masih SMU. Hadrian tertegun saat Panji mengusap sudut matanya yang berair. Hadrian maju untuk mendekap lelaki yang turut merawatnya sejak kecil. Bahkan, Panji-lah yang membiayai sekolah Hadrian dan Hilda hingga jadi sarjana."Kang Hasan pasti sangat senang dengan pernikahanmu, Ian," cakap Panji seusai mengurai pelukan. "Beliau pernah bilang, sangat ingin melihatmu menikah. Begitu pula dengan Hilda," lanjutnya sambil mengusap wajah dengan saputangan. "Sayangnya, Kang
35Acara walimahan yang awalnya berlangsung lancar, berubah ricuh saat penyematan cincin akan dimulai. Hadrian dan hampir semua anggota panitia sibuk mencari cincin yang menggelinding entah ke mana, setelah terlepas dari penyangga kala kotak perhiasan dibuka Hadrian. Sultan Pramudya yang menjadi saksi nikah dari pihak laki-laki, dan Ishak, yang menjadi saksi dari pihak Zaara, turut merunduk untuk mencari benda bermata berlian asli. Wajah semringah Zaara telah berubah pucat, setelah semua orang menyerah mencari cincin yang dipilihnya tempo hari. Zaara memandangi Hadrian yang tengah merogoh saku jas pengantin putih yang dikenakannya. "Maaf, Ra. Cincinnya nggak ketemu," tutur Hadrian sembari menatap perempuan yang baru beberapa menit lalu dinikahinya. "Terus, gimana?" tanya Zaara dengan suara bergetar. "Aku punya cadangannya." Hadrian mengulurkan tangan kiri ke dekat telinga istrinya dan berpura-pura mengambil sesuatu dari hiasan sanggul pengantinnya. "Ini," lanjutnya sembari menun
36 Walimahan usai menjelang zuhur. Hampir semua orang berhamburan menuju ke dua rumah seberang yang juga dimiliki Ahmad Yafiq, untuk beristirahat dan menunaikan ibadah. Para panitia telah lebih dahulu berangkat menuju tempat perhelatan akbar yang akan dilangsungkan jam 2 siang. Hadrian memasuki kamar Zaara sambil menyeret koper. Dia terdiam sesaat di depan pintu, sebelum memasuki ruangan sambil menutup pintu kembali. Hadrian memerhatikan sekeliling, lalu menempatkan koper di dekat sofa berbentuk huruf L di dekat jendela. Dia mengintip luar kaca yang menghadap depan rumah, lalu berbalik dan duduk. "Akang mau salat?" tanya Indriani yang tengah membantu merapikan gaun pengantin buat resepsi, di manekin. "Ya, tapi aku mau mandi dulu," sahut Hadrian sambil membuka jas putih dan meletakkannya di sandaran sofa. "Tadi dirias sama siapa, Kang?" tanya Roni, sang penata rias terkenal dan langganan para istri bos PG, PC dan PBK. "Hilda. Cuma pakai bedak, pelembap bibir sama rapiin alis," j
37Ballroom hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan, siang itu terlihat ramai. Barisan panjang antrean menuju pelaminan, nyaris tidak berkurang akibat banyaknya orang yang hendak menyalami pengantin.Tepat jam 4 sore, semua tamu dipersilakan duduk di ratusan kursi yang telah dipersiapkan panitia. Staf katering bekerja keras dan secepat mungkin untuk menyajikan makanan terbaik di setiap meja. Lampu-lampu besar diredupkan, dan lampu sorot semuanya mengarah ke panggung besar di sisi kanan ruangan. Kala tirai hitam bergerak membuka, hadirin sangat penasaran dengan pertunjukan pertama yang akan segera ditampilkan. Musik berirama cepat terdengar dari band pengiring yang sudah cukup terkenal di Indonesia. Mereka merupakan rekan-rekan salah satu penyanyi muda yang tengah naik daun. Kenzo Darka muncul dari sisi kiri, sedangkan Nandira hadir dari sebelah kanan. Keduanya melangkah maju sembari mendendangkan lagu romantis kesukaan Hadrian, hingga tiba di tengah-tengah panggung. Para pen
38 Pasangan pengantin tiba di kediaman Ahmad Yafiq menjelang jam 9 malam. Seusai acara tadi, mereka tetap bertahan di lokasi, karena banyak tamu yang hendak bersalaman. Panitia dan tim katering juga tetap sigap melayani para tamu. Berdasarkan pengalaman pesta-pesta sebelumnya para bos PG dan PC, akan banyak tamu yang tidak sempat bersalaman di pelaminan. Sebab jumlahnya yang membludak. Mutiara dan tim-nya, serta kelompok panitia pimpinan Andri, tetap menemani pasangan pengantin dan keluarga di kedua ruang VIP, hingga semua tamu membubarkan diri.Hadrian memegangi lengan kanan Zaara yang jalan dengan hati-hati, karena menggunakan sepatu hak tinggi. Kala menaiki tangga, Zaara akhirnya membungkuk untuk membuka tali sepatu. Dia terkejut saat Hadrian turut merunduk dan membantunya tanpa diminta. Shurafa yang menyaksikan hal itu dari ruang tengah, mengulum senyuman sambil menyenggol siku suaminya. Virendra turut tersenyum, lalu dia melirik sang istri yang sedang membuka sanggul modern di
39Kirman memandangi bosnya yang tengah menggunakan treadmill dengan kecepatan maksimum. Kirman bertanya-tanya dalam hati, tentang penyebab Hadrian memacu kakinya dengan berlari kencang. Pria berkumis tipis berpikir sesaat, sebelum memotret Hadrian dari samping kanan. Dia tidak mau sang bos menyadari telah dipotret, terutama karena Kirman akan mengirimkan foto itu pada komandannya.Sekian menit berlalu, orang yang dikirimi foto, tengah mengamati raut wajah Hadrian. Pria berambut cokelat menduga bila sahabatnya tersebut tengah menyalurkan emosi dengan berlari. Alvaro yang sudah mengenal Hadrian sejak lama, telah memahami sifat pria yang lebih tua setahun darinya. Alvaro makin yakin jika Hadrian tengah menyimpan masalah, setelah membaca laporan terakhir dari Kirman. Sudut bibir Alvaro mengukir senyuman, saat membayangkan tingkah Hadrian yang berbaring telentang di lantai tempat fitness. Tanpa memedulikan pandangan pengunjung lainnya. Alvaro : Tetap pantau, Man. Kirman : Siap, Bang.
40Malam kian larut. Namun, Hadrian belum juga kembali. Zaara benar-benar gelisah, karena pria itu juga tidak bisa dihubungi. Semua telepon Zaara tidak tersambung. Pesannya pun hanya centang satu abu-abu. Kala jarum jam menyentuh angka 11, Zaara akhirnya memutuskan untuk bertindak nekat. Dia menyambar tas travel dan mengisinya dengan beberapa setelan pakaian. Zaara mengambil baugette bag hitam di gantungan, lalu mengecek isinya. Sesuai memasukkan ponsel, charger dan dompet, Zaara mengenakan cardigan rajut hijau. Tidak berselang lama Zaara sudah berada di taman samping kanan rumah. Dia sengaja menggunakan tangga putar dari tempat servis, supaya kepergiannya tidak diketahui keluarga. Zaara jalan secepat mungkin hingga tiba di carport. Dia membuka pintu mobilnya untuk memasukkan tas. Kemudian dia menempati kursi pengemudi dan menyalakan mesinnya. "Kalau ada yang nanya, bilang aku nginap di rumah Akang," tukas Zaara, saat satpam mendatanginya. "Ya, Non." Satpam itu tampak ragu-ragu.
Zaara keluar dari kamar utama. Dia mengecek ke lantai satu melalui dinding pembatas mezanin. Selanjutnya, Zaara menuruni tangga dan menyambangi suaminya yang sedang bersantap bersama Endaru, Kirman dan Syaiful. Zaara menyapa semua orang seraya tersenyum. Dia menarik kursi di sebelah kanan Hadrian dan duduk dengan rapi. Mimi bergegas menyuguhkan teh hangat buat Nyonya rumah. Kemudian dia kembali ke tempat cuci untuk menuntaskan pekerjaan. Perempuan berbaju salem menikmati hidangan sambil mendengarkan keempat pria bercakap-cakap. Tawa Zaara menguar, saat Endaru menjelaskan tingkah teman-teman tim satu PG, saat acara resepsi. Perempuan bermata besar nyaris tersedak ketika Syaiful menambahkan cerita tentang tim Banim yang bertugas di ring tiga, saat menghadapi beberapa tamu yang lupa membawa kartu undangan. "Banim keringatan waktu alat pemindai tiba-tiba ngadat," ujar Syaiful. "Mana lama lagi. Tambah panik dia," lanjutnya seraya tersenyum. "Terus, gimana?" tanya Hadrian. "Bang Ilyas
60Jalinan masa terus bergulir. Kehidupan rumah tangga Hadrian dan Zaara kian harmonis. Setiap minggu pertama dan kedua, mereka akan menetap di Bandung.Bila Hadrian bekerja di restorannya ataupun melakukan rapat dengan teman-teman PG dan PC yang bermukim di Kota Bandung, maka Zaara juga menyibukkan diri dengan belajar memasak pada Ana.Seperti pagi itu, seusai sarapan, Zaara berpamitan pada asisten rumah tangga. Dia mengajak Indriani untuk bergegas ke kediaman sang mertua.Setibanya di tempat tujuan, ternyata di sana sedang ramai ibu-ibu sekitar yang dikaryakan Ana, bila kebetulan tengah mendapatkan orderan katering besar."Bu, siapa yang mesan katering?" tanya Zaara, seusai menyalami mertuanya dengan takzim."Mamanya Reinar. Nanti sore, ada pengajian di rumahnya," jelas Ana sembari melanjutkan memotong bolu ketan hitam.Zaara tertegun sesaat, kemudian dia menggeleng pelan. "Aku lupa acara itu. Padahal Karen sudah ngundang di grup.""Kita berangkat sama-sama. Ibu sekalian mau ketemu m
59Mobil-mobil lainnya muncul dari belakang. Wirya meneriaki Kirman agar menambah kecepatan mobil. Hal serupa juga dilakukan keempat sopir lainnya. Gibson dan Cedric yang berada di mobil paling belakang, menarik senapan laras panjang dari bawah. Mereka mengintip dari pintu kanan dan kiri, yang kacanya telah terbuka sepenuhnya. Rentetan tembakan diarahkan Gibson dan Cedric ke deretan mobil-mobil di belakang. Fabian yang menjadi sopir, melakukan manuver zig-zag yang sering dilstihnya bersama teman-teman pengawal lainnya. Banim yang berada di samping kiri sopir, mendengarkan penjelasan Wirya melalui sambungan telepon jarak jauh. Banim manggut-manggut, sebelum memutuskan panggilan. "Bang, dirut minta kita maju," tukas Banim. "Ke mana?" tanya Fabian. "Paling depan. Bang Kirman mundur, karena Pak Tio mau jadi koboi." Fabian mengulum senyuman. Sebagai salah satu pengawal lama, dia mengetahui jika Tio sangat ingin bisa mempraktikkan ilmu menembaknya secara maksimal. Fabian menambah ke
58Pagi menjelang siang, kelompok pimpinan Kirman tiba di rumah sakit swasta terkenal di Singapura. Syuja, Gibson dan Dimas tetap berada di mobil. Sementara Loko, Michael dan Cedric menunggu di lobi, bersama lima anak buah Jeremy Cheng. Di ruang perawatan VVIP, Hadrian berbincang dengan Stefan dan Gerald Cheng. Sebab Leroy masih kesulitan untuk berbicara panjang, dia meminta kedua saudaranya untuk menyampaikan maksudnya pada sang tamu. Hadrian membaca surat permohonan izin yang telah dibuat tim kuasa hukum keluarga Cheng. Hadrian mendiskusikan hal itu dengan Tio, Dante dan Baskara, sebelum menandatangi surat itu. "Terima kasih atas bantuannya," tutur Stefan, sesaat setelah Hadrian memberikan lembaran asli surat itu padanya. Sementara salinannya dititipkan pada Tio. "Kembali kasih," jawab Hadrian. Dia memandangi pria bermata sipit yang sedang duduk menyandar di ranjang. "Cepat pulih, Leroy. Tuntaskan hukumanmu. Baru lanjutkan bisnis dengan cara yang lebih baik," ungkapnya. Leroy m
57*Grup Pasukan Penjaga Wirya*Zulfi : Astagfirullah. Grup naon deui, iyeuh?Haryono : Aku ada di mana?Yoga : Kaget aku. Logonya foto Wirya.Andri : Kayak masih muda di foto itu.Yanuar : Memang masih culun dia. Baru lulus diklat satpam.Alvaro : @Kang Ian, nemu di mana itu foto?Hadrian : Aku nyomot dari IG-nya Wirya, @Varo.Wirya : Loh, kok, ada fotoku di situ?Hadrian : Sesuai nama grup, @Wirya.Tio : Aku sampai bolak-balik ngecek. Kirain salah grup.Dante : Aku ngakak baca nama grupnya.Baskara : Tapi, memang benar, sih. Wirya harus punya pasukan bodyguard khusus.Linggha : Saya sampai bingung. Tiba-tiba ada di grup ini.Bryan : Orang Indonesia. Bisa nggak, grup chatnya off dulu? Di sini sudah jam 1 malam.Hadrian : Belum tidur, @Mas Bryan?Bryan : Aku baru nyampe rumah. Capek banget.Benigno : Habis dari mana, @Mas Bryan?Bryan : Chairns. Bareng Jourell.Alvaro : Jourell dan Mas Keven invited juga ke sini. Mereka bodyguardnya Wirya kalau lagi dinas di Australia sama New Zealan
56Alunan musik instrumental terdengar di dalam kamar bernuansa putih dan abu-abu. Dari keremangan cahaya lampu sudut, terlihat sepasang insan yang sedang dimabuk kepayang. Lenguhan terdengar bergantian dari mulut mereka, mengiringi gerakan konstan yang dilakukan bersama. Tanpa memedulikan keringat yang keluar dari pori-pori kulit, keduanya melanjutkan percintaan dengan semangat. Berbagai gaya mereka lakukan untuk mendapatkan sensasi berbeda. Sekali-sekali bibir mereka menyatu dan saling mengisap. Pagutan kian dalam saat sudah hampir tiba di ujung pendakian. Pekikan perempuan berambut panjang menjadikan lelakinya menambah kecepatan. Kemudian mereka saling mendekap dan mengeluarkan seluruh cinta, sembari menjerit tertahan. Selama beberapa saat keduanya masih berada dalam posisi yang sama. Kala Hadrian menarik diri, Zaara mengusap dahi suaminya yang berpeluh tanpa rasa jijik sedikit pun. Hadrian menunduk untuk mengecup bibir sang istri. Namun, Zaara justru menarik leher lelakinya
55Langit biru Kota Jakarta, siang itu terlihat cerah. Udara kian menghangat seiring dengan bertambahnya waktu. Menjadikan banyak orang memutuskan untuk tetap berada di dalam ruangan, daripada beraktivitas di luar. Hadrian masih terdiam di kursinya. Tatapan lurus diarahkan lelaki berkemeja biru muda, pada pigura besar di dinding yang menampilkan foto pernikahannya dengan Zaara. Pria berhidung bangir baru saja usai dihubungi Margus melalui sambungan telepon jarak jauh. Sang pengacara menerangkan keinginan keluarga Cheng, agar Hadrian dan Zaara bersedia datang mengunjungi Leroy. Kondisi musuhnya itu menimbulkan keprihatinan Hadrian. Namun dia masih meragukan niat baik Leroy untuk berdamai. Bisa saja itu hanya akal-akalan pihak lawan, demi memuluskan jalan Leroy berangkat ke Amerika untuk berobat. Hadrian akhirnya menelepon sahabatnya dan menerangkan semua cerita Margus. Hadrian meminta pendapat pria tersebut, yang langsung mengajaknya bertemu. Puluhan menit terlewati, Hadrian yang
54Jalinan waktu terus bergulir. Liburan telah usai. Awal malam itu rombongan Hadrian sudah berada di pesawat yang akan membawa mereka pulang ke Jakarta. Jourell, Harry, Hideyoshi dan Raid beserta pasangan, tetap bertahan di Maldives, karena masih ingin berlibur. Mereka baru akan pulang tiga hari mendatang bersama ajudan masing-masing. Sepanjang perjalanan, Zaara terlelap. Sementara Hadrian sibuk berbincang dengan Endaru yang berada di samping kirinya. Sekali-sekali Hadrian akan berdiri dan jalan ke kelas eksekutif untuk mengecek kondisi Ana, Emilia dan Ahmad Yafiq. Sementara Ivan, sibuk membantu mengasuh Ardibani yang mulai bosan harus duduk lama. Sedangkan Shurafa, Fiona dan Virendra sudah terlelap."Sini, Dek. Sama Om," ajak Hadrian sembari mengambil alih sang bayi dari gendongan Ivan. "Mas istirahat aja. Ardi mau kubawa ke belakang," lanjutnya sembari mengayun bayi berjaket jin biru. "Aku tidur dulu bentar, Ian. Nanti kalau kamu mau istirahat, Ardi kasih ke mbaknya," cakap Iva
53Matahari bergerak cepat. Sinarnya yang menyengat tepat di atas kepala, menjadikan semua orang memutuskan untuk menghentikan pertandingan, yang akan dilanjutkan sore nanti. Kendatipun badan berkeringat dan kelelahan, tetapi semua orang tampak senang telah menghabiskan waktu bersama. Mereka berduyun-duyun mendatangi restoran, lalu menempati beberapa meja besar sesuai dengan kelompok masing-masing. "Gaes, perang di San Sebastian sudah selesai," ujar Heru, sesaat setelah membaca pesan dari Tio. "Tim kita, ada yang terluka parah, Mas?" tanya Endaru. "Banyak. Bahkan Carlos dan beberapa ajudan keluarga Baltissen terpaksa menginap di rumah sakit," jelas Heru. "Pengawal PBK, gimana?" desak Adelard. "Enggak ada yang luka berat. Tapi banyak yang menderita luka yang harus dijahit," beber Prabu yang sedang berbalas pesan dengan Alvaro. "Wirya nyaris bunuh orang lagi," sela Heru. "Untungnya sempat dicegah Koko Dante, Mas Tio dan Mas Ben," tambah Prabu yang menyebabkan semua orang di meja
52Malam itu, semua pengawal keluarga Latief dan Kirman, pindah ke vila dekat pantai. Sementara Ana, Hilda dan Raid tinggal di vila besar. Ahmad Yafiq yang meminta hal itu, supaya bisa lebih akrab dengan keluarga Hadrian. Pria tua tersebut memerhatikan interaksi Emilia dan Ana, yang langsung sibuk membicarakan tentang resep-resep favorit keluarga. Tatapan Ahmad Yafiq beralih pada kelompok lelaki muda. Dia turut mendengarkan percakapan antara Ivan, Virendra, Hadrian, Endaru, Raid dan yang lainnya. Pria tua berbaju biru merasa kagum dengan cara berpikir kelompok muda, yang jauh lebih maju dibandingkan dirinya. Lamunan Ahmad Yafiq terputus kala ponselnya berdering. Dia meraih benda itu dari meja, lalu segera menjawab panggilan dari sahabatnya. "Mereka lagi ngumpul di sini, Sul," cakap Ahmad Yafiq. "Tolong speakernya dinyalakan, Mas. Saya mau ngomong langsung dengan mereka," pinta Sultan Pramudya. "Sebentar." Ahmad Yafiq menekan tombol speaker, lalu meletakkan ponsel ke meja. "Silak