“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.
Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.
Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk memberikan pendapatnya.
Salah satu dari mereka bersuara, “Wajarlah jika publik akhirnya bertanya-tanya, kenapa untuk politisi yang satu ini, kok terkesan ditutup-tutupi dan dilindungi. Apalagi belakangan intelijen kita banyak sekali mendapat penghargaan sebagai intelijen terbaik. Bahkan sempat ada yang diundang ke Amerika Serikat untuk menyelidiki kasus di sana, dan berhasil. Kok malah di sini, untuk menyelediki keberadaan satu orang saja terkesan payah sekali.”
Seseorang yang berada di pihak berbeda membantah argumen tersebut. Pembahasan yang terjadi cukup panjang, sampai pihak yang pro-Jonathan sempat bersuara, “Biar bagaimanapun, Jonathan termasuk sosok paling dicintai oleh orang-orang yang menyadari jasa-jasanya terhadap bangsa ini.”
Tamu yang lain membantah, “Jasa apanya? Mengklaim hasil pekerjaan orang lain disebut jasa? Menciptakan permusuhan di tengah-tengah masyarakat dengan kebohongan-kebohongannya disebut berjasa?”
Terus pembahasan-pembahasan tentang sosok tersebut digulirkan. Sementara jauh di luar studio, salah satu penyimak yang mengikuti talkshow tersebut melalui televisi, memerhatikan dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena ia memiliki ikatan langsung dengan sosok yang diperbincangkan. Penonton ini masih anak-anak, bahkan usianya baru mendekati sembilan tahun. Hanya saja pembicaraan yang berlangsung membangkitkan ingatannya pada sosok yang begitu dirindukan.
Izul mengusap pipinya yang basah. Sebuah ingatan yang begitu lekat bermain dalam kepalanya, serasa baru kemarin. “Abi! Abi! Abi!” soraknya kala itu, berlarian dari arah pintu dengan sangat ceria. Ia yakin sekali sedang membawa kabar yang bakal membuat abinya bangga.
Tepatnya, kenangan itu terjadi beberapa hari sebelum abinya melakukan penerbangan. Izul sudah berada di hadapan abinya, kepalanya diusap tanpa bersuara. Hasan terlalu serius memerhatikan acara talkshow di televisi, meningkahi keberadaan anaknya dengan sekadarnya saja.
“Dasar politikus busuk!”
Kata singkat itu yang terdengar dari lisan ayahnya, mengundang perhatian Izul hingga ikut serius memerhatikan wajah abinya. Tidak hanya perkataan, nada suara yang terdengar pun terkesan sangat serius. Seolah sang ayah benar-benar tahu, betapa busuk sosok politisi yang sedang jadi perbincangan ini.
Ia ikut memerhatikan acara televisi tersebut. Perlahan mulai bisa menikmatinya, walau ada beberapa pembahasan yang belum bisa dipahami otak anak-anaknya. Melalui gambar wajah yang ditampilkan, Izul sepertinya pernah melihat sosok yang dipanggil Jonathan itu, tapi di mana?
Ah iya! Ia pernah melihat poster yang berwajahkan orang itu dijadikan pajangan dan cukup besar, ditempel di dinding salah satu rumah temannya. Lidah polos itu kemudian berucap di tengah keseriusan sang ayah, “Itu Jonathan ya, Bi?”
Hasan jadi tercengang ketika mendengar perkataan anaknya. Perhatiannya mulai dialihkan ke Izul, tampilan wajah itu menyiratkan pertanyaan: ‘Kok kamu kenal? Kamu tahu dari mana?’ Isu ini mestinya sulit dipahami anak-anak, apalagi ia sama sekali tidak menarik bagi anak-anak seusia Izul.
“Kata orang tua temanku, Bi, dia orang baik, jasanya banyak, dan sering difitnah sama orang-orang yang tidak suka dia.”
Sebenarnya telinga Hasan panas sekali ketika mendengar ucapan tersebut. Biasanya pendapat-pendapat demikian berasal dari orang-orang yang hanya mendengar berita melalui stasiun televisi. Kalau mereka mau meneliti dan memperdalam siapa sosok itu, pastilah mereka akan punya pandangan yang sama dengannya. Mereka tidak akan tertipu oleh harum bangkai dari mulut seorang politikus. Sebab bangkai, hakitkatnya tetaplah bangkai.
Sayangnya ucapan pro-Jonathan disampaikan oleh anak yang usianya bahkan belum genap sepuluh tahun. Hasan tidak mungkin menjelaskan panjang lebar ke anaknya, apalagi berdalil dengan fakta-fakta yang bisa mengubah cara pandang. Ia langsung memindahkan obrolan ke topik pembahasan yang lain.
“Kakak kelihatan senang banget, ada apa, sih?”
“Alhamdulillah Bi, Kakak dipilih Ibu Guru jadi wakil sekolah di acara cerdas cermat.”
Sebagaimana yang Izul perkirakan, kabar ini benar-benar bisa mengubah rona wajah Abi. Wajah serius yang agak kesal itu seketika berubah cerah, “Masya Allah. Kamu memang anak saleh dan pintar, Abi bangga sama kamu.”
Hasan mencium kening anaknya, sebelum memberikan pelukan hangat. Sesaat kemudian, Izul menyampaikan rasa penasarannya, “Jonathan itu sebenarnya siapa sih, Bi?”
Dalam diamnya, pikiran Hasan mencari-cari jawaban lain yang cocok didengar anaknya. Berkata, “Kak, ingat pesan Abi, ya! Kakak juga harus menjadi anak yang jujur dan saleh. Pintar saja tidak cukup bikin Allah senang sama kita. Abi tidak mau kakak jadi seperti Jonathan, dia pintar, tapi dia bukan orang baik-baik.”
“Berarti Allah tidak senang sama dia, ya Bi?” Demikian pertanyaan polos Izul yang jadi respons atas pernyataan ayahnya.
Hasan tidak menjawab, sebab ia tahu, hati orang itu bisa berubah kapan saja sesuai kehendak Tuhan. Namun ia senang mendengar kalimat anaknya barusan, menunjukkan bagaimana dalam usia mudanya, Izul sudah bisa berlogika dan menarik kesimpulan.
Dalam cengkerama hangat yang terjadi antara ayah dan anak, bunyi ketukan dari luar rumah terdengar. Itu suara yang biasa muncul di waktu senja seperti sekarang, pertanda pedagang bakso akan melintas depan pagar rumah. Dari arah lain, bunyi perut mengeriuk juga terdengar. Hasan pura-pura terkejut mendengar “tangisan” perut Kakak, dan Kakak tertawa, sebelum keduanya saling menertawai kondisi yang ada.
“Kita beli bakso, yuk,” ajak Hasan. Ia telah berdiri di depan anaknya, kemudian membalikkan badan dan memberikan punggungnya agar dinaiki anak sulungnya, “Anak pintar Abi pasti capek banget, ya, seharian tadi main bola di luar, kan? Kalau begitu sekarang Kakak enggak boleh capek dulu sampai kita kelar makan, ya?”
“Oke Abi!” sorak Kakak dan langsung menaiki punggung ayahnya. Ia tampak begitu semangat dan ceria ketika berada di punggung sang ayah. Berbagi pengalamannya sewaktu di lapangan, “Tadi Izul cetak gol, Bi.”
Izul kembali menghapus jejak air mata yang masih bercucuran. Semua kejadian indah yang pernah dilalui, hanya tinggal kenangan. Namun di balik itu semua, ada bekas yang ingin ia abadikan. Tidak seperti umumnya anak-anak seusianya, jika dihadapkan pada tayangan yang bersifat politis begini, akan menggantinya dengan saluran televisi lain yang lebih menghibur. Sementara Izul tetap bertahan, memaksa otak anak-anaknya agar mau mengerti isu viral tersebut. Ia ingin mengenal siapa Jonathan sebenarnya, mengapa ayahnya sampai mengatakan kalau ia adalah politisi busuk? Mengapa pula ia diminta agar tidak tumbuh menjadi sosok yang sama dengan orang itu, sementara orang tua temannya menganggap Jonathan adalah orang baik?
“Baiklah pemirsa, sepertinya obrolan kita kali ini semakin seru, terkait pro dan kontra terhadap sosok Jonathan. Walaupun di sisi lain, masih menjadi misteri, mengapa sampai sekarang Jonathan tidak lagi muncul di permukaan. Ada yang bilang ia diselamatkan dan disembunyikan di suatu tempat, ada yang bilang ia telah dibunuh secara diam-diam, dan spekulasi-spekulasi lain. Nah, bagaimana para ahli yang bersama kita menyimpulkan peristiwa itu, jawabannya akan kita dengar setelah pariwara berikut ini,” ucap host acara yang tiba-tiba memutus pembicaraan yang padahal sedang seru-serunya.
Sementara bocah itu tidak beralih dari stasiun televisi yang ia saksikan dengan sangat serius. Bahkan iklan saja tidak bisa jadi alasan untuknya berpindah saluran. Seakan ia tidak mau kehilangan tiap kata—bahkan tiap huruf—yang disampaikan dalam acara tersebut. Tentu saja menyaksikan dengan mata merah akibat tatapan sendu.
--*--
Ridho terbangunkan dari tidurnya, melihat jam dinding yang menunjukkan waktu pukul sembilan lewat empat puluh menit. Ia menyibakkan selimut yang sempat menutup sebagian tubuhnya, kemudian mendudukkan dirinya. Dering handphone yang membangunkannya masih terdengar, dipadu bunyi resonansi akibat getaran yang terjadi di atas meja kayu, di sebelah kasur empuknya.
Ia mengambil handphone, melihat informasi di layar, memberitahukan bahwa ada tiga kali panggilan yang tidak terjawab. Jarak waktu di antara satu panggilan ke panggilan lainnya setengah jam. Ia mengusap kepalanya, kemudian menyingkirkan sedikit poni yang menyentuh dahi.
Entah sudah dari jam berapa ia tertidur. Padahal sebelumnya, selepas salat subuh dan berkomunikasi dengan temannya via chat media sosial, ia bermaksud merebahkan diri sebentar, ternyata malah benar-benar terlelap. Mungkin ia terlalu kecapaian setelah melalui perjalanan jauh kemarin.
“Halo? Ya Ada apa?” ucap Ridho menelepon balik panggilan tadi, dengan suara khas seseorang yang baru saja terbangun dari tidur.
“Aduh, jadi tidak enak, nih. Maaf ya, Bro. Sepertinya terganggu nih istirahatnya,” jawab seseorang dari seberang sambungan sana.
“Tidak apa, santai saja. Ada apa? Kayaknya ada hal yang benar-benar penting.”
“Ingat wacana akan dibuatnya sekuel novel kamu yang berjudul: ‘Ayah Pulang’? Ternyata sejak pagi tadi viral di media sosial. Banyak yang memberi repons positif, bahkan sebagian ada yang bertanya, apa novelnya sudah bisa PO (pre-order)?
Ridho sontak jadi benar-benar bersemangat, seketika ia memindahkan kakinya dari kasur ke lantai, “Terus-terus, bagaimana?”
“Sebenarnya ini prospektif banget. Pihak penerbit juga sebenarnya sangat tertarik dengan tema yang kamu bahas.”
Sebenarnya? Ridho merasakan ada makna lain yang menggantung dalam kata ini. Memang ada yang salah dengan tema cerita yang ia ajukan? Setelah terdiam sejenak, Ridho memastikan dugaannya, “Terus, sebenarnya kenapa?”
“Kamu kan berencana membuat sekuel novel yang temanya berdasarkan seseorang yang pernah sangat viral puluhan tahun lalu. Kita merasa, tema ini kesannya ngeri-ngeri sedap, Bro. Di media sosial, ada netizen yang memberi tanggapan, kalau kisah itu bakal membangkitkan luka lama. Pokoknya ada pro dan kontra di situ. Kalau tidak berhati-hati, kita bisa terjerat masalah hukum.”
Ridho terdiam, ia pernah mengira kalau ide yang diajukan bakal banyak direspons, terkhusus dari orang-orang yang pernah mengikuti kasus viral tersebut di masanya. Namun tidak pernah mengira kalau bakal viral lagi sampai sebegini besar, sampai menjadi hastag nomor satu.
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengatakan, “Selama ini, kasus itu masih belum jelas bagi sebagian orang. Banyak terjadi simpang siur, sampai kita sulit membedakan, mana benar mana salah. Kebenaran itu mesti diungkapkan, dan aku kenal seseorang yang paham betul masalah ini. Bahkan ia jauh lebih paham dari para ahli yang mengaku tahu siapa Jonathan. Kebetulan hubungan kami sangat dekat.”
Seseorang di seberang sambungan telepon sana tidak langsung merespons. Baru-baru ini, ia juga menemukan ketertarikan untuk memperdalam isu tersebut, tapi juga merasa cemas, bersebab konsekuensi lain yang bakal dihadapi. Lantas ia bertanya, “Siapa?”
Pria gemuk berkacamata beberapa kali melihat sekitar, lalu memandang arlojinya. Duduk di sebuah coffe shop, di deratan kursi yang disediakan di luar ruangan. Pakaiannya rapi, berkemeja corak hitam putih bergaris, bercelana bahan, dan mengenakan sepatu pantofel. Di hadapannya ada sebuah map, belum dibuka sejak tadi, mungkin sampai orang yang ditunggu datang. Jemarinya mengusap layar smartphone ke atas, membaca-baca berita online. Bosan dengan hal itu, ia membuka aplikasi media sosial. Di situ terlihat pesan yang terakhir kali ia terima, pas tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata terakhir yang ditulis adalah: [Aku masih di jalan, sabar, ya.] “Sudah lama menunggu di sini?” ucap seseorang yang sudah tiba di hadapannya. Ia mengenakan kaus berwarna putih dan celana jin. “Ini mah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab pria gemuk itu, dengan mulut yang sedikit manyun. “Coba lihat chat kita, kayaknya di sana ada keterangan waktunya.” Lelaki berkaus putih itu tertawa mendengar sin
Selepas mengucap salam, Izul masuk ke dalam rumah dengan tatapan kosong. Tampak seperti sesosok anak yang benar-benar kehilangan semangat. Hal ini sudah ia bawa sejak tadi sepanjang perjalanan, bahkan sebelum bel sekolah berbunyi.Di tangan Izul ada sepucuk surat berwarna putih. Di bagian luar surat itu tertulis pesan agar surat ini diterima wali murid. Dari tempatnya sekarang, terdengar bunyi peralatan-peralatan dapur, pastilah Umi di sana. Setelah tinggal beberapa langkah sebelum ia bisa melihat Umi, dan juga sebaliknya, ia menarik napas yang cukup panjang.“Anak salehnya Umi sudah pulang,” ucap Diah. Ia lepaskan spatula yang sempat bermain-main dalam genggamannya. Mendekati anaknya yang tampak kehilangan semangat itu. “Anak salehnya Umi kenapa? Kok kelihatan lesu begitu, masuk tidak mengucap salam juga.”“Sudah Umi, cuma Umi saja yang tidak dengar.”Diah tersenyum mendengar jawaban anaknya, bermaksud agar bisa memindahkan energi keceriaan yang sama. “Mungkin karena di dapur terlalu
Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Bunyi menggeresek terdengar begitu kursi didorong ke belakang. Erlangga tidak berucap sepatah kata pun kala melihat temannya yang tiba-tiba tampak aneh. Pergi meninggalkannya sendiri, dan juga meninggalkan segelas kapucino yang mungkin baru diseruput dua atau tiga kali.Suasana pinggir jalan siang itu tidak terlalu ramai, tapi tidak juga dibilang sepi. Mobil dan motor tidak ada habisnya berseliweran, kondisi jalan terpantau lancar. Di sisi jalan, Ridho terus melangkah menuju sosok perempuan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Perempuan berkerudung lebar itu sibuk mengajak bicara anaknya, bocah yang sebenarnya masih belum terlalu bisa diajak bicara, hanya merespons dengan tawa polos.Ridho sudah berdiri di hadapan perempuan itu, kira-kira berjarak serentangan tangan. Sesaat kemudian, barulah si ibu muda menyadari bahwa seseorang tengah melemparkan pandangan ke arahnya. Bertanya, “Maaf, ada apa, ya?”Ia berpikir sejenak, agaknya belum terpikirkan percakapan ini mau dimulai dari mana.
Ridho memainkan pandangannya, mengamati satu persatu tamu bandara yang asyik berlalu lalang. Di sekitarnya ada beberapa koper dan seorang anak kecil yang menautkan tangannya ke tangan Ridho. Dekat dengan jalan, ada petugas inspeksi menunggu di ruang lintas yang dipagari besi, tempat calon penumpang menunjukkan tiket, dan meletakkan barang bawaannya, sebelum masuk mesin scan. Tidak jauh dari posisinya sekarang, ada sekelompok orang yang saling berpelukan. Memberi kesan betapa selama ini mereka telah dipisahkan jarak, dan baru hari ini merasakan kedekatan. Pasca Idulfitri, lokasi transit transportasi umum memang selalu menjadi favorit. Manusia-manusia dari berbagai wilayah, menyemut di sini, membentuk keramaian yang jarang ditemukan pada hari-hari biasanya. Awalnya, Ridho hanya bermaksud memainkan sekilas pandang terhadap apa yang dilihat. Hingga didapati sebuah keluarga yang sangat menyita perhatiannya. Yakni Wanita yang membopong seorang bocah, caranya menimang, persis ibunya ketik
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn
Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cep
Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.Ketika itu Ridho masih belum mengerti
Bunyi menggeresek terdengar begitu kursi didorong ke belakang. Erlangga tidak berucap sepatah kata pun kala melihat temannya yang tiba-tiba tampak aneh. Pergi meninggalkannya sendiri, dan juga meninggalkan segelas kapucino yang mungkin baru diseruput dua atau tiga kali.Suasana pinggir jalan siang itu tidak terlalu ramai, tapi tidak juga dibilang sepi. Mobil dan motor tidak ada habisnya berseliweran, kondisi jalan terpantau lancar. Di sisi jalan, Ridho terus melangkah menuju sosok perempuan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Perempuan berkerudung lebar itu sibuk mengajak bicara anaknya, bocah yang sebenarnya masih belum terlalu bisa diajak bicara, hanya merespons dengan tawa polos.Ridho sudah berdiri di hadapan perempuan itu, kira-kira berjarak serentangan tangan. Sesaat kemudian, barulah si ibu muda menyadari bahwa seseorang tengah melemparkan pandangan ke arahnya. Bertanya, “Maaf, ada apa, ya?”Ia berpikir sejenak, agaknya belum terpikirkan percakapan ini mau dimulai dari mana.
Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Selepas mengucap salam, Izul masuk ke dalam rumah dengan tatapan kosong. Tampak seperti sesosok anak yang benar-benar kehilangan semangat. Hal ini sudah ia bawa sejak tadi sepanjang perjalanan, bahkan sebelum bel sekolah berbunyi.Di tangan Izul ada sepucuk surat berwarna putih. Di bagian luar surat itu tertulis pesan agar surat ini diterima wali murid. Dari tempatnya sekarang, terdengar bunyi peralatan-peralatan dapur, pastilah Umi di sana. Setelah tinggal beberapa langkah sebelum ia bisa melihat Umi, dan juga sebaliknya, ia menarik napas yang cukup panjang.“Anak salehnya Umi sudah pulang,” ucap Diah. Ia lepaskan spatula yang sempat bermain-main dalam genggamannya. Mendekati anaknya yang tampak kehilangan semangat itu. “Anak salehnya Umi kenapa? Kok kelihatan lesu begitu, masuk tidak mengucap salam juga.”“Sudah Umi, cuma Umi saja yang tidak dengar.”Diah tersenyum mendengar jawaban anaknya, bermaksud agar bisa memindahkan energi keceriaan yang sama. “Mungkin karena di dapur terlalu
Pria gemuk berkacamata beberapa kali melihat sekitar, lalu memandang arlojinya. Duduk di sebuah coffe shop, di deratan kursi yang disediakan di luar ruangan. Pakaiannya rapi, berkemeja corak hitam putih bergaris, bercelana bahan, dan mengenakan sepatu pantofel. Di hadapannya ada sebuah map, belum dibuka sejak tadi, mungkin sampai orang yang ditunggu datang. Jemarinya mengusap layar smartphone ke atas, membaca-baca berita online. Bosan dengan hal itu, ia membuka aplikasi media sosial. Di situ terlihat pesan yang terakhir kali ia terima, pas tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata terakhir yang ditulis adalah: [Aku masih di jalan, sabar, ya.] “Sudah lama menunggu di sini?” ucap seseorang yang sudah tiba di hadapannya. Ia mengenakan kaus berwarna putih dan celana jin. “Ini mah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab pria gemuk itu, dengan mulut yang sedikit manyun. “Coba lihat chat kita, kayaknya di sana ada keterangan waktunya.” Lelaki berkaus putih itu tertawa mendengar sin
“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk mem
Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya
Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.Ketika itu Ridho masih belum mengerti
Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cep
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn