Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.
Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.
“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.
Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya dibungkus kain kasar. Tampaknya kain kasar tersebut asalnya berwarna putih, berubah agak kecokelatan lantaran kerap bersentuhan dengan tanah.
Di sisi pemegang obor, adalah lelaki yang juga bertelanjang dada. Hanya saja yang dikenakan di bagian bawahnya berbahan daun. Kelihatannya cara berpakaian orang-orang ini hanya ala kadarnya. Bunyi debuk barusan, berasal dari dua kepalan tangan orang ini, kiri-kanan, terus secara bergantian.
“Ampun! Tolong lepaskan aku! Apa salahku?!” jerit penumpang kabin yang terus-terusan dianiaya itu. Beberapa titik warna lebam menghiasi wajahnya, ada yang malah mengeluarkan darah.
Sejumlah tinju masih dilepaskan, hingga ucapan “ampun” tidak lagi terdengar. Sosok yang dianiaya telah kehilangan kesadaran, barulah si pemukul menghentikan aksinya. Tangannya terjulur, memastikan kalau orang yang disiksa masih memiliki napas. Lalu ia dan rekannya yang memegang obor, mengikat tangan dan kaki korbannya, sebelum diserahkan ke rekan lainnya yang menunggu dekat pintu keluar.
Tarikan napas Hasan berasa tertahan ketika menyaksikan detail penyiksaan tak berperikemanusiaan tersebut. Ia sedikit menurunkan kepalanya yang sempat dilongokkan, menyembunyikan wajah di balik kursi penumpang yang ada di hadapannya. Tangannya mengepal, geram, ingin rasanya melawan, tapi berisiko.
Ia belum tahu berapa jumlah orang-orang barbar ini sebenarnya, bisa jadi di luar masih banyak, dan entah senjata apa yang mereka persiapkan. Selain itu, ia juga belum tahu apakah selain dirinya, ada penumpang lain yang terjaga? Di saat pikirannya masih menduga-duga, penumpang yang duduk di bekang korban yang hampir purna diikat, tiba-tiba terbangun dan bersuara:
“Eh!? Siapa kalian?!”
Si pemegang obor serta-merta mengangkat kakinya tinggi, kemudian menghempaskannya sekuat tenaga, tepat terarah ke dada lelaki yang baru saja terbangun. Lelaki malang itu lantas terbatuk-batuk, helaan napas yang tengah diupayakan terdengar begitu berat, sebelum menerima hantaman yang sama sekali lagi, lalu pingsan.
Hal yang sama dilakukan sebagaimana terhadap korban sebelumnya. Si pemegang obor berdiri, memberikan pencahayaan pada dua temannya yang berjongkok dan melakukan pengikatan. Secara tiba-tiba, pemegang obor itu mendongakkan kepala, memandang bagian belakang kabin.
Hasan yang kebetulan tengah melongok, langsung menurunkan tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, ia yakin betul, barusan matanya sempat berpapasan dengan mata sosok barbar itu. Dan begitu adanya, si pemegang obor segera mencolek salah temannya, kepalanya memberikan isyarat agar ikut memeriksa di kursi bagian belakang.
Bunyi langkah kaki terdengar semakin jelas, nyala api kian terang, bayangan dua lelaki itu semakin mendekat. Hasan memegang sebuah kain yang diam-diam telah dipersiapkan. Lalu mengambil sebotol air meneral, menumpahkan isinya hingga membasahi kain yang dipegang.
Ketika menarik ujung kain itu dengan dua tangannya, tampak getaran-getaran halus yang menjalar dari sekujur tubuhnya. Getaran yang berasal dari luapan emosi, kesal, sedih, cemas, takut. Lagi pula dalam kondisi seperti ini, memilih pasrah juga percuma. Orang-orang bengis ini kelihatan punya niat yang buruk, maka melakukan perlawanan masih lebih baik. Pilihannya hanya dua: pasrah untuk mati atau bertahan hidup.
Rasa panas dari gejolak api mulai bisa dirasakan, Hasan menutup kedua matanya, berpura-pura tidur. Sayangnya si pemegang obor hanya mengarahkan kedua matanya tepat di depan Hasan, sekadar memastikan bahwa inilah sosok yang tadi berpapasan dengannya.
Hampir ia memindahkan obor yang dipegang ke tangan satunya lagi, ketika Hasan secara tiba-tibe mengeluarkan kain yang telah dibasahi. Ia menggulung api tersebut, beriringan dengan suasana kabin yang berubah gelap total. Dua tangannya melepas ujung kain, beralih mencengekeram batang obor, dan menariknya kuat-kuat.
Saat suasana kabin diterangi gejolak api tadi, ia memerhatikan di mana posisi dan kondisi dua sosok barbar yang sekarang berada di dekatnya. Bermodalkan ingatan tersebut, Hasan menghantamkan obor padam yang sudah berada di tangannya. Satu benturan keras telak mengenai tengkuk lelaki yang bagian bawahnya mengenakan kain berbahan kasar. Suara erangan memilukan terdengar, disusul bunyi ambruk tubuhnya.
Tanpa membuang waktu, Hasan melayangkan hantaman keras kedua. Lagi-lagi pukulan telak terjadi, erangan, disusul bunyi ambruk tubuh yang jatuh. Bersenjatakan kayu obor yang sepertinya cukup keras dan kuat, Hasan menghampiri orang ketiga yang ia ketahui ada di pintu depan pesawat.
Karena kondisi kabin yang benar-benar gelap, hingga tangan sendiri pun tidak tampak, Hasan menjulurkan salah satu tangannya, meraba medan yang akan dilalui. Ia sampai di bagian depan, ia tahu itu lantaran ketika meraba, tidak mendapati ada seseorang yang duduk.
Beruntung, ternyata ketika obor ia padamkan, orang ketiga telah menyeret dua korbannya tadi untuk dilemparkan keluar. Dari posisinya sekarang, matanya bisa menangkap sedikit cahaya yang berasal dari pintu depan kabin. Pancaran cahaya lembut, sepertinya berasal dari cahaya rembulan.
Hasan mendekati ruangan yang disiram sedikit cahaya, pelan-pelan melangkah. Bayangan seseorang yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu tampak. Ia mengintip sedikit apa yang sedang terjadi, ternyata itu adalah orang ketiga yang tadi ia lihat. Dari ambang pintu pesawat, orang itu berbicara kencang pada teman-temannya yang menunggu di bawah. Entah apa yang mereka bicarakan, karena bahasanya tidak ia mengerti, baru kali itu didengar.
Orang itu mengangkat salah satu tubuh yang terikat kencang, lalu mencampakkannya ke luar. Berdebum, bunyi yang menegaskan kalau di bawah sana, tak ada seorang pun yang menyambut lemparan barusan. Lalu tubuh kedua dilemparkan dengan cara yang sama.
Kalau saja situasinya tidak seperti ini, mungkin orang yang melempar barusan akan ia tendang kencang-kencang, agar bisa merasakan apa yang korbannya rasakan. Namun Hasan hanya bisa menahan diri, menunggu orang itu kembali ke dalam kabin.
Begitu orang ketiga kembali ke dalam kabin, suasana gelap total membuatnya keheranan. Ia bersorak, seperti memastikan keberadaan dua temannya, dan tidak mendapat jawaban. Lantas tersadar kalau sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
Terlambat, Hasan yang berdiri di sebelahnya, menyempil depan kursi yang sudah tidak diduduki, tengah mengangkat kayu obor tinggi-tinggi. Satu pukulan keras menghantam bagian di antara leher dan pundak. Sosok ketiga ambruk.
Ia menyeret tubuh yang baru tersungkur itu mendekati dua temannya tadi. Ia telah membuat rencana, akan menunggu di sini hingga kawanan manusia barbar ini datang dan memeriksa keadaan. Lalu melakukan hal yang sama terhadap mereka. Jika kondisi dirasa sudah benar-benar aman, barulah ia keluar.
Beberapa saat berlalu, belum ada tanda-tanda seseorang akan datang. Hasan mengintip lorong yang mengarah ke pintu keluar, hanya mendapati tali yang diikat kuat di sekitar ambang pintu, dan menjuntai sampai ke bawah. Baru berjalan beberapa detik, terjadi pergerakan di tali tersebut. Hasan menarik napas dalam-dalam, kembali bersiap-siap, lalu hal yang sama berhasil dilakukan.
Orang kelima, keenam, ketujuh, memperoleh perlakuan yang sama dan ikut tertumpuk dengan manusia barbar lainnya. Kedelapan dan kesembilan datang hampir bersamaan, masuk dalam lorong kabin pesawat berdua. Ia berhasil merubuhkan orang kedelapan, namun yang kesembilan gagal, pukulannya telaknya berhasil ditahan.
Orang kesembilan itu kelihatan terhuyung-huyung, mempertahankan kesadaran. Dilihat dari fisiknya yang lebih kekar kawan-kawannya yang lain. Mungkin jika Hasan berkelahi dengannya secara adil, sulit baginya untuk menang. Maka ia tidak mau menyianyiakan kesempatan ini, ujung kayu obor keras itu ia serudukan tepat ke hulu hati lawannya. Begitu tubuh kekar itu bersimpuh menahan sakit, Hasan kembali menghadiahi pukulan keras beberapa kali, hingga musuhnya benar-benar hilang kesadaran.
Ia kembali menunggu, namun kali ini penantiannya memakan waktu lebih lama dari sebelumnya. Jika dipikir-pikir lagi, terlalu lama menunggu pun tidak akan aman. Orang-orang yang ia buat pingsan ada saatnya akan terbangun. Setelah menunggu lebih lama lagi sambil mempertimbangkan langkah, Hasan memutuskan turun dari pesawat dengan tali yang telah terpasang kuat.
Sialnya, manusia-manusia barbar itu ternyata masih ada di luar. Hasan yang sudah memanjat tali, seketika memerosotkan dirinya ke bawah. Tangannya yang belum terbiasa menahan gesekan tali, hanya mampu bertahan sebentar, lalu melepaskan genggamannya, jatuh berdebum membentur tanah.
Ada sobekan-sobekan kecil di telapak tagannya, perih memang, tapi tidak ada waktu untuk merasai kesakitannya. Salah satu manusia barbar telah berdiri persis di depannya, siap mengayunkan pedang. Refleks Hasan menarik kakinya dan menendang dada orang tersebut kuat-kuat hingga berhasil terpental.
Ia segera bangun, tidak memedulikan lagi perih yang dirasakan ketika luka di tapak tangannya menyentuh tanah, berlari kencang. Melalui sudut mata, ia bisa melihat manusia barbar yang lain menarik tombaknya ke belakang, lalu membuatnya terbang di udara dan mengarah kencang menuju Hasan.
Entah keberuntungan atau memang pemain tombak itu benar-benar jitu, lemparan tombaknya sesuai dengan kecepatan lari Hasan. Sekilas melihatnya, Hasan bisa merasakan bagaimana ketajaman tombak tersebut bisa merobek dadanya. Sekuat tenaga ia berusaha menahan langkah, tapak kaki menabrak ranting-ranting kecil yang dilalui, termasuk ranting tajam yang merobek kulit. Lantas ia lebih menekan dua kakinya ke tanah.
Suara benda tajam menembus tanah cukup menimbulkan perasaan ngilu. Napas Hasan tersengal, serangan tadi hampir saja merenggut keselamatannya. Sejenak ia perhatikan betapa mengerikannya hunjaman barusan, hingga setengah tombak terendam ke dalam tanah. Hasan mendekati tombak tersebut, sekuat tenaga menariknya keluar, berhasil.
Ia menoleh ke belakang. Niat hati ingin melakukan serangan balik dengan senjata yang dipunya. Sayangnya jumlah musuh bukan hanya tiga orang, sebagaimana yang diperkirakan. Entahlah berapa pastinya jumlah mereka, ia lebih memilih berbalik badan dan kabur ketimbang memperhitungkan perlawanan.
Di hadapannya sekarang adalah pepohonan yang cukup lebat. Bahkan sebenarnya, ia memang berada dalam hutan. Pesawat yang ia tumpangi mendarat di tengah-tengah hutan dan merusakkan batang-batang pohon besar. Manusia barbar lain yang bertelanjang dada dan mengenakan bawahan yang agaknya terbuat dari sulaman jerami, bersiap mengadang. Di tangannya, tergenggam kuat sebilah pedang tajam.
Hasan terus menerobos ke depan. Setidaknya ia diuntungkan dengan ukuran tombaknya yang lebih panjang. Lantas sembarang saja ia putar tombak tersebut dengan satu tangan. Ia tidak peduli apakah serangannya kena atau tidak. Perasaan merobek sesuatu muncul dalam gerakan tangannya. Musuh di hadapannya tiba-tiba bersimpuh, sebelum ambruk di atas tanah.
Ia berlari di antara pepohonan besar, disusul manusia-manusia barbar di belakangnya. Sengaja ia tidak mengambil jalan setapak dalam pelariannya. Karena ia tahu, jalan setapak biasanya mengarah ke suatu pemukiman. Bagaimana jika pemukiman itu adalah pemukiman para manusia barbar? Habislah ia pastinya.
Pelarian yang cukup panjang benar-benar telah menguras tenaganya. Ia tidak mungkin terus-terusan berlari seperti ini, ada kalanya tenaga yang dipergunakan bakal menemukan batasannya. Sekarang saja napasnya sudah sedemikian berat.
Di depannya sekarang adalah batang pohon lebat yang sangat besar nan menjulang tinggi, dan tampak sulit dipanjat. Bahkan dahan terendah pohon ini tidak mungkin bisa dijangkau siapa pun—kisaran tingginya hampir dua kali tubuhnya. Hasan melongok ke atas, memikirkan bahwa setidaknya jika ia berhasil sampai di dahan terendah, dahan-dahan di atasnya lagi akan bisa dijangkau. Pastilah pucuk pohon ini bisa jadi tempat persembunyian sekaligus peristirahatan terbaik. Persoalannya, bagaimana ia bisa mencapai dahan terendah tanpa meninggalkan jejak berarti?
Setelah berpikir keras dan berusaha menemukan solusi secepat mungkin, jawaban itu didapat. Hasan menusuk batang pohon itu sekuat mungkin dengan tombak yang ada di tangannya. Setelah dirasa tancapannya cukup kuat, dan posisinya cukup tinggi namun masih bisa dijangkau, barulah ia menuju dahan pertama setelah memanjat tombaknya. Setelah tangannya berhasil menjangkau dahan pertama, ia sekuat tenaga mencabut tombaknya.
Dahan demi dahan dipanjat, hingga dirasa berada di posisi yang aman, barulah ia bisa menyandarkan diri. Dalam lelah yang teramat sangat, ia pandang dua tangannya yang bergeletar. Selama hidup, ini pertama kalinya ia menumpahkan darah seseorang—bahkan mungkin nyawa. Ia melihat ke atas memandang langit, beristigfar, memohon diberi kekuatan agar bisa melalui ini semua.
Di bawah sana, manusia-manusia barbar bolak-balik mencari keberadaannya. Kebingungan, karena seharusnya—atau setidaknya—yang dicari berada di sekitar sini. Padahal mereka hanya butuh mendongak ke atas dan sedikit lebih teliti memerhatikan, pastilah mereka akan menemukan sosok yang dicari.
Sementara pohon tempat Hasan bersandar, menjatuhkan buahnya secara tidak wajar. Mungkin karena gerakan-gerakan yang secara tidak sengaja ia lakukan. Ini yang membuat orang-orang barbar itu mesti melihat ke atas, dan mereka akhirnya menemukan sesuatu.
“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk mem
Pria gemuk berkacamata beberapa kali melihat sekitar, lalu memandang arlojinya. Duduk di sebuah coffe shop, di deratan kursi yang disediakan di luar ruangan. Pakaiannya rapi, berkemeja corak hitam putih bergaris, bercelana bahan, dan mengenakan sepatu pantofel. Di hadapannya ada sebuah map, belum dibuka sejak tadi, mungkin sampai orang yang ditunggu datang. Jemarinya mengusap layar smartphone ke atas, membaca-baca berita online. Bosan dengan hal itu, ia membuka aplikasi media sosial. Di situ terlihat pesan yang terakhir kali ia terima, pas tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata terakhir yang ditulis adalah: [Aku masih di jalan, sabar, ya.] “Sudah lama menunggu di sini?” ucap seseorang yang sudah tiba di hadapannya. Ia mengenakan kaus berwarna putih dan celana jin. “Ini mah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab pria gemuk itu, dengan mulut yang sedikit manyun. “Coba lihat chat kita, kayaknya di sana ada keterangan waktunya.” Lelaki berkaus putih itu tertawa mendengar sin
Selepas mengucap salam, Izul masuk ke dalam rumah dengan tatapan kosong. Tampak seperti sesosok anak yang benar-benar kehilangan semangat. Hal ini sudah ia bawa sejak tadi sepanjang perjalanan, bahkan sebelum bel sekolah berbunyi.Di tangan Izul ada sepucuk surat berwarna putih. Di bagian luar surat itu tertulis pesan agar surat ini diterima wali murid. Dari tempatnya sekarang, terdengar bunyi peralatan-peralatan dapur, pastilah Umi di sana. Setelah tinggal beberapa langkah sebelum ia bisa melihat Umi, dan juga sebaliknya, ia menarik napas yang cukup panjang.“Anak salehnya Umi sudah pulang,” ucap Diah. Ia lepaskan spatula yang sempat bermain-main dalam genggamannya. Mendekati anaknya yang tampak kehilangan semangat itu. “Anak salehnya Umi kenapa? Kok kelihatan lesu begitu, masuk tidak mengucap salam juga.”“Sudah Umi, cuma Umi saja yang tidak dengar.”Diah tersenyum mendengar jawaban anaknya, bermaksud agar bisa memindahkan energi keceriaan yang sama. “Mungkin karena di dapur terlalu
Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Bunyi menggeresek terdengar begitu kursi didorong ke belakang. Erlangga tidak berucap sepatah kata pun kala melihat temannya yang tiba-tiba tampak aneh. Pergi meninggalkannya sendiri, dan juga meninggalkan segelas kapucino yang mungkin baru diseruput dua atau tiga kali.Suasana pinggir jalan siang itu tidak terlalu ramai, tapi tidak juga dibilang sepi. Mobil dan motor tidak ada habisnya berseliweran, kondisi jalan terpantau lancar. Di sisi jalan, Ridho terus melangkah menuju sosok perempuan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Perempuan berkerudung lebar itu sibuk mengajak bicara anaknya, bocah yang sebenarnya masih belum terlalu bisa diajak bicara, hanya merespons dengan tawa polos.Ridho sudah berdiri di hadapan perempuan itu, kira-kira berjarak serentangan tangan. Sesaat kemudian, barulah si ibu muda menyadari bahwa seseorang tengah melemparkan pandangan ke arahnya. Bertanya, “Maaf, ada apa, ya?”Ia berpikir sejenak, agaknya belum terpikirkan percakapan ini mau dimulai dari mana.
Ridho memainkan pandangannya, mengamati satu persatu tamu bandara yang asyik berlalu lalang. Di sekitarnya ada beberapa koper dan seorang anak kecil yang menautkan tangannya ke tangan Ridho. Dekat dengan jalan, ada petugas inspeksi menunggu di ruang lintas yang dipagari besi, tempat calon penumpang menunjukkan tiket, dan meletakkan barang bawaannya, sebelum masuk mesin scan. Tidak jauh dari posisinya sekarang, ada sekelompok orang yang saling berpelukan. Memberi kesan betapa selama ini mereka telah dipisahkan jarak, dan baru hari ini merasakan kedekatan. Pasca Idulfitri, lokasi transit transportasi umum memang selalu menjadi favorit. Manusia-manusia dari berbagai wilayah, menyemut di sini, membentuk keramaian yang jarang ditemukan pada hari-hari biasanya. Awalnya, Ridho hanya bermaksud memainkan sekilas pandang terhadap apa yang dilihat. Hingga didapati sebuah keluarga yang sangat menyita perhatiannya. Yakni Wanita yang membopong seorang bocah, caranya menimang, persis ibunya ketik
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn
Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cep
Bunyi menggeresek terdengar begitu kursi didorong ke belakang. Erlangga tidak berucap sepatah kata pun kala melihat temannya yang tiba-tiba tampak aneh. Pergi meninggalkannya sendiri, dan juga meninggalkan segelas kapucino yang mungkin baru diseruput dua atau tiga kali.Suasana pinggir jalan siang itu tidak terlalu ramai, tapi tidak juga dibilang sepi. Mobil dan motor tidak ada habisnya berseliweran, kondisi jalan terpantau lancar. Di sisi jalan, Ridho terus melangkah menuju sosok perempuan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Perempuan berkerudung lebar itu sibuk mengajak bicara anaknya, bocah yang sebenarnya masih belum terlalu bisa diajak bicara, hanya merespons dengan tawa polos.Ridho sudah berdiri di hadapan perempuan itu, kira-kira berjarak serentangan tangan. Sesaat kemudian, barulah si ibu muda menyadari bahwa seseorang tengah melemparkan pandangan ke arahnya. Bertanya, “Maaf, ada apa, ya?”Ia berpikir sejenak, agaknya belum terpikirkan percakapan ini mau dimulai dari mana.
Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Selepas mengucap salam, Izul masuk ke dalam rumah dengan tatapan kosong. Tampak seperti sesosok anak yang benar-benar kehilangan semangat. Hal ini sudah ia bawa sejak tadi sepanjang perjalanan, bahkan sebelum bel sekolah berbunyi.Di tangan Izul ada sepucuk surat berwarna putih. Di bagian luar surat itu tertulis pesan agar surat ini diterima wali murid. Dari tempatnya sekarang, terdengar bunyi peralatan-peralatan dapur, pastilah Umi di sana. Setelah tinggal beberapa langkah sebelum ia bisa melihat Umi, dan juga sebaliknya, ia menarik napas yang cukup panjang.“Anak salehnya Umi sudah pulang,” ucap Diah. Ia lepaskan spatula yang sempat bermain-main dalam genggamannya. Mendekati anaknya yang tampak kehilangan semangat itu. “Anak salehnya Umi kenapa? Kok kelihatan lesu begitu, masuk tidak mengucap salam juga.”“Sudah Umi, cuma Umi saja yang tidak dengar.”Diah tersenyum mendengar jawaban anaknya, bermaksud agar bisa memindahkan energi keceriaan yang sama. “Mungkin karena di dapur terlalu
Pria gemuk berkacamata beberapa kali melihat sekitar, lalu memandang arlojinya. Duduk di sebuah coffe shop, di deratan kursi yang disediakan di luar ruangan. Pakaiannya rapi, berkemeja corak hitam putih bergaris, bercelana bahan, dan mengenakan sepatu pantofel. Di hadapannya ada sebuah map, belum dibuka sejak tadi, mungkin sampai orang yang ditunggu datang. Jemarinya mengusap layar smartphone ke atas, membaca-baca berita online. Bosan dengan hal itu, ia membuka aplikasi media sosial. Di situ terlihat pesan yang terakhir kali ia terima, pas tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata terakhir yang ditulis adalah: [Aku masih di jalan, sabar, ya.] “Sudah lama menunggu di sini?” ucap seseorang yang sudah tiba di hadapannya. Ia mengenakan kaus berwarna putih dan celana jin. “Ini mah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab pria gemuk itu, dengan mulut yang sedikit manyun. “Coba lihat chat kita, kayaknya di sana ada keterangan waktunya.” Lelaki berkaus putih itu tertawa mendengar sin
“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk mem
Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya
Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.Ketika itu Ridho masih belum mengerti
Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cep
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn