Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.
Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.
Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.
Ketika itu Ridho masih belum mengerti alasannya, tapi kakaknya yang lebih tua tiga tahun darinya mengerti siapa yang sedang dibicarakan. Izul mengusap-usap matanya yang basah, lalu berkata, “Padahal Kakak juga pengin tahu kondisi Abi. Kenapa Umi suruh Kakak ke kamar?!”
Walau meja, kursi, dan komponen-komponen lain yang membentuk rumah ini tampak sama, sejatinya telah melalui banyak pergantian dan perbaikan. Meja dan kursi ini misalnya, saat meja dan kursi sebelumya sudah sangat rapuh, maka Ridho menggantinya dengan yang baru, dalam bentuk, warna, dan corak yang sama. Demikian halnya genting, dinding, jendela, dan hal-hal lainnya yang hanya mengalami peremejaan tanpa perubahan.
Suara perdebatan serius antara ia dan kakaknya melintas dalam ingatan. Ketika Ridho memandang meja dan kursi yang ada di depan rumah, seakan ia melihat dirinya dan kakaknya yang berseteru. Izul mengotot mau melakukan renovasi terhadap rumah mereka, ingin bangunan rumah ini tampak gagah sebagaimana rumah-rumah tetangga.
Ridho menolak, ia tidak ingin ada seinci pun dari bangunan rumah yang berubah atau sekadar berpindah lokasi. Kalaupun ada yang mesti diperbaiki, ia yang akan menanggung biaya perbaikannya. Tidak masalah jika ia sendiri yang harus mengeluarkan biaya untuk itu, ia siap menanggungnya.
“Sombong sekali, mentang-mentang novelmu sedang naik daun dan merasa sudah memiliki banyak uang,” seru Izul disertai timbulnya goresan di leher dan sedikit tampak di dahi, “Kamu itu terlalu menikmati dunia fiksi, sampai tidak bisa membedakan mana realitas mana angan-angan.”
“Aku tidak segila itu! Aku masih sangat waras dan masih bisa berpikir logis. Memang apa salahnya kalau aku meyakini Abi masih hidup? Toh selama ini, mereka yang mengatakan Abi dan penumpang-penumpang lainnya telah meninggal dunia, masih belum bisa mengonfirmasi kebenarannya,” ujar Ridho dengan tetap menjaga nada bicaranya agar tetap datar.
“Kamu bodoh, ya?! Kejadian itu sudah puluhan tahun berlalu. Kalaupun Abi masih hidup dan ada di suatu tempat, pastilah ia akan datang ke sini, atau sekurang-kurangnya ia akan menghubungi kita.” Izul masih tidak terima dengan argumen adiknya yang dianggap sangat jauh dari akal sehat.
“Kamu itu memang perlu diselamatkan dari kegilaan yang kamu buat sendiri. Lebih baik kita renovasi rumah ini, untuk menyelematkan pikiran kamu dari hal-hal yang bisa membuatmu berpikir tidak waras.” Izul masih dengan suara tingginya, “Aku jadi heran, bagaimana bisa novel yang menceritakan kepulangan seorang ayah yang hilang selama puluhan tahun, dengan mengenali bentuk rumahnya yang tidak berubah, bisa diterima masyarakat. Mereka semua sama-sama pengkhayal seperti kamu.”
Ridho merasa benar-benar tertohok dengan ejekan kakaknya barusan. Di ujung tangan yang menjulur dan menyandar di paha, ada kepalan yang begitu keras. Sebenarnya novel yang dibicarakan kakaknya adalah novel yang dibangun di atas keyakinannya sendiri. Hal itu pula yang ia terapkan, dengan harapan yang sama, seperti harapan yang dipertahankan tokoh utama dalam novel yang ia buat.
“Aku tetap tidak mau ada yang berubah dari rumah ini.”
Izul menyoroti adiknya dengan tatapan yang sangat tajam. Mendapati tatapan mata yang setajam tatapannya, mengarah lurus ke meja di hadapannya. Juga memerhatikan bagaimana kedua tangan adiknya telah membentuk tinju. Hal ini yang membuatnya semakin naik pitam, dan berpikir bahwa salah satu cara menangani kebodohan dan kekeraskepalaan adiknya sepertinya hanya tinggal adu tinju.
Izul menjangkau gelas berisi air mineral di hadapannya, lalu dengan sekuat tenaga membanting gelas tersebut ke lantai. Terdengar denting beling yang pecah, dan pecahannya menghambur ke tiap sudut lantai. Ridho yang sejak tadi sekuat tenaga menahan emosi mulai terpancing, sorot tajam matanya kini mengarah lurus ke mata sang kakak. Tinggal hitungan detik, hingga dua kepalan tangan yang saling mengeras akan menemukan pendaratannya.
“Astagfirullah al-‘azhim!” teriak Umi yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Segera berdiri di tengah-tengah kedua anaknya yang saling tersulut emosi. Umi meletakkan kedua tangannya di dada kedua putranya, menahan agar tidak saling merangsek ke depan, “Kalian berdua seharusnya beristigfar, jangan malah bertengkar.”
“Selama ini Ridho selalu diam setiap kali dia mencela pendapat Ridho.”
“Ridho sudah! Dia ini kakakmu, harusnya kamu bisa menghormatinya. Beristigafar, Nak! Tahan emosi kamu!” ucap Umi seraya menahan putra bungsunya agar tetap di posisinya.
“Kamu gila! Kamu pikir aku bisa tahan melihat kegilaanmu terus-terusan?!”
Sekuat tenaga, Umi juga menahan rangsekan putra sulungnya yang berniat menjangkau adiknya. Kali ini kata-kata beliau terucap diiringi tetesan air mata, “Sudah Izul! Dia ini adikmu, seharusnya kamu menyayanginya!”
Sengatan emosi yang dirasakan keduanya mereda ketika sesuatu yang basah terasa mengalir dan menyentuh kulit kaki mereka. Izul dan Ridho mengalihkan pandangan ke sekitar telapak kaki, darah segar tengah mengalir, bersumber dari tapak kaki Umi. Baru mereka sadari kalau sejak tadi Umi menahan luka pasca menginjak pecahan beling. Luka di kakinya dibiarkan tergesek dan melebar kala berusaha keras menahan dorongan dua anaknya.
“Maafkan kita, Umi,” ucap Izul dan Ridho bersamaan. Kesal mereka berubah haru, dan langsung memeluk ibu mereka.
“Ridho, tolong ambilkan kotak P3K,” perintah Izul pada adiknya. Sambil berderai air mata dan terus meminta maaf pada ibunya, Izul mendudukkan Umi di kursi yang tadi diduduki Ridho. Ia mencabut beling-beling yang menempel di tapak kaki ibunya, dengan suara sendu berkata, “Umi, Izul benar-benar minta maaf Umi. Izul janji Umi tidak akan mengalami hal ini lagi.”
“Iya Izul, Umi selalu memaafkan kamu, bahkan sebelum kamu meminta maaf,” jawab Umi dengan suara yang benar-benar tenang dan meneduhkan. Lalu tersenyum dan melanjutkan ucapannya, “Sebentar lagi anak sulung Umi akan menikah. Harusnya kamu lebih bisa menahan emosi, Izul. Kelak kamu tidak cuma menjadi suami, tapi juga akan menjadi ayah. Ayahmu adalah suami yang baik, hidup dengan terus berusaha meneladani sikap nabinya. Kamu juga harus seperti ayahmu.”
“Iya Umi. Izul akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”
Ridho bergegas datang dengan sekotak P3K. Air matanya kian berderai demi melihat darah yang menggenang dan terus mengalir dari telapak kaki ibunya. Ia meminta maaf dan benar-benar menyesali apa yang barusan ia perbuat. Ini salahnya, kalau saja ia tidak membangkang, mungkin tidak akan seperti ini. Lagi-lagi Umi mendengungkan kalimat yang sama, bahwa seorang ibu memang akan selalu memaafkan anaknya.
“Selama ini, Umi melahirkan dan membesarkan kalian tidak hanya dengan keringat, tapi juga dengan darah. Umi sangat sedih kalau darah dan keringat yang telah Umi korbankan, justru dibalas dengan pertumpahan darah sesama kalian.”
Kembali ke Ridho yang sedang membangkitkan kenangan masa lalu. Hatinya masih merasakan haru saat melihat bayangan dirinya di kursi itu, pada peristiwa lampau ketika ia dan kakaknya masih membujang.
Dari peristiwa tersebut ia dan kakaknya menyetujui sebuah kesepakatan yang disampaikan Umi. Bahwa rumah ini tampak luarnya akan tetap menjadi seperti ini, sebagaimana yang diinginkan Ridho. Sedangkan tampak dalamnya boleh dilakukan perubahan sebagaimana yang dikehendaki Izul. Jadilah bangunan ini tampak seperti sekarang.
Meski akhirnya hal tersebut menimbulkan perbedaan antara kisah novel yang ia buat dan kenyataan, namun jalan tengah yang dipilihkan Umi cukup adil baginya—juga bagi kakaknya. Setelahnya, Ridho dan Izul berusaha untuk tidak menyinggung hal tersebut, karena dianggap sensitif bagi keduanya, saling menjaga perasaan.
Ridho menghela napas panjang, membiarkan kenangan-kenangan tersebut berlalu dari ingatannya. Ia memasuki rumah, mendapati para perempuan dalam keluarga ini tengah berkumpul bersama, saling mempelajari Alquran. Anak gadisnya meloncat kegirangan, berlari menghampiri dan memeluk kakinya.
“Abi, Tiara sudah bisa baca Quran, Abi. Kata Nenek, bacaan Quran Tiara sudah bagus. Iya kan, Nenek?”
Umi Diah tersenyum, membalas senyuman sang cucu yang dilemparkan padanya, “Iya, cucu nenek memang cantik, pinter, dan salihah.”
Zaenab tampak sedikit murung. Melihatnya begitu, Umi Diah menambahkan perkataannya: “Zaenab juga sama, cantik, pinter, dan salihah.” Melebarlah senyum Zaenab ketika mendengar pujian neneknya.
“Kok kamu pulang sendiri, Mas? Kak Izul mana?” Mutia bertanya.
“Kak Izul masih mengobrol dengan jamaah masjid. Aku izin pulang duluan, mau menghubungi Valdi.”
Ridho masuk ke kamarnya, meraih handphone yang masih tersambung dengan kabel casan. Jarinya menyentuh layar handphone, menarik ke bawah sehingga tampil jendela pemberitahuan. Dugaannya benar, pesan darinya telah mendapat balasan.
Balasan pesan dari Valdi: ‘Tim kami tidak bisa menemukan orang yang kamu cari. Sepertinya kita terlambat mencarinya, orang itu keburu pergi.’
Jika melihat percakapan mereka sebelumnya, Ridho sempat mengirimkan pesan berupa gambar ayahnya ke Valdi. Data gambar tersebut diambil dari foto lama yang telah melalui mesin scan, tersimpan dalam galeri hanphone-nya, dikirimkan kemarin sewaktu meminta tolong temannya yang kebetulan bekerja di bandara. Namun ia belum memberitahukan alasan sebenarnya mengapa perlu mencari orang tersebut.
Ridho terduduk diam di ujung kasur, dua tangannya memegang handphone yang masih memancarkan cahaya, sementara pikirannya bekerja untuk menemukan solusi lain. Padahal akhir-akhir ini, ia hampir bisa hidup selayaknya orang normal. Mulai berdamai dengan kenyataan dan menyadari betapa dirinya sangat-sangat terbawa cerita fiksi.
Lalu ada sosok yang tiba-tiba datang dengan wujud yang masih sangat jelas melekat dalam ingatan. Seakan yang ia temui benar orang yang sama, dan bukan orang lain atau sekadar mirip. Ditambah lagi, percakapan di mobil dengan kakaknya terkait orang tersebut. Ini yang membuatnya selalu kepikiran sejak semalam.
Kakaknya yang dikenal sangat realistis dan sangat tidak menyukai hal-hal yang berbau fiksi saja, tiba-tiba bisa membahas hal itu. Mungkinkah ini sebuah kebetulan? Atau memang Tuhan menakdirkan kisah unik terjadi dalam dirinya?
Lagi-lagi Ridho dihanyutkan oleh inspirasi-inspirasi fiksi yang pernah menghanyutkannya. Atau jangan-jangan ini memang nyata?
Setelah terdiam beberapa saat memikirkan apa yang selanjutnya mesti dilakukan, ide itu lantas datang, dan ia sampaikan pada Valdi.
Ridho membalas: ‘Apa CCTV bandara bisa diperiksa?’
Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya
“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk mem
Pria gemuk berkacamata beberapa kali melihat sekitar, lalu memandang arlojinya. Duduk di sebuah coffe shop, di deratan kursi yang disediakan di luar ruangan. Pakaiannya rapi, berkemeja corak hitam putih bergaris, bercelana bahan, dan mengenakan sepatu pantofel. Di hadapannya ada sebuah map, belum dibuka sejak tadi, mungkin sampai orang yang ditunggu datang. Jemarinya mengusap layar smartphone ke atas, membaca-baca berita online. Bosan dengan hal itu, ia membuka aplikasi media sosial. Di situ terlihat pesan yang terakhir kali ia terima, pas tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata terakhir yang ditulis adalah: [Aku masih di jalan, sabar, ya.] “Sudah lama menunggu di sini?” ucap seseorang yang sudah tiba di hadapannya. Ia mengenakan kaus berwarna putih dan celana jin. “Ini mah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab pria gemuk itu, dengan mulut yang sedikit manyun. “Coba lihat chat kita, kayaknya di sana ada keterangan waktunya.” Lelaki berkaus putih itu tertawa mendengar sin
Selepas mengucap salam, Izul masuk ke dalam rumah dengan tatapan kosong. Tampak seperti sesosok anak yang benar-benar kehilangan semangat. Hal ini sudah ia bawa sejak tadi sepanjang perjalanan, bahkan sebelum bel sekolah berbunyi.Di tangan Izul ada sepucuk surat berwarna putih. Di bagian luar surat itu tertulis pesan agar surat ini diterima wali murid. Dari tempatnya sekarang, terdengar bunyi peralatan-peralatan dapur, pastilah Umi di sana. Setelah tinggal beberapa langkah sebelum ia bisa melihat Umi, dan juga sebaliknya, ia menarik napas yang cukup panjang.“Anak salehnya Umi sudah pulang,” ucap Diah. Ia lepaskan spatula yang sempat bermain-main dalam genggamannya. Mendekati anaknya yang tampak kehilangan semangat itu. “Anak salehnya Umi kenapa? Kok kelihatan lesu begitu, masuk tidak mengucap salam juga.”“Sudah Umi, cuma Umi saja yang tidak dengar.”Diah tersenyum mendengar jawaban anaknya, bermaksud agar bisa memindahkan energi keceriaan yang sama. “Mungkin karena di dapur terlalu
Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Bunyi menggeresek terdengar begitu kursi didorong ke belakang. Erlangga tidak berucap sepatah kata pun kala melihat temannya yang tiba-tiba tampak aneh. Pergi meninggalkannya sendiri, dan juga meninggalkan segelas kapucino yang mungkin baru diseruput dua atau tiga kali.Suasana pinggir jalan siang itu tidak terlalu ramai, tapi tidak juga dibilang sepi. Mobil dan motor tidak ada habisnya berseliweran, kondisi jalan terpantau lancar. Di sisi jalan, Ridho terus melangkah menuju sosok perempuan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Perempuan berkerudung lebar itu sibuk mengajak bicara anaknya, bocah yang sebenarnya masih belum terlalu bisa diajak bicara, hanya merespons dengan tawa polos.Ridho sudah berdiri di hadapan perempuan itu, kira-kira berjarak serentangan tangan. Sesaat kemudian, barulah si ibu muda menyadari bahwa seseorang tengah melemparkan pandangan ke arahnya. Bertanya, “Maaf, ada apa, ya?”Ia berpikir sejenak, agaknya belum terpikirkan percakapan ini mau dimulai dari mana.
Ridho memainkan pandangannya, mengamati satu persatu tamu bandara yang asyik berlalu lalang. Di sekitarnya ada beberapa koper dan seorang anak kecil yang menautkan tangannya ke tangan Ridho. Dekat dengan jalan, ada petugas inspeksi menunggu di ruang lintas yang dipagari besi, tempat calon penumpang menunjukkan tiket, dan meletakkan barang bawaannya, sebelum masuk mesin scan. Tidak jauh dari posisinya sekarang, ada sekelompok orang yang saling berpelukan. Memberi kesan betapa selama ini mereka telah dipisahkan jarak, dan baru hari ini merasakan kedekatan. Pasca Idulfitri, lokasi transit transportasi umum memang selalu menjadi favorit. Manusia-manusia dari berbagai wilayah, menyemut di sini, membentuk keramaian yang jarang ditemukan pada hari-hari biasanya. Awalnya, Ridho hanya bermaksud memainkan sekilas pandang terhadap apa yang dilihat. Hingga didapati sebuah keluarga yang sangat menyita perhatiannya. Yakni Wanita yang membopong seorang bocah, caranya menimang, persis ibunya ketik
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn
Bunyi menggeresek terdengar begitu kursi didorong ke belakang. Erlangga tidak berucap sepatah kata pun kala melihat temannya yang tiba-tiba tampak aneh. Pergi meninggalkannya sendiri, dan juga meninggalkan segelas kapucino yang mungkin baru diseruput dua atau tiga kali.Suasana pinggir jalan siang itu tidak terlalu ramai, tapi tidak juga dibilang sepi. Mobil dan motor tidak ada habisnya berseliweran, kondisi jalan terpantau lancar. Di sisi jalan, Ridho terus melangkah menuju sosok perempuan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Perempuan berkerudung lebar itu sibuk mengajak bicara anaknya, bocah yang sebenarnya masih belum terlalu bisa diajak bicara, hanya merespons dengan tawa polos.Ridho sudah berdiri di hadapan perempuan itu, kira-kira berjarak serentangan tangan. Sesaat kemudian, barulah si ibu muda menyadari bahwa seseorang tengah melemparkan pandangan ke arahnya. Bertanya, “Maaf, ada apa, ya?”Ia berpikir sejenak, agaknya belum terpikirkan percakapan ini mau dimulai dari mana.
Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Selepas mengucap salam, Izul masuk ke dalam rumah dengan tatapan kosong. Tampak seperti sesosok anak yang benar-benar kehilangan semangat. Hal ini sudah ia bawa sejak tadi sepanjang perjalanan, bahkan sebelum bel sekolah berbunyi.Di tangan Izul ada sepucuk surat berwarna putih. Di bagian luar surat itu tertulis pesan agar surat ini diterima wali murid. Dari tempatnya sekarang, terdengar bunyi peralatan-peralatan dapur, pastilah Umi di sana. Setelah tinggal beberapa langkah sebelum ia bisa melihat Umi, dan juga sebaliknya, ia menarik napas yang cukup panjang.“Anak salehnya Umi sudah pulang,” ucap Diah. Ia lepaskan spatula yang sempat bermain-main dalam genggamannya. Mendekati anaknya yang tampak kehilangan semangat itu. “Anak salehnya Umi kenapa? Kok kelihatan lesu begitu, masuk tidak mengucap salam juga.”“Sudah Umi, cuma Umi saja yang tidak dengar.”Diah tersenyum mendengar jawaban anaknya, bermaksud agar bisa memindahkan energi keceriaan yang sama. “Mungkin karena di dapur terlalu
Pria gemuk berkacamata beberapa kali melihat sekitar, lalu memandang arlojinya. Duduk di sebuah coffe shop, di deratan kursi yang disediakan di luar ruangan. Pakaiannya rapi, berkemeja corak hitam putih bergaris, bercelana bahan, dan mengenakan sepatu pantofel. Di hadapannya ada sebuah map, belum dibuka sejak tadi, mungkin sampai orang yang ditunggu datang. Jemarinya mengusap layar smartphone ke atas, membaca-baca berita online. Bosan dengan hal itu, ia membuka aplikasi media sosial. Di situ terlihat pesan yang terakhir kali ia terima, pas tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata terakhir yang ditulis adalah: [Aku masih di jalan, sabar, ya.] “Sudah lama menunggu di sini?” ucap seseorang yang sudah tiba di hadapannya. Ia mengenakan kaus berwarna putih dan celana jin. “Ini mah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab pria gemuk itu, dengan mulut yang sedikit manyun. “Coba lihat chat kita, kayaknya di sana ada keterangan waktunya.” Lelaki berkaus putih itu tertawa mendengar sin
“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk mem
Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya
Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.Ketika itu Ridho masih belum mengerti
Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cep
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn