Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Bunyi menggeresek terdengar begitu kursi didorong ke belakang. Erlangga tidak berucap sepatah kata pun kala melihat temannya yang tiba-tiba tampak aneh. Pergi meninggalkannya sendiri, dan juga meninggalkan segelas kapucino yang mungkin baru diseruput dua atau tiga kali.Suasana pinggir jalan siang itu tidak terlalu ramai, tapi tidak juga dibilang sepi. Mobil dan motor tidak ada habisnya berseliweran, kondisi jalan terpantau lancar. Di sisi jalan, Ridho terus melangkah menuju sosok perempuan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Perempuan berkerudung lebar itu sibuk mengajak bicara anaknya, bocah yang sebenarnya masih belum terlalu bisa diajak bicara, hanya merespons dengan tawa polos.Ridho sudah berdiri di hadapan perempuan itu, kira-kira berjarak serentangan tangan. Sesaat kemudian, barulah si ibu muda menyadari bahwa seseorang tengah melemparkan pandangan ke arahnya. Bertanya, “Maaf, ada apa, ya?”Ia berpikir sejenak, agaknya belum terpikirkan percakapan ini mau dimulai dari mana.
Ridho memainkan pandangannya, mengamati satu persatu tamu bandara yang asyik berlalu lalang. Di sekitarnya ada beberapa koper dan seorang anak kecil yang menautkan tangannya ke tangan Ridho. Dekat dengan jalan, ada petugas inspeksi menunggu di ruang lintas yang dipagari besi, tempat calon penumpang menunjukkan tiket, dan meletakkan barang bawaannya, sebelum masuk mesin scan. Tidak jauh dari posisinya sekarang, ada sekelompok orang yang saling berpelukan. Memberi kesan betapa selama ini mereka telah dipisahkan jarak, dan baru hari ini merasakan kedekatan. Pasca Idulfitri, lokasi transit transportasi umum memang selalu menjadi favorit. Manusia-manusia dari berbagai wilayah, menyemut di sini, membentuk keramaian yang jarang ditemukan pada hari-hari biasanya. Awalnya, Ridho hanya bermaksud memainkan sekilas pandang terhadap apa yang dilihat. Hingga didapati sebuah keluarga yang sangat menyita perhatiannya. Yakni Wanita yang membopong seorang bocah, caranya menimang, persis ibunya ketik
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn
Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cep
Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.Ketika itu Ridho masih belum mengerti
Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya
“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk mem
Bunyi menggeresek terdengar begitu kursi didorong ke belakang. Erlangga tidak berucap sepatah kata pun kala melihat temannya yang tiba-tiba tampak aneh. Pergi meninggalkannya sendiri, dan juga meninggalkan segelas kapucino yang mungkin baru diseruput dua atau tiga kali.Suasana pinggir jalan siang itu tidak terlalu ramai, tapi tidak juga dibilang sepi. Mobil dan motor tidak ada habisnya berseliweran, kondisi jalan terpantau lancar. Di sisi jalan, Ridho terus melangkah menuju sosok perempuan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Perempuan berkerudung lebar itu sibuk mengajak bicara anaknya, bocah yang sebenarnya masih belum terlalu bisa diajak bicara, hanya merespons dengan tawa polos.Ridho sudah berdiri di hadapan perempuan itu, kira-kira berjarak serentangan tangan. Sesaat kemudian, barulah si ibu muda menyadari bahwa seseorang tengah melemparkan pandangan ke arahnya. Bertanya, “Maaf, ada apa, ya?”Ia berpikir sejenak, agaknya belum terpikirkan percakapan ini mau dimulai dari mana.
Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Selepas mengucap salam, Izul masuk ke dalam rumah dengan tatapan kosong. Tampak seperti sesosok anak yang benar-benar kehilangan semangat. Hal ini sudah ia bawa sejak tadi sepanjang perjalanan, bahkan sebelum bel sekolah berbunyi.Di tangan Izul ada sepucuk surat berwarna putih. Di bagian luar surat itu tertulis pesan agar surat ini diterima wali murid. Dari tempatnya sekarang, terdengar bunyi peralatan-peralatan dapur, pastilah Umi di sana. Setelah tinggal beberapa langkah sebelum ia bisa melihat Umi, dan juga sebaliknya, ia menarik napas yang cukup panjang.“Anak salehnya Umi sudah pulang,” ucap Diah. Ia lepaskan spatula yang sempat bermain-main dalam genggamannya. Mendekati anaknya yang tampak kehilangan semangat itu. “Anak salehnya Umi kenapa? Kok kelihatan lesu begitu, masuk tidak mengucap salam juga.”“Sudah Umi, cuma Umi saja yang tidak dengar.”Diah tersenyum mendengar jawaban anaknya, bermaksud agar bisa memindahkan energi keceriaan yang sama. “Mungkin karena di dapur terlalu
Pria gemuk berkacamata beberapa kali melihat sekitar, lalu memandang arlojinya. Duduk di sebuah coffe shop, di deratan kursi yang disediakan di luar ruangan. Pakaiannya rapi, berkemeja corak hitam putih bergaris, bercelana bahan, dan mengenakan sepatu pantofel. Di hadapannya ada sebuah map, belum dibuka sejak tadi, mungkin sampai orang yang ditunggu datang. Jemarinya mengusap layar smartphone ke atas, membaca-baca berita online. Bosan dengan hal itu, ia membuka aplikasi media sosial. Di situ terlihat pesan yang terakhir kali ia terima, pas tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata terakhir yang ditulis adalah: [Aku masih di jalan, sabar, ya.] “Sudah lama menunggu di sini?” ucap seseorang yang sudah tiba di hadapannya. Ia mengenakan kaus berwarna putih dan celana jin. “Ini mah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab pria gemuk itu, dengan mulut yang sedikit manyun. “Coba lihat chat kita, kayaknya di sana ada keterangan waktunya.” Lelaki berkaus putih itu tertawa mendengar sin
“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk mem
Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya
Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.Ketika itu Ridho masih belum mengerti
Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cep
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn