Ridho memainkan pandangannya, mengamati satu persatu tamu bandara yang asyik berlalu lalang. Di sekitarnya ada beberapa koper dan seorang anak kecil yang menautkan tangannya ke tangan Ridho.
Dekat dengan jalan, ada petugas inspeksi menunggu di ruang lintas yang dipagari besi, tempat calon penumpang menunjukkan tiket, dan meletakkan barang bawaannya, sebelum masuk mesin scan.
Tidak jauh dari posisinya sekarang, ada sekelompok orang yang saling berpelukan. Memberi kesan betapa selama ini mereka telah dipisahkan jarak, dan baru hari ini merasakan kedekatan. Pasca Idulfitri, lokasi transit transportasi umum memang selalu menjadi favorit. Manusia-manusia dari berbagai wilayah, menyemut di sini, membentuk keramaian yang jarang ditemukan pada hari-hari biasanya.
Awalnya, Ridho hanya bermaksud memainkan sekilas pandang terhadap apa yang dilihat. Hingga didapati sebuah keluarga yang sangat menyita perhatiannya. Yakni Wanita yang membopong seorang bocah, caranya menimang, persis ibunya ketika menimang sang cucu. Ditambah caranya berpenampilan, mengenakan jilbab lebar berwarna merah gelap, mirip jilbab yang biasa dikenakan ibunya.
Hampir Ridho mengalihkan pandangan ke tempat lain, seorang pria berusia sekitar 35 hingga 40 tahun muncul di tengah keramaian, menghampiri perempuan tadi dan melakukan percakapan. Wujud pria yang diduga suami wanita itu ikut pula membangkitkan kenangan, kenangan yang bahkan jauh lebih lawas dari sebelumnya.
Semakin sosok itu diperhatikan, kecamuk kenangan kian ramai berputar di pikirannya. Ridho sampai memecingkan mata berkali-kali, kadang mengusapnya dengan ujung jari, sekadar memastikan kalau penglihatannya tidak salah.
Malah tidak cukup di situ, ia sampai melepas genggaman tangan anaknya, mengambil sebotol air untuk membasahi jemari. Kemudian ia sapu kedua matanya dengan jemari, lagi-lagi untuk memastikan penglihatannya tidak salah.
“Abi kenapa?” tanya bocah perempuannya, sembari menampilkan ekspresi heran.
Ridho sampai menepuk-nepuk wajahnya berkali-kali, sementara hatinya diguncang kerinduan yang telah tertanam lama sejak puluhan tahun lalu. ‘Ini mimpi bukan, sih?’ tanyanya dalam hati.
“Sepertinya Kakak benar. Imajinasiku sudah terlalu liar, sampai sulit membedakan mana realita, mana ilusi.” Ridho meneguk air botol yang ia pegang, berusaha tidak memedulikan apa yang ia lihat.
Di samping itu, segerombolan orang muncul dan mengarah ke luar bandara. Sepertinya mereka adalah para penumpang pesawat yang baru saja mendarat. Ramainya mereka hingga menutup jarak pandang Ridho terhadap keluarga kecil tadi. Orang-orang dari luar bandara juga datang, mencari keluarga mereka di antara kerumunan itu, dan saling berinteraksi dalam posisi yang membatasi pandangan Ridho.
Para pengalang pandangan itu sudah tidak ada. Sayangnya keluarga kecil tadi juga tidak tampak lagi. Ridho harusnya tidak peduli, toh memang mestinya tidak ada kaitanya antara keluarga itu dengannya. Namun buncah rasa rindu pada sosok yang paling ia sayangi membalikkan perasaan itu.
‘Mana keluarga tadi?’ Ridho membatin. Ia segera melangkah maju, mendekatkan jarak dengan posisi berdiri pria tadi, sembari melongok ke kanan dan kiri. Mereka benar-benar hilang? Ke mana?
“Abi mau kemana?” tanya Tiara. Bocah kecil itu sedikit berlari mendekati ayahnya dan menggenggam tangannya. Ridho tersadarkan dari antusiasmenya barusan, teringat kalau ia tidak sedang sendiri.
“Tia, Abi ke sana sebentar, ya! Jangan ke mana-mana sampai Umi datang, ya sayang!”
Tiara menggeleng, protes pada Abinya agar diajak serta. Sementara Ridho, juga tak mungkin mengajak anaknya ikut. Sebab jika ia ikut, barang-barang dan koper besar ini juga harus dibawa. Pun jika memaksakan diri untuk membawa serta, tentulah istrinya yang masih di toilet akan kehilangan jejak mereka. Ditambah lagi handphone sang istri masih ada dalam genggaman tangannya.
“Tia takut ditinggal sendiri, Abi.”
Mendengar ucapan anaknya barusan, Ridho terenyak sesaat. Melenguh, lalu menghela napas panjang yang kedengaran pasrah. Lantas berhenti memaksakan diri untuk pergi. Toh tujuannya hanya ingin memastikan seberapa mirip pria tadi dengan sosok yang masih dirindukan.
“Iya Tia, Abi tetap di sini bersama Tia,” ucapnya sembari memberi kecupan ringan di dahi anak perempuannya.
Sepuluh menit berlalu, istrinya baru datang. Ridho kelihatan sedikit kecewa, entahlah ia masih bisa bertemu keluarga kecil tadi atau tidak, “Kok Umi lama banget?” protesnya.
“Maaf Bi, tadi toiletnya penuh, jadi Umi mesti antre.”
Ya sudahlah, menambah protes pun sudah tidak ada gunanya. Kalau diusahakan sekarang, mungkin harapan itu masih ada. “Mi, Abi pergi sebentar, ada yang mau Abi periksa.” Singkat saja perkataannya, kemudian pergi menjauh dari kisaran istri dan anaknya.
Lama ia mencari dari satu sudut ke sudut yang lain, tidak ada petunjuk untuk menemukan sosok tadi. Mana batang hidungnya? Pria berjanggut dengan kemeja biru yang dikenakan, benar-benar lenyap dari sekitar.
--*--
Masih di bandara, di antara mobil yang terparkir, Izul menunggu. Wajahnya kelihatan tidak begitu tenang, sesekali melihat waktu di arlojinya.
Berlalu satu jam, tapi adiknya belum juga mendatangi parkiran. Harusnya—berdasarkan perhitungan—adiknya telah tiba di sini. Mungkin juga mereka telah melintas jalan bebas hambatan.
“Abi yakin, kita dipinta menunggu di sini? Atau mungkin ada kekeliruan saat ia memberi informasi.” Wanita berkerudung hijau lebar, angkat suara. Sejak setengah jam lalu, baru ini pandangannya lepas dari kerumun orang dekat pintu masuk bandara. Hingga sekarang, di antara kerumunan massa yang berlalu lalang, ia juga belum mendapati orang yang ditunggu.
Izul kembali mengamati layar handphone sebesar tapak tangan miliknya, memeriksa pesan masuk yang telah dibaca. Memastikan kalau informasi yang ia pahami, tidak ada yang keliru. Waktu, lokasi, dan di terminal mana mereka akan bertemu, semua yang tertulis sesuai dengan keadaannya saat ini. Atau mungkin benar kata istrinya, bahwa bisa saja adiknya yang keliru memberi informasi.
Lantas ia coba terhubung ke adiknya melalui benda seukuran tapak tangan itu. Hanya hitungan detik, sampai gelombang elektromagnetik mempertemukan suara mereka, pertukaran informasi dilakukan.
“Kau tidak salah menginformasikan terminalnya, kan?” kata Izul dengan suara tegas melalui sambungan jarak jauh, “Masa bodoh dengan apa yang kau lihat. Kau hanya punya waktu lima belas menit. Terlambat semenit saja, maka aku akan meninggalkanmu.”
Izul langsung menutup sambungan telepon, berkata, “Anak itu, ia tak juga berubah. Selalu saja menyepelekan waktu.”
“Mungkin pesawatnya mengalami keterlambatan, Bi. Hal itu juga sering terjadi, kan?”
“Kalau memang begitu, apa susahnya kasih kabar?”
“Mungkin di sana sinyal sulit didapat, Bi.” Sang istri berspekulasi sembarang saja. Mutia memang selalu tidak sependapat dengannya. Momen saat mereka sekata, adalah hal tak lazim yang jarang terjadi.
Sementara di dalam mobil yang terparkir, buah hati mereka, Zaenab namanya, asyik dalam suasana lengang. Berlembar-lembar halaman buku, telah habis dibaca. Namun tetap saja, hal tersebut tak mampu mengalihkan ketidaksabarannya menanti adik sepupu. Sesekali ia juga menyaksikan keramaian pendatang di pintu bandara.
Kira-kira, kabar seperti apa yang akan ia ketahui dari sepupunya yang ceriwis itu, setelah tiga atau empat tahun mereka tak bertemu? Pertanyaan seperti ini, yang terkandung dalam benaknya dan ingin dituntaskan.
Lima belas menit telah berlalu, berkali-kali Izul mendengus—wujud ekspresi dari suasana hatinya yang makin tidak tenang. Pengalaman hidup telah membentuknya jadi sosok yang sangat disiplin dan tidak menyukai keterlambatan. Seperti sebelumnya, sesekali ia memerhatikan waktu melalui arloji.
Dari dalam mobil, Zaenab yang sesekali mengalihkan perhatiannya dari bacaan dan menatap ke kaca mobil, mendapati sepasang suami-istri dan anak kecil yang berada dalam bopongan berjalan ke arah mereka. Entahlah siapa keluarga kecil itu, Zaenab melihat karena kebetulan buku yang ia pegang telah usai dibaca.
Zaenab kemudian memerhatikan bagian depan mobil, mencari bacaan lain yang memang dipersiapkan untuknya. Tangannya memanjang—dari deretan kursi kedua—berusaha menjangkau sebuah buku yang tergeletak dekat setir. Usaha pertamanya gagal. Lalu berusaha lagi menjangkaunya.
Sekadar mengandalkan tangan saja tidak cukup, Zaenab lantas menjorokkan tubuhnya di antara celah atas kursi mobil. Tangannya telah berada di atas setir, namun belum cukup sampai. Terus ia berupaya, dan ternyata bukan malah berhasil, tubuhnya malah terperosok jatuh di deretan kursi pertama, klakson mobil tanpa sengaja tertekan.
Serta merta suara bising pun pecah. Saking kagetnya, Izul yang berada sangat dekat dengan pusat suara, reflek setengah mengangkat tangannya. Umi spontan beristigfar, begitupun sepasang suami istri yang hanya sekadar berlalu dan sekarang berada dekat dengan mereka.
“Maaf, maaf. Maafkan kami,” kata Mutia pada pasangan suami istri itu.
Padahal belum habis dirinya memikirkan keterlambatan sang adik, Zaenab malah tiba-tiba membuatnya gemas. Izul segera mengalihkan pandangan ke pasang suami istri yang juga dikejutkan oleh ulah anaknya. Sebagaimana istrinya, ia akan meminta maaf mewakili kesalahan anaknya.
Niatan itu malah tidak tersampaikan, sosok lelaki yang saat itu berada depan matanya, memberikan daya kejut yang lain. Masa lalu yang terkubur lama sejak puluhan tahun, seakan tergali dan dipanggil keluar. Ia tidak suka terlau berimajinasi sebagaimana yang dilakukan Ridho adiknya. Namun sosok yang ada di hadapannya benar-benar identik, seakan memang dia orangnya. Mungkin kalau dirinya dibiarkan hanyut dalam nostalgia, maka lidah kelunya secara refleks berucap: “Abi?”
“Kenapa Bi?” Istrinya melihat gelagat aneh, tidak biasanya sang suami hanya diam saja. Biasanya dalam situasi seperti ini, suaminya juga akan bersegera meminta maaf. Bukan malah kelihatan seperti orang linglung begini.
Mutia mengulang pertanyaannya.
“Tidak, bukan apa-apa, Mi.”
--*--
Di deretan pertama kursi mobil lengang, tidak ada sepatah kata pun terucap. Di belakang setir, Izul fokus memerhatikan jalanan yang ditempuh. Sementara di sebelahnya, Ridho merasa tidak nyaman untuk menyampaikan sesuatu. Izul sepertinya banyak pikiran, mungkin ini akibat dari keterlambatannya.
Padahal bukan maksudnya tidak mau mengabari. Ia hanya tidak ingin membuat kakaknya kesal jika tahu alasan sebenarnya, yaitu mencari seseorang yang sangat mirip dengan ayah mereka. Cara berpikir Izul dan Ridho sangat bertolak-belakang. Jika Izul dikenal sangat realistis, adiknya sebaliknya, dianggap terlalu berimajinasi dan ia tidak menyukai hal itu.
Berbeda dengan suasana di deretan kursi kedua, Atiyah dan Tiara sejak tadi malah tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Ada saja hal-hal yang mereka bahas, mulai dari pengalaman mengurus anak, bagaimana kadang repotnya mengurus rumah sendiri apalagi jika anak sedang rewel, dan lain-lain.
Di deretan kursi ketiga pun tidak kalah heboh, dua bocah kecil yang berselisih usia tiga tahun juga asyik dengan pembahasan mereka. Zaenab lebih banyak menceritakan kisah-kisah yang pernah ia baca pada adik sepupu kesayangannya.
Ridho masih memerhatikan kakaknya yang disibukan oleh pikirannya sendiri. Tiga atau empat tahun tidak bertemu, kakaknya ternyata belum banyak berubah. Dulu sewaktu mereka kecil, tuntutan hidup yang memaksa kakaknya harus ambil bagian sebagai tulang punggung keluarga, telah membentuknya jadi sosok tegas seperti sekarang, terlalu disiplin terhadap waktu.
Rasanya baru kemarin, ketika Ridho mengalami keterlambatan pulang dari sekolah, dan tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal. Lantas Izul memberi hukuman dengan mengurangi uang jajannya. Ia merasa itu tidak adil, karena keterlambatan yang ia alami tidak terlalu berpengaruh dengan pekerjaannya membantu Ibu. Tapi begitulah kakaknya, dan sekarang setelah ia mengerti pentingnya pendidikan kedisiplinan, ia jadi lebih bersyukur dan memaklumi sikap kakaknya.
“Kak, sekali lagi Ridho minta maaf, ya. Tapi bukan maksud Ridho menyepelekan Kakak. Ridho juga tidak mungkin kasih tahu alasan sebenarnya, soalnya...” Ridho terdiam. Lidahnya tiba-tiba berasa kelu. Ia sangat yakin kalau mengangkat topik pembicaraan yang biasanya menjadi permasalahan klise antara ia dan kakaknya, justru tidak menghasilkan apa pun, kecuali perselisihan baru. Maka ia biarkan kalimatnya menggantung begitu saja.
“Kamu mau bilang apa?” Izul menarik napas sekali, lanjut mengatakan, “Mau bilang kalau kamu bertemu Abi di bandara?”
Demi mendengar ucapan barusan, Ridho mendelik menatap kakaknya. Bagaimana kakaknya bisa tahu apa yang ingin disampaikan? Sebanyak itu topik, dan ini merupakan hal yang sudah lama tidak pernah lagi dibahas, mengapa itu yang dipikirkan kakaknya? Ridho menunggu.
Sebenarnya, bukan keterlambatan Ridho yang mengganggu pikiran Izul sejak tadi. Melainkan sosok itu juga, sosok yang membangkitkan kenangan puluhan tahun lalu. Namun di lain sisi, ia tidak ingin dianggap sebagai “orang aneh” yang terbiasa hidup di dunia khayalan, ia tidak ingin seperti adiknya.
“Tidak mungkin juga itu Abi, sudah puluhan tahun beliau menghilang. Kalau masih hidup, seharusnya fisik Abi juga sudah banyak berubah.” Izul mengambil napas yang lebih panjang dari biasanya.
“Sudahlah, berhenti membicarakan hal itu lagi! Sepertinya karena hari ini kita terlalu lelah, sampai terus memikirkan hal yang sama. Sebaiknya kamu istirahat, Kakak yakin kamu pasti lebih lelah.”
Ridho setuju dengan apa yang disampaikan kakaknya barusan. Lantas keduanya memilih untuk mengubur rapat-rapat hal yang sempat mereka anggap janggal. Apa lagi Izul, ia membuang jauh-jauh pikiran-pikiran yang mulai menjurus pada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip hidupnya.
Sekali waktu, melalui sudut matanya, Izul memerhatikan kondisi adiknya. Mendapati matanya yang telah memerah, efek tidak tidur seharian lantaran menempuh jauhnya perjalanan.
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn
Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cep
Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.Ketika itu Ridho masih belum mengerti
Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya
“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk mem
Pria gemuk berkacamata beberapa kali melihat sekitar, lalu memandang arlojinya. Duduk di sebuah coffe shop, di deratan kursi yang disediakan di luar ruangan. Pakaiannya rapi, berkemeja corak hitam putih bergaris, bercelana bahan, dan mengenakan sepatu pantofel. Di hadapannya ada sebuah map, belum dibuka sejak tadi, mungkin sampai orang yang ditunggu datang. Jemarinya mengusap layar smartphone ke atas, membaca-baca berita online. Bosan dengan hal itu, ia membuka aplikasi media sosial. Di situ terlihat pesan yang terakhir kali ia terima, pas tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata terakhir yang ditulis adalah: [Aku masih di jalan, sabar, ya.] “Sudah lama menunggu di sini?” ucap seseorang yang sudah tiba di hadapannya. Ia mengenakan kaus berwarna putih dan celana jin. “Ini mah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab pria gemuk itu, dengan mulut yang sedikit manyun. “Coba lihat chat kita, kayaknya di sana ada keterangan waktunya.” Lelaki berkaus putih itu tertawa mendengar sin
Selepas mengucap salam, Izul masuk ke dalam rumah dengan tatapan kosong. Tampak seperti sesosok anak yang benar-benar kehilangan semangat. Hal ini sudah ia bawa sejak tadi sepanjang perjalanan, bahkan sebelum bel sekolah berbunyi.Di tangan Izul ada sepucuk surat berwarna putih. Di bagian luar surat itu tertulis pesan agar surat ini diterima wali murid. Dari tempatnya sekarang, terdengar bunyi peralatan-peralatan dapur, pastilah Umi di sana. Setelah tinggal beberapa langkah sebelum ia bisa melihat Umi, dan juga sebaliknya, ia menarik napas yang cukup panjang.“Anak salehnya Umi sudah pulang,” ucap Diah. Ia lepaskan spatula yang sempat bermain-main dalam genggamannya. Mendekati anaknya yang tampak kehilangan semangat itu. “Anak salehnya Umi kenapa? Kok kelihatan lesu begitu, masuk tidak mengucap salam juga.”“Sudah Umi, cuma Umi saja yang tidak dengar.”Diah tersenyum mendengar jawaban anaknya, bermaksud agar bisa memindahkan energi keceriaan yang sama. “Mungkin karena di dapur terlalu
Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Bunyi menggeresek terdengar begitu kursi didorong ke belakang. Erlangga tidak berucap sepatah kata pun kala melihat temannya yang tiba-tiba tampak aneh. Pergi meninggalkannya sendiri, dan juga meninggalkan segelas kapucino yang mungkin baru diseruput dua atau tiga kali.Suasana pinggir jalan siang itu tidak terlalu ramai, tapi tidak juga dibilang sepi. Mobil dan motor tidak ada habisnya berseliweran, kondisi jalan terpantau lancar. Di sisi jalan, Ridho terus melangkah menuju sosok perempuan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Perempuan berkerudung lebar itu sibuk mengajak bicara anaknya, bocah yang sebenarnya masih belum terlalu bisa diajak bicara, hanya merespons dengan tawa polos.Ridho sudah berdiri di hadapan perempuan itu, kira-kira berjarak serentangan tangan. Sesaat kemudian, barulah si ibu muda menyadari bahwa seseorang tengah melemparkan pandangan ke arahnya. Bertanya, “Maaf, ada apa, ya?”Ia berpikir sejenak, agaknya belum terpikirkan percakapan ini mau dimulai dari mana.
Salah satu dahan dari pohon paling besar dan paling tinggi itu bergerak-gerak tidak wajar. Beberapa buahnya berjatuhan, di antaranya ada yang mengenai kepala manusia barbar yang hanya mengenakan sehelai kain untuk menutupi bagian bawah perut hingga ke lutut. Tanah yang ia pijak kemudian menggeletuk, ditimpa bebuahan yang banyak berjatuhan.Dua tangan lelaki itu refleks memegangi kepalanya. Sebilah pedang yang dipegang salah satu tangannya tampak sedikit berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang kebetulan sedang terang-terangnya. Dari pucuk pohon itu, kedua mata Hasan bisa menangkap kilaunya. Ia berusaha tenang, meski jantung tidak hentinya berdetak kencang.Begitu si pemegang pedang tadi mendongak, segera ada sesuatu yang menutup penglihatannya, tepat menemplok di muka. Ia mengaduh, merasakan cakaran kuku-kuku kecil di belakang kepala. Lalu kuku-kuku dan dua tangan kecil yang sempat memeluk kepalanya terlepas, darah segar mengenai kedua matanya.Suara kera yang merengek kesakitan, se
Selepas mengucap salam, Izul masuk ke dalam rumah dengan tatapan kosong. Tampak seperti sesosok anak yang benar-benar kehilangan semangat. Hal ini sudah ia bawa sejak tadi sepanjang perjalanan, bahkan sebelum bel sekolah berbunyi.Di tangan Izul ada sepucuk surat berwarna putih. Di bagian luar surat itu tertulis pesan agar surat ini diterima wali murid. Dari tempatnya sekarang, terdengar bunyi peralatan-peralatan dapur, pastilah Umi di sana. Setelah tinggal beberapa langkah sebelum ia bisa melihat Umi, dan juga sebaliknya, ia menarik napas yang cukup panjang.“Anak salehnya Umi sudah pulang,” ucap Diah. Ia lepaskan spatula yang sempat bermain-main dalam genggamannya. Mendekati anaknya yang tampak kehilangan semangat itu. “Anak salehnya Umi kenapa? Kok kelihatan lesu begitu, masuk tidak mengucap salam juga.”“Sudah Umi, cuma Umi saja yang tidak dengar.”Diah tersenyum mendengar jawaban anaknya, bermaksud agar bisa memindahkan energi keceriaan yang sama. “Mungkin karena di dapur terlalu
Pria gemuk berkacamata beberapa kali melihat sekitar, lalu memandang arlojinya. Duduk di sebuah coffe shop, di deratan kursi yang disediakan di luar ruangan. Pakaiannya rapi, berkemeja corak hitam putih bergaris, bercelana bahan, dan mengenakan sepatu pantofel. Di hadapannya ada sebuah map, belum dibuka sejak tadi, mungkin sampai orang yang ditunggu datang. Jemarinya mengusap layar smartphone ke atas, membaca-baca berita online. Bosan dengan hal itu, ia membuka aplikasi media sosial. Di situ terlihat pesan yang terakhir kali ia terima, pas tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata terakhir yang ditulis adalah: [Aku masih di jalan, sabar, ya.] “Sudah lama menunggu di sini?” ucap seseorang yang sudah tiba di hadapannya. Ia mengenakan kaus berwarna putih dan celana jin. “Ini mah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab pria gemuk itu, dengan mulut yang sedikit manyun. “Coba lihat chat kita, kayaknya di sana ada keterangan waktunya.” Lelaki berkaus putih itu tertawa mendengar sin
“Sampai saat ini Jonathan tetap menjadi orang yang paling dicari di negeri ini. Pihak keamanan masih terus berupaya menyelidiki jejak terakhirnya, walaupun pada akhirnya belum ada informasi yang berarti.” Seorang perempuan yang mengenakan jas berbicara dari studio berita.Itu bukan siaran langsung, hanya rekaman yang diputar ulang dalam talkshow yang sedang berlangsung. Kemudian rekaman itu disetop oleh seorang host atau pemandu acara. Di sekitarnya ada enam orang yang katanya akan menguliti isu tersebut. Tiga di antara bintang tamu yang diundang adalah cendekiawan tanah air dan pro-Jonathan, sementara tiga lainnya adalah cendekiawan yang kontra.Sebelum kasus hilangnya pesawat terbang viral, isu ini sempat menjadi yang paling ramai diperbincangkan. Selepas mereda pembahasan tentang isu pesawat terbang, kabar tentang Jonathan kembali diangkat di koran dan majalah, serta hampir seluruh stasiun televisi. Seorang host yang baru saja mematikan rekaman, meminta masing-masing tamu untuk mem
Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya
Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.Ketika itu Ridho masih belum mengerti
Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cep
Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut. Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi. “Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.” “Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.” Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumn