Jamal merasa sakit hati ketika mendengar pemimpinnya direndahkan.
Bagi Jamal, orang lain boleh merendahkan dirinya, namun tidak ada satu orang pun yang boleh menginjak harga diri pemimpinnya.
“Hentikan, Jamal! Jangan terpancing,” terdengar suara seorang pasukan yang berusaha untuk menahan emosi Jamal.
Melihat pancingannya mendapatkan tanggapan, membuat Jenderal Sina kembali melontarkan beberapa kalimat pancingan lagi.
“Umar akan mati sebagai seorang pecundang. Bukankah itu pantas untuk seorang pemimpin seperti dia?” Jenderal Sina sengaja melemparkan kalimat-kalimat celaan.
“Jangan pernah menghina orang yang telah menyelamatkanku!” Dengan kemarahan yang memuncak, Jamal berlari ke arah Jenderal Sina, beberapa bawahan Jenderal Sina dilewatinya dengan sekali tebasan pedang.
Badan yang kekar karena pernah menjadi budak selama bertahun-tahun, dan keahlian bermain pedang yang sudah sangat terasah, membuat Jamal dengan mudah melewati para bawahan Jenderal Sina.
Ternyata para pasukan Kaisar Andreas hanya mengandalkan tembok besar sebagai pelindung, dan memainkan pertarungan jarak jauh. Untuk pertarungan jarak dekat, kemampuan mereka masih terlampau jauh di bawah pasukan Sultan Umar.
Ting ...
Pedang Jamal beradu dengan pedang Jenderal Sina, ketangkasan seorang jenderal tak bisa dianggap remeh,
“Biar aku yang menghadapi orang ini. Kalian, kejarlah mereka! Jangan ada yang keluar dalam keadaan hidup.”
Segera saja para bawahan Jenderal Sina mengejar para pasukan, para pasukan tak bisa berbuat banyak karena perbandingan jumlah yang cukup jauh, mereka tak bisa menunggu Jamal yang sedang beradu pedang, atau pun menyelamatkan Sultan Umar dari eksekusinya.
"Cepat lari! Sultan Umar memberikan perintah untuk lari," Mereka hanya bisa lari menjauh, berusaha keluar dari area kerajaan, sesuai perintah Sultan Umar.
Ketika sebagian besar dari pasukan sudah berhasil keluar melewati jembatan angkat, terlihat seorang pasukan yang sedari tadi menaiki kuda penarik gerobak pembawa tong, berhenti tepat di atas jembatan. Menggulingkan semua tong yang tersisa, kemudian menyulutnya dengan api.
Jembatan angkat pun dipenuhi oleh api, menjalar ke sepanjang jalan yang telah basah oleh minyak, yang sengaja dituang oleh Jamal ketika memasuki area kastel.
"Jembatan tak mungkin bisa lewati lagi, kita lakukan penyerangan melalui atas." Mengetahui bahwa tak ada jalan lagi untuk mengejar musuhnya, para bawahan Jenderal Sina akhirnya naik ke atas dinding, mencoba untuk memanah para pasukan dari ketinggian.
Namun karena jarak yang sudah semakin menjauh, anak panah dari bawahan Jenderal Sina tak bisa menjangkau para pasukan, "Musuh kita terlalu jauh."
Duel sengit antara Jenderal Sina dan Jamal masih terus berlanjut, terlihat Jamal sedang dikelilingi oleh para musuhnya.
Menyadari kondisinya tak diuntungkan, Jamal mundur sedikit, kemudian mendekati mayat yang ada di belakangnya. Mengambil sebuah pedang dari tangan musuh yang tadi sempat ditebasnya.
Jamal memang tak biasa menggunakan tameng saat bertarung, dia malah lebih terbiasa menggunakan dua pedang ketimbang menggunakan tameng.
‘Mungkin ini sudah waktuku,' batin Jamal,
Dengan segera Jamal mengayunkan pedangnya ke segala arah, dia sadar kematiannya tak akan lama lagi, dia hanya berusaha menebas musuh sebanyak mungkin.
Melihat ada asap yang membumbung tinggi di jauh sana, membuat Sultan Umar meneteskan air mata, dia merasa gagal menjadi pemimpin.
‘Tiga kali aku membuat pasukanku dalam bahaya,' batin Sultan Umar.
Setelah peristiwa parit dan meledaknya terowongan, ini ketiga kali ketiga para pasukan berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.
“Lihatlah! Umar meratapi kekalahannya, ha ha ha,” dengan tawa jahat, Kaisar Andreas mengumumkan kepada warganya yang masih duduk manis menunggu eksekusi.
Sedangkan di istana kesultanan, terlihat Jamil sedang berpapasan dengan Utsman yang sedang memimpin pasukannya untuk turut turun ke medan perang.
“kenapa kau datang sendiri? Ke mana ayahmu?” sang putra mahkota mempertanyakan kedatangan Jamil tanpa ayahnya.
mengingat ketika meninggalkan istana, Jamil ditemani oleh ayahnya, Jamal.
“Bagaimana kondisi peperangan di sana?” tambah Utsman. Jamil menjawab dan menjelaskan sesuai apa yang ia tahu.
Sambil mendengarkan cerita Jamil, Utsman membuka surat yang diterimanya, rasa penasaran sudah membalut hati sang putra mahkota.
Tak berapa lama, terlihat butiran air mata jatuh membasahi surat yang berada pada tangannya. Di sana tertulis rencana dan strategi yang sudah dipersiapkan oleh Sultan Umar, untuk kemudian dilaksanakan oleh Utsman.
“Maaf, apa ada salah kata dari jawaban yang saya berikan?” melihat orang yang sangat dihormatinya berlinang air mata, tentu menimbulkan suatu pertanyaan di kepala Jamil.
Tak ada jawaban, keadaan menjadi hening, Jamil semakin bingung tentang apa yang harus diperbuatnya.
"Terima kasih sudah membawa surat yang sangat penting ini," ucap Utsman. Tak biasanya Utsman bisa selembut ini, mengingat Utsman adalah orang yang berwatak sangat keras.
"Sudah menjadi tugas saya tuan," jawab Jamil merendah. "Lalu apakah tuan akan berangkat sekarang? Bolehkan saya juga ikut?"
“Jamil usiamu masih terlalu muda, perang kali ini bukanlah panggungmu. Pulanglah dan sampaikan salamku pada ibumu!" Permintaan Jamil untuk turut serta meramaikan kancah peperangan tak di setujui oleh Utsman.
"Ayo, berangkat! Kita tidak boleh membiarkan teman teman kita menunggu." Utsman pun mulai melajukan kudanya untuk memimpin di barisan paling depan.
Kembali ke istana kerajaan Andreas.
Jamal yang bermandikan darah berhasil memisahkan beberapa kepala musuh dari badannya, hal itu harus dibayarnya dengan sayatan-sayatan di sekujur tubuhnya.
Pertarungan yang berjalan cukup lama membuat tubuh Jamal sangat kelelahan, tubuh Jamal yang sudah kehabisan tenaga, segera diseret ke arah kastel.
“Umar, lihatlah sampah ini!” di depan mata Sultan Umar, dengan jelas ia melihat salah satu orang yang sangat dekat dengannya sedang dalam kondisi sekarat.
'Dasar bodoh, kenapa kau kembali?’ batin Sultan Umar dengan aliran air mata yang deras membasahi pipinya.
“Ingatlah! Anakku, anak-anak dari pasukanku yang kalah hari ini, suatu saat akan datang kemari. Bukan hanya untuk membalas dendam, tapi juga untuk membuktikan bahwa leluhur kami tak pernah salah dalam melihat masa depan”
Sultan Umar bersumpah di hadapan semua warga yang hadir menyaksikan acara eksekusinya.
“Kenapa kau sangat yakin? Bagaimana kalau anakmu nantinya juga harus berakhir di atas panggung yang sama? Panggung eksekusi.” Kaisar Andreas menganggap sumpah yang baru saja ia dengar hanya seperti sebuah bualan semata.“Kaisar, bagaimana jika kita tunda eksekusi si pecundang itu? Kita cari anak dari pecundang itu, lalu kita bunuh di hadapannya.” Jenderal Sina memberikan sebuah ide, ide yang sangat menarik untuk dicoba.“Setuju ... Buat Umar melihat kematian anaknya!” Sorak-sorai penonton yang hadir mendukung ide yang diberikan oleh Jenderal Sina.“Ha ha ha. Kalian tidak perlu susah-payah mencarinya, dia sedang dalam perjalanan kemari.” Sultan Umar malah menertawakan Jenderal Sina, tak ada sedikit pun rasa takut dalam hati Sultan Umar, ia percaya anaknya akan mampu menembus benteng ini.“Ha ha ha. Jadi anakmu sudah siap untuk mati di tanganku?” Kaisar Andreas menertawakan balik Sultan Umar. &ldqu
Havir segera mengerahkan pasukan yang dipimpinnya untuk menggali terowongan. Havir yang ditugaskan untuk menjaga dengan rapat rahasia ini, berjaga di mulut terowongan.Sambil menunggu terowongan siap digunakan, Utsman mencoba untuk mengirimkan seorang utusan untuk menegosiasikan pembebasan ayahnya, serta permintaan pembukaan akses pada daerah kekaisaran.“Siapa di antara kalian yang mau mengirimkan surat negosiasi ini kepada Kaisar Andreas?” di hadapan sekumpulan pasukan, Utsman mencari orang yang mau untuk menyampaikan pesannya kepada pasukan musuh.Tak ada satu pun yang berani menjawab, tugas yang begitu berisiko dan terasa sedikit gila, mereka takut akan menjadi tawanan jika masuk ke daerah musuh seorang diri.“Kami mendengar, dan kami taat,” teriak Abu memecah keheningan.“Berikan tugas itu padaku!” Abu malah meminta untuk mengemban tugas itu. Tak heran, Abu memang orang yang sedikit geser otaknya, yang ada d
Abu berjalan keluar, masih ditemani oleh dua pengawal yang sedari tadi mengikutinya dari belakang. Sesaat sebelum keluar dari pintu kastel, Abu baru menyadari bahwa kakinya sedang berjalan di sebuah permadani yang bagus. “Hai Andreas, bolehkah aku ambil ini?” Abu memang benar-benar tak waras, setelah masuk dengan tidak sopan, kini ia malah ingin mengambil sebuah barang dari kastel. Kaisar Andreas tak habis pikir melihat tingkah Abu, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya, baru kali ini ada seorang utusan tak waras yang berani menghadap pada dirinya. “Jadi tak boleh?” merasa tak mendapat persetujuan, Abu menyimpulkan jawabannya sendiri. Abu mengeluarkan pisau kecilnya, kemudian merobek sedikit permadani di kakinya dengan pisau. “Kalau hanya sebesar ini?” tanya Abu yang sambil memperlihatkan potongan kecil permadani pada Kaisar Andreas. “Dasar orang gila, bawa dia keluar!” Kaisar Andreas sudah muak, tak ingin lagi rasanya
Tiga hari sudah berlalu, namun surat dari Utsman belum juga mendapatkan balasan. Di bawah sinar rembulan Utsman semakin membulatkan tekad untuk melakukan penyerangan.“Tuan, terowongan sudah siap dari kemarin, lalu apa yang kita tunggu?” tanya Havir.“Aku masih berprasangka baik kepada mereka, selama tiga hari ini aku terus menunggu dengan penuh harap, menunggu surat perdamaian dari mereka.”“Tuan, saya sangat setuju dengan Anda. Tapi? Pikiran ini tak pernah tenang memikirkan Sultan Umar yang tertawan oleh musuh.”“Terima kasih sudah sangat peduli dengan keselamatan ayahku. Aku sudah memutuskan, malam ini adalah batas terakhir dari perdamaian, jika tidak datang juga surat perdamaian, tembok pelindung mereka akan rata dengan tanah.”“Baiklah tuan, kalau begitu saya izin untuk kembali bertugas mengawasi mulut terowongan”“Lakukan rencana terakhir kita, Buatlah lubang tepat di de
Malam sudah mulai beranjak pamit, cahaya fajar tampak malu-malu mulai mengintip dari sisi timur, Utsman beserta para pasukan sudah berdiri gagah siap mendobrak tembok perbatasan.Abu terlihat berjalan sendirian dengan menunggangi keledainya, langkah demi langkah semakin dekat dengan tembok besar, meninggalkan para pasukan yang berada jauh di belakang.“Ini sebuah pemandangan yang sangat mengerikan, ribuan pasukan merayap panjang bak ular dari besi,” ucap seorang pengawas dengan raut wajah cemas, yang sedang memantau pasukan Utsman dari atas tembok besar.“Hai lihatlah! Bukankah itu orang gila yang kemarin, dia datang lagi,” seorang pengawas lain sedang mengacungkan telunjuknya ke arah Abu.“Sudah biarkan saja! Yang terpenting kita harus segera melapor kepada Jenderal Sina, musuh pasti akan mulai menyerang.”Abu berdiri tepat pada pinggiran parit, dia mencari sebuah lubang yang sudah dipersiapkan oleh para p
Dari arah belakang Kaisar Andreas tiba-tiba terlihat dua orang datang dengan menaiki sebuah kereta kuda, “Kaisar ... Ini kami sudah membawanya kemari.” Terlihat seseorang dengan kepala yang ditutup oleh kain, dilemparkan begitu saja jatuh ke tanah. “Lihatlah Utsman! Jika kau berani maju, akan kupisahkan kepala ini dari tubuhnya.” Ucap Kaisar Andreas sambil menginjakkan kakinya di atas kepala yang sedang tertutup itu. “Kau pikir kau siapa? Tak ada satu orang pun yang akan menghentikanku menegakkan keadilan” “Apa kau yakin?” Ejek Kaisar Andreas. Dengan perlahan Kaisar Andreas membuka kain penutup pada kepala yang diinjaknya. Tali dibuka, kain ditarik. Semua pasukan Utsman terperangah kaget, orang yang tadi diinjak oleh Kaisar Andreas adalah Sultan Umar. “Hahaha Bagaimana Utsman?” Tawa Kaisar Andreas menghancurkan hati para pasukan. Utsman tak bisa berbuat banyak ketika melihat ayahnya sedang dalam keadaan tak berdaya seperti itu,
Terlihat 50.000 pasukan lengkap dengan alat tempurnya siap untuk berperang. Berdiri dengan gagah, siap untuk menggulingkan kekaisaran Andreas. Mereka hanya menunggu aba-aba dari sang pemimpin, Sultan Umar. “Ayo, berangkat!” Dengan suara lantang Sultan Umar berjalan pada barisan terdepan, memimpin para pasukan yang sudah siap mati di medan perang. Ribuan kaki kuda yang berlari dengan serentak, mampu membuat tanah yang dipijaknya bergetar. Sultan beserta pasukannya mulai meninggalkan kemah-kemah perang, kemah yang mereka gunakan untuk beristirahat di malam hari, juga digunakan untuk mengobati pasukan yang terluka parah akibat peperangan. Kemah mereka berjarak satu kilometer dari musuh, satu kilometer adalah jarak yang ideal, karena panah-panah musuh tak mampu menjangkau jarak sejauh itu. “Lewat sini!” teriak sang sultan mengarahkan para pasukan untuk mengikutinya, mereka menuju ke sebuah pintu gerbang. Satu satunya jalan untuk masuk ke d
Jenderal Sina segera mengabarkan kondisi perang kepada Kaisar Andreas, “Pasukan musuh sudah berhasil kita pukul mundur.”Kaisar Andreas dengan tawa penuh kegembiraan menyambut kemenangan ini.Sedangkan di pihak Sultan Umar terlihat beberapa orang masih dalam proses pengobatan, mereka sibuk mengistirahatkan tubuh serta pikirannya, menstabilkan kembali emosi yang bergejolak akibat kekalahan telak mereka.“Sultanku, bagaimana rencana Anda? Ini sudah hari keempat, tapi belum juga terlihat hasil yang pasti. Apa kita sudahi saja? Atau Anda masih punya rencana lain?” tanya seorang penasihat.“Kumpulkan semua pemimpin pasukan!” Sultan Umar menjawab pertanyaan dengan sebuah perintah.Seluruh pemimpin pasukan dikumpulkan, Sultan Umar sengaja tidak mengumpulkan seluruh pasukan, karena para pasukan butuh waktu istirahat setelah perang habis-habisan hari ini.Lagi pula jika berpidato di hadapan seluruh pasukan, Sultan
Dari arah belakang Kaisar Andreas tiba-tiba terlihat dua orang datang dengan menaiki sebuah kereta kuda, “Kaisar ... Ini kami sudah membawanya kemari.” Terlihat seseorang dengan kepala yang ditutup oleh kain, dilemparkan begitu saja jatuh ke tanah. “Lihatlah Utsman! Jika kau berani maju, akan kupisahkan kepala ini dari tubuhnya.” Ucap Kaisar Andreas sambil menginjakkan kakinya di atas kepala yang sedang tertutup itu. “Kau pikir kau siapa? Tak ada satu orang pun yang akan menghentikanku menegakkan keadilan” “Apa kau yakin?” Ejek Kaisar Andreas. Dengan perlahan Kaisar Andreas membuka kain penutup pada kepala yang diinjaknya. Tali dibuka, kain ditarik. Semua pasukan Utsman terperangah kaget, orang yang tadi diinjak oleh Kaisar Andreas adalah Sultan Umar. “Hahaha Bagaimana Utsman?” Tawa Kaisar Andreas menghancurkan hati para pasukan. Utsman tak bisa berbuat banyak ketika melihat ayahnya sedang dalam keadaan tak berdaya seperti itu,
Malam sudah mulai beranjak pamit, cahaya fajar tampak malu-malu mulai mengintip dari sisi timur, Utsman beserta para pasukan sudah berdiri gagah siap mendobrak tembok perbatasan.Abu terlihat berjalan sendirian dengan menunggangi keledainya, langkah demi langkah semakin dekat dengan tembok besar, meninggalkan para pasukan yang berada jauh di belakang.“Ini sebuah pemandangan yang sangat mengerikan, ribuan pasukan merayap panjang bak ular dari besi,” ucap seorang pengawas dengan raut wajah cemas, yang sedang memantau pasukan Utsman dari atas tembok besar.“Hai lihatlah! Bukankah itu orang gila yang kemarin, dia datang lagi,” seorang pengawas lain sedang mengacungkan telunjuknya ke arah Abu.“Sudah biarkan saja! Yang terpenting kita harus segera melapor kepada Jenderal Sina, musuh pasti akan mulai menyerang.”Abu berdiri tepat pada pinggiran parit, dia mencari sebuah lubang yang sudah dipersiapkan oleh para p
Tiga hari sudah berlalu, namun surat dari Utsman belum juga mendapatkan balasan. Di bawah sinar rembulan Utsman semakin membulatkan tekad untuk melakukan penyerangan.“Tuan, terowongan sudah siap dari kemarin, lalu apa yang kita tunggu?” tanya Havir.“Aku masih berprasangka baik kepada mereka, selama tiga hari ini aku terus menunggu dengan penuh harap, menunggu surat perdamaian dari mereka.”“Tuan, saya sangat setuju dengan Anda. Tapi? Pikiran ini tak pernah tenang memikirkan Sultan Umar yang tertawan oleh musuh.”“Terima kasih sudah sangat peduli dengan keselamatan ayahku. Aku sudah memutuskan, malam ini adalah batas terakhir dari perdamaian, jika tidak datang juga surat perdamaian, tembok pelindung mereka akan rata dengan tanah.”“Baiklah tuan, kalau begitu saya izin untuk kembali bertugas mengawasi mulut terowongan”“Lakukan rencana terakhir kita, Buatlah lubang tepat di de
Abu berjalan keluar, masih ditemani oleh dua pengawal yang sedari tadi mengikutinya dari belakang. Sesaat sebelum keluar dari pintu kastel, Abu baru menyadari bahwa kakinya sedang berjalan di sebuah permadani yang bagus. “Hai Andreas, bolehkah aku ambil ini?” Abu memang benar-benar tak waras, setelah masuk dengan tidak sopan, kini ia malah ingin mengambil sebuah barang dari kastel. Kaisar Andreas tak habis pikir melihat tingkah Abu, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya, baru kali ini ada seorang utusan tak waras yang berani menghadap pada dirinya. “Jadi tak boleh?” merasa tak mendapat persetujuan, Abu menyimpulkan jawabannya sendiri. Abu mengeluarkan pisau kecilnya, kemudian merobek sedikit permadani di kakinya dengan pisau. “Kalau hanya sebesar ini?” tanya Abu yang sambil memperlihatkan potongan kecil permadani pada Kaisar Andreas. “Dasar orang gila, bawa dia keluar!” Kaisar Andreas sudah muak, tak ingin lagi rasanya
Havir segera mengerahkan pasukan yang dipimpinnya untuk menggali terowongan. Havir yang ditugaskan untuk menjaga dengan rapat rahasia ini, berjaga di mulut terowongan.Sambil menunggu terowongan siap digunakan, Utsman mencoba untuk mengirimkan seorang utusan untuk menegosiasikan pembebasan ayahnya, serta permintaan pembukaan akses pada daerah kekaisaran.“Siapa di antara kalian yang mau mengirimkan surat negosiasi ini kepada Kaisar Andreas?” di hadapan sekumpulan pasukan, Utsman mencari orang yang mau untuk menyampaikan pesannya kepada pasukan musuh.Tak ada satu pun yang berani menjawab, tugas yang begitu berisiko dan terasa sedikit gila, mereka takut akan menjadi tawanan jika masuk ke daerah musuh seorang diri.“Kami mendengar, dan kami taat,” teriak Abu memecah keheningan.“Berikan tugas itu padaku!” Abu malah meminta untuk mengemban tugas itu. Tak heran, Abu memang orang yang sedikit geser otaknya, yang ada d
“Kenapa kau sangat yakin? Bagaimana kalau anakmu nantinya juga harus berakhir di atas panggung yang sama? Panggung eksekusi.” Kaisar Andreas menganggap sumpah yang baru saja ia dengar hanya seperti sebuah bualan semata.“Kaisar, bagaimana jika kita tunda eksekusi si pecundang itu? Kita cari anak dari pecundang itu, lalu kita bunuh di hadapannya.” Jenderal Sina memberikan sebuah ide, ide yang sangat menarik untuk dicoba.“Setuju ... Buat Umar melihat kematian anaknya!” Sorak-sorai penonton yang hadir mendukung ide yang diberikan oleh Jenderal Sina.“Ha ha ha. Kalian tidak perlu susah-payah mencarinya, dia sedang dalam perjalanan kemari.” Sultan Umar malah menertawakan Jenderal Sina, tak ada sedikit pun rasa takut dalam hati Sultan Umar, ia percaya anaknya akan mampu menembus benteng ini.“Ha ha ha. Jadi anakmu sudah siap untuk mati di tanganku?” Kaisar Andreas menertawakan balik Sultan Umar. &ldqu
Jamal merasa sakit hati ketika mendengar pemimpinnya direndahkan.Bagi Jamal, orang lain boleh merendahkan dirinya, namun tidak ada satu orang pun yang boleh menginjak harga diri pemimpinnya.“Hentikan, Jamal! Jangan terpancing,” terdengar suara seorang pasukan yang berusaha untuk menahan emosi Jamal.Melihat pancingannya mendapatkan tanggapan, membuat Jenderal Sina kembali melontarkan beberapa kalimat pancingan lagi.“Umar akan mati sebagai seorang pecundang. Bukankah itu pantas untuk seorang pemimpin seperti dia?” Jenderal Sina sengaja melemparkan kalimat-kalimat celaan.“Jangan pernah menghina orang yang telah menyelamatkanku!” Dengan kemarahan yang memuncak, Jamal berlari ke arah Jenderal Sina, beberapa bawahan Jenderal Sina dilewatinya dengan sekali tebasan pedang.Badan yang kekar karena pernah menjadi budak selama bertahun-tahun, dan keahlian bermain pedang yang sudah sangat terasah, membuat Jamal d
Bala bantuan tak kunjung datang, area perkemahan sudah dibongkar, para pasukan sudah bersiap untuk kembali pulang.Sisa pasukan yang sedikit serta tidak adanya pemimpin membuat mereka tidak bisa melanjutkan peperangan. Mereka tak mau berlama-lama lagi, mereka takut jika pasukan musuh datang menyergap.Sementara itu di alun-alun kastel Kaisar Andreas sudah dipersiapkan sebuah menara, tak terlalu tinggi, namun cukup jelas untuk dilihat dari kejauhan, Sultan Umar akan dieksekusi di atas sana.“Ayo, cepat! Jangan sampai kita ketinggalan.” Berita pengeksekusian Sultan Umar sudah tersebar ke berbagai pelosok kerajaan, semua warga berbondong-bondong untuk menyaksikan peristiwa ini.Alun-alun kastel sudah dipenuhi oleh berbagai kalangan, tak hanya bawahan Kaisar Andreas saja, rakyat jelata pun ikut menyaksikan acara ini, beberapa orang penulis sejarah juga sudah siap untuk mengabadikan momen ini.“Berdiri!” Dua orang pengawal membuk
Di pihak Kaisar Andreas terlihat seseorang sedang memperhatikan sebuah baskom berisi air, “Lihatlah ini!” serunya memanggil teman yang berdiri di sampingnya,Terlihat air dalam baskom bergoyang. “Kau jaga di sini! Aku akan melaporkannya pada Jenderal Sina.” Langsung saja dengan berlari dia menuju ke tempat sang jenderal.“Lapor Jenderal, terlihat air dalam baskom tidak stabil, sepertinya pasukan musuh sedang merencanakan untuk menyerang dari bawah tanah.” dengan napas tersengal-sengal dia melaporkan pada Jenderal Sina.Lantas saja Jenderal Sina bangkit dari duduknya, dia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, ”Di mana?” Jenderal Sina berjalan cepat menuju jejeran baskom yang berisi air.Tanpa sepengetahuan Sultan Umar, di atas tembok besar ternyata terdapat barisan baskom yang berisi air, tiap baskom berjarak sepuluh meter, ini digunakan sebagai metode sederhana untuk mendeteksi pergerakan bawah tan