Jenderal Sina segera mengabarkan kondisi perang kepada Kaisar Andreas, “Pasukan musuh sudah berhasil kita pukul mundur.”
Kaisar Andreas dengan tawa penuh kegembiraan menyambut kemenangan ini.
Sedangkan di pihak Sultan Umar terlihat beberapa orang masih dalam proses pengobatan, mereka sibuk mengistirahatkan tubuh serta pikirannya, menstabilkan kembali emosi yang bergejolak akibat kekalahan telak mereka.
“Sultanku, bagaimana rencana Anda? Ini sudah hari keempat, tapi belum juga terlihat hasil yang pasti. Apa kita sudahi saja? Atau Anda masih punya rencana lain?” tanya seorang penasihat.
“Kumpulkan semua pemimpin pasukan!” Sultan Umar menjawab pertanyaan dengan sebuah perintah.
Seluruh pemimpin pasukan dikumpulkan, Sultan Umar sengaja tidak mengumpulkan seluruh pasukan, karena para pasukan butuh waktu istirahat setelah perang habis-habisan hari ini.
Lagi pula jika berpidato di hadapan seluruh pasukan, Sultan Umar harus mengeluarkan tenaga lebih banyak untuk membuat seluruh pasukan mendengar pidatonya dengan jelas.
“Sampaikanlah kepada semua pasukanku! barang siapa yang masih memiliki tenaga yang cukup, aku perintahkan untuk membuat terowongan bawah tanah!”
Sultan Umar tak mau membuang waktunya begitu saja. Sambil menunggu pulihnya para korban, dia mengalihkan rencananya untuk melakukan penyerangan dari bawah tanah.
Mereka mulai menggali terowongan mengarah ke arah tembok besar, “Kita harus menggali sedikit lebih dalam. Semakin kita dekat dengan tembok, maka perdalamlah galian kalian! tembok yang besar pasti punya fondasi yang kokoh di bagian bawah.”
Sultan Umar turun tangan langsung ke lapangan, memastikan pasukannya melakukan semua sesuai rencananya.
Sedangkan pada kubu Kaisar Andreas masih melakukan pengawasan ke arah pasukan Sultan Umar, sejauh ini mereka masih bisa santai.
Perlawanan Sultan Umar memang tak begitu terasa bagi mereka, bahkan mereka belum mengeluarkan senjata-senjatanya dari gudang, pelontar batu mereka masih tersimpan dengan rapi.
Secara bergantian pasukan Kaisar Andreas terus bersiaga dan memantau dari atas tembok besar.
“Sebaiknya Tuan segera beristirahat! Biar saya yang bertanggung jawab di lapangan, lagi pula mereka tak mungkin mampu merobohkan tembok besar yang sudah berdiri kokoh selama seribu tahun lebih.”
Jenderal Sina meminta ijin kepada Kaisar Andreas untuk melanjutkan tanggung jawabnya.
Kaisar Andreas pun bangkit dari singgasananya, masuk ke dalam kamar, sang ratu sudah menunggunya di sana. Sedangkan Jenderal Sina kembali mengawasi para bawahnya.
Tekstur tanah yang kering dan keras membuat para pasukan Sultan Umar sedikit kesulitan untuk menggali, dengan bermandikan keringat di malam hari, mereka harus sesegera mungkin membuat terowongan itu menembus tembok besar.
Waktu terus bergulir, bahan peledak dengan takaran kecil digunakan untuk mempermudah penggalian, tanah-tanah mulai dikeluarkan dari dalam terowongan, kayu disanggahkan pada bagian tepi.
Mereka terus menggali terowongan dengan bergantian, lubang yang mereka buat sedikit demi sedikit terus mendekati tembok besar Kaisar Andreas.
***
“Apa musuh sudah pulang? Atau masih dalam masa gencatan senjata?” Kaisar Andreas yang sudah beberapa hari ini tak mendengar suara peperangan mulai menanyakan kondisi di lapangan kepada Jenderal Sina.
“Mereka masih tetap berdiam di tenda-tenda mereka, sepertinya mereka masih memulihkan tenaga.” Jenderal Sina menjawab pertanyaan atasannya dengan penuh hormat.
"Mungkin mereka ingin pulang, tapi mereka malu kalau harus menelan kekalahan.” Tawa Kaisar Andreas yang kemudian diikuti dengan tawa sang jenderal.
Sementara itu dari kejauhan terlihat dua orang dengan menunggangi kuda sedang mengarah ke perkemahan Sultan Umar.
“Sultanku ... Sultanku ... Aku membawa berita gembira.” Dari kejauhan dia sudah berteriak dengan nada yang penuh semangat.
“Wahai para penjaga, di mana Sultan Umar?” tanyanya, semua orang mengenalinya, Jamal dan anaknya Jamil.
Mereka adalah orang yang bekerja di istana Sultan Umar, Jamal dan anaknya Jamil. Dulunya Jamal adalah seorang budak yang kemudian ditebus oleh Sultan Umar, loyalitasnya hari ini adalah bentuk terima kasihnya atas kebaikan Sultan Umar yang telah membebaskannya.
“Mari aku antar,” seorang penjaga menawarkan diri untuk menunjukkan jalan menuju tenda Sultan Umar.
Jamal dan Jamil pun menuruni kudanya, kemudian berjalan di belakang pengawal.
“Ya sultanku ... Maaf jika saya mengganggu peristirahatan Anda, bolehkah saya masuk?” ucap Jamal ketika sudah berada di depan tenda sang Sultan.
“Sultanku ... Ada berita gembira untuk Anda, untuk para pasukan,” ujarnya.
Sultan Umar yang merasa tidak asing lagi dengan suara tersebut langsung keluar dari dalam tenda, “Ada apa kau kesini? Bukannya aku memerintahkanmu untuk berjaga di daerah istana?”
Bukannya penasaran dengan berita yang dibawa, Sultan Umar malah kaget dan cenderung marah.
“Maafkan saya! Saya datang kemari untuk menyampaikan berita gembira. Saya kemari atas perintah tuan muda.” Segera dia mengeluarkan sebuah gulungan dan memberikannya kepada sang sultan.
“Apa ini?” Sultan Umar bertanya sambil membaca isi dari surat tersebut.
Wajah Sultan Umar mendadak berubah, wajah yang tadinya cemberut tiba-tiba bahagia. Surat itu ternyata mengabarkan bahwa anak tercintanya akan segera bergabung membawa bala bantuan.
"Benarkah ini? Syukurlah kalau bala bantuan akan segera tiba.”
“Tentu saja, tuan muda dan para pasukan akan hadir ke tengah-tengah kita,” ucap si pengantar surat.
“Tunggu di sini!” sang sultan kemudian masuk ke dalam tenda, membuat surat balasan untuk putra tercintanya.
Tak lama Sultan Umar kembali keluar dengan membawa surat yang baru saja ditulisnya. Memerintahkan si pengantar surat kembali untuk memberikan suratnya kepada putra mahkota. “Pulanglah! Sampaikan salamku padanya!”
“Maafkan aku wahai sultanku ... Saya kemari tidak sendirian, saya kemari bersama satu dari sekian banyak rakyat yang Anda miliki, bolehkah jika saya ikut perang? Dan surat ini diantar oleh Jamil seorang saja.” Pinta jamal dengan sedikit memohon.
Sultan Umar tak menjawab, malah membalikkan tubuh membelakangi Jamal.
“Maafkan saya! Saya hanya ingin ikut berperang, saya ingin menjadi saksi runtuhnya kekuasaan mereka. Kalau pun saya harus mati, saya lebih rela kalau mati dengan mendengarkan suara gemerincing kaki kuda yang berhasil meruntuhkan tembok besar yang telah kokoh selama seribu tahun itu.” Pintanya kembali kepada sang sultan.
“Terserah kau saja. Yang terpenting adalah putraku harus membaca surat itu.” Jawab Sultan Umar, yang kemudian berlalu masuk ke dalam tenda.
Hal ini tentu saja membuat Jamal kegirangan. “kau kembalilah! Aku akan tetap tinggal di sini.” Perintah Jamal sambil memberikan surat dari Sultan Umar kepada Jamil.
Jamal mengantarkan putranya yang masih berusia belasan tahun itu keluar dari area perkemahan.
"Bala bantuan akan segera tiba.” Teriak Jamal saat melewati tenda para pasukan, tidak henti-hentinya dia terus mengabarkan kabar gembira ini.
Beberapa orang yang mendengar berita ini kemudian juga ikut meneriakkan hal yang sama. Tak butuh waktu lama berita tersebut sudah menyebar di kalangan para pasukan, ini tentunya memberikan semangat tambahan bagi mereka.
Para pasukan ingin menghadiahkan kemenangan kali ini kepada sang putra mahkota.
Jamil yang sudah sampai di luar area perkemahan, segera berpamitan kepada ayahnya untuk pulang. Dengan menunggangi kudanya, Jamil mulai meninggalkan ayahnya bersama para pasukan yang lain.
Ya, walaupun usianya masih muda, namun ketangkasan Jamil dalam menunggangi kuda tidak bisa diremehkan.
Di pihak Kaisar Andreas terlihat seseorang sedang memperhatikan sebuah baskom berisi air, “Lihatlah ini!” serunya memanggil teman yang berdiri di sampingnya,Terlihat air dalam baskom bergoyang. “Kau jaga di sini! Aku akan melaporkannya pada Jenderal Sina.” Langsung saja dengan berlari dia menuju ke tempat sang jenderal.“Lapor Jenderal, terlihat air dalam baskom tidak stabil, sepertinya pasukan musuh sedang merencanakan untuk menyerang dari bawah tanah.” dengan napas tersengal-sengal dia melaporkan pada Jenderal Sina.Lantas saja Jenderal Sina bangkit dari duduknya, dia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, ”Di mana?” Jenderal Sina berjalan cepat menuju jejeran baskom yang berisi air.Tanpa sepengetahuan Sultan Umar, di atas tembok besar ternyata terdapat barisan baskom yang berisi air, tiap baskom berjarak sepuluh meter, ini digunakan sebagai metode sederhana untuk mendeteksi pergerakan bawah tan
Bala bantuan tak kunjung datang, area perkemahan sudah dibongkar, para pasukan sudah bersiap untuk kembali pulang.Sisa pasukan yang sedikit serta tidak adanya pemimpin membuat mereka tidak bisa melanjutkan peperangan. Mereka tak mau berlama-lama lagi, mereka takut jika pasukan musuh datang menyergap.Sementara itu di alun-alun kastel Kaisar Andreas sudah dipersiapkan sebuah menara, tak terlalu tinggi, namun cukup jelas untuk dilihat dari kejauhan, Sultan Umar akan dieksekusi di atas sana.“Ayo, cepat! Jangan sampai kita ketinggalan.” Berita pengeksekusian Sultan Umar sudah tersebar ke berbagai pelosok kerajaan, semua warga berbondong-bondong untuk menyaksikan peristiwa ini.Alun-alun kastel sudah dipenuhi oleh berbagai kalangan, tak hanya bawahan Kaisar Andreas saja, rakyat jelata pun ikut menyaksikan acara ini, beberapa orang penulis sejarah juga sudah siap untuk mengabadikan momen ini.“Berdiri!” Dua orang pengawal membuk
Jamal merasa sakit hati ketika mendengar pemimpinnya direndahkan.Bagi Jamal, orang lain boleh merendahkan dirinya, namun tidak ada satu orang pun yang boleh menginjak harga diri pemimpinnya.“Hentikan, Jamal! Jangan terpancing,” terdengar suara seorang pasukan yang berusaha untuk menahan emosi Jamal.Melihat pancingannya mendapatkan tanggapan, membuat Jenderal Sina kembali melontarkan beberapa kalimat pancingan lagi.“Umar akan mati sebagai seorang pecundang. Bukankah itu pantas untuk seorang pemimpin seperti dia?” Jenderal Sina sengaja melemparkan kalimat-kalimat celaan.“Jangan pernah menghina orang yang telah menyelamatkanku!” Dengan kemarahan yang memuncak, Jamal berlari ke arah Jenderal Sina, beberapa bawahan Jenderal Sina dilewatinya dengan sekali tebasan pedang.Badan yang kekar karena pernah menjadi budak selama bertahun-tahun, dan keahlian bermain pedang yang sudah sangat terasah, membuat Jamal d
“Kenapa kau sangat yakin? Bagaimana kalau anakmu nantinya juga harus berakhir di atas panggung yang sama? Panggung eksekusi.” Kaisar Andreas menganggap sumpah yang baru saja ia dengar hanya seperti sebuah bualan semata.“Kaisar, bagaimana jika kita tunda eksekusi si pecundang itu? Kita cari anak dari pecundang itu, lalu kita bunuh di hadapannya.” Jenderal Sina memberikan sebuah ide, ide yang sangat menarik untuk dicoba.“Setuju ... Buat Umar melihat kematian anaknya!” Sorak-sorai penonton yang hadir mendukung ide yang diberikan oleh Jenderal Sina.“Ha ha ha. Kalian tidak perlu susah-payah mencarinya, dia sedang dalam perjalanan kemari.” Sultan Umar malah menertawakan Jenderal Sina, tak ada sedikit pun rasa takut dalam hati Sultan Umar, ia percaya anaknya akan mampu menembus benteng ini.“Ha ha ha. Jadi anakmu sudah siap untuk mati di tanganku?” Kaisar Andreas menertawakan balik Sultan Umar. &ldqu
Havir segera mengerahkan pasukan yang dipimpinnya untuk menggali terowongan. Havir yang ditugaskan untuk menjaga dengan rapat rahasia ini, berjaga di mulut terowongan.Sambil menunggu terowongan siap digunakan, Utsman mencoba untuk mengirimkan seorang utusan untuk menegosiasikan pembebasan ayahnya, serta permintaan pembukaan akses pada daerah kekaisaran.“Siapa di antara kalian yang mau mengirimkan surat negosiasi ini kepada Kaisar Andreas?” di hadapan sekumpulan pasukan, Utsman mencari orang yang mau untuk menyampaikan pesannya kepada pasukan musuh.Tak ada satu pun yang berani menjawab, tugas yang begitu berisiko dan terasa sedikit gila, mereka takut akan menjadi tawanan jika masuk ke daerah musuh seorang diri.“Kami mendengar, dan kami taat,” teriak Abu memecah keheningan.“Berikan tugas itu padaku!” Abu malah meminta untuk mengemban tugas itu. Tak heran, Abu memang orang yang sedikit geser otaknya, yang ada d
Abu berjalan keluar, masih ditemani oleh dua pengawal yang sedari tadi mengikutinya dari belakang. Sesaat sebelum keluar dari pintu kastel, Abu baru menyadari bahwa kakinya sedang berjalan di sebuah permadani yang bagus. “Hai Andreas, bolehkah aku ambil ini?” Abu memang benar-benar tak waras, setelah masuk dengan tidak sopan, kini ia malah ingin mengambil sebuah barang dari kastel. Kaisar Andreas tak habis pikir melihat tingkah Abu, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya, baru kali ini ada seorang utusan tak waras yang berani menghadap pada dirinya. “Jadi tak boleh?” merasa tak mendapat persetujuan, Abu menyimpulkan jawabannya sendiri. Abu mengeluarkan pisau kecilnya, kemudian merobek sedikit permadani di kakinya dengan pisau. “Kalau hanya sebesar ini?” tanya Abu yang sambil memperlihatkan potongan kecil permadani pada Kaisar Andreas. “Dasar orang gila, bawa dia keluar!” Kaisar Andreas sudah muak, tak ingin lagi rasanya
Tiga hari sudah berlalu, namun surat dari Utsman belum juga mendapatkan balasan. Di bawah sinar rembulan Utsman semakin membulatkan tekad untuk melakukan penyerangan.“Tuan, terowongan sudah siap dari kemarin, lalu apa yang kita tunggu?” tanya Havir.“Aku masih berprasangka baik kepada mereka, selama tiga hari ini aku terus menunggu dengan penuh harap, menunggu surat perdamaian dari mereka.”“Tuan, saya sangat setuju dengan Anda. Tapi? Pikiran ini tak pernah tenang memikirkan Sultan Umar yang tertawan oleh musuh.”“Terima kasih sudah sangat peduli dengan keselamatan ayahku. Aku sudah memutuskan, malam ini adalah batas terakhir dari perdamaian, jika tidak datang juga surat perdamaian, tembok pelindung mereka akan rata dengan tanah.”“Baiklah tuan, kalau begitu saya izin untuk kembali bertugas mengawasi mulut terowongan”“Lakukan rencana terakhir kita, Buatlah lubang tepat di de
Malam sudah mulai beranjak pamit, cahaya fajar tampak malu-malu mulai mengintip dari sisi timur, Utsman beserta para pasukan sudah berdiri gagah siap mendobrak tembok perbatasan.Abu terlihat berjalan sendirian dengan menunggangi keledainya, langkah demi langkah semakin dekat dengan tembok besar, meninggalkan para pasukan yang berada jauh di belakang.“Ini sebuah pemandangan yang sangat mengerikan, ribuan pasukan merayap panjang bak ular dari besi,” ucap seorang pengawas dengan raut wajah cemas, yang sedang memantau pasukan Utsman dari atas tembok besar.“Hai lihatlah! Bukankah itu orang gila yang kemarin, dia datang lagi,” seorang pengawas lain sedang mengacungkan telunjuknya ke arah Abu.“Sudah biarkan saja! Yang terpenting kita harus segera melapor kepada Jenderal Sina, musuh pasti akan mulai menyerang.”Abu berdiri tepat pada pinggiran parit, dia mencari sebuah lubang yang sudah dipersiapkan oleh para p
Dari arah belakang Kaisar Andreas tiba-tiba terlihat dua orang datang dengan menaiki sebuah kereta kuda, “Kaisar ... Ini kami sudah membawanya kemari.” Terlihat seseorang dengan kepala yang ditutup oleh kain, dilemparkan begitu saja jatuh ke tanah. “Lihatlah Utsman! Jika kau berani maju, akan kupisahkan kepala ini dari tubuhnya.” Ucap Kaisar Andreas sambil menginjakkan kakinya di atas kepala yang sedang tertutup itu. “Kau pikir kau siapa? Tak ada satu orang pun yang akan menghentikanku menegakkan keadilan” “Apa kau yakin?” Ejek Kaisar Andreas. Dengan perlahan Kaisar Andreas membuka kain penutup pada kepala yang diinjaknya. Tali dibuka, kain ditarik. Semua pasukan Utsman terperangah kaget, orang yang tadi diinjak oleh Kaisar Andreas adalah Sultan Umar. “Hahaha Bagaimana Utsman?” Tawa Kaisar Andreas menghancurkan hati para pasukan. Utsman tak bisa berbuat banyak ketika melihat ayahnya sedang dalam keadaan tak berdaya seperti itu,
Malam sudah mulai beranjak pamit, cahaya fajar tampak malu-malu mulai mengintip dari sisi timur, Utsman beserta para pasukan sudah berdiri gagah siap mendobrak tembok perbatasan.Abu terlihat berjalan sendirian dengan menunggangi keledainya, langkah demi langkah semakin dekat dengan tembok besar, meninggalkan para pasukan yang berada jauh di belakang.“Ini sebuah pemandangan yang sangat mengerikan, ribuan pasukan merayap panjang bak ular dari besi,” ucap seorang pengawas dengan raut wajah cemas, yang sedang memantau pasukan Utsman dari atas tembok besar.“Hai lihatlah! Bukankah itu orang gila yang kemarin, dia datang lagi,” seorang pengawas lain sedang mengacungkan telunjuknya ke arah Abu.“Sudah biarkan saja! Yang terpenting kita harus segera melapor kepada Jenderal Sina, musuh pasti akan mulai menyerang.”Abu berdiri tepat pada pinggiran parit, dia mencari sebuah lubang yang sudah dipersiapkan oleh para p
Tiga hari sudah berlalu, namun surat dari Utsman belum juga mendapatkan balasan. Di bawah sinar rembulan Utsman semakin membulatkan tekad untuk melakukan penyerangan.“Tuan, terowongan sudah siap dari kemarin, lalu apa yang kita tunggu?” tanya Havir.“Aku masih berprasangka baik kepada mereka, selama tiga hari ini aku terus menunggu dengan penuh harap, menunggu surat perdamaian dari mereka.”“Tuan, saya sangat setuju dengan Anda. Tapi? Pikiran ini tak pernah tenang memikirkan Sultan Umar yang tertawan oleh musuh.”“Terima kasih sudah sangat peduli dengan keselamatan ayahku. Aku sudah memutuskan, malam ini adalah batas terakhir dari perdamaian, jika tidak datang juga surat perdamaian, tembok pelindung mereka akan rata dengan tanah.”“Baiklah tuan, kalau begitu saya izin untuk kembali bertugas mengawasi mulut terowongan”“Lakukan rencana terakhir kita, Buatlah lubang tepat di de
Abu berjalan keluar, masih ditemani oleh dua pengawal yang sedari tadi mengikutinya dari belakang. Sesaat sebelum keluar dari pintu kastel, Abu baru menyadari bahwa kakinya sedang berjalan di sebuah permadani yang bagus. “Hai Andreas, bolehkah aku ambil ini?” Abu memang benar-benar tak waras, setelah masuk dengan tidak sopan, kini ia malah ingin mengambil sebuah barang dari kastel. Kaisar Andreas tak habis pikir melihat tingkah Abu, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya, baru kali ini ada seorang utusan tak waras yang berani menghadap pada dirinya. “Jadi tak boleh?” merasa tak mendapat persetujuan, Abu menyimpulkan jawabannya sendiri. Abu mengeluarkan pisau kecilnya, kemudian merobek sedikit permadani di kakinya dengan pisau. “Kalau hanya sebesar ini?” tanya Abu yang sambil memperlihatkan potongan kecil permadani pada Kaisar Andreas. “Dasar orang gila, bawa dia keluar!” Kaisar Andreas sudah muak, tak ingin lagi rasanya
Havir segera mengerahkan pasukan yang dipimpinnya untuk menggali terowongan. Havir yang ditugaskan untuk menjaga dengan rapat rahasia ini, berjaga di mulut terowongan.Sambil menunggu terowongan siap digunakan, Utsman mencoba untuk mengirimkan seorang utusan untuk menegosiasikan pembebasan ayahnya, serta permintaan pembukaan akses pada daerah kekaisaran.“Siapa di antara kalian yang mau mengirimkan surat negosiasi ini kepada Kaisar Andreas?” di hadapan sekumpulan pasukan, Utsman mencari orang yang mau untuk menyampaikan pesannya kepada pasukan musuh.Tak ada satu pun yang berani menjawab, tugas yang begitu berisiko dan terasa sedikit gila, mereka takut akan menjadi tawanan jika masuk ke daerah musuh seorang diri.“Kami mendengar, dan kami taat,” teriak Abu memecah keheningan.“Berikan tugas itu padaku!” Abu malah meminta untuk mengemban tugas itu. Tak heran, Abu memang orang yang sedikit geser otaknya, yang ada d
“Kenapa kau sangat yakin? Bagaimana kalau anakmu nantinya juga harus berakhir di atas panggung yang sama? Panggung eksekusi.” Kaisar Andreas menganggap sumpah yang baru saja ia dengar hanya seperti sebuah bualan semata.“Kaisar, bagaimana jika kita tunda eksekusi si pecundang itu? Kita cari anak dari pecundang itu, lalu kita bunuh di hadapannya.” Jenderal Sina memberikan sebuah ide, ide yang sangat menarik untuk dicoba.“Setuju ... Buat Umar melihat kematian anaknya!” Sorak-sorai penonton yang hadir mendukung ide yang diberikan oleh Jenderal Sina.“Ha ha ha. Kalian tidak perlu susah-payah mencarinya, dia sedang dalam perjalanan kemari.” Sultan Umar malah menertawakan Jenderal Sina, tak ada sedikit pun rasa takut dalam hati Sultan Umar, ia percaya anaknya akan mampu menembus benteng ini.“Ha ha ha. Jadi anakmu sudah siap untuk mati di tanganku?” Kaisar Andreas menertawakan balik Sultan Umar. &ldqu
Jamal merasa sakit hati ketika mendengar pemimpinnya direndahkan.Bagi Jamal, orang lain boleh merendahkan dirinya, namun tidak ada satu orang pun yang boleh menginjak harga diri pemimpinnya.“Hentikan, Jamal! Jangan terpancing,” terdengar suara seorang pasukan yang berusaha untuk menahan emosi Jamal.Melihat pancingannya mendapatkan tanggapan, membuat Jenderal Sina kembali melontarkan beberapa kalimat pancingan lagi.“Umar akan mati sebagai seorang pecundang. Bukankah itu pantas untuk seorang pemimpin seperti dia?” Jenderal Sina sengaja melemparkan kalimat-kalimat celaan.“Jangan pernah menghina orang yang telah menyelamatkanku!” Dengan kemarahan yang memuncak, Jamal berlari ke arah Jenderal Sina, beberapa bawahan Jenderal Sina dilewatinya dengan sekali tebasan pedang.Badan yang kekar karena pernah menjadi budak selama bertahun-tahun, dan keahlian bermain pedang yang sudah sangat terasah, membuat Jamal d
Bala bantuan tak kunjung datang, area perkemahan sudah dibongkar, para pasukan sudah bersiap untuk kembali pulang.Sisa pasukan yang sedikit serta tidak adanya pemimpin membuat mereka tidak bisa melanjutkan peperangan. Mereka tak mau berlama-lama lagi, mereka takut jika pasukan musuh datang menyergap.Sementara itu di alun-alun kastel Kaisar Andreas sudah dipersiapkan sebuah menara, tak terlalu tinggi, namun cukup jelas untuk dilihat dari kejauhan, Sultan Umar akan dieksekusi di atas sana.“Ayo, cepat! Jangan sampai kita ketinggalan.” Berita pengeksekusian Sultan Umar sudah tersebar ke berbagai pelosok kerajaan, semua warga berbondong-bondong untuk menyaksikan peristiwa ini.Alun-alun kastel sudah dipenuhi oleh berbagai kalangan, tak hanya bawahan Kaisar Andreas saja, rakyat jelata pun ikut menyaksikan acara ini, beberapa orang penulis sejarah juga sudah siap untuk mengabadikan momen ini.“Berdiri!” Dua orang pengawal membuk
Di pihak Kaisar Andreas terlihat seseorang sedang memperhatikan sebuah baskom berisi air, “Lihatlah ini!” serunya memanggil teman yang berdiri di sampingnya,Terlihat air dalam baskom bergoyang. “Kau jaga di sini! Aku akan melaporkannya pada Jenderal Sina.” Langsung saja dengan berlari dia menuju ke tempat sang jenderal.“Lapor Jenderal, terlihat air dalam baskom tidak stabil, sepertinya pasukan musuh sedang merencanakan untuk menyerang dari bawah tanah.” dengan napas tersengal-sengal dia melaporkan pada Jenderal Sina.Lantas saja Jenderal Sina bangkit dari duduknya, dia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, ”Di mana?” Jenderal Sina berjalan cepat menuju jejeran baskom yang berisi air.Tanpa sepengetahuan Sultan Umar, di atas tembok besar ternyata terdapat barisan baskom yang berisi air, tiap baskom berjarak sepuluh meter, ini digunakan sebagai metode sederhana untuk mendeteksi pergerakan bawah tan