Baru kali ini, Varisha merasa seolah seluruh energinya telah terkuras habis. Setelah momen kehangatan dan gairah yang memenuhi kamar, ia merasakan kelelahan yang menyelubungi setiap serat ototnya. Tubuhnya serasa menjadi lumpur hangat yang begitu sulit untuk digerakkan, dan matanya seakan-akan tertutup rapat oleh kelambu kenangan-kenangan yang baru saja berlalu."Varisha," bisik Arshaka dengan lembut, sementara tangannya masih melingkar di sekitar tubuh wanita itu. Namun, Varisha tak bisa membalasnya. Matanya terasa berat, dan kepalanya terasa kosong.Kenangan tentang gaun yang merosot dari tubuhnya seperti daun yang gugur dari dahan. Ciuman-ciuman yang tak henti-hentinya dari Arshaka, membawanya ke puncak kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, kenikmatan itu juga membawanya ke titik lelah yang tak terelakkan. Seketika, Varisha merasakan sensasi penuh yang mencapai setiap ujung sarafnya, dan ia tak mampu lagi menahan diri.Dalam kelelahan itu, Varisha bisa merasakan Arsha
Arshaka menutup telepon dengan ekspresi masam, meletakkan ponselnya di meja dengan gerakan tegas. Wajahnya terlihat tegang, dan ia merasa beban berat di pundaknya. Cakra kembali mendesaknya untuk segera pulang ke Indonesia secepatnya. Semua rencana dan masa depannya kini seolah-olah berada di bawah bayang-bayang perintah keras ayahnya.Dalam hatinya, Arshaka merasa begitu resah dan tidak siap. Bagaimana ia bisa membatalkan rencana pernikahannya dengan Adelia, membawa Varisha kembali sebagai istrinya, dan menghadapi Cakra yang pasti tidak akan menerima keputusannya. Semua pikiran ini berputar dalam kepalanya, meninggalkan rasa bingung yang sangat besar.Arshaka terduduk di kursi kulitnya, merenung tentang apa yang harus dilakukannya. Ancaman Cakra yang ingin menceraikan ibunya kembali mengusik pikirannya. Arshaka sudah sangat mengenal Cakra, ayahnya itu selalu menepati apa yang sudah ia katakan. Seandainya saja ibunya tidak begitu mencintai Cakra, mungkin dia tidak akan terlalu ambil
Langit Jakarta terasa berat di atas gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Arshaka memasuki ruangan kantor Cakra dengan langkah mantap. Sementara Cakra duduk di balik meja besarnya, melihat putranya masuk. Tatapannya tajam, seolah-olah mencoba memahami rencana apa yang sedang terlintas di pikiran Arshaka.“Saya tidak akan melanjutkan rencana pernikahan itu. Saya mencintai wanita lain," ucap Arshaka dengan nada yang tak tergoyahkan dan tanpa basa-basi.Sejenak, suasana hening memenuhi ruangan. Cakra menatap putranya tanpa sepatah kata. Detik itu seolah berjalan sangat lambat, dan kemudian Cakra akhirnya membuka mulutnya. "Siapa wanita itu?"Arshaka tersenyum, bukan senyuman penuh keceriaan, melainkan senyuman yang mengandung kepastian dan keputusan. "Saya akan segera memperkenalkannya. Tapi sebelum itu, saya ingin membuat semuanya jelas. Kali ini, Papa tidak akan bisa memisahkan saya dari wanita yang saya cintai."Cakra tetap tenang, mata tajamnya tetap menatap Arshaka. "Apa ka
Ruangan mewah itu dihiasi dengan cahaya lembut dan aroma harum dari lilin yang menyala. Ornamen-ornamen seni menjadikan suasana semakin elegan. Tertata rapi di sekeliling meja makan besar yang sudah disiapkan untuk acara keluarga Diaksara dan keluarga Hirawan.Semua anggota keluarga, yang sebelumnya hanya bersama dalam berbagai pertemuan formal, kini berkumpul dalam acara makan malam yang diadakan oleh Cakra. Wajah-wajah yang akrab namun jauh dari kebersamaan tampak tersenyum, menunjukkan kehangatan di antara kerabat yang sudah lama tidak bersua. Selain makan malam bersama, acara malam itu juga berlangsung untuk merayakan ulang tahun Cakra ke 60 tahun. Acara akan dimulai, dan semuanya telah duduk di tempat masing-masing. Namun, Anindya, menghentikan semua kegiatan dan tersenyum dengan penuh misteri. "Maafkan saya, namun ada satu anggota keluarga lagi yang seharusnya ikut hadir malam ini. Seorang yang mungkin sudah sangat dinantikan."Semua orang memandang satu sama lain, bingung deng
Arshaka menarik tubuh Varisha mendekat, dan suara langkah-langkah yang lirih memenuhi ruangan saat mereka berdua semakin tenggelam dalam ketegangan yang memayungi mereka. Setiap langkah kecil, getaran yang menusuk antara keduanya, menyulut bara gairah yang terus berkobar."Sudah terlambat, Varisha. Kita sudah lebih dulu menikah daripada kenyataan sialan yang kamu sebutkan itu," bisik Arshaka dengan suara yang penuh nafsu. Ia menahan wajah Varisha di antara kedua tangannya, matanya tetap terkunci pada sosok wanita di depannya.Varisha mencoba menahan detak jantungnya yang terus berdetak kencang. "Tidak, kita tidak bisa..."Sebelum Varisha bisa menyelesaikan kalimatnya, bibir Arshaka menyatu dengan bibirnya. Semua kata-kata yang hendak diucapkannya lenyap, terhisap oleh gairah yang tiba-tiba memenuhi setiap senti dari dirinya. Varisha merasa kehilangan kendali, terperangkap dalam sentuhan yang merayapi tubuhnya seperti api yang melibas kering.Lengan Arshaka memeluknya dengan erat, mema
Arini berdiri di ambang pintu, menyaksikan adegan yang tak patut dilihat oleh mata seseorang yang di dalamnya terangkum begitu banyak kebencian. Ruangan itu seketika terasa terlalu sempit, napas Varisha dan Arshaka terengah-engah terdengar jelas, menciptakan ketegangan yang tak tertahankan. Matanya membesar saat menyaksikan dua sosok yang seharusnya tak pernah bersatu.Varisha, masih terkejut dan terengah-engah, menatap Arini dengan mata yang dipenuhi rasa malu dan rasa bersalah. Sebelum ia bisa berkata apa pun, Arini melancarkan tamparan yang keras ke pipi Varisha, suara benturan tangan dengan pipi itu menggema di seluruh ruangan. Varisha merasakan sakit yang menusuk, bukan hanya dari tamparan fisik, tetapi juga dari penghinaan yang tajam."Kamu benar-benar tidak tahu diri, ya?" bentak Arini, suaranya terpenuhi kemarahan dan kejijikan. "Apa kamu pikir kamu bisa menghancurkan keluarga kami begitu saja?"Mata Arini memancarkan kemarahan, dan tangannya yang baru saja melepaskan tamparan
“Puas kamu telah menghancurkan semuanya?” tanya Cakra setelah semua tamu undangan meninggalkan ruangan.“Puas kamu telah mempermalukan Papa?” tuntut Cakra sambil melayangkan tamparannya ke wajah Arshaka, menambah sederetan luka yang telah diperolehnya. Bukannya menunjukkan raut penyesalan, Arshaka malah menatap ayahnya dengan senyum penuh kemenangan. “Inilah akhirnya, Pa. Jangan salahkan saya karena sudah memperingatkan Papa.”“Sadarkah kamu, Arshaka? Saat ini kamu sedang menghancurkan hidupmu.” Cakra berkata dengan tajam sambil menarik kerah kemeja Arshaka dan menghempaskannya dengan kasar hingga pria itu terhuyung ke belakang.“Kalau dengan kehancuran ini saya bisa mengalahkan Papa. Saya tidak akan menyesal, Pa.” Arshaka menatap Cakra dengan tatapan menantang, membuat kobaran amaran di mata Cakra semakin membara. “Hentikan, Arshaka!” seru Anindya dengan berlinang air mata dan juga tatapan penuh kekecewaan. “Hormati Papamu dan minta maaflah,” lanjut Anindya dengan lirih.“Untuk ap
“Maaf, Non. Tadi bapak panggil Non, ditunggu di ruang kerja katanya,” ujar seorang asisten rumah tangga yang datang tergopoh-gopoh menemui Varisha.“Ruang kerjanya ada di lantai atas, di lorong paling ujung, Non,” lanjut wanita paruh baya itu. “Baik, Bi. Saya akan ke sana. Tolong obati luka-lukanya ya, Bi.” Varisha melirik ke arah Arshaka yang kini memegang tangannya. “Jangan pergi!” seru Arshaka dengan tegas, ia meremas tangan Varisha dengan lembut. Varisha menghela napas kasar. “Sebentar saja, saya akan kembali. Biar lukamu diobati dulu,” kata Varisha menahan jengkel. “Sepuluh menit. Saya kasih waktu kamu untuk menemuinya,” balas Arshaka dengan tegas. “Lepaskan dulu tangan saya.” Varisha mencoba menghempaskan tangan Arshaka yang masih menggenggamnya. Arshaka menatap Varisha dan dengan enggan melepaskan genggaman tangannya dari jemari wanita itu. Tanpa menunggu lama, setelah genggaman tersebut lepas, Varisha segera melangkah pergi tanpa menoleh ke arah Arshaka. Varisha terus
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin
Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung dengan sukses dan lancar. Satu ginjal Sophia sudah berada di dalam tubuh Marissa.Sementara itu keadaan Sophia sudah berangsur membaik pascabedah. Kondisi tubuhnya cepat pulih. Begitu Sophia memperoleh kembali kesadarannya, Arshaka sudah berada di samping wanita itu. Varisha sendiri lah yang memintanya menemani Sophia kalau wanita itu sudah sadar. “Terima kasih, Soph. Terima kasih karena kau telah membantu anakku. Satu ginjalmu sudah berada di tubuhnya.”Sophia tersenyum dengan lemah. Ia sangat senang karena Arshaka lah orang yang pertama kali ia lihat setelah bangun. “Bagaimana keadaannya sekarang?”“Dia belum sadar. Tapi dokter mengatakan kalau dia akan segera pulih.”“Semoga ginjalku diterima baik oleh tubuhnya,” ujar Sophia dengan lemah.“Pengorbananmu tidak akan sia-sia, Soph,” balas Arshaka dengan tenang. Namun tetap saja pria itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pilihan sulit yang Sophia berikan membuatnya tersiksa. Tetapi i
Varisha kembali ke rumah setelah seharian menemani Marissa di rumah sakit. Besok adalah hari yang sangat-sangat ditunggu olehnya. Hari tercerah di mana Marissa akan menjalani tahapan baru dalam kehidupannya. Jadi, dirinya memutuskan untuk istirahat karena mertuanya dan Arini yang memaksanya. Awalnya Varisha menolak, tetapi sejak tahu dirinya hamil, Varisha berusaha untuk tidak memaksakan diri dan menjaga kondisinya. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya ia begitu gelisah. Apa lagi saat Arshaka masih juga belum pulang. Pria itu belum memberi kabar, ponselnya tidak aktif, dan Arshaka sama sekali tidak muncul di rumah sakit. Alhasil, Varisha kembali ke rumah dengan taxi. Varisha mencoba memejamkan matanya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berisik, perasaannya tak karuan. Semuanya menjadi serba salah. Pandangannya beralih ke sampingnya, kosong dan dingin. Arshaka sama sekali belum pulang dan tidak dapat dihubungi. Rasa cemas mulai menghampirinya. Varisha langsung me
Varisha terus memikirkan kata-kata Sophia yang sangat mengusik benaknya. Tidurnya menjadi tak nyenyak dan gelisah. “Ada apa, Sayang? Susah tidur?” tanya Arshaka yang langsung berbalik ke arahnya. Varisha tidak menjawab dan hanya mengangguk. Arshaka mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan hangatnya. Kalau biasanya Varisha merasa nyaman dan mungkin langsung tertidur. Kali ini, pelukan itu seakan tidak mempan untuknya. “Kenapa? Masih mikir tentang pendonor Marissa?” tuntut Arshaka seolah menyadari kegelisahan istrinya.Pertanyaan Arshaka membuat Varisha semakin gelisah. “Kamu… kamu sudah tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk Marissa?” tanya Varisha sambil menahan suaranya yang gemetar.Arshaka menggeleng pelan. “Masih belum. Rey masih belum kasih kabar.” “Mas…” panggil Varisha lembut. “Iya, Sayang,” balas Arshaka.“Kalau misal suatu saat aku ninggalin kamu… apa yang akan kamu lakukan?” “Jujur dulu saya marah sekali saat kamu meninggalkan saya begitu s