Arini berdiri di ambang pintu, menyaksikan adegan yang tak patut dilihat oleh mata seseorang yang di dalamnya terangkum begitu banyak kebencian. Ruangan itu seketika terasa terlalu sempit, napas Varisha dan Arshaka terengah-engah terdengar jelas, menciptakan ketegangan yang tak tertahankan. Matanya membesar saat menyaksikan dua sosok yang seharusnya tak pernah bersatu.Varisha, masih terkejut dan terengah-engah, menatap Arini dengan mata yang dipenuhi rasa malu dan rasa bersalah. Sebelum ia bisa berkata apa pun, Arini melancarkan tamparan yang keras ke pipi Varisha, suara benturan tangan dengan pipi itu menggema di seluruh ruangan. Varisha merasakan sakit yang menusuk, bukan hanya dari tamparan fisik, tetapi juga dari penghinaan yang tajam."Kamu benar-benar tidak tahu diri, ya?" bentak Arini, suaranya terpenuhi kemarahan dan kejijikan. "Apa kamu pikir kamu bisa menghancurkan keluarga kami begitu saja?"Mata Arini memancarkan kemarahan, dan tangannya yang baru saja melepaskan tamparan
“Puas kamu telah menghancurkan semuanya?” tanya Cakra setelah semua tamu undangan meninggalkan ruangan.“Puas kamu telah mempermalukan Papa?” tuntut Cakra sambil melayangkan tamparannya ke wajah Arshaka, menambah sederetan luka yang telah diperolehnya. Bukannya menunjukkan raut penyesalan, Arshaka malah menatap ayahnya dengan senyum penuh kemenangan. “Inilah akhirnya, Pa. Jangan salahkan saya karena sudah memperingatkan Papa.”“Sadarkah kamu, Arshaka? Saat ini kamu sedang menghancurkan hidupmu.” Cakra berkata dengan tajam sambil menarik kerah kemeja Arshaka dan menghempaskannya dengan kasar hingga pria itu terhuyung ke belakang.“Kalau dengan kehancuran ini saya bisa mengalahkan Papa. Saya tidak akan menyesal, Pa.” Arshaka menatap Cakra dengan tatapan menantang, membuat kobaran amaran di mata Cakra semakin membara. “Hentikan, Arshaka!” seru Anindya dengan berlinang air mata dan juga tatapan penuh kekecewaan. “Hormati Papamu dan minta maaflah,” lanjut Anindya dengan lirih.“Untuk ap
“Maaf, Non. Tadi bapak panggil Non, ditunggu di ruang kerja katanya,” ujar seorang asisten rumah tangga yang datang tergopoh-gopoh menemui Varisha.“Ruang kerjanya ada di lantai atas, di lorong paling ujung, Non,” lanjut wanita paruh baya itu. “Baik, Bi. Saya akan ke sana. Tolong obati luka-lukanya ya, Bi.” Varisha melirik ke arah Arshaka yang kini memegang tangannya. “Jangan pergi!” seru Arshaka dengan tegas, ia meremas tangan Varisha dengan lembut. Varisha menghela napas kasar. “Sebentar saja, saya akan kembali. Biar lukamu diobati dulu,” kata Varisha menahan jengkel. “Sepuluh menit. Saya kasih waktu kamu untuk menemuinya,” balas Arshaka dengan tegas. “Lepaskan dulu tangan saya.” Varisha mencoba menghempaskan tangan Arshaka yang masih menggenggamnya. Arshaka menatap Varisha dan dengan enggan melepaskan genggaman tangannya dari jemari wanita itu. Tanpa menunggu lama, setelah genggaman tersebut lepas, Varisha segera melangkah pergi tanpa menoleh ke arah Arshaka. Varisha terus
Dua bulan kemudian.Hubungan Varisha dengan Cakra dan Anindya semakin membaik. Varisha kini tinggal di Bali setelah menerima tawaran untuk mengawasi proyek pembangunan hotel di pulau tersebut. Di tengah kesibukannya, sesekali Varisha kembali ke Jakarta untuk menemui Cakra dan juga Arshaka yang selalu muncul di berbagai kesempatan.Malam itu, Varisha baru saja menyelesaikan peninjauan proyek, melihat perkembangan yang positif. Langit di Bali bermandikan warna senja yang memukau, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Setelah kembali ke hotelnya, Varisha mendapati Arshaka sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman pria itu menyambut Varisha, dan tanpa ragu, Arshaka mendekat untuk memeluknya. Varisha, dengan sikap yang sudah terbiasa, hanya diam, membiarkan Arshaka melakukan keinginannya.Setelah beberapa saat, Varisha melepaskan diri dari pelukan Arshaka dengan lembut. "Saya lelah. Saya mau cepat mandi dan tidur."Arshaka tersenyum lebar. "Saya juga belum mandi. Bagaimana kalau kita man
Hari itu di ruang kerja Varisha, Bali masih menyuguhkan kehangatan dan semilir angin laut yang menyenangkan. Ketika Varisha mengangkat pandangannya dari pekerjaannya, matanya terpaku pada pintu ruang kerjanya yang tiba-tiba terbuka. Tertegun, dia melihat Cakra, ayahnya, berdiri di ambang pintu dengan senyuman hangat. Satu perasaan campur aduk terpatri di wajah Varisha: kejutan, kegembiraan, dan juga rasa penasaran tentang alasan kedatangan mendadak ayahnya di Bali.Dengan cemas, Varisha bangkit dari kursinya dan menyambut Cakra. "Papa! Kapan Papa sampai?”Cakra hanya tersenyum, mencoba meredakan kekhawatiran putrinya. "Papa baru saja sampai, Varisha. Bagaimana kabarmu?”“Baik, Pa. Papa sendiri bagaimana?” tanya Varisha dengan penuh perhatian sambil membuatkan teh herbal untuk Cakra.“Diminum, Pa.” Varisha meletakkan cangkir teh di hadapan Cakra.“Terima kasih, Varisha. Apa kamu sedang sibuk?” “Lumayan, Pa. Masih ada beberapa hal yang harus Varisha periksa. Tapi, nanti saja lah Varish
Langit senja di Bali melukis warna jingga dan ungu yang memukau. Cahaya lampu-lampu kecil di restoran itu menyemarakkan suasana, menciptakan aura romantis yang sempurna. Cahaya lembut dari lentera-lentera di tepi pantai menerangi deretan meja dan kursi putih yang disusun rapi. Varisha melangkah masuk, membiarkan langkahnya terikat oleh kecantikan dan pesona ruangan itu. Gaun elegan yang ia kenakan menambah kilauan dalam langkahnya. Rambutnya yang terurai indah, menambahkan sentuhan kemewahan pada penampilannya. Matanya melintas ke sekeliling, mencari pria yang akan dikenalkan padanya. Namun, saat mata mereka saling bertemu, tidak ada yang bisa menyembunyikan kejutan yang menghiasi wajah mereka.Sebastian Richter, pengusaha sukses berdarah Jerman dengan karisma yang mendominasi, sudah menanti dengan senyuman ramahnya. Kehadirannya menambah kilauan pada malam itu, dengan setelan linen yang menonjolkan bahu dan tubuhnya yang atletis. Ia berdiri dengan anggun dan ramah, menarik kursi di
“Dosakah seorang suami yang menginginkan istrinya kembali?” tanya Arshaka dengan geram. “Kalau memang itu dosa untuk kamu. Maka kita akan melakukan dosa itu seumur hidup ini dan tidak ada yang bisa menghentikannya,” desis Arshaka dengan suara yang penuh kebencian.Varisha mencoba untuk menjawab, tetapi suara erangan kecilnya tenggelam dalam gertakan Arshaka. Pria itu semakin mendekat, memperkuat pegangannya di leher Varisha. Kedua mata Varisha terbuka lebar, mencari pertolongan dalam kegelapan. Tanpa sadar, ia menggigit pundak Arshaka dengan keras, mencoba melepaskan diri dari cengkraman yang mencekiknya."Percuma, Varisha. Kamu tidak bisa lari dari dosamu." Arshaka mendesis, tapi darah yang menetes dari gigitan Varisha membuatnya semakin murka. Tangannya yang lain merayap ke bagian leher Varisha, mengelus-elusnya dengan kasar.Arshaka mengeratkan pelukannya, mengunci Varisha di dalam rangkulan besi yang sulit dilepaskan. Wanita itu meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman
Air hangat memenuhi kamar mandi, menciptakan suasana yang kontras dengan ketegangan di dalam hati Varisha. Tubuhnya terasa lemah, tak berdaya, seperti kain yang terendam air. Arshaka, tanpa sepatah kata pun, dengan cekatan membawa tubuh wanita itu ke dalam bak mandi yang sudah berisi air hangat.Varisha mencoba memberontak, namun upayanya tidak lebih dari gerakan gemulai. Setiap ototnya terasa berat, kelelahan setelah malam yang penuh derita. Suara isak tangis yang terkekang terasa hendak pecah, namun Varisha menekan erat perasaannya. Tidak ada lagi air mata yang tersisa, hanya rasa malu dan kehinaan."Mas, berhentilah," desis Varisha dengan suara lirih, sementara matanya mencoba menyiratkan penolakan. Namun, Arshaka tidak mengindahkan permohonan itu dan melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi."Saya tidak sanggup melakukan ini lagi sekarang." Varisha berbisik dengan suara lemah, matanya mencoba memohon. Arshaka tidak memberikan respon apa pun. Ia meletakkan tubuh Varisha di dalam