Langit senja di Bali melukis warna jingga dan ungu yang memukau. Cahaya lampu-lampu kecil di restoran itu menyemarakkan suasana, menciptakan aura romantis yang sempurna. Cahaya lembut dari lentera-lentera di tepi pantai menerangi deretan meja dan kursi putih yang disusun rapi. Varisha melangkah masuk, membiarkan langkahnya terikat oleh kecantikan dan pesona ruangan itu. Gaun elegan yang ia kenakan menambah kilauan dalam langkahnya. Rambutnya yang terurai indah, menambahkan sentuhan kemewahan pada penampilannya. Matanya melintas ke sekeliling, mencari pria yang akan dikenalkan padanya. Namun, saat mata mereka saling bertemu, tidak ada yang bisa menyembunyikan kejutan yang menghiasi wajah mereka.Sebastian Richter, pengusaha sukses berdarah Jerman dengan karisma yang mendominasi, sudah menanti dengan senyuman ramahnya. Kehadirannya menambah kilauan pada malam itu, dengan setelan linen yang menonjolkan bahu dan tubuhnya yang atletis. Ia berdiri dengan anggun dan ramah, menarik kursi di
“Dosakah seorang suami yang menginginkan istrinya kembali?” tanya Arshaka dengan geram. “Kalau memang itu dosa untuk kamu. Maka kita akan melakukan dosa itu seumur hidup ini dan tidak ada yang bisa menghentikannya,” desis Arshaka dengan suara yang penuh kebencian.Varisha mencoba untuk menjawab, tetapi suara erangan kecilnya tenggelam dalam gertakan Arshaka. Pria itu semakin mendekat, memperkuat pegangannya di leher Varisha. Kedua mata Varisha terbuka lebar, mencari pertolongan dalam kegelapan. Tanpa sadar, ia menggigit pundak Arshaka dengan keras, mencoba melepaskan diri dari cengkraman yang mencekiknya."Percuma, Varisha. Kamu tidak bisa lari dari dosamu." Arshaka mendesis, tapi darah yang menetes dari gigitan Varisha membuatnya semakin murka. Tangannya yang lain merayap ke bagian leher Varisha, mengelus-elusnya dengan kasar.Arshaka mengeratkan pelukannya, mengunci Varisha di dalam rangkulan besi yang sulit dilepaskan. Wanita itu meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman
Air hangat memenuhi kamar mandi, menciptakan suasana yang kontras dengan ketegangan di dalam hati Varisha. Tubuhnya terasa lemah, tak berdaya, seperti kain yang terendam air. Arshaka, tanpa sepatah kata pun, dengan cekatan membawa tubuh wanita itu ke dalam bak mandi yang sudah berisi air hangat.Varisha mencoba memberontak, namun upayanya tidak lebih dari gerakan gemulai. Setiap ototnya terasa berat, kelelahan setelah malam yang penuh derita. Suara isak tangis yang terkekang terasa hendak pecah, namun Varisha menekan erat perasaannya. Tidak ada lagi air mata yang tersisa, hanya rasa malu dan kehinaan."Mas, berhentilah," desis Varisha dengan suara lirih, sementara matanya mencoba menyiratkan penolakan. Namun, Arshaka tidak mengindahkan permohonan itu dan melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi."Saya tidak sanggup melakukan ini lagi sekarang." Varisha berbisik dengan suara lemah, matanya mencoba memohon. Arshaka tidak memberikan respon apa pun. Ia meletakkan tubuh Varisha di dalam
"Kenapa?" desisnya dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu begitu kejam?" Varisha berteriak, suaranya penuh dengan rasa frustasi yang tertumpah. Ia menatap mata Arshaka, mencari jawaban yang tidak kunjung diberikan.Arshaka, yang masih duduk di sampingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah mencoba menemukan benang merah dalam kekacauan yang tercipta. Dia membiarkan Varisha melanjutkan pertanyaannya, seakan-akan menikmati setiap kata yang keluar dari bibir wanita itu.“Kamu bilang kamu mencintai saya, tapi kenapa kamu terus menyakiti saya seperti ini?”Arshaka menanggapi dengan tatapan yang dalam, seolah mencoba menembus lapisan hati Varisha. "Saya terpaksa melakukan ini, Varisha," jawabnya dengan tegas. "Kamu selalu membuat saya kehilangan kendali. Kamu selalu menemukan cara untuk melawan... melawan apa yang saya inginkan."Wanita itu terdiam, mencerna kata-kata Arshaka dengan penuh kebingungan. "Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini? Apakah ini cara menc
Arshaka duduk dengan diam di dalam mobil mewahnya, melihat Varisha yang tidur dengan damai di pangkuannya. Satu sisi dari kepribadian Arshaka merasa bersalah melihat perempuan itu terlelap begitu tenang, namun sisi lainnya tetap keras dan tak ingin menunjukkan penyesalan.Perjalanan menuju Lombok diisi dengan keheningan, hanya suara mesin mobil dan kadang-kadang bunyi pelan gelombang ombak yang menyelinap masuk. Arshaka terus menatap wajah Varisha yang damai dalam dekapannya, dan, meskipun dirinya menolak untuk mengakui, ada perasaan cemas yang menyelip di antara emosinya yang terkadang kasar.Seolah menangkap gelombang ketidaknyamanan, Arshaka meraih mantel di sampingnya dan menutupi tubuh Varisha dengan lembut. Rambut panjang wanita itu mengelilingi wajahnya, dan Arshaka tak sengaja menyapu beberapa helai rambut ke samping. Dalam perjalanannya, dia menyadari bahwa wanita itu tak lagi tampak seperti objek keinginan yang harus dimiliki dan dikendalikan. Mungkin ada sisi kelembutan yan
Varisha memandang sekelilingnya setelah bangun dari tidurnya yang singkat. Keheningan kamar yang hanya diselingi suara gemericik air kolam membuatnya merasa sedikit terisolasi. Tidak ada tanda-tanda Arshaka di dekatnya, dan sebuah napas lega terlepas begitu menyadari dirinya kini sendirian.Sejak tiba di Villa ini, Varisha mencatat perubahan sikap Arshaka yang mencolok. Pria itu terlihat lebih tenang, lebih lembut dalam bertindak. Meskipun kata-katanya yang menyebalkan terkadang masih menyelinap, ada sesuatu yang berbeda. Bahkan ketika Varisha menyatakan keinginannya untuk beristirahat dan menyendiri, Arshaka mengiyakannya tanpa pertikaian. Hal ini menyulut perasaan campuran dalam diri Varisha; di satu sisi, lega karena mendapat kesempatan untuk sendiri, namun di sisi lain, kekosongan yang menyertainya membawakan rasa hampa yang sulit dijelaskan.Varisha merasakan semilir angin yang lembut membelai rambutnya, memberikan kesan tenang di dalam keheningan tempat itu. Langkahnya pelan me
Malam itu, Varisha muncul dari kamar tidurnya, memasuki ruang tamu utama dengan langkah ragu. Suara pintu terbuka menarik perhatiannya, dan tanpa menunggu lama, Arshaka melangkah masuk. Segera, atmosfer ruangan terasa tegang, dipenuhi dengan magnetisme yang tak terbantahkan antara mereka berdua.Arshaka menatap Varisha dengan mata yang penuh keinginan, menyelusuri tubuh wanita itu dengan pandangan yang sulit dihindari. Meskipun Varisha membenci dirinya yang terguncang oleh tatapan pria itu, sekaligus merasa seperti pengkhianat pengecut, dia tidak bisa memungkiri getaran aneh yang merayap di dalam dirinya.Dalam balutan gaun tanpa lengan berwarna lavender, Varisha berdiri dengan ketidakpastian yang terlihat begitu mencolok. Gaun itu menyoroti garis tubuhnya yang elegan, memancarkan pesona yang tak terelakkan. Sepatu hak tinggi berwarna hitam menambahkan sentuhan anggun pada penampilannya. Arshaka melihat kaki ramping Varisha, dan perhatiannya tertarik pada warna merah di kukunya, menci
Keesokan paginya, mata Varisha terbuka perlahan, dan ia menemukan dirinya masih terbaring di tempat tidur yang lembut. Kenangan tentang malam sebelumnya melanda benaknya, seperti bayang-bayang gelap yang terus menghantuinya. Tubuhnya masih terasa rapuh, dan ingatan akan sentuhan kasar pria mabuk itu membuatnya merinding.Wanita itu masih bersandar di ranjang, merenung dalam keheningan. Sejenak, ia menutup mata mencoba memblokir gambar-gambar yang terlalu nyata dalam ingatannya. Meski begitu, Varisha bisa merasakan kelembutan Arshaka yang memenuhi malam itu. Ketika pria itu menciumnya dengan penuh kehangatan, hampir seolah-olah ingin menghapuskan setiap bekas sentuhan yang tidak pantas.Malam itu, Arshaka membuktikan bahwa kemarahannya dapat menjadi bentuk perlindungan, dan Varisha bisa merasakan kehangatan serta kemarahan yang bercampur dalam dekapannya. Saat pria itu mencium hampir seluruh tubuhnya, Varisha tidak hanya melupakan sentuhan-sentuhan kasar pria mabuk, tetapi juga menyada