Arshaka duduk dengan diam di dalam mobil mewahnya, melihat Varisha yang tidur dengan damai di pangkuannya. Satu sisi dari kepribadian Arshaka merasa bersalah melihat perempuan itu terlelap begitu tenang, namun sisi lainnya tetap keras dan tak ingin menunjukkan penyesalan.Perjalanan menuju Lombok diisi dengan keheningan, hanya suara mesin mobil dan kadang-kadang bunyi pelan gelombang ombak yang menyelinap masuk. Arshaka terus menatap wajah Varisha yang damai dalam dekapannya, dan, meskipun dirinya menolak untuk mengakui, ada perasaan cemas yang menyelip di antara emosinya yang terkadang kasar.Seolah menangkap gelombang ketidaknyamanan, Arshaka meraih mantel di sampingnya dan menutupi tubuh Varisha dengan lembut. Rambut panjang wanita itu mengelilingi wajahnya, dan Arshaka tak sengaja menyapu beberapa helai rambut ke samping. Dalam perjalanannya, dia menyadari bahwa wanita itu tak lagi tampak seperti objek keinginan yang harus dimiliki dan dikendalikan. Mungkin ada sisi kelembutan yan
Varisha memandang sekelilingnya setelah bangun dari tidurnya yang singkat. Keheningan kamar yang hanya diselingi suara gemericik air kolam membuatnya merasa sedikit terisolasi. Tidak ada tanda-tanda Arshaka di dekatnya, dan sebuah napas lega terlepas begitu menyadari dirinya kini sendirian.Sejak tiba di Villa ini, Varisha mencatat perubahan sikap Arshaka yang mencolok. Pria itu terlihat lebih tenang, lebih lembut dalam bertindak. Meskipun kata-katanya yang menyebalkan terkadang masih menyelinap, ada sesuatu yang berbeda. Bahkan ketika Varisha menyatakan keinginannya untuk beristirahat dan menyendiri, Arshaka mengiyakannya tanpa pertikaian. Hal ini menyulut perasaan campuran dalam diri Varisha; di satu sisi, lega karena mendapat kesempatan untuk sendiri, namun di sisi lain, kekosongan yang menyertainya membawakan rasa hampa yang sulit dijelaskan.Varisha merasakan semilir angin yang lembut membelai rambutnya, memberikan kesan tenang di dalam keheningan tempat itu. Langkahnya pelan me
Malam itu, Varisha muncul dari kamar tidurnya, memasuki ruang tamu utama dengan langkah ragu. Suara pintu terbuka menarik perhatiannya, dan tanpa menunggu lama, Arshaka melangkah masuk. Segera, atmosfer ruangan terasa tegang, dipenuhi dengan magnetisme yang tak terbantahkan antara mereka berdua.Arshaka menatap Varisha dengan mata yang penuh keinginan, menyelusuri tubuh wanita itu dengan pandangan yang sulit dihindari. Meskipun Varisha membenci dirinya yang terguncang oleh tatapan pria itu, sekaligus merasa seperti pengkhianat pengecut, dia tidak bisa memungkiri getaran aneh yang merayap di dalam dirinya.Dalam balutan gaun tanpa lengan berwarna lavender, Varisha berdiri dengan ketidakpastian yang terlihat begitu mencolok. Gaun itu menyoroti garis tubuhnya yang elegan, memancarkan pesona yang tak terelakkan. Sepatu hak tinggi berwarna hitam menambahkan sentuhan anggun pada penampilannya. Arshaka melihat kaki ramping Varisha, dan perhatiannya tertarik pada warna merah di kukunya, menci
Keesokan paginya, mata Varisha terbuka perlahan, dan ia menemukan dirinya masih terbaring di tempat tidur yang lembut. Kenangan tentang malam sebelumnya melanda benaknya, seperti bayang-bayang gelap yang terus menghantuinya. Tubuhnya masih terasa rapuh, dan ingatan akan sentuhan kasar pria mabuk itu membuatnya merinding.Wanita itu masih bersandar di ranjang, merenung dalam keheningan. Sejenak, ia menutup mata mencoba memblokir gambar-gambar yang terlalu nyata dalam ingatannya. Meski begitu, Varisha bisa merasakan kelembutan Arshaka yang memenuhi malam itu. Ketika pria itu menciumnya dengan penuh kehangatan, hampir seolah-olah ingin menghapuskan setiap bekas sentuhan yang tidak pantas.Malam itu, Arshaka membuktikan bahwa kemarahannya dapat menjadi bentuk perlindungan, dan Varisha bisa merasakan kehangatan serta kemarahan yang bercampur dalam dekapannya. Saat pria itu mencium hampir seluruh tubuhnya, Varisha tidak hanya melupakan sentuhan-sentuhan kasar pria mabuk, tetapi juga menyada
Setelah momen keintiman yang meledakkan gairah dan hasrat, Arshaka dan Varisha sekarang terbaring di atas ranjang yang nyaman. Varisha meletakkan kepalanya dengan lembut di atas dada Arshaka, sementara pria itu mengusap punggungnya dengan lembut. Rambut Varisha yang tergerai memberikan sentuhan romantis, dan keduanya merasakan keharuman campuran antara parfum dan aroma tubuh yang menyatu.Sisa-sisa percintaan mereka masih terasa, dan keringat yang membasahi tubuh keduanya adalah bukti dari intensitas momen yang baru saja mereka alami. Arshaka, dengan lembut, menyibak helaian rambut yang berada di wajah Varisha.Tangan pria itu bergerak dengan penuh kelembutan, seolah-olah mengukir seni di permukaan rambut hitam yang indah. Kelembutan sentuhan Arshaka membangunkan keintiman baru di antara mereka, memperkuat ikatan yang tumbuh setelah melewati momen penuh emosi.Arshaka mengecup puncak kepala Varisha dengan lembut, membenamkan seluruh rasa kasih sayangnya pada wanita itu. Varisha mendon
"Mas," bisik Varisha, suaranya penuh hasrat, mencerminkan getaran di antara mereka. Mata mereka bertemu, dan dalam pandangan itu, Arshaka merasakan api yang berkobar dalam dirinya. Ia tersenyum tipis, membiarkan keinginan melibas kewarasannya."Sebentar lagi kita sampai, kita bisa melanjutkannya di hotel," ujar Arshaka dengan penuh kelembutan, mencoba menahan getaran hasrat yang mengalir di dalam dirinya. Namun, Varisha tampaknya tidak menerima jawaban tersebut.Varisha menggeleng dengan tegas, matanya penuh dengan keinginan. "Saya menginginkanmu sekarang, Mas. Saya tidak mau menunggu."Arshaka tertawa pelan, matanya yang penuh gairah menangkap getaran kuat dari Varisha. "Kalau saya menyentuhmu sekarang, saya khawatir saya tidak akan bisa berhenti," katanya, wajahnya yang tampan dipenuhi dengan senyuman nakal.Varisha mengangguk dengan tegas, mata cokelatnya penuh dengan keinginan liar. "Saya tidak peduli. Saya juga menginginkanmu."Kata-kata itu membuat Arshaka kehilangan kendali dir
Enam bulan kemudianBalkon hotel yang megah itu menyajikan pemandangan kota Jerman yang begitu indah. Cahaya lampu-lampu kota menyinari langit malam, menciptakan atmosfer yang romantis. Varisha, dengan gaun malamnya yang elegan, berdiri di tepi balkon, memandang kejauhan dengan anggur merah di tangan. Balutan rambut hitamnya berkibar lembut oleh hembusan angin malam.Sejak pertunangannya dengan Sebastian Richter beberapa waktu lalu, hidup Varisha terasa berjalan tanpa semangat. Meski acara itu berlangsung meriah, tetapi hatinya tetap terbelenggu oleh kenangan manis dan pahit yang ia bagikan dengan Arshaka. Enam bulan berlalu sejak malam dramatis di Bali, tetapi bayangan Arshaka masih menghantuinya. Varisha memandang cincin pertunangannya dengan tatapan kosong. Pertunangan itu terasa seperti beban berat di pundaknya, mengikatnya pada sebuah takdir yang seolah tidak bisa diubah.Varisha menatap minumannya, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam dirinya. Namun, tiba-tiba ia merasakan
Suara alarm di samping tempat tidur Varisha berbunyi, menyadarkannya dari alam mimpi yang penuh dengan kehangatan dan kasih sayang. Namun, ketika ia membuka mata dan melihat sekelilingnya, rasa hangat itu seolah-olah perlahan-lahan sirna. Arshaka tidak ada di sisinya, hanya sepi dan dingin yang menyapa.Varisha mengusap wajahnya dengan kasar, berharap itu hanyalah mimpi yang begitu nyata semalam. Namun, ketika tangannya menyentuh kulitnya yang masih terasa sensitif, dan tanda-tanda cinta yang masih melekat di kulitnya, kebenaran menyergapnya. Ini bukanlah mimpi.Varisha hampir menangis, memikirkan bahwa Arshaka mungkin telah meninggalkannya lagi, mengingkari janji yang baru saja mereka buat semalam. Tapi, sebuah kertas di samping nakas menarik perhatiannya. Ia mengambilnya dengan gugup, dan matanya membaca pesan dari Arshaka."Varisha, maaf saya harus pergi lebih awal. Ada pekerjaan mendesak yang harus saya selesaikan. Kamu bisa menghubungi saya di nomor ini. Jangan khawatir, saya aka