Enam bulan kemudianBalkon hotel yang megah itu menyajikan pemandangan kota Jerman yang begitu indah. Cahaya lampu-lampu kota menyinari langit malam, menciptakan atmosfer yang romantis. Varisha, dengan gaun malamnya yang elegan, berdiri di tepi balkon, memandang kejauhan dengan anggur merah di tangan. Balutan rambut hitamnya berkibar lembut oleh hembusan angin malam.Sejak pertunangannya dengan Sebastian Richter beberapa waktu lalu, hidup Varisha terasa berjalan tanpa semangat. Meski acara itu berlangsung meriah, tetapi hatinya tetap terbelenggu oleh kenangan manis dan pahit yang ia bagikan dengan Arshaka. Enam bulan berlalu sejak malam dramatis di Bali, tetapi bayangan Arshaka masih menghantuinya. Varisha memandang cincin pertunangannya dengan tatapan kosong. Pertunangan itu terasa seperti beban berat di pundaknya, mengikatnya pada sebuah takdir yang seolah tidak bisa diubah.Varisha menatap minumannya, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam dirinya. Namun, tiba-tiba ia merasakan
Suara alarm di samping tempat tidur Varisha berbunyi, menyadarkannya dari alam mimpi yang penuh dengan kehangatan dan kasih sayang. Namun, ketika ia membuka mata dan melihat sekelilingnya, rasa hangat itu seolah-olah perlahan-lahan sirna. Arshaka tidak ada di sisinya, hanya sepi dan dingin yang menyapa.Varisha mengusap wajahnya dengan kasar, berharap itu hanyalah mimpi yang begitu nyata semalam. Namun, ketika tangannya menyentuh kulitnya yang masih terasa sensitif, dan tanda-tanda cinta yang masih melekat di kulitnya, kebenaran menyergapnya. Ini bukanlah mimpi.Varisha hampir menangis, memikirkan bahwa Arshaka mungkin telah meninggalkannya lagi, mengingkari janji yang baru saja mereka buat semalam. Tapi, sebuah kertas di samping nakas menarik perhatiannya. Ia mengambilnya dengan gugup, dan matanya membaca pesan dari Arshaka."Varisha, maaf saya harus pergi lebih awal. Ada pekerjaan mendesak yang harus saya selesaikan. Kamu bisa menghubungi saya di nomor ini. Jangan khawatir, saya aka
Di atas tempat tidur, aroma bunga yang menyegarkan menggantung di udara, menciptakan lapisan suasana yang hening setelah percintaan. Varisha, terlentang dengan kepala yang beristirahat di dada Arshaka, merasakan detak jantung pria itu seolah menjadi pemandu irama bagi kegelisahan dalam dirinya. Pada saat seperti ini, dengan tubuh mereka saling terpaut, Varisha tak bisa menahan diri untuk tidak memancing pertanyaan yang telah menggerogoti pikirannya selama ini."Mas," desah Varisha pelan, suaranya bergetar seperti hembusan angin malam.Pria itu menghentikan usapannya sejenak, membiarkan rambut Varisha mengalir di antara jemarinya. "Ya, Varisha?" jawabnya, penuh perhatian.Varisha mengangkat kepalanya untuk menatap mata pria itu yang memancarkan kehangatan. "Kemana kamu pergi selama ini?"Arshaka terdiam sejenak seolah memikirkan cara terbaik untuk menjelaskan. Akhirnya, tangannya kembali mengusap punggung Varisha. "Saya keluar dari perusahaan dan diawasi ketat oleh pria tua itu," jawab
Paris menyambut Varisha dengan dinginnya udara malam yang menggigit. Di dalam terminal bandara, seorang pria berjas hitam sudah menunggunya. Ia memberikan senyuman ramah dan membungkuk sedikit saat menyambut Varisha. "Selamat datang di Paris, Nyonya Varisha. Saya Pierre, pengemudi dan penjaga keamanan yang ditugaskan oleh Mr. Diaksara untuk mengantar Anda."Varisha mengangguk, membiarkan Pierre memimpin langkahnya keluar dari bandara. Sebuah mobil mewah hitam sudah menunggu di luar, dan Pierre membukakan pintu kendaraan itu untuk Varisha. Mereka kemudian melaju ke arah salah satu hotel mewah di pusat kota Paris.Setibanya di hotel, Pierre membantu Varisha keluar dari mobil dan mengantarnya ke lobi yang mewah. Dengan lembut, Pierre memberi tahu nomor kamar yang harus didatangi Varisha."Mr. Diaksara menanti Anda di sana, Nyonya Varisha. Semoga Anda memiliki waktu yang menyenangkan di Paris," kata Pierre sebelum meninggalkan Varisha sendirian di depan pintu kamar."Terima kasih, Pierre
Varisha kembali ke kamar hotelnya dengan hati yang berkecamuk. Suasana di dalam kamarnya terasa semakin mencekam seiring dengan suara hak sepatu yang ditendang ke samping. Varisha memilih untuk melepaskan beban dengan merunduk di atas kasurnya, berharap ketegangan yang melanda dirinya bisa larut dalam hening malam.Namun, pintu kamar yang diketuk tiba-tiba menghentikan usahanya untuk merenung. Suara ketukan yang tak diinginkannya, tapi tak terhindarkan. Varisha memicingkan mata, merasa kesal karena merasa seakan-akan Arshaka yang telah menjebaknya dalam situasi yang rumit ini.Ketukan pintu berulang, membuat hati Varisha semakin tidak tenang. Beberapa saat kemudian, suasana menjadi hening, dan Varisha yang sudah hampir tertidur merasa seolah mendengar suara pintu kamar terbuka.Kesunyian itu berlangsung sesaat. Suara langkah kaki memecah keheningan, dan Varisha tahu tanpa melihat bahwa Arshaka telah memasuki kamarnya. Ini tidak bisa dihindari, dan Varisha merasa hampir kehilangan kesa
Suara langkah kaki ringan Sebastian memecah keheningan malam di depan apartemen. Mereka baru saja kembali dari makan malam bersama di salah satu restoran mewah New York. Sebuah mobil mewah hitam meluncur pelan, membawa Sebastian ke perjalanan bisnisnya yang mendesak. Sebelum pergi, Sebastian memeluk Varisha erat. Tatapannya penuh cinta dan kehangatan seakan memberikan kepastian bagi Varisha, tetapi di balik senyumnya, dirinya masih tenggelam dalam gelombang kegelisahan."Terima kasih, Tian, sudah menemani dan mengantarku," ucap Varisha dengan senyum tipis. Matanya menyiratkan kebingungan dan kekhawatiran yang terpendam.Sebastian menjawab dengan ramah, "Tidak masalah, Sayang. Senang bisa melihat ibu dan adik-adikmu, mereka sangat baik dan ramah. Saya akan segera kembali kalau pekerjaan saya sudah selesai.”Varisha hanya bisa mengangguk, menelan gumpalan yang terasa semakin besar di tenggorokannya. Mereka berdua berciuman singkat sebelum Sebastian melangkah kembali menuju taksi yang me
“Ceritakan saja pada Varisha, Bu. Tolong jangan tutupi lagi. Varisha berhak tahu semuanya.”Belum sempat Vira menjawab, terdengar suara bel berdering. Vira menghela napas dalam dan langsung bangkit dari tempatnya dan menuju ke arah pintu. Ia merasa sangat berterima kasih pada siapa pun tamu yang datang karena membantunya mengalihkan perhatian dari pertanyaan Varisha yang masih terasa sulit ia jawab.Sayangnya, kelegaan Vira hanya bertahan sesaat ketika melihat sosok pria tampan dan tinggi yang menjulang di hadapannya. Tubuh Varisha kembali gemetar dan wajahnya pun lebih pucat dari sebelumnya. Vira sangat mengenali pria itu sebelum dia memperkenalkan dirinya. “Selamat malam, Bu,” sapa pria itu membuat lamunan Vira buyar. Namun, tetap saja, wanita itu masih belum bisa bergerak bebas. Tubuhnya seakan masih terkejut melihat tamu yang datang. “Malam. Cari siapa?” tanya Vira saat kata-katanya sudah bisa keluar dari kerongkongannya.“Saya Arshaka, saya mau mencari Varisha, Bu.”“Dia tidak
Hujan turun dengan lebatnya, menyisakan jejak air yang membelah jalan-jalan kota New York. Di sebuah sudut apartemen Vira, Arshaka menanti, berdiri di bawah rintik hujan. Wajahnya tersembunyi dalam kerumunan rintik hujan, menyembunyikan ekspresi yang meruncing dan tegang.Varisha, di sisi lain, melihat ke bawah dari jendela apartemen. Rintik hujan mengaburkan pandangan, seperti pelangi air yang menciptakan dunianya sendiri di atas aspal basah. Ia terlihat ragu, merenung sejenak sebelum akhirnya bergerak menuju pintu apartemen. Vira menatap dengan perasaan campur aduk di matanya."Jangan ragu dengan pilihanmu, Sha." ucap Vira dengan lembut, menahan isaknya.Varisha hanya mengangguk, menelan rasa khawatir yang semakin membuncah di dalam dirinya. Ia takut untuk berbicara, takut jika kata-kata yang terucap akan mematahkan semuanya. Namun, ia juga tahu bahwa keberanian untuk berhadapan dengan masa lalu adalah langkah yang tak terhindarkan.Mendekati pintu, hati Varisha berdegup kencang sei