Dua bulan kemudian.Hubungan Varisha dengan Cakra dan Anindya semakin membaik. Varisha kini tinggal di Bali setelah menerima tawaran untuk mengawasi proyek pembangunan hotel di pulau tersebut. Di tengah kesibukannya, sesekali Varisha kembali ke Jakarta untuk menemui Cakra dan juga Arshaka yang selalu muncul di berbagai kesempatan.Malam itu, Varisha baru saja menyelesaikan peninjauan proyek, melihat perkembangan yang positif. Langit di Bali bermandikan warna senja yang memukau, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Setelah kembali ke hotelnya, Varisha mendapati Arshaka sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman pria itu menyambut Varisha, dan tanpa ragu, Arshaka mendekat untuk memeluknya. Varisha, dengan sikap yang sudah terbiasa, hanya diam, membiarkan Arshaka melakukan keinginannya.Setelah beberapa saat, Varisha melepaskan diri dari pelukan Arshaka dengan lembut. "Saya lelah. Saya mau cepat mandi dan tidur."Arshaka tersenyum lebar. "Saya juga belum mandi. Bagaimana kalau kita man
Hari itu di ruang kerja Varisha, Bali masih menyuguhkan kehangatan dan semilir angin laut yang menyenangkan. Ketika Varisha mengangkat pandangannya dari pekerjaannya, matanya terpaku pada pintu ruang kerjanya yang tiba-tiba terbuka. Tertegun, dia melihat Cakra, ayahnya, berdiri di ambang pintu dengan senyuman hangat. Satu perasaan campur aduk terpatri di wajah Varisha: kejutan, kegembiraan, dan juga rasa penasaran tentang alasan kedatangan mendadak ayahnya di Bali.Dengan cemas, Varisha bangkit dari kursinya dan menyambut Cakra. "Papa! Kapan Papa sampai?”Cakra hanya tersenyum, mencoba meredakan kekhawatiran putrinya. "Papa baru saja sampai, Varisha. Bagaimana kabarmu?”“Baik, Pa. Papa sendiri bagaimana?” tanya Varisha dengan penuh perhatian sambil membuatkan teh herbal untuk Cakra.“Diminum, Pa.” Varisha meletakkan cangkir teh di hadapan Cakra.“Terima kasih, Varisha. Apa kamu sedang sibuk?” “Lumayan, Pa. Masih ada beberapa hal yang harus Varisha periksa. Tapi, nanti saja lah Varish
Langit senja di Bali melukis warna jingga dan ungu yang memukau. Cahaya lampu-lampu kecil di restoran itu menyemarakkan suasana, menciptakan aura romantis yang sempurna. Cahaya lembut dari lentera-lentera di tepi pantai menerangi deretan meja dan kursi putih yang disusun rapi. Varisha melangkah masuk, membiarkan langkahnya terikat oleh kecantikan dan pesona ruangan itu. Gaun elegan yang ia kenakan menambah kilauan dalam langkahnya. Rambutnya yang terurai indah, menambahkan sentuhan kemewahan pada penampilannya. Matanya melintas ke sekeliling, mencari pria yang akan dikenalkan padanya. Namun, saat mata mereka saling bertemu, tidak ada yang bisa menyembunyikan kejutan yang menghiasi wajah mereka.Sebastian Richter, pengusaha sukses berdarah Jerman dengan karisma yang mendominasi, sudah menanti dengan senyuman ramahnya. Kehadirannya menambah kilauan pada malam itu, dengan setelan linen yang menonjolkan bahu dan tubuhnya yang atletis. Ia berdiri dengan anggun dan ramah, menarik kursi di
“Dosakah seorang suami yang menginginkan istrinya kembali?” tanya Arshaka dengan geram. “Kalau memang itu dosa untuk kamu. Maka kita akan melakukan dosa itu seumur hidup ini dan tidak ada yang bisa menghentikannya,” desis Arshaka dengan suara yang penuh kebencian.Varisha mencoba untuk menjawab, tetapi suara erangan kecilnya tenggelam dalam gertakan Arshaka. Pria itu semakin mendekat, memperkuat pegangannya di leher Varisha. Kedua mata Varisha terbuka lebar, mencari pertolongan dalam kegelapan. Tanpa sadar, ia menggigit pundak Arshaka dengan keras, mencoba melepaskan diri dari cengkraman yang mencekiknya."Percuma, Varisha. Kamu tidak bisa lari dari dosamu." Arshaka mendesis, tapi darah yang menetes dari gigitan Varisha membuatnya semakin murka. Tangannya yang lain merayap ke bagian leher Varisha, mengelus-elusnya dengan kasar.Arshaka mengeratkan pelukannya, mengunci Varisha di dalam rangkulan besi yang sulit dilepaskan. Wanita itu meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman
Air hangat memenuhi kamar mandi, menciptakan suasana yang kontras dengan ketegangan di dalam hati Varisha. Tubuhnya terasa lemah, tak berdaya, seperti kain yang terendam air. Arshaka, tanpa sepatah kata pun, dengan cekatan membawa tubuh wanita itu ke dalam bak mandi yang sudah berisi air hangat.Varisha mencoba memberontak, namun upayanya tidak lebih dari gerakan gemulai. Setiap ototnya terasa berat, kelelahan setelah malam yang penuh derita. Suara isak tangis yang terkekang terasa hendak pecah, namun Varisha menekan erat perasaannya. Tidak ada lagi air mata yang tersisa, hanya rasa malu dan kehinaan."Mas, berhentilah," desis Varisha dengan suara lirih, sementara matanya mencoba menyiratkan penolakan. Namun, Arshaka tidak mengindahkan permohonan itu dan melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi."Saya tidak sanggup melakukan ini lagi sekarang." Varisha berbisik dengan suara lemah, matanya mencoba memohon. Arshaka tidak memberikan respon apa pun. Ia meletakkan tubuh Varisha di dalam
"Kenapa?" desisnya dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu begitu kejam?" Varisha berteriak, suaranya penuh dengan rasa frustasi yang tertumpah. Ia menatap mata Arshaka, mencari jawaban yang tidak kunjung diberikan.Arshaka, yang masih duduk di sampingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah mencoba menemukan benang merah dalam kekacauan yang tercipta. Dia membiarkan Varisha melanjutkan pertanyaannya, seakan-akan menikmati setiap kata yang keluar dari bibir wanita itu.“Kamu bilang kamu mencintai saya, tapi kenapa kamu terus menyakiti saya seperti ini?”Arshaka menanggapi dengan tatapan yang dalam, seolah mencoba menembus lapisan hati Varisha. "Saya terpaksa melakukan ini, Varisha," jawabnya dengan tegas. "Kamu selalu membuat saya kehilangan kendali. Kamu selalu menemukan cara untuk melawan... melawan apa yang saya inginkan."Wanita itu terdiam, mencerna kata-kata Arshaka dengan penuh kebingungan. "Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini? Apakah ini cara menc
Arshaka duduk dengan diam di dalam mobil mewahnya, melihat Varisha yang tidur dengan damai di pangkuannya. Satu sisi dari kepribadian Arshaka merasa bersalah melihat perempuan itu terlelap begitu tenang, namun sisi lainnya tetap keras dan tak ingin menunjukkan penyesalan.Perjalanan menuju Lombok diisi dengan keheningan, hanya suara mesin mobil dan kadang-kadang bunyi pelan gelombang ombak yang menyelinap masuk. Arshaka terus menatap wajah Varisha yang damai dalam dekapannya, dan, meskipun dirinya menolak untuk mengakui, ada perasaan cemas yang menyelip di antara emosinya yang terkadang kasar.Seolah menangkap gelombang ketidaknyamanan, Arshaka meraih mantel di sampingnya dan menutupi tubuh Varisha dengan lembut. Rambut panjang wanita itu mengelilingi wajahnya, dan Arshaka tak sengaja menyapu beberapa helai rambut ke samping. Dalam perjalanannya, dia menyadari bahwa wanita itu tak lagi tampak seperti objek keinginan yang harus dimiliki dan dikendalikan. Mungkin ada sisi kelembutan yan
Varisha memandang sekelilingnya setelah bangun dari tidurnya yang singkat. Keheningan kamar yang hanya diselingi suara gemericik air kolam membuatnya merasa sedikit terisolasi. Tidak ada tanda-tanda Arshaka di dekatnya, dan sebuah napas lega terlepas begitu menyadari dirinya kini sendirian.Sejak tiba di Villa ini, Varisha mencatat perubahan sikap Arshaka yang mencolok. Pria itu terlihat lebih tenang, lebih lembut dalam bertindak. Meskipun kata-katanya yang menyebalkan terkadang masih menyelinap, ada sesuatu yang berbeda. Bahkan ketika Varisha menyatakan keinginannya untuk beristirahat dan menyendiri, Arshaka mengiyakannya tanpa pertikaian. Hal ini menyulut perasaan campuran dalam diri Varisha; di satu sisi, lega karena mendapat kesempatan untuk sendiri, namun di sisi lain, kekosongan yang menyertainya membawakan rasa hampa yang sulit dijelaskan.Varisha merasakan semilir angin yang lembut membelai rambutnya, memberikan kesan tenang di dalam keheningan tempat itu. Langkahnya pelan me
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin
Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung dengan sukses dan lancar. Satu ginjal Sophia sudah berada di dalam tubuh Marissa.Sementara itu keadaan Sophia sudah berangsur membaik pascabedah. Kondisi tubuhnya cepat pulih. Begitu Sophia memperoleh kembali kesadarannya, Arshaka sudah berada di samping wanita itu. Varisha sendiri lah yang memintanya menemani Sophia kalau wanita itu sudah sadar. “Terima kasih, Soph. Terima kasih karena kau telah membantu anakku. Satu ginjalmu sudah berada di tubuhnya.”Sophia tersenyum dengan lemah. Ia sangat senang karena Arshaka lah orang yang pertama kali ia lihat setelah bangun. “Bagaimana keadaannya sekarang?”“Dia belum sadar. Tapi dokter mengatakan kalau dia akan segera pulih.”“Semoga ginjalku diterima baik oleh tubuhnya,” ujar Sophia dengan lemah.“Pengorbananmu tidak akan sia-sia, Soph,” balas Arshaka dengan tenang. Namun tetap saja pria itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pilihan sulit yang Sophia berikan membuatnya tersiksa. Tetapi i
Varisha kembali ke rumah setelah seharian menemani Marissa di rumah sakit. Besok adalah hari yang sangat-sangat ditunggu olehnya. Hari tercerah di mana Marissa akan menjalani tahapan baru dalam kehidupannya. Jadi, dirinya memutuskan untuk istirahat karena mertuanya dan Arini yang memaksanya. Awalnya Varisha menolak, tetapi sejak tahu dirinya hamil, Varisha berusaha untuk tidak memaksakan diri dan menjaga kondisinya. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya ia begitu gelisah. Apa lagi saat Arshaka masih juga belum pulang. Pria itu belum memberi kabar, ponselnya tidak aktif, dan Arshaka sama sekali tidak muncul di rumah sakit. Alhasil, Varisha kembali ke rumah dengan taxi. Varisha mencoba memejamkan matanya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berisik, perasaannya tak karuan. Semuanya menjadi serba salah. Pandangannya beralih ke sampingnya, kosong dan dingin. Arshaka sama sekali belum pulang dan tidak dapat dihubungi. Rasa cemas mulai menghampirinya. Varisha langsung me
Varisha terus memikirkan kata-kata Sophia yang sangat mengusik benaknya. Tidurnya menjadi tak nyenyak dan gelisah. “Ada apa, Sayang? Susah tidur?” tanya Arshaka yang langsung berbalik ke arahnya. Varisha tidak menjawab dan hanya mengangguk. Arshaka mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan hangatnya. Kalau biasanya Varisha merasa nyaman dan mungkin langsung tertidur. Kali ini, pelukan itu seakan tidak mempan untuknya. “Kenapa? Masih mikir tentang pendonor Marissa?” tuntut Arshaka seolah menyadari kegelisahan istrinya.Pertanyaan Arshaka membuat Varisha semakin gelisah. “Kamu… kamu sudah tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk Marissa?” tanya Varisha sambil menahan suaranya yang gemetar.Arshaka menggeleng pelan. “Masih belum. Rey masih belum kasih kabar.” “Mas…” panggil Varisha lembut. “Iya, Sayang,” balas Arshaka.“Kalau misal suatu saat aku ninggalin kamu… apa yang akan kamu lakukan?” “Jujur dulu saya marah sekali saat kamu meninggalkan saya begitu s