Langit Jakarta terasa berat di atas gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Arshaka memasuki ruangan kantor Cakra dengan langkah mantap. Sementara Cakra duduk di balik meja besarnya, melihat putranya masuk. Tatapannya tajam, seolah-olah mencoba memahami rencana apa yang sedang terlintas di pikiran Arshaka.“Saya tidak akan melanjutkan rencana pernikahan itu. Saya mencintai wanita lain," ucap Arshaka dengan nada yang tak tergoyahkan dan tanpa basa-basi.Sejenak, suasana hening memenuhi ruangan. Cakra menatap putranya tanpa sepatah kata. Detik itu seolah berjalan sangat lambat, dan kemudian Cakra akhirnya membuka mulutnya. "Siapa wanita itu?"Arshaka tersenyum, bukan senyuman penuh keceriaan, melainkan senyuman yang mengandung kepastian dan keputusan. "Saya akan segera memperkenalkannya. Tapi sebelum itu, saya ingin membuat semuanya jelas. Kali ini, Papa tidak akan bisa memisahkan saya dari wanita yang saya cintai."Cakra tetap tenang, mata tajamnya tetap menatap Arshaka. "Apa ka
Ruangan mewah itu dihiasi dengan cahaya lembut dan aroma harum dari lilin yang menyala. Ornamen-ornamen seni menjadikan suasana semakin elegan. Tertata rapi di sekeliling meja makan besar yang sudah disiapkan untuk acara keluarga Diaksara dan keluarga Hirawan.Semua anggota keluarga, yang sebelumnya hanya bersama dalam berbagai pertemuan formal, kini berkumpul dalam acara makan malam yang diadakan oleh Cakra. Wajah-wajah yang akrab namun jauh dari kebersamaan tampak tersenyum, menunjukkan kehangatan di antara kerabat yang sudah lama tidak bersua. Selain makan malam bersama, acara malam itu juga berlangsung untuk merayakan ulang tahun Cakra ke 60 tahun. Acara akan dimulai, dan semuanya telah duduk di tempat masing-masing. Namun, Anindya, menghentikan semua kegiatan dan tersenyum dengan penuh misteri. "Maafkan saya, namun ada satu anggota keluarga lagi yang seharusnya ikut hadir malam ini. Seorang yang mungkin sudah sangat dinantikan."Semua orang memandang satu sama lain, bingung deng
Arshaka menarik tubuh Varisha mendekat, dan suara langkah-langkah yang lirih memenuhi ruangan saat mereka berdua semakin tenggelam dalam ketegangan yang memayungi mereka. Setiap langkah kecil, getaran yang menusuk antara keduanya, menyulut bara gairah yang terus berkobar."Sudah terlambat, Varisha. Kita sudah lebih dulu menikah daripada kenyataan sialan yang kamu sebutkan itu," bisik Arshaka dengan suara yang penuh nafsu. Ia menahan wajah Varisha di antara kedua tangannya, matanya tetap terkunci pada sosok wanita di depannya.Varisha mencoba menahan detak jantungnya yang terus berdetak kencang. "Tidak, kita tidak bisa..."Sebelum Varisha bisa menyelesaikan kalimatnya, bibir Arshaka menyatu dengan bibirnya. Semua kata-kata yang hendak diucapkannya lenyap, terhisap oleh gairah yang tiba-tiba memenuhi setiap senti dari dirinya. Varisha merasa kehilangan kendali, terperangkap dalam sentuhan yang merayapi tubuhnya seperti api yang melibas kering.Lengan Arshaka memeluknya dengan erat, mema
Arini berdiri di ambang pintu, menyaksikan adegan yang tak patut dilihat oleh mata seseorang yang di dalamnya terangkum begitu banyak kebencian. Ruangan itu seketika terasa terlalu sempit, napas Varisha dan Arshaka terengah-engah terdengar jelas, menciptakan ketegangan yang tak tertahankan. Matanya membesar saat menyaksikan dua sosok yang seharusnya tak pernah bersatu.Varisha, masih terkejut dan terengah-engah, menatap Arini dengan mata yang dipenuhi rasa malu dan rasa bersalah. Sebelum ia bisa berkata apa pun, Arini melancarkan tamparan yang keras ke pipi Varisha, suara benturan tangan dengan pipi itu menggema di seluruh ruangan. Varisha merasakan sakit yang menusuk, bukan hanya dari tamparan fisik, tetapi juga dari penghinaan yang tajam."Kamu benar-benar tidak tahu diri, ya?" bentak Arini, suaranya terpenuhi kemarahan dan kejijikan. "Apa kamu pikir kamu bisa menghancurkan keluarga kami begitu saja?"Mata Arini memancarkan kemarahan, dan tangannya yang baru saja melepaskan tamparan
“Puas kamu telah menghancurkan semuanya?” tanya Cakra setelah semua tamu undangan meninggalkan ruangan.“Puas kamu telah mempermalukan Papa?” tuntut Cakra sambil melayangkan tamparannya ke wajah Arshaka, menambah sederetan luka yang telah diperolehnya. Bukannya menunjukkan raut penyesalan, Arshaka malah menatap ayahnya dengan senyum penuh kemenangan. “Inilah akhirnya, Pa. Jangan salahkan saya karena sudah memperingatkan Papa.”“Sadarkah kamu, Arshaka? Saat ini kamu sedang menghancurkan hidupmu.” Cakra berkata dengan tajam sambil menarik kerah kemeja Arshaka dan menghempaskannya dengan kasar hingga pria itu terhuyung ke belakang.“Kalau dengan kehancuran ini saya bisa mengalahkan Papa. Saya tidak akan menyesal, Pa.” Arshaka menatap Cakra dengan tatapan menantang, membuat kobaran amaran di mata Cakra semakin membara. “Hentikan, Arshaka!” seru Anindya dengan berlinang air mata dan juga tatapan penuh kekecewaan. “Hormati Papamu dan minta maaflah,” lanjut Anindya dengan lirih.“Untuk ap
“Maaf, Non. Tadi bapak panggil Non, ditunggu di ruang kerja katanya,” ujar seorang asisten rumah tangga yang datang tergopoh-gopoh menemui Varisha.“Ruang kerjanya ada di lantai atas, di lorong paling ujung, Non,” lanjut wanita paruh baya itu. “Baik, Bi. Saya akan ke sana. Tolong obati luka-lukanya ya, Bi.” Varisha melirik ke arah Arshaka yang kini memegang tangannya. “Jangan pergi!” seru Arshaka dengan tegas, ia meremas tangan Varisha dengan lembut. Varisha menghela napas kasar. “Sebentar saja, saya akan kembali. Biar lukamu diobati dulu,” kata Varisha menahan jengkel. “Sepuluh menit. Saya kasih waktu kamu untuk menemuinya,” balas Arshaka dengan tegas. “Lepaskan dulu tangan saya.” Varisha mencoba menghempaskan tangan Arshaka yang masih menggenggamnya. Arshaka menatap Varisha dan dengan enggan melepaskan genggaman tangannya dari jemari wanita itu. Tanpa menunggu lama, setelah genggaman tersebut lepas, Varisha segera melangkah pergi tanpa menoleh ke arah Arshaka. Varisha terus
Dua bulan kemudian.Hubungan Varisha dengan Cakra dan Anindya semakin membaik. Varisha kini tinggal di Bali setelah menerima tawaran untuk mengawasi proyek pembangunan hotel di pulau tersebut. Di tengah kesibukannya, sesekali Varisha kembali ke Jakarta untuk menemui Cakra dan juga Arshaka yang selalu muncul di berbagai kesempatan.Malam itu, Varisha baru saja menyelesaikan peninjauan proyek, melihat perkembangan yang positif. Langit di Bali bermandikan warna senja yang memukau, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Setelah kembali ke hotelnya, Varisha mendapati Arshaka sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman pria itu menyambut Varisha, dan tanpa ragu, Arshaka mendekat untuk memeluknya. Varisha, dengan sikap yang sudah terbiasa, hanya diam, membiarkan Arshaka melakukan keinginannya.Setelah beberapa saat, Varisha melepaskan diri dari pelukan Arshaka dengan lembut. "Saya lelah. Saya mau cepat mandi dan tidur."Arshaka tersenyum lebar. "Saya juga belum mandi. Bagaimana kalau kita man
Hari itu di ruang kerja Varisha, Bali masih menyuguhkan kehangatan dan semilir angin laut yang menyenangkan. Ketika Varisha mengangkat pandangannya dari pekerjaannya, matanya terpaku pada pintu ruang kerjanya yang tiba-tiba terbuka. Tertegun, dia melihat Cakra, ayahnya, berdiri di ambang pintu dengan senyuman hangat. Satu perasaan campur aduk terpatri di wajah Varisha: kejutan, kegembiraan, dan juga rasa penasaran tentang alasan kedatangan mendadak ayahnya di Bali.Dengan cemas, Varisha bangkit dari kursinya dan menyambut Cakra. "Papa! Kapan Papa sampai?”Cakra hanya tersenyum, mencoba meredakan kekhawatiran putrinya. "Papa baru saja sampai, Varisha. Bagaimana kabarmu?”“Baik, Pa. Papa sendiri bagaimana?” tanya Varisha dengan penuh perhatian sambil membuatkan teh herbal untuk Cakra.“Diminum, Pa.” Varisha meletakkan cangkir teh di hadapan Cakra.“Terima kasih, Varisha. Apa kamu sedang sibuk?” “Lumayan, Pa. Masih ada beberapa hal yang harus Varisha periksa. Tapi, nanti saja lah Varish