Ian langsung menghambur ke pelukan ayah angkatnya saat ia melihat sosoknya. Tangisnya semakin keras saat melihat sosok lelaki yang belakangan ini selalu dipanggil Ayah olehnya.“Ian, sayangku apa yang terjadi?” tanya Nicko kemudian menggendong anak kecil itu dan mendekapnya.“Ibu … Ibu ditabrak mobil dan yang menabarak orang jahat,” ucapnya sambil menangis.Perihal Jo yang tertabrak mobil, Nicko memang sudah mengetahuinya. Namun sebutan orang jahat benar-benar menggelitik telinganya. Saat menelepon tadi, Jacklyn hanya mengatakan kalau Jo mendapat kecelakaan.“Sekarang tunjukkan pada Ayah dimana Ibu dirawat,” pinta Nicko pada Ian.Dalam gendongan, anak kecil itu menuntun Nicko menuju bilik gawat darurat dan diikuti oleh Adam Reinhart yang memang menemani Ian menunggu di luar ruangan. Sementara Jacklyn sendiri berdiri di samping brankar Josephine dan berjaga di sana.Luka di sekujur tubuh Josephine telah diobati, tapi sang istri masih belum juga sadar. Hidungnya masih menggunakan selang
Pintu utama Rumah Sakit Royal didorong dengan kasar oleh Russell yang ditemani oleh dua orang anak buahnya. Suasana lobi Rumah sakit yang semula tenang mendadak tegang saat mereka datang.Meja resepsionis yang semula ramai dengan beberapa orang yang mengantri mencari informasi pun mendadak lenggang. Mereka semua justru memberi celah saat melihat sosok Russell yang menuju ke arah meja resepsionis.Sebenarnya bukan maksud Russell untuk mendahului mereka semua yang mengantre. Ia bersama anak buahnya tahu kalau tempat ini adalah Rumah Sakit, sudah pasti mereka yang datang kemari memiliki kepentingan yang mendesak dan mencakup hidup dan mati seseorang. Ia juga tak keberatan untuk mengantre.“Siapa yang meminta kalian pergi dan memberi celah pada kami, huh tapi baguslah kami tak perlu menunggu begitu lama,” gumam Russell sambil mengangkat bahu.Pria berpakaian serba hitam itu pun menggebrak meja dengan kasar. Kedua matanya menatap resepsionis dengan tajam, sampai membuat tangan petugas berg
Russell kembali ke arah kasir dan mengacuhkan wanita muda yang masih memperhatikan dirinya. Bagi wanita itu, Russell yang menyeramkan adalah sosok pahlawan. Ingin sekali ia menunggu Russell dan berbicara lebih banyak dengannya, tapi hal itu tak mungkin dilakukan. Ia harus menemani putranya yang kini sudah mendapatkan penanganan.“Siapa namamu?” tanya Russell pada kasir yang baru saja memberikan tanda terima padanya.“Sa … saya Grace Bunton Tuan,” jawabnya tanpa ada rasa bersalah.Russell memperhatikan tanda terima yang diberikan oleh kasir itu, dan ia memicingkan mata. Nominal dan informasi yang dituliskan di sana terasa janggal.Rumah Sakit Royal adalah Rumah Sakit kelas dua di Westcoast Town. Untuk biaya pemeriksaan pada dokter spesialis anak dinilai terlalu tinggi, bahkan lebih tinggi dari Rumah Sakit bertaraf internasional.“Hei apa kau tidak salah? Ini untuk biaya kunjungan pada klinik spesialis anak? Atau mungkin sudah termasuk deposit rawat inap? Apakah kalian sudah bisa memast
Russell mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia menggigit bibir bawahnya kesal, kemudian membuang muka dan mencibir perempuan di depannya.“Cih paling-paling alasan kalian semuanya sama. Kalian pasti ingin mengejar harta dari Tuan Muda,” gumam Russell bermaksud menyindir si gadis resepsionis.Perempuan yang ada di depan Russell sepertinya mendengar ucapan dari pimpinan kelompok jubah hitam. Namun ia tak peduli, dan tak akan memberikan kesempatan baginya menemui Tuan William Jackson kecuali permintaannya terlaksana.Sebenarnya ia bosan untuk terus menerus dalam posisi ini. Sudah sering orang-orang yang berpenampilan menyeramkan seperti Russell datang untuk mencari Tuan William Jackson. Ia sangat lelah terus-menerus meyakinkan mereka untuk tidak menemuai sang pemilik Rumah Sakit.Menurut rumor Tuan William memiliki hutang dalam jumlah besar, tapi dia tak berani mencari tahu kebenarannya. Lebih tepatnya tidak ingin peduli akan hal ini.Petugas resepsionis pun melirik ke belakang. Antrian cuk
Russell menghentikan sejenak langkahnya saat berada di lorong, ia memperhatikan peta yang tadi sempat diucapkan oleh resepsionis. Peta itu memang berfungsi sebagai penunjuk jalur evakuasi jika terjadi sesuatu yang di luar kendali.Pria berambut merah itu memperhatikan dengan seksama dan melihat keterangan yang muncul pada bagian bawah. Kemudian ai apun mengangguk pelan saat menemukan apa yang ia cari.“Hmm ternyata di sini,” pikirnya kemudian memastikan apa yang diucapkan oleh resepsionis itu benar.“Apa yang dikatakan oleh perempuan itu apakah benar, Bos?” tanya anak buah Russell yang mengawalnya.“Hmm, ayo!” Russell pun melambaikan tangan dan mengajak anak buahnya untuk mengikuti menuju ruangan William Jackson.Mereka berdua memasuki lift dan menekan angka tujuh, tempat ruangan William berada. Sesekali pria berambut merah itu memperhatikan jam tangannya dengan tidak sabar. Seakan lift bergerak semakin lamat.“Sebelah sini!”seru Russell mengajak anak buahnya ke arah kiri dan mendapat
William Jackson masih ternganga mendengar ucapan Russell barusan, tapi pria ini mulai berpikir menebak-nebak siapa orang yang ada di hadapannya ini. Bagaimana mungkin orang-orang ini berani menggertaknya dan membicarakan tentang hutang-hutangnya.Pria berambut kelabu ini langsung berdiri dan mengacungkan jari telunjuk ke arah Russell dan kawannya. Emosinya semakin meluap saat melihat Russell duduk sambil kakinya diletakkan ke atas meja kerjanya.“Bedebah kau! Berani benar bersikap kurang ajar padaku!” amuk William.Russell hanya tersenyum sinis. Ia tak menanggapi lelaki bodoh di hadapannya. Ia pun langsung mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.Tak ada kecurigaan apapun dari William Jackson saat melihat Russell mencoba menghubungi seseorang. Pria ini justru malah menertawakan Russell Raines dan mengolok-oloknya.“Huh ternyata kalian hanya anak kecil yang berani menggertak dan ujung-ujungnya menelepon seseorang yang lebih kuat lagi. Mungkin kalian menelepon ayah kalian,” cibirnya
Pelan-pelan air mata meleleh dari kelopak William Jackson. Berbagai peristiwa diputar kembali dalam pikirannya. Tentang keluarganya yang tidak lagi mendapatkan perhatian, perjudiannya dan perselingkuhan dengan perempuan lain karena sang istri sudah tak lagi menarik.Posisi kepalanya kini menempel di atas meja kerjanya. Anak buah Russell yang memiliki kapak memegangi ujung kepalanya. Kedua tangan dan kakinya terikat di kursi, tak ada kesempatan untuknya melarikan diri.Andai saja masih ada kesempatan baginya untuk meminta maaf dan memperbaiki semua, maka ia akan melakukannya hari ini, tapi sayang kilatan kapak itu benar-benar membuat pikirannya kacau. Kini ia hanya menunggu detik-detik benda tajam nan berkilau itu membelah lehernya.Sraash! Terdengar jelas di telinga William benda itu diayunkan di samping telinganya. Sepertinya benda itu telah membelah sesuatu dan kengerian makin terasa oleh William dan anak buah Russell melepaskan tangannya perlahan-lahan kemudian tertawa.“Katanya or
“Tu … Tuan Millet, aku tak bermaksud begitu. Aku hanya ingin mengembalikannya langsung pada Anda, lagipula uang yang kuterima masih lebih banyak dibandingkan hutangku pada Anda,” jelas William Jackson. Tawa pun tercipta dari Tuan Millet, “Aku tak tahu bagaimana harus menyebut dirimu, apa aku harus memanggilmu bodoh ataukah idiot. Kenapa kau kembali meremehkan dan menghina Tuan Russell Raines?” “Aku tidak sedang menghina siapapun Tuan. Aku hanya ingin memastikan uang ini tepat pada sasaran,” jelas William kembali membela diri. Sejujurnya ia lebih takut untuk berursan dengan Tuan Millet dibandingkan dengan Russell dan rekannya. Bagi William yang tidak begitu paham dunia hitam Russell dan anak buahnya dianggap hanya menggertak saja. Awalnya ia takut untuk dipenggal oleh kedua orang yang mengunjunginya. Namun saat keduanya batal mengeksekusi maka keberaniannya pun kembali tumbuh. William sama sekali tidak tahu kalau sebenarnya ada rencana lain yang membuat William benar-benar menderita