Russell menghentikan sejenak langkahnya saat berada di lorong, ia memperhatikan peta yang tadi sempat diucapkan oleh resepsionis. Peta itu memang berfungsi sebagai penunjuk jalur evakuasi jika terjadi sesuatu yang di luar kendali.Pria berambut merah itu memperhatikan dengan seksama dan melihat keterangan yang muncul pada bagian bawah. Kemudian ai apun mengangguk pelan saat menemukan apa yang ia cari.“Hmm ternyata di sini,” pikirnya kemudian memastikan apa yang diucapkan oleh resepsionis itu benar.“Apa yang dikatakan oleh perempuan itu apakah benar, Bos?” tanya anak buah Russell yang mengawalnya.“Hmm, ayo!” Russell pun melambaikan tangan dan mengajak anak buahnya untuk mengikuti menuju ruangan William Jackson.Mereka berdua memasuki lift dan menekan angka tujuh, tempat ruangan William berada. Sesekali pria berambut merah itu memperhatikan jam tangannya dengan tidak sabar. Seakan lift bergerak semakin lamat.“Sebelah sini!”seru Russell mengajak anak buahnya ke arah kiri dan mendapat
William Jackson masih ternganga mendengar ucapan Russell barusan, tapi pria ini mulai berpikir menebak-nebak siapa orang yang ada di hadapannya ini. Bagaimana mungkin orang-orang ini berani menggertaknya dan membicarakan tentang hutang-hutangnya.Pria berambut kelabu ini langsung berdiri dan mengacungkan jari telunjuk ke arah Russell dan kawannya. Emosinya semakin meluap saat melihat Russell duduk sambil kakinya diletakkan ke atas meja kerjanya.“Bedebah kau! Berani benar bersikap kurang ajar padaku!” amuk William.Russell hanya tersenyum sinis. Ia tak menanggapi lelaki bodoh di hadapannya. Ia pun langsung mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.Tak ada kecurigaan apapun dari William Jackson saat melihat Russell mencoba menghubungi seseorang. Pria ini justru malah menertawakan Russell Raines dan mengolok-oloknya.“Huh ternyata kalian hanya anak kecil yang berani menggertak dan ujung-ujungnya menelepon seseorang yang lebih kuat lagi. Mungkin kalian menelepon ayah kalian,” cibirnya
Pelan-pelan air mata meleleh dari kelopak William Jackson. Berbagai peristiwa diputar kembali dalam pikirannya. Tentang keluarganya yang tidak lagi mendapatkan perhatian, perjudiannya dan perselingkuhan dengan perempuan lain karena sang istri sudah tak lagi menarik.Posisi kepalanya kini menempel di atas meja kerjanya. Anak buah Russell yang memiliki kapak memegangi ujung kepalanya. Kedua tangan dan kakinya terikat di kursi, tak ada kesempatan untuknya melarikan diri.Andai saja masih ada kesempatan baginya untuk meminta maaf dan memperbaiki semua, maka ia akan melakukannya hari ini, tapi sayang kilatan kapak itu benar-benar membuat pikirannya kacau. Kini ia hanya menunggu detik-detik benda tajam nan berkilau itu membelah lehernya.Sraash! Terdengar jelas di telinga William benda itu diayunkan di samping telinganya. Sepertinya benda itu telah membelah sesuatu dan kengerian makin terasa oleh William dan anak buah Russell melepaskan tangannya perlahan-lahan kemudian tertawa.“Katanya or
“Tu … Tuan Millet, aku tak bermaksud begitu. Aku hanya ingin mengembalikannya langsung pada Anda, lagipula uang yang kuterima masih lebih banyak dibandingkan hutangku pada Anda,” jelas William Jackson. Tawa pun tercipta dari Tuan Millet, “Aku tak tahu bagaimana harus menyebut dirimu, apa aku harus memanggilmu bodoh ataukah idiot. Kenapa kau kembali meremehkan dan menghina Tuan Russell Raines?” “Aku tidak sedang menghina siapapun Tuan. Aku hanya ingin memastikan uang ini tepat pada sasaran,” jelas William kembali membela diri. Sejujurnya ia lebih takut untuk berursan dengan Tuan Millet dibandingkan dengan Russell dan rekannya. Bagi William yang tidak begitu paham dunia hitam Russell dan anak buahnya dianggap hanya menggertak saja. Awalnya ia takut untuk dipenggal oleh kedua orang yang mengunjunginya. Namun saat keduanya batal mengeksekusi maka keberaniannya pun kembali tumbuh. William sama sekali tidak tahu kalau sebenarnya ada rencana lain yang membuat William benar-benar menderita
Petugas Resepsionis tampak mengerutkan bibirnya. Sejak tadi ia merasa tidak nyaman karena terus menerus ditunggui oleh salah satu anggota jubah hitam.Sebenarnya ia berniat memberi tahu William untuk melarikan diri ketika kelompok jubah hitam mulai datang. Sebenarnya alasan bosan bekerja sebeagai resepsionis bukanlah karena harus terus menerus berbohong menyembunyikan keberadaan William Jackson.Namun ia bosan bekerja sebagai bawahan. Ia ingin statusnya segera berubah menjadi Nyonya Jackson dan hidup dengan gemilangan harta.Resepsionis itu semakin risih saat mendapati sosok perempuan dengan tubuh berisi yang datang ke arahnya.“Huh, si gendut itu lagi,” gumamnya terdengar oleh anak buah Russell yang menemaninya.“Hmm apa katamu? Apa seperti itu caramu menyambut tamu? Hmm tapi tenang saja sebentar lagi kau tak akan diperlukan lagi di sini!” tukas anak buah Russell.“Tentu saja aku tak akan di sini lagi, sebab aku akan menjadi Nyonya Jackson dan menyingkirkan si gendut tua bangka itu,”
Pergelangan tangan William Jackson terasa sangat nyeri. Baru saja ia melakukan kebodohan dengan memukul meja dalam keadaan tangan terikat pada sandaran tangan.Untuk maju mendekat pada meja saja ia harus berusaha keras mendorong kursi agar dekat dengan meja. Ikatan pada tangan dominannya yang sengaja dilonggarkan agar bisa beraktivitas ternyata malah memberikan tekanan pada pergelangan tangannya. Tentu saja ini menjadi hiburan bagi Russell dan anak buahnya.“Sepertinya ada yang mencoba untuk menjadi jagoan di sini!” sindir Russell pada anak buahnya.“Ya sepertinya memang begitu Boss, tapi sayang sekali dia hanya jagoan yang besar mulut, alias seorang yang tidak memiliki apa-apa untuk dibanggakan kecuali ucapan saja,” anak buah Russell menimpali.William Jackson mengepalkan tangannya kuat-kuat kemudian menyemburkan ludah ke arah kemeja jas Russell dan menyulut emosi lelaki yang menyertai pimpinan jubah hitam itu.“Kurang ajar kau! Berani benar bersikap tidak sopan pada pimpinan kami. K
William melirik berkas yang disodorkan oleh istrinya. Matanya mulai membulat saat melihat tulisan yang ada di sana.Tak pernah ia mengira kalau berkas ini akan diterima olehnya. Selama ini hanya ancaman yang ia lontarkan saat istrinya mulai bawel bertanya-tanya tentang kemana ia akan pergi ataupun pulang terlambat.“Kau ingin bercerai? Ha ha kau ini sudah gila ya?” tanya William sambil tertawa.Evelyne menggeleng, “Tidak aku benar-benar igin menggugat cerai darimu!”Mata perempuan bertubuh berisi itu menatap tajam ke arah suaminya. Apa yang dilakukan oleh Evelyne benar-benar di luar dugaan. Kali ini ia sudah bersikap tegas, semua karena kedatangan seseorang ke rumahnya beberapa jam yang lalu.“Kau tanda tangani saya surat permohonan perceraianku!” serunya sambil menunjuk kolom tanda tangan.William Jackson tertawa melihat istrinya yang bersikeras untuk memintanya memberikan tanda tangan.“Kau ingin cerai ha? Sudah hebat rupanya kau. Memangnya kau bisa apa tanpaku? Kita sudah dua puluh
Dengan senyum misterius dan penuh kemenangan Evelyne mendekati meja resepsionis. Ia berniat untuk menunjukkan surat cerai yang sudah ditandatangani oleh suaminya.“Aku sudah mendapatkan persetujuan gugatan cerai dari suamiku. Sekarang kau bebas untuk memilikinya, itu pun kalau kau masih mau denagnnya,” sindir Evelyne.“Huh baguslah kalau begitu. Sekarang kau ucapkan selamat tinggal pada kehidupan mewahmu. aku sudah memberimu uang seribu dolar, pintar-pintarlah untuk menggunakannya. Bawa anakmu ikut bersamamu, karena aku tak menginginkannya!“Tentu saja aku akan membawanya, karena anakku sangat tidak pantas untuk hidup bersama dengan orang-orang seperti kalian yang hanya akan membuat hidupnya dalam kesengsaraan,” cibir Evelyne pada Sharon si resepsionis.“Ha ha kau memang orang paling percaya diri yang pernah kukenal. Anda tahu, surat ini membawa Anda pada kemiskinan, dan jika anakmu nanti datang pada mantan suamimu untuk meminta uang tentu aku tak akan memberikannya. Aku akan mengguna