Dengan senyum misterius dan penuh kemenangan Evelyne mendekati meja resepsionis. Ia berniat untuk menunjukkan surat cerai yang sudah ditandatangani oleh suaminya.“Aku sudah mendapatkan persetujuan gugatan cerai dari suamiku. Sekarang kau bebas untuk memilikinya, itu pun kalau kau masih mau denagnnya,” sindir Evelyne.“Huh baguslah kalau begitu. Sekarang kau ucapkan selamat tinggal pada kehidupan mewahmu. aku sudah memberimu uang seribu dolar, pintar-pintarlah untuk menggunakannya. Bawa anakmu ikut bersamamu, karena aku tak menginginkannya!“Tentu saja aku akan membawanya, karena anakku sangat tidak pantas untuk hidup bersama dengan orang-orang seperti kalian yang hanya akan membuat hidupnya dalam kesengsaraan,” cibir Evelyne pada Sharon si resepsionis.“Ha ha kau memang orang paling percaya diri yang pernah kukenal. Anda tahu, surat ini membawa Anda pada kemiskinan, dan jika anakmu nanti datang pada mantan suamimu untuk meminta uang tentu aku tak akan memberikannya. Aku akan mengguna
“Apa?”“Ya Babi Gendut! Begitu aku memberi namanya, nama yang sangat pantas kan. Apa kau tak lihat bagaimana penampakannya tadi? Atau mungkin kau memang tertarik pada wanita seperti itu? Kulihat kau tadi membantunya untuk mempermudah urusan surat ceraiku. Jangan-jangan kau membantunya karena ingin segera bersanding dengan si wanita babi itu,” ejek William.Tiba-tiba saja Russel teringat akan Raina, perempuan yang telah lama menjalin hubungan dengannya. Sudah dua bulan ini Raina pergi ke Timur Tengah untuk perjalanan bisnis. Bisnis pengeboran minyak milik Blanc Inc mengalami kemajuan pesat semenjak Raina yang menjabat sebagai direktur.“Ah sepertinya aku harus melakukan panggilan video dengan Raina nanti,” pikir Russell.Russell tampak malas menanggapi William, tak ada gunanya menanggapi pria besar mulut seperti dia. Apalagi karir William akan segera tamat dan yang diinginkan olehnya setelah ini hanyalah kematian, tapi itu tak akan diberikan oleh Russell dengan mudah.Russell langsung
Beberapa jam lalu …Russell yang mendapatkan perintah dari Nicko untuk membeli Rumah Sakit pun langsung menyelidiki siapa pemilik Rumah Sakit Royal. Sampai akhirnya dalam hitungan lima menit saja ia sudah mengantongin informasi termasuk skandal yang melibatkannya.Russell tersenyum begitu mendapati informasi tentang keluarga William Jackson, kebiasaan dan hutang yang menumpuk menjadi senjata baginya. Saat itu ia tidak langsung menuju rumah sakit melainkan mampir menemui Evelyne.“Selamat siang Nyonya, apakah Anda yang bernama Evelyne Jackson,” kata Russell sopan.Evelyne bergidik saat melihat pria berpakaian serba hitam itu. Sosoknya yang tinggi besar membuatnya takut, apalagi ia belum pernah melihat pria ini sebelumnya.“Kehadiranku kemari ingin memberikan penawaran kerjasama pada Anda.”Evelyne masih tak berkutik. Ia masih berdiri diantara pintu yang terbuka. Russell pun langsung menyerahkan folder berisi tentang perjanjian hutang piutang dengan Tuan Millet dan juga perselinghkuhan
Sharon tampak melangkah tergopoh-gopoh setelah mendapatkan panggilan ke ponsel pribadinya. Anak buah Russell yang mengawasinya pun diacuhkan, entah apa maksud perempuan ini.Tentu saja anak buah Russell mengikutinya, berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Ia tak peduli dengan meja resepsionis yang saat ini kosong.Persetan dengan antrian yang ada di depan meja resepsionis, tugasnya bukan untuk mengurusi rumah sakit. Ia adalah salah satu jajaran pengawal yang dipekerjakan oleh keluarga Lloyd dan berada di bawah pimpinan Russell.Tugas dan tanggug jawabnya adalah menjamin keamanan keluarga Lloyd, bukan mengurus rumah sakit. Orang-orang yang mengantri tampak berteriak-teriak memaki mereka karena tak juga mendapatkan pelayanan. Bahkan mereka berpikir kalau resepsionis itu bersama dengan pasangannya.“Untuk apa kau mengikutiku! Bukankah kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan?” tanya Sharon pada anak buah Russell yang mengawasinya.“Bukankah kau sudah tahu
Sharon memegangi tungkai kakinya, bibirnya yang penuh sensual pun mengerucut kesal akan sikap Russell terhadapnya. William yang melihat kekasihnya terjatuh pun langsung duduk dan membantunya.“Sayang, ini sakit sekali. Dia telah mendorongku dengan kuat. Ayo lakukan sesuatu!” runtuknya memberi perintah pada pria yang lebih pantas dipanggil ayah olehnya dibandingkan dijadikan pasangan.Tentu saja William tak bisa tahan jika harus mendengar Sharon merengek. Rengekan manja itu selalu membuatnya ingin dekat dengan pacar gelapnya itu. Biasanya hal ini menjadi kode untuknya mendapatkan apa yang diinginkan oleh seorang pria. William biasa berbagi kehangatan ranjang dengan Sharon setelah membuat perempuan itu berhenti merengek.Berbelanja adalah aktivitas favorit Sharon, dan hal itu pulalah yang seringkali menjadi alasan untuknya merengek. Kadang kala ia menciptakan suatu drama dengan mengatakan dirinya dibully.“Tenang saja Sayang, aku tak akan membiarkan siapapun mencoba untuk melukaimu!” Wi
Kedua bola mata hijau Sharon melirik ke arah William yang kini hanya menunduk, tak berani menunjukkan wajahnya. Keangkuhan yang semenjak tadi dipamerkan olehnya mendadak sirna.Keadaan sudah berubah, William tidak punya apa-apa lagi. Masih terekam jelas dalam otaknya saat Evelyne membalikkan ucapannya yang akan melakukan banding untuk merebut hartanya kembali. Ya, dia sudah tidak bisa melakukannya. Jangankan untuk menyewa pengacara yang memiliki kredibilitas baik, untuk membiayai dirinya sendiri saja ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang yang ada di dalam rekeningnya jumlahnya tidak seberapa, apalagi di dalam sakunya hanya ada dua puluh delapan dolar saja untuk membayar biaya parkir.“Ah bodohnya aku bisa terpikat dengan perempuan tak tahu diri ini. Benar-benar sial nasibku mengenal Sharon.”William memang bodoh, ia telah membuang seseorang yang seperti berlian demi sebongkah kaca yang berkilau. Meskipun berkilau, yang namanya kaca memang tidak bernilai apapun, beda dengan berlian
Nicko masih mendampingi istrinya yang kini terbaring di ruang perawatan rumah sakit internasional. Sementara putranya Ian duduk di pangkuannya dan bersandar pada dadanya. Anak kecil itu masih saja menangis sesenggukan ketakutan akan terjadi sesuatu pada ibunya.Ian sudah kehilangan Ibu kandungnya dan ayah kandung mendekam dalam penjara seumur hidupnya. Ayah angkatanya begitu menyayangi dirinya, tapi seringkali tak ada waktu karena terlalu sibuk bekerja. Selama ini yang lebih banyak menghabiskan waktu dengannya adalah Jospehine. Jo selalu berbicara pada guru yang mengajari Ian setiap kali proses home scholing selesai.Jo yang selalu mendampinginya belajar dan juga bermain. Tak jarang mereka menghabiskan waktu di taman bersama, atau saat Ian mencoba mainan baru hadiah dari Nicko ataupun pasangan tua Lloyd.Kehangatan seperti ini selalu dinantikan olehnya, tak mau semuanya segera berakhir. Sesuatu yang sederhana tapi begitu hangat.“Ayah, apa Ibu akan baik-baik saja?” tanya Ian masih dip
Ian pun langsung memeluk Nicko dengan erat menyampaikan kebahagiaan yang begitu mendalam.Nicko menyentuh tangan Jo dengan erat, dan saat itulah ia merasa Jo balas menggenggam erat tangannya.“Jo, kau sudah sadar?”Pelan-pelan Jo membuka matanya, semuanya tampak asing bagi perempuan berambut pirang ini. Ia berada di ruangan yang tak ia ketahui. Kesemuanya berwarna putih, dan cahayanya terang sekali.Mata aquanya tampak terbuka lebar dan bola matanya berputar-putar mencari sesuatu.“Jo, sayang,” panggil Nicko yang kini semakin dekat dengan tubuhnya.“Nicko,” panggilnya lirih.Suara yang lembut nan teduh itu begitu dikenal olehnya. Itu adalah suara sang suami, lelaki yang tadi pagi beradu argumen dengannya.Pelan-pelan ia menoleh ke arah sang suami yang berada di sebelah kiri tempat tidurnya.“Nick,” panggilnya dan senyuman pun mulai terukir di wajahnya walau hanya sekilas.Jo memberi tekanan pada kedua telapak tangannya berusaha untuk mengangkat tubuhnya. Ingin ia meluapkan kebahagiaan