Wajah Catherine semakin memerah saat mendengar ucapan yang dilontarkan Chad. Seakan ia bermimpi mendengar ucapan pemuda yang baru dikenalnya itu.
“Kau … kau bicara apa?” tanya Catherine gugup.
“Aku hanya bertanya apa yang harus kuperbuat agar kau mempercayai ucapanku kalau aku menyukaimu,” Chad mengulang pertanyaannya, sementara kedua tangan pemuda itu masih menyentuh pipi Catherine yang lembut.
Catherine menunduk lagi, semakin lama berdekatan dengan Chad semakin jantungnya berdebar dengan cepat. Sudah lama ia tak merasakan situasi seperti sekarang ini. Bahkan saat berdua dengan Nicko ia tak pernah merasakan hal ini.
“Hey Cathy, kau harus bisa profesional, dia adalah klien Hotel Windsor. Apa kau bermaksud menggodanya agar bisa berinvestasi di perusahaan ini?” sisi lain Cathy berbicara dalam hati.
Bagaimanapun ia harus menjaga kewarasan.
Janet baru saja membuka kedua matanya setelah menghabiskan waktu bermesraan di atas ranjang bersama Gerald. Perlahan perempuan ini bangun dan merapikan dirinya.Gerald sudah tak ada di sampingnya, dan ia sudah terbiasa dengan hal ini. janet melirik ke atas nakas di samping ranjang, tak ada cek yang diletakkan di sana. Ia memeriksa ponselnya tak ada pemberitahuan uang masuk dari aplikasi mobile banking.“Hmm sepertinya ia masih ada di sini,” gumamnya kemudian ia membuka pintu kamarnya sedikit.Benar saja, Gerald tengah berjalan perlahan bersama dengan dua orang laki-laki. Tampaknya mereka tengah membicarakan sesuatu yang serius.Janet segera beringsut mundur, dan cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Sudah kebiasaannya untuk bersikap seperti ini, berpura-pura tidak tahu, khawatir kalau Gerald akan marah dan berhenti memberikan fasilitas padanya.&n
Keringat dingin menetes di kening Madeline saat supir taxi menodongkan senjata ke arahnya. Joshua, anak kecil yang kritis itu mendadak pucat pasi. Yang bisa dilakukannya hanya bersembunyi di balik lengan sang ibu, dia ketakutan.Bayi dalam dekapan Madeline mulai menangis, sama ketakutan seperti ibu dan kakaknya. Wanita ini pun tak berani melawan memprotes tindakan lelaki yang membawanya entah kemana karena tak ingin keselamatan dua buah hatinya terancam. Saat ini ia hanya diam-diam melirik ke arah sekitar untuk mengetahui dimana keberadaan dirinya.“Diamkan anakmu! Jangan berisik atau aku harus membuatnya diam dengan senjata yang ada di dalam tanganku?” ancam pengemudi taksi.Madeline tersentak, kini bukan hanya si kecil yang menangis, tapi Joshua pun mulai terisak.“Hei kau anak kecil sok tahu, diam atau kau akan kutembak!” ancam pengemudi lagi.Madeline
“Aarghhhh!” teriak Raymond Evans kemudian meremas kartu ucapan dengan kasar.Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan baginya. Ia harus menganalisa instumen investasi sebelum memutuskana dimana ia akan meletakkan uang milik Nicholas Lloyd. Kepercayaan yang sudah diberikan oleh bosnya ini harus digunakan olehnya sebaik mungkin. Tak mudah untuk mendapatkan kepercayaan mengurus keuangan milik pemuda kaya itu.Raymond Evans berharap ketika kembali ke rumah ia bisa melepaskan penatnya. Menikmati hidangan yang telah dibuat oleh sang istri, dan bercanda bersaam kedua putranya. Namun ia justru mendapatkan kenyataan pahit tentang kondisi keluarganya.Raymond Evans segera mengambil air dingin dan mencoba menenangkan dirinya, ia harus berpikir mencari jalan keluar akan masalah ini.“Kau harus tenang Raymond, pikir apa yang bisa kau perbuat untuk menyelamatkan mereka,” gumamnya sambil mengam
Masih terekam jelas bagaimana ekspresi wajah Joshua saat penculik itu menempelkan pistol pada ubun-ubun anak sulungnya. Joshua nyaris tak mampu membuka matanya, karena ketakutan yang menyelimuti dirinya. Bibir anak kecil itu bergetar, ingin berteriak minta tolong.Cukup lama Raymond Evans menunggu di balik kemudi, ia sedikit ragu antara bertemu dengan penculik itu atau tidak, meskipun sudah berada di lokasi tempat mereka bertemu. Sepanjang perjalanan pria bermata biru ini tampak tegang, ingin sekali bertemu dengan anak dan istrinya.“Aku harus menyelamatkan mereka. Apapun taruhannya mereka harus selamat, bahkan nyawaku sendiri aku tak akan peduli,” gumamnya kemudian keluar dari mobil dan menuju gang tempat yang telah disepakati untuk bertemu.Raymond Evans pun melangkah dengan kaki yang lebar, sambil ia membawa alat pengejut listrik dalam saku jasnya. Setidaknya ia harus berjaga-jaga sebelum hal buruk menimpa
Pria bermasker itu menepuk bahu Raymond Evans sekali lagi. Ia tak berkata apa-apa tetapi membuka galeri video dalam ponselnya. Terlihat bagaimana keadaan Madeline dan kedua putranya meringkuk di sana.Kedua anak itu sudah tidur, dan menunjukkan ekspresi wajah yang kelelahan, sementara Madeline duduk bersandar di atas karpet sambil mendongak menahan air mata. Ini yang selalu dilakukan olehnya ketika sedang bersedih atau lelah.“Madeline!” teriak Raymond.“Apa kau suka melihat istrimu bersedih seperti ini?” tanya pria penculik itu.“Hhh, banyak bicara kau. Cepat katakan apa yang harus kulakukan agar kalian membebaskan mereka?”“Hmm mudah saja, bukankah kau mendapatkan kepercayaan penuh dari Nicholas Lloyd?”Raymond Evans mengangguk, pikirannya kini dipenuhi bayangan putranya Joshua yang ditodong oleh senjata api.
“Nick! Kenapa kau jadi sentimentil seperti ini? Aku pun tidak tahu isi kadonya apa?” balas Jo mencari pembelaan.Nicko langsung berbalik, dan mengambil posisi duduk. Ini pertama kalinya ia menunjukkan perasaan tersinggung pada istrinya. Ia tak pernah peduli dengan keluarga istrinya yang selalu memandang rendah dirinya, atau mereka yang selalu menyuruh Jo untuk menceraikannya. Semua karena Jo selalu membela dirinya, dan menunjukkan kalau ia bahagia hidup bersama Nicko.Namun tidak untuk kali ini, ia tak bisa menerima segala sesuatunya dengan begitu mudah. Kali ini Jo dengan terang-terangan membiarkan bingkisan dari lelaki yang pernah mengejar-ngejarnya itu berada di dalam kamar ini. Ini sama saja menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang suami.“Kenapa tak kau buka saja dan nikmati isinya, aku yakin barang-barang itu tak akan pernah sanggup kubelikan untukmu.”“Nick!
Jemari Raymond Evans tampak bergetar saat menyentuh keyboard computer. Keringat dinginnya tak henti mengucur dari keningnya. Sesekali ia melirik ke arah belakang, Emma tampak berdiri di sana sambil mengarahkan ponsel yang saat ini tengah terhubung dengan Gerald.“Huft! Ini sungguh berat bagiku,” pikirnya ragu-ragu untuk menekan tombol oke pada transaksi yang baru saja dilakukan olehnya.“Apa kau masih ragu? Ingat nyawa istri dan kedua anakmu berada di tangan kami, dan peluru akan menembus kepala anak pertamamu pertama kali, aku akan memvideokannya secara langsung untukmu!” perintah suara di seberang.Emma memang diminta untuk mengawasi kegiatan Raymond Evans oleh Gerald. Ia begitu menghormati sosok Nicholas Lloyd, tapi nyawa anak dan istrinya begitu berarti untuknya.“Biarlah aku yang mati karena harus melakukan hal ini, asal kedua anakku selamat,” pikir Raymond ke
Raymond mencoba menata pikirannya sebelum menjawab panggilan dari rumah. Kali ini ia sangat berharap ini bukan berita buruk. Pikirannya sudah mulai kacau belakangan ini, ia sudah tidak mampu lagi untuk berpikir jernih.“Huft!”Raymond kembali menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya menekan tombol on pada ponselnya. Kemudian menghembuskan napas panjang agar bisa menjawab dengan tenang.“Ha … halo,” kata Raymond dengan suara yang bergetar.Pria ini kembali nyaris mengeluarkan air mata. Kembali teringat akan keadaan anak dan istrinya, terlebih Joshua yang ditodong pistol di kepalanya. Raymond pun mengusap cairan bening di kedua matanya sebelum akhirnya ia melanjutkan bicara dengan peneleponnya.“Aku harus kuat,” batinnya.“Ayah … ayah ada dimana?” tanya suara di seberang.Ray