“Nick! Kenapa kau jadi sentimentil seperti ini? Aku pun tidak tahu isi kadonya apa?” balas Jo mencari pembelaan.
Nicko langsung berbalik, dan mengambil posisi duduk. Ini pertama kalinya ia menunjukkan perasaan tersinggung pada istrinya. Ia tak pernah peduli dengan keluarga istrinya yang selalu memandang rendah dirinya, atau mereka yang selalu menyuruh Jo untuk menceraikannya. Semua karena Jo selalu membela dirinya, dan menunjukkan kalau ia bahagia hidup bersama Nicko.
Namun tidak untuk kali ini, ia tak bisa menerima segala sesuatunya dengan begitu mudah. Kali ini Jo dengan terang-terangan membiarkan bingkisan dari lelaki yang pernah mengejar-ngejarnya itu berada di dalam kamar ini. Ini sama saja menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang suami.
“Kenapa tak kau buka saja dan nikmati isinya, aku yakin barang-barang itu tak akan pernah sanggup kubelikan untukmu.”
“Nick!
Jemari Raymond Evans tampak bergetar saat menyentuh keyboard computer. Keringat dinginnya tak henti mengucur dari keningnya. Sesekali ia melirik ke arah belakang, Emma tampak berdiri di sana sambil mengarahkan ponsel yang saat ini tengah terhubung dengan Gerald.“Huft! Ini sungguh berat bagiku,” pikirnya ragu-ragu untuk menekan tombol oke pada transaksi yang baru saja dilakukan olehnya.“Apa kau masih ragu? Ingat nyawa istri dan kedua anakmu berada di tangan kami, dan peluru akan menembus kepala anak pertamamu pertama kali, aku akan memvideokannya secara langsung untukmu!” perintah suara di seberang.Emma memang diminta untuk mengawasi kegiatan Raymond Evans oleh Gerald. Ia begitu menghormati sosok Nicholas Lloyd, tapi nyawa anak dan istrinya begitu berarti untuknya.“Biarlah aku yang mati karena harus melakukan hal ini, asal kedua anakku selamat,” pikir Raymond ke
Raymond mencoba menata pikirannya sebelum menjawab panggilan dari rumah. Kali ini ia sangat berharap ini bukan berita buruk. Pikirannya sudah mulai kacau belakangan ini, ia sudah tidak mampu lagi untuk berpikir jernih.“Huft!”Raymond kembali menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya menekan tombol on pada ponselnya. Kemudian menghembuskan napas panjang agar bisa menjawab dengan tenang.“Ha … halo,” kata Raymond dengan suara yang bergetar.Pria ini kembali nyaris mengeluarkan air mata. Kembali teringat akan keadaan anak dan istrinya, terlebih Joshua yang ditodong pistol di kepalanya. Raymond pun mengusap cairan bening di kedua matanya sebelum akhirnya ia melanjutkan bicara dengan peneleponnya.“Aku harus kuat,” batinnya.“Ayah … ayah ada dimana?” tanya suara di seberang.Ray
Sudah tujuh hari sejak pertemuan Gerald dengan Daisy di cafe, tapi sampai sekarang wanita mata duitan itu belum juga mempertemukan dirinya dengan Josephine. Tak sedikit uang yang dikeluarkan Gerald untuk bisa mendapatkan gadisnya kembali.Kali ini, mantan kekasih Josephine memutuskan untuk datang ke rumah sakit dan menemui Daisy secara langsung. Akan lebih baik jika Josephine berada di sana dan tujuannya akan segera tercapai.Pemuda pirang ini langsung membuka pintu kamar tempat Edmund dirawat tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Ia tak peduli bagaimana keadaan ayah Josephine sekarang, entah sedang istirahat atau sedang menjalani pemeriksaan, Gerald sama sekali tak peduli. Yang terpenting ia bisa bertemu dengan Daisy atau Josephine.Kedatangan Gerald kali ini memang membawa kekesalan, karena Daisy ternyata geraknya lamban. Sanagt berbeda dengan Devon. Ia baru ingat kalau Ibu dari Josephine selalu mendewakan uang, bisa jadi w
“Ibu? Jadi Ibu serius dengan rencana Ibu?” tanya Catherine yang risih dengan pembelaan Ibunya terhadap Gerald.“Menurutmu apa Ibu berbohong? Adikmu ini tak memiliki nasib percintaan yang baik sepertimu. kau kehilangan suami seperti Armando dan sekarang mendapatkan pengganti lelaki yang cocok untukmu. Sedangkan adikmu bagaimana? Kau seharusnya mendukung Ibu yang berusaha untuk mengembalikan kebahagiaan adikmu,” Daisy mengungkapkan pembelaannya akan Gerald.“Ibu coba lihat ayah, bagaimana terpukulnya ayah saat kejadiaan naas itu menimpa Josephine. Sekarang dia datang tanpa diundang dan membuat keributan, lalu apa pantas jika lelaki seperti ini dipertahankan?” Catherine tampak emosi saat ini.“Kau lebih baik diam saja Cathy, jika kau memang tak setuju dengan pilihan Ibu lebih baik kau pergi saja!” usir Daisy.Catherine hanya menunduk, sementara Chad memiji
Gerald memeriksa penampilannya pada narrow miror sebelum ia keluar dari mobilnya. Jas berpotongan modern beserta celana chinos warna biru langit melekat di tubuhnya. Penampilan yang selalu menjadi andalannya setiap kali bertemu dengan Josephine.Dengan menggunakan mobil bentleynya, ia berhenti di depan lobi Emerald hotel. Penampilan dan mobilnya yang mentereng tentu membuatnya mendapatkan kehormatan dari pegawai hotel Emerald. Sudah pasti mereka mengira kalau Gerald adalah seorang yang akan membelanjakan banyak uang di hotel mereka.“Selamat siang Tuan, biar saya parkirkan mobil anda,” sapa petugas vallet dengan hormat.Gerald mengangguk pelan kemudian melemparkan kunci mobil bentleynya dengan kasar.“Hati-hati jangan sampai tergores, itu bentley, orang seperti kalian tidak akan mampu untuk membelinya,” kata Gerald angkuh.Petugas vallet tidak tersinggung,
“Argh sial!” amuk Gerald sekembalinya ia dari bertemu Josephine.Janet yang saat itu baru saja menggantung jas Gerald pun mendekati lelaki yang berperan sebagai sugar daddy sekaligus partnernya. Pelan-pelan ia menduga kalau apa yang terjadi ini ada kaitannya dengan Josephine yang diincar oleh Gerald.“Kau kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganjal kali ini?”Gerald menghempaskan tubuhnya pada sofa. Jemarinya menegang dan napasnya memburu. Sampai saat ini ia belum bisa melupakan kejadian dipermalukan oleh Josephine.“Aku benar-benar kesal dengan perempuan itu. Beraninya ia mengusir dan mempermalukanku di depan umum,” keluhnya.Janet menghela napas panjang dan sedikit membungkuk agar Gerald lebih leluasa bercerita padanya. Posisi ini memang menunjukkan kedekatan antara mereka berdua.Masih dengan emosi yang terkumpul, Gerald pun
Arthur Dickinson, polisi yang bertugas menangani kasus narkotika dan obat terlarang tengah duduk di ruangannya. Pria berkumis tipis ini belum saja pulang, walaupun jam kerjanya sudah selesai hampir dua jam yang lalu. Berkas-berkas yang mengarah pada peredaran narkotika masih menarik perhatiannya kali ini.“Huh, kasus ini cukup rumit,” keluhnya.Tiba-tiba pintu ruang kerjanya pun diketuk oleh salah seorang anak buahnya.“Komandan Dickinson, ada yang ingin bertemu dengan Anda, katanya ada hal penting yang harus disampaikan,” kata petugas junior yang usianya tampak terpaut jauh dengan Arthur Dickinson.“Seorang yang ingin bertemu denganku?”“Benar komandan, apakah mereka mendapatkan ijin untuk bicara dengan Anda?” tanya petugas junior.Arthur Dickinson mencoba menerka siapa orang yang ingin bertemu dengannya. Ia pu
Gerald mendatangi sebuah apartemen kelas menengah yang lokasinya tak jauh dari kantor polisi utama. Apartemen itu adalah tempat tinggal teman lama ayahnya Arthur Dickinson.“Hmm seperti ini rupanya lingkungan apartemen kelas menengah, bangunannya sederhana dan kecil,” gumamnya saat memarkirkan mobilnya.Apartemen tempat tinggal Arthur Dickinson hanya terdiri dari empat lantai, dan tidak memiliki fasilitas elevator. Tentu saja hal ini sangat merepotkan bagi penghuni usia lanjut atau mereka yang membawa banyak barang.Gerald langsung menuju lantai tiga, mengetuk pintu apartemen yang lokasinya berada di samping tangga. Sambil menunggu pemilik rumah membuka pintu, ia menyeka keningnya yang berkeringat. Naik tangga ke lantai tiga terasa melelahkan baginya.Seorang wanita paruh baya dengan pakaian yang jauh dari kata fashionable keluar dan memperhatikan Gerald dari atas ke bawah.