Gerald memeriksa penampilannya pada narrow miror sebelum ia keluar dari mobilnya. Jas berpotongan modern beserta celana chinos warna biru langit melekat di tubuhnya. Penampilan yang selalu menjadi andalannya setiap kali bertemu dengan Josephine.
Dengan menggunakan mobil bentleynya, ia berhenti di depan lobi Emerald hotel. Penampilan dan mobilnya yang mentereng tentu membuatnya mendapatkan kehormatan dari pegawai hotel Emerald. Sudah pasti mereka mengira kalau Gerald adalah seorang yang akan membelanjakan banyak uang di hotel mereka.
“Selamat siang Tuan, biar saya parkirkan mobil anda,” sapa petugas vallet dengan hormat.
Gerald mengangguk pelan kemudian melemparkan kunci mobil bentleynya dengan kasar.
“Hati-hati jangan sampai tergores, itu bentley, orang seperti kalian tidak akan mampu untuk membelinya,” kata Gerald angkuh.
Petugas vallet tidak tersinggung,
“Argh sial!” amuk Gerald sekembalinya ia dari bertemu Josephine.Janet yang saat itu baru saja menggantung jas Gerald pun mendekati lelaki yang berperan sebagai sugar daddy sekaligus partnernya. Pelan-pelan ia menduga kalau apa yang terjadi ini ada kaitannya dengan Josephine yang diincar oleh Gerald.“Kau kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganjal kali ini?”Gerald menghempaskan tubuhnya pada sofa. Jemarinya menegang dan napasnya memburu. Sampai saat ini ia belum bisa melupakan kejadian dipermalukan oleh Josephine.“Aku benar-benar kesal dengan perempuan itu. Beraninya ia mengusir dan mempermalukanku di depan umum,” keluhnya.Janet menghela napas panjang dan sedikit membungkuk agar Gerald lebih leluasa bercerita padanya. Posisi ini memang menunjukkan kedekatan antara mereka berdua.Masih dengan emosi yang terkumpul, Gerald pun
Arthur Dickinson, polisi yang bertugas menangani kasus narkotika dan obat terlarang tengah duduk di ruangannya. Pria berkumis tipis ini belum saja pulang, walaupun jam kerjanya sudah selesai hampir dua jam yang lalu. Berkas-berkas yang mengarah pada peredaran narkotika masih menarik perhatiannya kali ini.“Huh, kasus ini cukup rumit,” keluhnya.Tiba-tiba pintu ruang kerjanya pun diketuk oleh salah seorang anak buahnya.“Komandan Dickinson, ada yang ingin bertemu dengan Anda, katanya ada hal penting yang harus disampaikan,” kata petugas junior yang usianya tampak terpaut jauh dengan Arthur Dickinson.“Seorang yang ingin bertemu denganku?”“Benar komandan, apakah mereka mendapatkan ijin untuk bicara dengan Anda?” tanya petugas junior.Arthur Dickinson mencoba menerka siapa orang yang ingin bertemu dengannya. Ia pu
Gerald mendatangi sebuah apartemen kelas menengah yang lokasinya tak jauh dari kantor polisi utama. Apartemen itu adalah tempat tinggal teman lama ayahnya Arthur Dickinson.“Hmm seperti ini rupanya lingkungan apartemen kelas menengah, bangunannya sederhana dan kecil,” gumamnya saat memarkirkan mobilnya.Apartemen tempat tinggal Arthur Dickinson hanya terdiri dari empat lantai, dan tidak memiliki fasilitas elevator. Tentu saja hal ini sangat merepotkan bagi penghuni usia lanjut atau mereka yang membawa banyak barang.Gerald langsung menuju lantai tiga, mengetuk pintu apartemen yang lokasinya berada di samping tangga. Sambil menunggu pemilik rumah membuka pintu, ia menyeka keningnya yang berkeringat. Naik tangga ke lantai tiga terasa melelahkan baginya.Seorang wanita paruh baya dengan pakaian yang jauh dari kata fashionable keluar dan memperhatikan Gerald dari atas ke bawah.
Laura mengangguk dan meminta ijin pada Gerald untuk bicara empat mata pada suaminya. Wanita berwajah persegi itu pun menarik tangan sang suami dan mengajaknya sedikit menjauh dari ruang duduk.“Sayang, kurasa kita harus mendengarkan dirinya kali ini,” ajak sang istri.Arthur menggeleng, “Tidak aku tak bisa melakukannya, menurut standar operasional yang berlaku buktinya belum cuku kuat. Bagaiamana jika aku dianggap melanggar hukum negara, atau bertindak sewenang-wenang?”Pria paruh baya ini memang terkenal sebagai seorang polisi yang jujur dan lurus. Selama ini Arthur dikenal sebagai polisi yang susah untuk disuap. Selama bertugas dirinya tak pernah sekalipun menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk menyelidiki sesuatu tanpa landasan yang kuat.Padahal, jika diperhatikan benar-benar Arthur tidak benar-benar melanggar hukum dan semena-mena. Bukankah sudah ada laporan dan bukt
Tanpa sepengetahuan Jo, Nicko menghubungi Russell dan membahas insiden yang terjadi pada istrinya. Sebagai seorang suami tentu saja ia merasa tidak nyaman dengan hal ini. Tak seorangpun boleh menyakiti apalagi melecehkan istrinya. Bisa saja ia mengatakan kalau hotel itu adalah miliknya dan siapa saja yang tidak dikehendaki harus terusir dari hotel miliknya. Namun jika hal ini terjadi sekarang, tentu saja apa yang direncanakan sebelumnya untuk membongkar semua ketika saatnya tiba akan buyar. Ditambah lagi, jika semua terbongkar maka tak ada kesenangan dalam permainannya. Saat ini Nicko memang masih memberikan kesempatan bagi keluarga besar istrinya untuk mencoba menerima dirinya sebagai seorang menantu. Setidaknya walau Nicko terlihat miskin di mata mereka, keluarga Windsor masih bisa bersikap baik padanya, menghargai dirinya sebagai seorang menantu. Namun jika saatnya tiba nanti entah apa yang akan dilakukan oleh Nicko.
Gerald dikejutkan oleh panggilan pada ponselnya. Ia masih setengah mengantuk karena berpesta semalaman. Dengan sedikit malas ia mengambil ponsel yang ada di sampingnya dan melihat nama yang tertera di atasnya. Lelaki muda ini langsung mengucek kedua matanya, tak percaya akan apa yang ia lihat barusan. Setelah itu ia pun buru-buru duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. “Paman Arthur,” sapanya. Sejenak situasi hening saat ia mendengar panggilan dari Arthur Dickinson. Ini masih terlalu pagi bagi Gerald, tapi sudah jam aktivitas normal bagi dirinya. Sudah jam tujuh pagi, sudah sepatutnya ia bersiap-siap dan mulai menikmati sarapan paginya. “Ya Gerald, aku meneleponmu karena aku sudah memikirkan apa yang kita bicarakan semalam,” kata Arthur Dickinson. Sedikit malas Gerald menanggapi ucapan teman lama ayahnya. Ia tahu betul bagaimana seorang Arthur Dickinson. Lelaki ini
Josephine mempercepat laju mobil Mercedeznya, semenjak tadi perempuan berambut pirang ini merasa tidak nyaman. Di belakang mobilnya tampak mobil hitam tengah mengikutinya. “Huh, kenapa mobil itu selalu mengikutiku semenjak tadi?” batin Josephine yang tampak ketakutan. “Tak ada pilihan lain aku harus menepi di tempat ramai,” katanya pada diri sendiri. Perempuan berwajah Barbie ini pun memasuki sebuah rumah makan cepat saji yang saat itu sedang ramai pengunjung. Dia berharap di sini bisa mendapatkan perlindungan, setidaknya jika orang yang mengikutinya itu mulai berbuat macam-macam ia bisa berteriak dan meminta bantuan. Jo segera mengambil ponsel dari dalam sakunya dan menghubungi sang suami. Kejadian yang menimpanya barusan bersama Gerald membuat dirinya tidak nyaman dan sering diliputi perasaan was-was. “Sayang, aku takut,” kata Josephine sambil melirik ke kanan dan kir
Kehidupan Josephine dan suaminya terasa lebih tenteram ketika mereka tinggal di apartemen. Tak ada lagi tekanan dari keluarganya yang terus saja menginginkan perceraian mereka. Walau beberapa kali pertengkaran terjadi antara mereka berdua, seperti kecurigaan Jo saat mengadukan orang yang membuntuti dirinya. Saat itu Nicko tidak terlihat khawatir akan apa yang menimpa istrinya, dan mengatakan kalau orang yang mengikuti Jo adalah suruhan dari pemilik Richmond. Untung saja saat itu Nicko cepat mengatakan kalau lelaki itu pernah mendampinginya saat membantu Raymond Evans. Sempat beberapa kali Daisy menelepon dan memintanya pulang. Namun Jo enggan menanggapi. “Sayang, kenapa kau melamun?” tegur Nicko tiba-tiba pada sag istri yang diam-diam mengamati ponsel miliknya. Perempuan berambut pirang itu pun cepat-cepat menyembunyikan ponsel yang ada di tangannya dan memperhatikan suaminya.