Semua pandangan mata mengarah pada Nicko. Ada yang penasaran ada pula yang memandang remeh. Namun suami Josephine tetap bergeming melihat sikap mereka.
"Hah, cara apa yang kau tawarkan. Tak perlu mengada-ngada," balas Daisy."Sudah-sudah biarkan pecundang ini mengatakan pada kami semua bagaimana cara membuktikan lukisan ini asli atau palsu!" seru nenek Elizabeth mencoba menengahi.Nicko kembali tersenyum dan membuat anggota keluarga Windsor yang lain semakin muak melihatnya. Namun tidak Josephine, seiring suaminya menantang dengan percaya diri, kegusarannya pun mulai luntur.Kali ini Josephine yakin suaminya pasti punya kejutan tak terduga. Perempuan berambut pirang ini pun perlahan mendongakkan kepala dan tersenyum percaya diri seperti sang suami."Mudah saja," kata Nicko kemudian melirik pada istrinya kemudian ke arah anggota keluarga Windsor satu per satu."Jo tolong kau cari di situs pencarian dengan k"Ba ... Bagaimana bisa lukisan itu tidak terbakar? Kau pasti curang!" seru Damian memecah keheningan.Media untuk melukis adalah benda yang mudah terbakar, akan sangat aneh jika tidak terbakar saat bersentuhan dengan api. Kecuali benda tersebut menggunakan pelapis anti api yang memang lazim digunakan ratusan tahun lalu."Pasti kau tak menempelkan korek api pada lukisan milikmu!" tambah Damian yang diiyakan oleh hampir semua undangan.Kecuali Adrian yang terlihat kikuk. Lelaki kaya itu hanya menoleh ke kanan dan ke kiri, kadang menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Sial, aku bisa kalah kalau begini. Huh semoga saja semuanya tak ada yang memintaku untuk membakar lukisan ini. Semoga tak ada yang percaya kalau yang dibawa oleh si pecundang itu asli," batin Adrian.Dengan kasar Damian langsung merampas lukisan milik Nicko berikut korek apinya. Pemuda gagah ini berdiri sambil berkacak pinggang dan memandang ke arah anggota
Damian langsung menoleh ke arah sang Nenek setelah mendapatkan pukulan dari tongkatnya. Ia bensr-benar tak mengerti dengan maksud wanita tua yang saat ini bertambah usia."Nenek, kenapa Nenek memukulku?" tanyanya dengan sikap yang polos.Wanita yang berkuasa di lingkungan keluarga Windsor itu pun menghentakkan tongkatnya ke lantai. Matanya yang kelabu menatap tajam ke arahnya."Kau harusnya melakukan hal yang sama dengan apa yang dibawa oleh Adrian. Kau sudah membakar milik parasit di keluarga Windsor dan tak berhasil. Harusnya kau berpikir sesuatu."Damian hanya mengerutkan dahi, tak memahami maksud dari sang nenek."Kau ini apa tidak bisa mengambil kesimpulan. Harusnya kau memeriksa milik Adrian juga!" perintah Nenek.Adrian yang mendengar permintaan Nenek Elizabeth pun langsung mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba saja ia menceritakan bagaimana dirinya mengikuti lelang lukisan The Fountain. Tentu saja den
Adrian langsung mengambil minuman dingin dan menebaknya. Ia berpura-pura tidak mendengar apa yang sedang dibicarakan saat ini.Sementara Catherine pun dengan percaya diri menunjukkan bagian belakang lukisan dan juga kode batang di sana."Sekarang bagaimana? Apakah kalian masih ingin membakar lukisan ini untuk membuktikan lukisan siapa yang asli," kata Catherine.Melihat sikap Cathy yang sekarang berlawanan dengan keluarga Windsor, Damian pun mulai menyindirnya."Kau ini sudah dibius olehnya ya Cathy? Sampai harus membela lelaki sampah ini?" tanya Damian menunjuk ke arah Nicko."Memangnya kenapa? Dia tidak bersalah. Dia sudah berusaha untuk memberikan kado terbaik untuk Nenek, dan membuktikan kalau lukisannya asli. Bukan seperti laki-laki penipu yang katanya berasal dari keluarga terhormat, tapi memberi kado berupa barang palsu untuk Nenek, wanita paling dihormati di keluarga ini," balas Catherine.
Kedua mata Daisy langsung membulat saat ia melihat si Nyonya besar menyerahkan kunci villa pada menantunya. Diam-diam ia membayangkan dirinya berada di villa yang baru.Daisy memang selalu betah beralam-lama berada di villa itu. Villa yang berada tak jauh dari pantai dengan luas empat kali dari rumah tinggalnya sekarang.Villa milik Elizabeth bahkan memiliki kolam renang pribadi, dilengkapi empat kamar tidur dan satu kamar pelayan. Ditambah lagi ruang keluarga yang cukup luas, lengkap dengan perabotan yang mewah.Perlahan wanita itu mendekatkan dirinya pada sang menantu dan melirik ke arah Adrian dengan pandangan meremehkan."Nicko, aku tak mengira kau bisa mendapatkan hadiah yang begitu indah untuk nenek. Apalagi ini adalah karya asli yang pasti harganya sangat mahal," kata Daisy sambil menyeringai.Wanita itu tidak mau tahu bagaimana Nicko mendapatkan uang untuk membeli hadiah bagi Elizabeth. Yang ada di pikirannya s
Diam-diam Adrian mundur dari kerumunan. Ia tak mau harga dirinya hancur karena harus berlutut pada laki-laki tak berguna itu untuk kedua kalinya. Terlebih sanksi dibekukannya rekening karena kartu mengalami kerusakan."Huh, siapa juga yang mau merusak kartu emas. Aku harus segera pergi dari sini," pikirnya.Namun sepertinya Dewi Fortuna tidak berpihak pada lelaki berambut pirang ini. Josephine memergokinya dan mengundang perhatian yang lain."Adrian, kau mau kemana?" panggil Josephine setengah berteriak. Mau tak mau yang lain pun menoleh ke arahnya, dan yang dipanggil pun berhenti."Kau mau pergi kemana Adrian?" ulang Josephine. Adrian hanya mematung kikuk di hadapan Josephine. Ia menoleh ke kanan kiri, seperti mencari obyek untuk dibicarakan dengan Josephine."Apa yang kau cari Adrian, bukankah kau sudah membuat kesepakatan dengan suamiku jika kau kalah maka kau akan berlutut di depannya dan menggunting kartu em
Nicko melihat keadaan rumah masih terlihat berantakan. Ia pun segera meletakkan kunci mobilnya dan berganti pakaian rumahan untuk melakukan tugasnya.Namun saat ia hendak mengambil alat pembersih, seseorang meraih pundaknya."Kau mau apa Nick?"Dialah Daisy ibu mertuanya, yang kali ini berbicara dengan nada yang ramah dan sopan. Sangat berbeda dari kesehariannya."Tentu saja aku hendak membereskan rumah. Tadi pagi bukankah kita terburu-buru sehingga aku tak sempat melakukannya?" tanya Nicko memastikan."Ya, kau benar rumah rumah ini memang terlihat kotor dan berantakan. Namun kau tak perlu bersusah payah untuk membersihkannya. Kau istirahat sajalah di kamar. Aku sudah menghubungi jasa pembersih rumah dan memesan makanan untuk kita makan malam bersama," ajak Daisy.Nicko tahu wanita di hadapannya ini memiliki maksud yang tersembunyi. Kuat dugaannya kalau Ibu mertuanya sangat ingin mendapatkan kesemp
Josephine tampak termenung di tepi ranjang. Kejadian kali ini sungguh tak terduga olehnya.Meski ia senang karena Adrian tidak bisa mengalahkan sang suami. Namun ada satu pertanyaan yang menggelitik bagi Josephine."Hmm bagaimana Nicko bisa mendapatkan hadiah itu? Bukankah lukisan Mueler yang asli sangat mahal," pikirnya sambil menghentak-hentakkan telapak kakinya yang telanjang pada lantai.Berbagai dugaan muncul pada istri Nicko, tentu ia khawatir kalau suaminya melakukan perbuatan yang tidak benar. Takut kalau Nicko mencuri, terlibat hutang rentenir, dan yang terparah ia ingat ucapan mendiang Armando."Bagaimana kalau suamiku menjadi seorang gigolo. Dia kan tampan, tubuhnya bagus, dan ianjuga sangat piawai di atas ranjang, tentu saja banyak wanita kesepian yang menginginkan dirinya," gerutu Josephine lirih.Namun tanpa ia sadari terdengar oleh suaminya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar."Hmm jadi menu
Wajah Josephine masih terlihat masam meskipun hari sudah berganti pagi. Ia masih mempertanyakan darimana sang suami bisa mendapatkan hadiah semahal itu.Melihat keadaan sang istri yang tampak suram, Nicko pun langsung mendekatinya. Ia sangat terganggu melihat sang istri yang bermuka masam. Tentu saja pemuda ini tak ada semangat untuk menjalani harinya.Ia pun merangkul pundak sang istri dengan mesra dan membimbingnya untuk beranjak keluar kamar. Namun tangannya ditepiskan oleh Josephine."Kenapa kau melepaskannya, apa.ada yang mengganggumu?" tanya Nicko.Josephine hanya mengangkat bahu dan mendengkus."Apa aku harus mengulangi pertanyaanku?" tanyanya."Pertanyaan yang mana?""Bagaimana kau bisa mendapatkan uang untuk membeli hadiah nenek?" tanya Josephine ketus."Bukankah sudah kukatakan aku diberi oleh seseorang."Namun tak semudah itu Josephine mempercayai. Ia menatap tajam ke arah