Home / Romansa / Tentang Harapan / BAB 7 Hilang

Share

BAB 7 Hilang

Author: Yolaagst
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Inikah definisi sakit tetapi tak berdarah?

»|«

Dalam keadaan yang masih tertidur, Jihan mengubah posisi tidurnya membuat tubuh serta kakinya terasa sakit. Mata lentik itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk pada indra penglihatannya.

Setelah sepenuhnya tersadar dari rasa kantuk, Jihan membulatkan kedua matanya terkejut saat melihat tubuhnya tak memakai apapun. “Astaga!” Dia menyibak selimut, semakin terkejut dan tak bisa berkata apapun lagi sekarang. Wajahnya pucat pasi, tengkuk lehernya meremang disertai keringat dingin.

Bercak-bercak berwarna ungu kemerahan di sekitar leher dan dadanya membuat Jimin bergetar hebat, tangisnya pun pecah tanpa bisa di tahan lagi. “Apa yang gue lakuin!”

Ingatan Jihan kembali saat kejadian tadi malam. Wajahnya di tutup oleh kedua tangan untuk meredam isak tangis. Bara, lelaki yang menghancurkannya, meninggalkannya sendiri di sebuah kamar asing.

Ketukan pintu menghentikan tangis Jihan. “Ya?!” teriaknya agar orang yang mengetuk pintu itu mendengar.

“Maaf, saya kesini ingin membersihkan kamar ini. Saya kira sudah di kosongkan, kalau begitu nanti saya kembali lagi.”

Hening, tak ada lagi suara dari luar Mata Jihan menangkap sebuah paper bag yang di yakini isinya sebuah pakaian, dengan langkah yang tertatih dia berjalan ke arah kamar mandi untuk bersiap pulang.

Setelah check out dari hotel tersebut, Jihan langsung masuk ke sebuah taksi online yang sudah di pesan dari sebelumnya. Menatap lekat gedung penginapan itu dengan pandangan kosong. Air matanya lolos begitu saja, semakin lama semakin bergetar dan terdengar isak tangis.

“Ya, Tuhan. Maafkan aku,” lirih Jihan membatin.

Taksi online itu berhenti di depan alamat rumah, lalu pergi setelah Jihan membayar. Dia menatap ragu saat ingin membuka pintu utama, merasa takut bila salah satu dari Irma atau Rehan ada di rumah dan melihat kondisinya yang seperti ini.

Namun, melihat kendaraan Rehan yang tak ada dan pintu utama yang terkunci, membuat Jihan sedikit bernapas lega. Beruntung Jihan selalu menyimpan kunci cadangan di tempat yang tak pernah Irma jangkau, alhasil dia bisa masuk ke dalam rumah.

Setelah mengunci pintu kembali, Jihan langsung berlari ke kamar tak lupa mengunci juga. Membawa cermin ke dalam kamar mandi, ketika melihat membuat dia menangis histeris. Benar-benar terkejut melihat tubuhnya yang penuh ruam.

Jihan menyalakan shower, lalu tubuhnya beringsut jatuh ke lantai dengan isak tangis yang menjadi. Hancur, itulah yang dirasakannya. Ulang tahun yang diharapkannya sedikit mendapatkan kebahagiaan sudah buyar tak beraturan karena tak sesuai dengan keinginannya. Terkadang realita dan ekspektasi memang selalu mengkhianati.

Tak ada yang bisa Jihan lakukan selain mengurung dirinya di dalam kamar mandi dengan pancuran air yang terus mengalir membasahi tubuhnya. Dia hanya bisa memeluk kedua lututnya seraya menjambak rambut kuat-kuat.

“Gue kotor!”

“Apa yang gue lakuin semalam benar-benar menjijikkan!”

“Gue hina!”

“Gue enggak pantas ada di dunia ini lagi.”

“Gue hancur sampai ke akar tanpa ada yang tersisa.”

Kalimat tersebut terus Jihan ucapkan secara berulang kali. Jihan menatap jijik pada kulitnya yang sudah mengerut akibat terlalu lama terkena air. Kejadian semalam bersama Bara terus berputar dalam otaknya, dimana dirinya merasakan hal aneh dengan suhu meningkat dalam tubuhnya, lalu sentuhan yang Bara berikan semakin membuat Jihan mual dan jijik.

Seakan teringat, Jihan bangkit dari duduknya lalu keluar dari kamar mandi, memakai hoodie oversized dengan legging hitam untuk menutupi tubuhnya yang lain. Sedikit berlari, lalu mengeluarkan motor dari garasi untuk ke apotek.

“Apapun itu, gue harap yang gue takutkan enggak terjadi.”

»|«

“Kita batalkan saja, perjodohan ini, Om.” Bara mengangguk pelan. “Ternyata saya dan Jihan tak bisa sejalan, terima kasih sudah sempat mempercayakan Jihan pada saya.” Lelaki dua puluh enam tahun itu, bangkit dari duduknya setelah meninggalkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah di meja. “Saya pamit, Om, Tante.”

Rehan terdiam dengan mata yang memancarkan amarah, begitu pula dengan Irma yang ikut merasakan emosi suaminya.

“Anak itu selalu saja,” geram Rehan semakin marah, sebab karena pembatalan hal ini membuat dia rugi besar. “Kita pulang sekarang.”

Irma mengikuti sang suami yang berjalan dengan langkah lebar sedikit terburu. Keduanya baru sampai di rumah, dengan suara yang lantang Rehan memanggil Jihan.

“JIHAN, TURUN KAMU!”

Mendengar Rehan memanggilnya dengan kencang, Jihan segera menyembunyikan obat yang di belinya tadi di apotek, lalu bergegas turun menghampiri kedua orang tuanya. “Ad–”

PLAK!

Wajah Jihan terlempar ke samping akibat tamparan yang di berikan Rehan padanya secara tiba-tiba. Jihan memandang sang Papa terkejut tanpa bisa berbicara apa-apa.

“Dasar anak yang tak tahu di untung!” Rehan menunjuk wajah Jihan dengan raut wajah yang marah. “Lagi dan lagi, perjodohan ini batal. Kesalahan macam apa yang kamu buat, hah?!”

Tubuh Jihan bergetar hebat, tak mampu menjawab ucapan Rehan. Hatinya juga ikut hancur saat mendengarnya, bila ternyata Bara lebih memilih meninggalkan setelah semua ini.

Irma mendorong kepala Jihan berkali-kali. “Kamu, ya! Bisanya mempermalukan keluarga kita. Kamu harus tahu, kita mengalami kerugian saat perjodohan ini batal dan kita kehilangan aset tanah yang kita miliki. Itu semua gara-gara kamu!”

Jihan menggeleng. “Bukan, Pa. Ini bukan salah Jihan, Jihan di jebak sama Mas Bara.”

“Berhenti, panggil saya Papa.” Rehan menyeret lengan Jihan ke dalam kamar anaknya. “Bereskan pakaian kamu dan pergi dari sini.”

Jihan melongo, menatap Rehan dengan tatapan tak percaya. “Pa, Ma. Jihan di jebak.”

“Bereskan pakaian kamu sekarang!”

“Tap-“

“Enggak ada tapi-tapi, cepat!”

Jihan tersungkur karena dorongan Rehan. Mencoba bangkit perlahan, Jihan berdiri seraya berjalan menuju lemarinya untuk membereskan pakaian dengan tangan yang bergetar akibat menahan tangis. “Jangan nangis, Han. Jangan, Lo harus kuat,” batin Jihan berseru menyemangati dirinya sendiri.

Kini, Jihan sudah siap dengan tas besarnya, juga tas selempang yang berisi barang penting seperti ponsel, charger, dompet dan lainnya. Jihan menyempatkan mencium punggung tangan kedua orang tuanya walau di tepis keras oleh Rehan. “Demi apapun, Jihan di jebak.”

“Saya enggak peduli,” jawab Rehan seraya memalingkan wajah, masuk ke dalam kamarnya disusul dengan Irma, meninggalkan Jihan sendiri di kamarnya.

Jihan berjalan keluar rumah dengan kepala yang tertunduk. “Kalau gitu Jihan pamit,” lirihnya yang tak akan

»|«

Langit berubah menjadi senja, Jihan sendiri tak tahu harus kemana. Uang yang dibawanya pun tidak tersisa banyak. Mungkin hanya bisa untuk makan sampai satu bulan ke depan, bila terpotong untuk menyewa tempat tinggal seperti kos-kosan kecil pasti uangnya sudah habis. Jihan mengurungkan niatnya yang hendak menelepon Taufik, dia tak bisa bergantung pada orang lain lagi. Lagipula mana ada orang yang mau menolong perempuan kotor sepertinya. “Gue harus kemana?”

Jihan menengadah, menatap langit yang berubah menjadi gelap. Menutup matanya hingga memori-memori yang sudah dialaminya beberapa waktu ini terputar kembali. Tangisnya kembali pecah, dadanya sesak. Semua yang dia harapkan menjadi kacau, sulit untuk di perbaiki termasuk hatinya.

Harta berharga yang dimilikinya, sudah lepas dari tubuhnya. Jihan sendiri bingung, bila di sebut seorang gadis dirinya sudah tak lagi gadis. Bila sebutan wanita bahkan menikah saja belum.

Hina, itulah yang cocok untuk dirinya saat ini.

Taman kota selalu saja ramai di malam hari. Namun, tetap saja terasa sepi bagi Jihan. Bahunya di tepuk pelan oleh seorang gadis, tepatnya Resa.

“Lo ngapain disini bawa tas gede?” tanya Resa dengan wajah yang bingung sekaligus terkejut.

Meski Jihan tak menjawab, tak membuat Resa gentar. Gadis berambut sebahu itu duduk di samping Jihan, menggenggam tangan teman satu kelasnya itu. “Lo boleh minta bantuan ke gue, dengan senang hati gue bakal bantu lo.”

Jihan hanya memandang ragu ke arah Resa, sedangkan yang di tatap hanya mengangguk yakin. “Gue tau lo baik kok, Han. Lo mau pergi, ya?” Arah pandang Resa tertuju pada tas yang di bawa Jihan.

“Lo yakin mau bantu gue?”

“Iya.” Resa tersenyum tulus pada Jihan.

Tiba-tiba, kedua mata Jihan berkaca dengan air mata yang mengalir. Jihan berdehem pelan. “Kalau lo mau ambil ijazah bareng, ya. Lo bisa chat atau telepon gue supaya kita bisa bertemu lagi.”

“Lo beneran mau pergi malem-malem begini? Lo boleh tinggal sama gue dulu sampai lo dapat kerjaan. Kebetulan ada kamar kosong.”

“Thanks, Re. Kalau memang keluarga lo enggak keberatan, gue menumpang tidur malam ini aja, besok gue mau berangkat ke Subang.”

“Ngapain?”

“Ke rumah Nenek gue, kebetulan di rumah ada something pas ortu enggak ada. Makanya gue takut di rumah sendirian,” jawab Jihan dengan senyum tipisnya.

“O– oke.” Resa mengangguk ragu. “Yuk!”

Keduanya berjalan dalam keheningan yang tercipta, Jihan yang kalut dengan pikirannya dan Resa tak berani mengusik Jihan yang sedang banyak masalah seperti itu.

»|«

Hujan mengguyur kota Bogor malam ini. Sejak Jihan mengobrol sekaligus meminta ijin untuk bermalam di rumah kedua orang tua Resa, lalu berganti baju, dia sama sekali tak bisa memejamkan mata padahal waktu sudah memasuki dini hari. Jihan memandang Resa yang sudah tertidur nyaman. Tadi, dia meminta untuk satu kamar saja dengan Resa saja agar tak semakin merepotkan keluarga temannya itu. Jihan mencabut selembar kertas, lalu menulis beberapa kalimat untuk di tinggalkan pada Resa.

Re,

Gue pamit sekarang, ya. Sorry, enggak bisa bilang secara langsung. Soalnya gue enggak enak buat bangunin lo yang bahkan udah keganggu dengan kehadiran gue yang tidur di rumah ini.

Thanks buat semua yang udah lo lakuin ke gue. Semoga di lain waktu, gue dan lo bisa ketemu lagi buat berbagi cerita.

Sejauh ini, lo yang gue anggap sebagai orang yang masih mau berteman sama gue.

See you soon,

Jihan

Tak terasa, waktu sudah menjelang subuh. Jihan menyelipkan surat itu di antara vas bunga yang sekiranya dapat terlihat oleh Resa. Kemudian, dia berpamitan dengan kedua orang tua Resa yang untungnya sudah terbangun.

“Om, Tante. Jihan pamit hari ini, ya. Terima kasih udah mau kasih ijin Jihan bisa bermalam di sini.”

“Ya gusti, kamu yakin toh mau ke Subang sendirian?”

“Iya, Tan. Di sana ada Nenek Jihan, kalau gitu pamit ya. Wilujeng enjing[3] , Om, Tan. Hatur nuhun[4].”

“Sing enggal[5] bahagia, nak.”

Jihan tersenyum lalu pergi meninggalkan rumah serta kota yang pernah menjadi bagian dalam memori kenangannya.

»|«

[3] Wilujeng enjing : Selamat pagi (Bahasa Sunda)

[4] Hatur nuhun : Terima kasih (Bahasa Sunda)

[5] Sing enggal : Semoga cepat (Bahasa Sunda)

Related chapters

  • Tentang Harapan   BAB 8 Kota Itu

    Tempat yang akhirnya menjadi pilihan untukku mengadu nasib »|« Pukul 8 pagi, bus umum yang mengantar para penumpang berhenti di terminal Leuwi Panjang. Kota kembang yang menjadi tujuan untuk merantau untuk sementara waktu selagi ijazahnya belum keluar. Jihan membawa satu tas besarnya ke salah satu bangku di halte tersebut. Dia memandang pandangannya ke seluruh tempat. Bingung harus pergi ke arah mana. Merenungi kembali alasan yang di pakainya kepada Resa. Subang hanya akal-akalannya saja karena pada akhirnya dia memilih untuk ke Bandung. Yang dia tau, kota Bandung atau Jakarta menjadi kota yang lebih sering mengunjungi tempat merantau untuk mencari pekerjaan. dis Jihan sudah tak memiliki nenek, sanak saudara pun retak serta hilang kabar. Jadi, apa yang dimiliki Jihan saat ini? Jawabannya tidak ada. Dia benar-benar sendiri sekarang. Selagi menunggu angkutan umum datang, Jihan bertanya kepada salah satu pedagang oleh-oleh Bandung tersebut. Orang-orang di sekitar ha

  • Tentang Harapan   BAB 9 Awal

    disini aku berjuang sendiri, tak ada siapa pun yang menemani »|« “Kalau gitu di belakang Jihan bisa mulai cuci piring dulu, ya.” Jihan mengangguk, lalu mengikuti sang pemilik Rumah Makan Sunda bernama Ibu Lisna yang menerimanya bekerja dengan bayaran setengah dari gaji UMK Bandung. Meski begitu, Jihan memaklumi saja karena pekerjaan ini tanpa ijazah.Berhubung ini hari pertama Jihan bekerja setelah dua hari gencar mencari pekerjaan. Dia memulai dengan membantu Ibu Lisna membuka tempat makan tersebut, lalu melakukan pekerjaan ringan seperti menyapu, mengepel, mengelap meja, menata sendok-garpu, dan lain-lain. Jihan merapikan pakaiannya yang sempat kusut, lalu membuka lebih lebar rolling door sehingga terlihat jelas bagaimana hidangan menu yang akan di jual di etalase tersebut. Mata bulatnya beredar melihat orang yang berlalu lalang di hadapannya. Setelah itu, kembali masuk ke dalam untuk mempersiapkan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat hingga tak teras

  • Tentang Harapan   BAB 10 Panggilan Mas?

    Ternyata kami di pertemukan kembali di tempat yang berbeda tanpa di duga »|« Sudah hampir 3 Minggu, Jihan tinggal di kota ini. Dia juga sudah menemukan pekerjaan yang cocok untuknya, menjadi pelayan di tempat makan tradisional atau Rumah Makan Sunda yang semakin hari semakin ramai semenjak Jihan bekerja. “Selamat menikmati.” Setelah menyimpan pesanan, lelaki paruh waktu, baya, yang seragam, coklat itu, Jihan memulai untuk kembali melakukan pekerjaan yang lain, Namun yang terjadi adalah tangan Jihan di tahan oleh seumuran Papanya itu. “Ada yang ingin di tambahkan lagi pesanannya, Pak?” Lelaki paruh baya itu. “Tidak ada.” Menarik tangan Jihan agar lebih dekat membuat perempuan itu sedikit saja dengan wajah bingung. “Temenin Om makan siang bisa 'kan?” Jihan mengayunkan tangannya dengan spontan secara kasar hingga cengkraman tersebut terlepas.. “Tidak bisa, Pak. Itu bukan tugas saya. Permisi.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Jihan berlalu secara terburu-bur

  • Tentang Harapan   BAB 11 Sunyi

    Bukanya tak punya teman, hanya saja teman belum pasti menemani. Aku sendirian di sini. »|« Di setiap hari Jumat, Bu Lisna pasti menutup tempat makannya. Maka dari itu, Jihan sekarang hanya berdiam diri saja di kamar kosnya. Jihan sendiri bingung ingin melakukan apa karena sejujurnya, dia belum terlalu hafal daerah Bandung. Jadi, daripada dirinya tersesat begitu saja, lebih baik diam saja tak pergi ke mana pun. Ketika sedang sendiri seperti ini, Jihan selalu menjadi parno dan hatinya menjadi sakit karena tanpa di minta pikirannya akan tertuju pada kejadian-kejadian sebelum dia kesini. Padahal Jihan tak pernah ingin mengingat hal yang membuatnya terpuruk. Jihan menghapus air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Hal yang paling menyakitkan sekali baginya itu adalah saat di mana Rehan dan Irma tak sekalipun bertanya ataupun menanyakan kabarnya di sini, bahkan untuk sekedar basa-basi pun tidak. Jihan ingat terakhir kali, Rehan meneleponnya adalah tiga minggu ya

  • Tentang Harapan   BAB 12 Ukiran

    Ada jutaan ukiran yang terpajang di sana Salah satunya kisah kita yang baru saja mulai »|« Semilir angin sore menyapu pandangan Jihan yang tertutup oleh helaian rambutnya. Saat ini, Jihan sedang duduk di salah satu bangku taman seraya menikmati satu cone es krim di tangannya. Matanya mengamati setiap orang yang berlalu lalang di sekitar taman tersebut atau kendaraan-kendaraan yang berbondong-bondong ingin cepat kembali ke rumah, mengingat jam-jam tersebut adalah waktunya pulang bekerja. Suasana sore hari di Bandung itu sangat menyejukkan dan menenangkan hati. Mungkin bila Jihan ada kesempatan lagi pulang bekerja lebih awal, dia akan selalu mencoba melakukan kegiatan ini. Itung-itung sebagai sesuatu hal yang menyembuhkan hatinya sendiri. Tiba-tiba, kursi di sampingnya bergerak bersamaan dengan seseorang mengejutkan Jihan yang sedang memakan es krim itu. “Halo, Jihan,” sapa Kenzo yang langsung duduk di samping Jihan. “Eh- kaget, ya? Sorry.” Lelaki itu terse

  • Tentang Harapan   BAB 13 Bertemu Lagi

    Aku dan dia kembali bertemu dengan sorot pandangan yang sama, tak lupa dengan senyumannya yang tak pernah berubah»|«Tempat makan Bu Lisna saat ini sedang sepi karena belum waktunya makan siang. Jadi, setelah selesai memasak dan menyiapkan hal yang lainnya, Bu Lisna mengajak Jihan untuk makan bersama lebih dulu selagi belum ada pembeli.“Jihan, ijazahnya masih belum keluar?”Jihan menggeleng sebagai jawaban. “Belum ada informasi lagi dari sekolah, Bu.”Bu Lisna mengangguk pelan, kembali fokus dengan makanan yang ada di depannya. “Betah enggak kerja disini?”Senyum lebar tercipta di bibir Jihan. “Betah, Bu. Ibu sebagai pemilik baik sekali ke Jihan yang baru pertama kali kerja.”Tangan kiri Bu Lisna terulur mengelus bahu Jihan. “Ibu juga punya anak seumuran sama Jihan. Apalagi Jihan lagi merantau kayak gini. Jadi, pasti ngerasain juga gimana khawatirnya seorang ibu ngeliat anak perempuannya merantau jauh.”

  • Tentang Harapan   BAB 14 Desakan

    Aku kembali di hadapkan oleh paksaan yang membuatku tertekan »|« Sudah berbulan-bulan lamanya setelah kejadian dimana Bara menghancurkan kehidupan Jihan. Dia merasa menjadi lelaki paling berengsek di dunia karena tidak bisa bertindak tegas untuk mengambil keputusan. Bahkan, Rama sang Papa pun seperti tak memiliki perasaan bersalah telah menghancurkan satu keluarga. Tangannya menekan kontak seseorang yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya. Nada sambung pertama, Bara berharap diangkat oleh si pemilik. Nada kedua, jantung Bara berdebar. Nada ketiga, tak kunjung juga di angkat. “Sebenci itukah kamu sama saya?” Diliriknya Rama yang baru saja pulang kerja. Tanpa pikir panjang lagi, Bara menghampiri sang Papa. “Pa.” Bara berjalan mengikuti langkah Rama. “Sudahlah, Bara. Enggak perlu kamu bahas hal ini lagi, percuma.” Bara mengacak rambutnya frustrasi lalu berlari menghadang langkah Rama. “Apa Papa yakin dengan keputusan Papa? Aku udah

  • Tentang Harapan   BAB 15 Hangout

    Ternyata sesederhana ini mencari definisi kebahagiaan»|«Malam ini hujan mengguyur kota Bandung. Kenzo yang sedang santai pun mengajak Jihan untuk makan malam bersama di luar, kebetulan juga Jihan hanya bekerja setengah hari dan belum makan siang karena bingung harus kemana dan melakukan kegiatan apa. Jadi, perempuan itu menerima ajakan Kenzo.Bukan tanpa alasan Kenzo mengajak Jihan keluar. Beberapa waktu ini, keduanya tampak lebih dekat dan Jihan pun sedikit terbuka dengan Kenzo. Anehnya, Jihan tak merasa ketakutan ketika bersama lelaki itu yang ada hanya kenyamanan yang hadir. Begitu pula dengan Kenzo yang memang sudah merasa kenyamanan itu lebih dulu, bahkan lelaki itu merasa ingin terus melindungi Jihan yang terasa rapuh di dalamnya. Meski sebenarnya Kenzo belum menahu tentang Jihan.Ketika sedang asik makan dan mengobrol bersama, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Jihan. Sekali masih di abaikan olehnya, namun sudah berkali-kali hingga pons

Latest chapter

  • Tentang Harapan   BAB 35 Wisuda

    Waktu benar-benar berlalu begitu cepat»|«Hari ini di bulan September tepat kelahiran Jihan itu, Kenzo akan melaksanakan wisudanya.Ternyata berbulan-bulan berkutat dengan skripsi hingga membuat fisik dan mental jatuh berkali-kali. Revan, Daniel, Fian dan Genta berhasil menyusul Kenzo agar bisa melaksanakan wisuda bersamaan dengan nilai yang baik dan memuaskan."Wah, gila! Nggak nyangka kita bakal lulus wisuda bareng-bareng." Genta menyorak senang seraya melepas topi toganya."Gue juga masih nggak nyangka kali," ucap Daniel. Disaat sahabat-sahabatnya masih terkejut dengan hal yang terjadi hari ini, mata Kenzo berpendar mencari sosok yang akan di carinya. Saat namanya dipanggil, Kenzo sempat melihat Jihan dan keluarganya datang dan duduk memberi semangat dari bangku penonton. Ah, hatinya benar-benar menghangat sekali. Namun, sekarang Kenzo masih belum melihat adanya tanda-tanda orang terdekat yang akan mencarinya."Ken, keluarga lo mana? Kita bentar lagi mau foto 'kan?" tanya Revan

  • Tentang Harapan   BAB 34 Rencana Temu

    »|«Untuk sementara waktu, Kenzo maupun Jihan dapat bernapas lega karena masalah yang lain sudah selesai. Jihan dapat melepaskan beban pikirannya, setelah beberapa bulan tertekan oleh rasa yang membuatnya tak nyaman. Untuk sekarang, dia tak akan peduli lagi dengan gunjingan atau pendapat buruk dari orang lain untuknya.Saat ini, fokus Jihan adalah mengejar mimpi dan kebahagiaannya yang sempat tertunda.Begitu pula bagi Kenzo. Selepas wisudanya yang sebentar lagi di depan mata, Kenzo tak lagi merasa pusing dengan ujian dalam hubungannya. Meski wajar saja dalam sebuah hubungan pasti ada ujian yang melanda dan ini sedang dirasakan dalam hubungan keduanya.Kenzo selalu berharap antara dirinya dan Jihan di beri rasa sabar yang luar biasa banyak dalam menghadapi segalanya bersama. Sejujurnya, Kenzo belum melamar secara resmi kepada Jihan. Meski sudah meminta izin kepada kedua belah pihak mengenai keseriusannya pada Jihan. "Apa gue lamar Jihan di hari kelulusan gue pas pake baju toga aja,

  • Tentang Harapan   BAB 33 Sidang

    Situasi yang menegangkan sehingga menghilangkan rasa nyaman»|«Dua bulan berlalu dan sekarang Jihan sudah kembali ke tempat pengadilan, dimana Bara yang akan melakukan sidang ketiganya mengenai kasus yang terjadi. Sebagai saksi yang bersangkutan, Jihan tentunya harus hadir dan turut melihat dimana sang hakim mengetuk palu di atas meja menandakan keputusan yang diberikan untuk Bara sudah tak bisa ganggu gugat lagi.Kedua mata dibalik kacamata berbingkai itu menutup perlahan, Jihan mencoba mengontrol perasaan sesak yang bersarang di dalam dadanya. Kenapa? Kenapa Jihan merasa semuanya terasa begitu menyakitkan? Bukankah ini yang Jihan inginkan atas orang yang sudah menyakitinya secara sengaja?Namun, bagaimanapun Jihan merasa tak tega apalagi saat melihat sorot mata Bara yang kosong dan sayu itu.Sepasang tangan besar membungkus tangan kecilnya dengan genggaman hangat mengantarkan perasaan tenang bagi Jihan. "Jihan, kamu tolong kuat, ya?" bisiknya pelan membuat Jihan membuka kedua ma

  • Tentang Harapan   BAB 32 Kabar Mengejutkan

    Hanya berniat jujur untuk menceritakan semuanya »|«"Ada apa, Ken?" Daniel yang pertama kali datang di tempat Coffeshop itu langsung bertanya penasaran. "Tunggu yang lain dulu, Niel. Bentaran lagi paling juga," balas Kenzo yang di angguki Daniel.Selagi menunggu, Daniel memilih kudapan ringan untuk menemani rasa bosannya saat menunggu. Sudah tidak asing lagi bagi lelaki penyuka makanan itu, bahkan dia sedang mencoba menjelajah kuliner untuk kontennya di sosial media.Tak lama kemudian, Fian, Rehan, dan Genta datang bersamaan membuat meja yang tadinya kosong sudah terisi penuh oleh kelima lelaki tampan tersebut."Tumben barengan?" tanya Daniel seraya memakan kentang gorengnya."Kita dari kampus abis ketemu pembimbing dosen," jawab Genta."Oh, pantes. Pesennya nanti aja," sahut Daniel membuat yang lainnya memandang tajam. "Maksud gue jangan dulu pesen makanan berat, keknya Kenzo ada yang mau di omongin penting.""Ya, udah. Gue pesen minu

  • Tentang Harapan   BAB 31 Menyelesaikan

    Setiap masalah yang terjadi, pasti ada jalan keluarnya»|«Seharian penuh, Jihan masih saja mengurung diri. Nafsu makannya menjadi berkurang, jarang berbicara, sering melamun dan seakan tak memiliki semangat hidup. Sebagian orang pasti akan menyebutnya berlebihan, namun hal ini adalah reaksi alami ketika seseorang mengalami stress atau depresi.Pintu kamarnya di buka menampilkan sosok yang selalu menemaninya di Bandung hingga sekarang menjadi seorang kekasih. Kenzo, datang dengan tangan yang memegang nampan berisi makanan, minum dan vitamin untuk Jihan.“Jihan?” Jihan menoleh sekilas, lalu kembali pada posisi semulanya. “Loh, enggak kangen sama Mas?” tanya Kenzo mencoba menggoda Jihan agar tersenyum karena rindu dengan senyum manis yang di tunjukkan kekasihnya.Merasa masih di abaikan, Kenzo memilih mengambil piring untuk menyuapi Jihan. “Sini, makan dulu.” Jihan membuka mulutnya sedikit. “Aku enggak nafsu, Mas.”Kenzo meno

  • Tentang Harapan   BAB 30 Waktu

    Ternyata waktu berlalu begitu cepat tanpa dirasa »|« “Ibu, lagi apa?” Tangan besar Kenzo merangkul bahu Nina yang sedang menyiapkan perlengkapan barang untuk di bawa ke dalam bagasi. Nina menoleh menatap putra sulungnya seraya tersenyum lebar. “Ini bawain, ya?” “Oke, Bu.” Kenzo dengan sigap membawa tas besar berisi pakaian dan beberapa perlengkapan lainnya untuk keperluan di hotel nanti, namun lelaki itu kembali memutar tubuhnya. “Ibu-” “Iya, iya. Ibu tau, nanti di bawakan kue yang kemarin di buat untuk Jihan dan keluarganya.” Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Kenzo berniat bersilaturahmi dengan keluarga Jihan sekaligus membawa izin pada kedua orang tua gadis itu untuk di ajak ke Bandung saat wisuda Kenzo nanti. Keluarga Syahputra memang membawa barang cukup banyak karena akan liburan sekaligus berkunjung ke rumah keluarga Jihan. Lagi pula kekasihnya sudah mengetahui hal ini. “Rey yang bawa, boleh enggak, Yah?” Pinta Rey pada Aris ya

  • Tentang Harapan   BAB 29 Komitmen atau Janji

    Semoga hubungan yang aku harapkan ini baik-baik saja »|« Saat memasuki cafe yang akan menjadi tempat bertemu, Jihan berjalan menghampiri meja yang terdapat kekasihnya. Jihan merasa gugup sekarang sehingga jantungnya berdegup kencang tak tertahan membuatnya tak nyaman saat mendengar suara debaran tersebut. Jihan harap Kenzo tak akan menyadari kegugupan dan kecemasan yang di alaminya sekarang. Keduanya hanya memesan minuman biasa, namun Kenzo yang lebih dulu peka dengan ketidaknyamanan yang di rasakan kekasihnya saat ini. “Sebelum pergi, kita makan siang dulu, ya?” Jihan hanya mengangguk sebagai jawaban, membuka buku menu untuk memilih makanan yang akan di pesan. “Jihan apa ada yang mengganggu kamu?” tanya Kenzo dengan hati-hati. Mata coklat terangnya menatap sang kekasih yang berulang kali mengembuskan napasnya dengan kasar. Walau ragu, Kenzo memberanikan diri untuk menggenggam tangan kanan Jihan secara perlahan. “Enggak ada kok, Mas.” Jihan menggel

  • Tentang Harapan   BAB 28 Jujur

    Kejujuran tak selalu berakhir menyakitkan bukan?»|«Sinar matahari mengintip malu-malu di antar gorden kamar Jihan yang masih tertutup. Sang pemilik kamar nyatanya sudah terjaga dari tidurnya hanya saja belum mau beranjak meninggalkan kasur untuk keluar kamar.Setiap panggilan sang Mama yang mengajaknya sarapan pun dia tolak begitu saja. Kedua matanya sembab karena terlalu lama menangisi ucapan para ibu-ibu semalam. Jihan menggeleng, mengusap wajahnya dengan kasar. Pikirannya terasa kacau sekali hari ini karena memikirkan alasan apa yang membuatnya bisa sampai di gunjing seperti itu, terlebih lagi di depan kekasihnya. Suasana hatinya benar-benar buruk sekali, Jihan hanya takut bila Kenzo akan percaya dengan ucapan-ucapan semalam. Ponselnya berbunyi menyadarkan Jihan dari acara melamunnya.“Pagi, Jihan?” sapa Kenzo di seberang sana.Jihan tersenyum tipis dengan matanya yang berat. “Pagi.”Suara serak yang di dengarnya membuat Ken

  • Tentang Harapan   BAB 27 Berkunjung

    Pertama kali bertemu, mengapa harus berantakan seperti ini»|«Untuk pertama kalinya antara Jihan dan Kenzo bertemu setelah beberapa minggu terpisah dengan hubungan jarak jauh. Sebenarnya niat Kenzo ini sudah disiapkan dari jauh-jauh hari, di hati kecilnya berharap Jihan menerimanya.Manik coklat terangnya melihat seseorang yang sudah di nantikannya sejak awal. Langkah kaki jenjangnya perlahan menghampiri Kenzo yang sudah duduk di meja bernomor dua belas.“Hay!” Jihan menyapa dengan senang. “Mas Kenzo apa kabar?”Senyum lebar Kenzo membuat Jihan yang melihatnya turut tersenyum. “Enggak, Jihan pasti baik-baik aja ‘kan?”“Kayak yang Mas liat.”Kenzo menggeleng. “Bukan, maksudnya Jihan pasti baik-baik aja ‘kan enggak ketemu sama Mas?”Perlahan pipinya berubah memanas menimbulkan semburat merona yang menambah kesan manis di wajah Jihan saat tersenyum malu. “Padahal Mas enggak baik-baik aja karena rindu. Untungnya sekarang bisa ke

DMCA.com Protection Status